Al-attas dilahirkan di Bogor jawa barat pada tanggal 5 september
1931. Yang berasal dari Bogor jawa barat yang merupakan ningrat sunda di Singapura. Melihat garis keturunannya,
dapat dikatakan bahwa al-Attas merupakan “bibit unggul”. Sejarah pendidikannya
dimulai dari Sekolah Dasar Ngee Heng Primary School di Johor Malaysia.
Biografi Naquib
al-Attas
Sekembalinya ke Malaysia ia memesuki dunia
militer dengan mendaftarkan diri sebagai tentara kerajaan dalam upaya mengusir
penjajah jepang. Dalam bidang kemiliteran ini, al-Attas telah menunjukkan
kelasnya, sehingga atasannya memilih dia sebagai salah satu peserta pendidikan
militer yang lebih tinggi di Inggris. Selama di Inggris,dia berusaha memahami
aspek-aspek yang mempengaruhi semangat gaya hidup masyarakat Inggris. Selain
mengikut mengikuti pendidikan militer, al-Attas juga sering pergi ke negara
Eropa.
Kegiatan intelektual al-Attas dimulai di
Universitas Malaya 1960-an dan ia pun telah dikirim oleh pemerintah Malayasia
untuk melanjutkan studi di Instituti of Islamic. Selanjutnya ia memperoleh
kesempatan untuk melanjutkan studinya Di School of Oriental and yang oleh
banyak dianggap sebagai pusat orientalis. Dan ia pun menekuni kajian teologi dan
metafisika, dan menulis “Mistisisme Hamzah Fansuri” yang disertasi doktornya,
serta mengkritisi metodologi diberbagai disiplin ilmu, filsafat, dan politik.
Konsep Pendidikan Perspektif Naquib Al-Attas
Al-attas memandang pendidikan sebagai suatu
proses penanaman nilai bagi anak didik (manusia), yang mengacu kepada metode
dan sistem penanaman secara bertahap dan kepada manusia penerima proses dan
kandungan pendidikan islam. Sehingga Pendidikan islam harus terlebih dahulu memberikan
pengetahuan kepada peserta didik berupa pengetahuan tentang manusia yang kemudian
disusul pengetahuan-pengetahuan lainnya. Serta Denagan demikian juga dia akan
tahu jati dirinya dan ia akan selalu ingat dan sadar serta mampu memposisikan
dirinya, baik terhadap sesama mahluk, apalagi terhadap sesama sang kholik dan
peserta didik harus dibimbing untuk mengenali dan mengakui Allah sebagai
Tuhannya, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia ‘abid
yang penuh Kesadaran, ini juga memiliki
kemampuan intelek maupun spiritual. Yang akan melahirkan berbagai pandangan
hidup tauhid, baik rububiyah dan uluhiyah.
Berkaitan dengan definisi pendidikan Al-attas
lebih sepakat dengan menggunakan kata “al-ta’dib” (masdar dari kata
addaba) yang dapat diartikan pada proses mendidik yang lebih tertuju pada
pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik. Orientasi
kata ta’dib lebih terfokus pda upaya pembentukan pribadi muslim yang berakhlak
mulia.
Dalam pandangan Al-attas penggunaan Terma
diatas menunjukkan bahwa pendidikan Islam yang merupakan proses internalisasi
dan penanaman adab pada diri manusia yang mana dalam esensinya ada interaksi
timbal balik yang merupakan tatakrama. Oleh karena itu Al-attas menekankan tujuan
akhir pendidikan Islam pada menghasilkan manusia yang baik, dan bukan
masyarakat seperti dalam peradaban Barat.
Al-Attas menginginkan pendidikan Islam mampu
mencetak manusia yang paripurna (al-insan al-kamil) tujuan ini mengarah pada
dua dimensi sekaligus, yakni sebagai abd Allah dan khalifah fi al-ardl.
Islamisasi Pengetahuan dan Epistimologi Islam
Al-Attas memandang bahwa umat islam menghadapi
tantangan besar saat ini, yaitu pengetahuan yang salah dalam memahami ilmu,
maksud dan tujuan ilmu itu sendiri.
Peradaban Barat telah memberikan manfaat dan
kemakmuran kepada manusia, namun ilmu pengetahuan itu juga telah menimbulkan
kerusakan dan tidak dapat diterapkan dalam kehidupan umat Islam. Dalam hal ini,
ilmu pengetahuan dapat dijadiakan alat untuk menyebarluaskan ideologi dan
peradaban untuk menanggulangi distorsi atau bahkan mmengembalikan pada
proporsi, maka Al-Attas memperkenalkan proses de-westernisasi dan islamisasi.
Al-attas memiliki batasan de-westernisasi
melalui proses mengenal, memisahkan sekuler, hal ini merupakan upaya pemurnian
ajaran Islam dari segala de-weternisasi
umat islam dalam memberikan pengertian proses de-weternisasidan islamisasi manusia. Al-attas memberikan
pengertian islamisasi pengetahuan sebagai pembebasan manusia dari magic, metos,
animesme tradisionalis, dan kultural.
Jika dilihat dari pertanyaan Al-attas bahwa
yang menjadi kendali utama dari proses de-westernisasi dan islamisasi
adalah manusia yang mana hal ini melalui tafsiran alternatif pengetahuan
sehingga manusia mengetahui hakikat dirinya serta tujuan sejati hudupnya dan
kemudian ia mencapai kebahagiannya.
Menurut Al-attas ia menegaskan bahwa filsafat
ilmu pengetahuan modern memiliki persamaan-persamaan dengan islam yang
menyangkut sumber dan metode ilmu namun disisi lain Al-attas juga meyakini
bahwa perbedaan antara islam dan filsafat ilmu modern adalah bahwa islam
mengenal wahyu sebagai sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran terakhir
tentang ciptaan Tuhan, sedangkan ilmu pengetahuan kontemporer meniadakan peran
wahyu sehingga ia hanya berkaitan dengan fenomena yang dapat berubah disebabkan
oleh perkembangan zaman.
Menurut Al-attas Proses Islamisasi ilmu. Pertama, proses mengasingkan unsur-unsur
dan konsep-konsep utama Barat dari ilmu tersebut, dan kedua, menyerapkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama islam
kedalamnya. Islamisasi pengetahuan ilmu pengetahuan akan membebaskan manusia
dari keraguan. Al-Attas menolak bahwa islamisasi ilmu pengetahuan sekedar
memberi labelisasi ilmu dengan prinsip-prinsip islam. Karna Islamisasi ilmu
pengetahuan bertujuan agar umat islam terlindungi dari pengaruh ilmu
pengetahuan yang telah terjangkit konsep Barat yang akan menimbulkan kesesatan
dan kekeliruan.
oleh sebab itu, pendidikan Islam harus
dibangun dan bersumber dari konsep ketuhanan (ilahiyah) dan kemanusian dalam
rangka membangun moralitas dan akhlak manusia yang anggun untuk dapat
mewujudkan kehidupan manusia yang seimbang dan integratif antara nilai-nilai
ilahiyah (spiritual) kemanusian (insaniyyah) dan nilai-nilai budaya. [1]
ANALISIS
Konsep tentang Pendidika Perspektif Al-Attas
Berbicara tentang konsep pendidikan islam menurut Al-attas ia mendefinisikan dengan menggunakan kata “al-ta’dib”
(masdar dari kata addaba) yang dapat diartikan pada proses mendidik yang lebih
tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta
didik. Orientasi kata ta’dib lebih terfokus pada upaya pembentukan pribadi
muslim yang berakhlak mulia.[2]
Dari pengertian pendidikan islam diatas saya
dapat menyimpulkan dengan beberapa sumber yang telah saya analisis yang memiliki
definisi yang sama yang mana definisi ini di ambil dari istilah Ta’dib
yang berarti adab, mendidik, sehingga dapat kami pahami menurut Al-Attas ta’dib
secara sederhana sebagai suatu muatan atau kekurangan yang mesti ditanamkan
dalam pendidikan islam.
Jadi, adab adalah apa yang
diterapkan pada manusia bila ia harus melakukannya dengan berhasil dan baik
dalam hidupnya. Yang pada dasarnya konsep pendidikan islam berusaha mewujudkan
manusia yang baik atau manusia universal (al-insan al-kamil) yakni sesuai
dengan fungsi diciptakannya manusia dimana ia membawa dua misi, yaitu (a) sebagai
abdullah (hamba Allah) dan (b) khalifatullah fi al-ardh (wakil
Tuhan di muka Bumi). Oleh karena itu, seharusnya sistem pendidikan islam
merefleksikan ilmu pengetahuan dan Rasululloh Saw. serta berkewajiban
mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Rasululloh
semaksimal mungkin sesuai dengan potensi masing-masing.[3]
selain pemikiran tentang konsep pendidikan islam Al-Attas juga membahas dewesternisasi
yang mana dalam pandangan Al-Attas Dewesternisasi adalah proses mengenal,
memisahkan dan mengasingkan unsur-unsur sekuler (subtansi, roh, watak dan
kepribadian kebudayaan serta peradaban barat) dari tubuh pengetahuan yang akan
mengubah bentuk-bentuk, nilai-nilai dan tafsiran konseptual isi pengetahuan .[4]
,Naquib Al-attas memperkenalkan proses de-westernisasi
dan Islamisasi (pemurnian/purifikasi) sebagai langkah perdana paradigma
pemikiran islam kontemporer termasuk dalam hal pendidikan. Objek, Al-Attas pada de-westernisasi pada noda yang mengotori
ilmu. Sikap, menurut al-attas terdapat tiga tingkatan dalam. Titik berangkat, de-westernisasi harus
didukung oleh Islamisasi yaitu, manusia dari tradisi metos, magis, animisme.[5]
Bagi Al-attas, sufisme hendaknya memainkan peran
utama dalam islamisasi, sebab hanya dalam tradisi sufi sajalah kita bisa
menemukan kontribusi terpenting mengenai hakikat realitis yang terdalam. sistem
metafisika islam, khususnya yang berasal dari perspektif sufisme filosofis,
merupakan sistem terpadu yang dapat menyingkap realitas yang terdalam. hal ini
menunjukkan bahwa masih ada tingkatan-tingkatan eksistensi lainnya selain
dimensi horisontal atau dimensi duniawi, dan tingkatan kesadaran yang lebih
tinggi.[6]
Dalam hal ini menurut Al-attas selain membahas
konsep pendidikan islam ia juga membahas tentang metafisika dan epistimologi yang
mana keduanya berperan utama dalam islamisasi. (a) metafisika islam, yang
menurut Al-attas berangkat dari paham teologisnya. Dalam tradisi islam dikenal
beberapa istilah terutama dalam tradisi tasawuf dalam tradisi islam ini
Al-attas memberikan batasan yang jelas mengenai berbagai tingkatan para salik
dalam dunia kesufian yang ketiganya merupakan sebuah peringkat yang bersifat hirarkis,
yang pertama, mubtadi’, yakni seorang sufi yang berada pada tingkatan
awal, dalam gradasi ini si salik masih terbatas melaksanakan amalan-amalan yang
berkisar pada masalah moral dan adab. kedua, mutawassith, memasuki gradasi
kedua si salik sudah mendalami dan mengamalkan wirit dan dzikir yang mengenai
kuantitas, kualitas, tempo dan frekuensinya ditentukan sang mursyid. yang
ketiga, muntahiy, pada tingkatan tertinggi ini si salik memasuki dunia filsafat
dan metafisika dalam hal ini mewajibkan si salik memiliki ilmu pengetahuan yang
mendalam tentang tiga jenis pengetahuan (ilm), yaitu ilmu kebijaksanaan tuhan
(al-hikmah al-ilahiyah), ilmu-ilmu naqliyah atau syari’ah dan yang terakhir
ilmu rasional. [7]
DAFTAR RUJUKAN
Hasan,Afif. Filsafat
Pendidikan Islam. Malang: Universitas Negeri Malang. 2013
Kurniawan, Syamsul
dan Erwin Mahrus.Jejak Pemikiran Tokoh.Jogjakarta:
AR-RUZZ MEDIA. 2011
Ramayulis dan Syamsul Nizar.Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia. 2009
Nata,Abuddi. Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta: RajaGrafindo
Persada. 2013
Siswanto. Filsafat dan Pemikiran Pendidikan Islam.
Surabaya: Pena Salsabila. 2015
Syamsuddin, Sahiron dan Nur Prabowo. Pemikiran
Islam. Yogyakarta: Baitul Hikmah Press. 2014
[1].Siswanto,
Filsafat dan Pemikiran Pendidikan Islam,
(Surabaya: Pena Salsabila, 2015), Hlm.
161-173
[3] . Syamsul Kurniawan dan Erwin
Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh, (Jogjakarta:
AR-RUZZ MEDIA, 2011), Hlm. 188-189
[4] . Abuddi Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), Hlm, 336.
[5].
Afif Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, (Malang:
Universitas Negeri Malang, 2013), Hlm. 100-101
[6].Sahiron Syamsuddin dan Nur Prabowo, Pemikiran
Islam, (Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, 2014), Hlm. 196
[7].Ramayulis dan Syamsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), Hlm. 309