Selamat Datang di Blog Kami. Blog ini meyediakan berbagai macam informasi seputar Pendidikan, Karya Tulis Ilmiah,Dan lain-lain. Membangun Indonesia Melalui Pendidikan

Pengertian Syi'ir dan Sejarah Munculnya Syi'ir serta Macam-macam Syi'ir dalam Kajian Kebudayaan Bangsa Arab

Untuk Mendapatkan File Makalah atau Artikel dibawah ini, Silahkan Klik Download! download

Syi'ir seringkali kita mendengar istilah tersebut dalam buku-buku sejarah kebudayaan bangsa arab terutama pra islam. Istilah tersebut secara etimologis diambil dari asal kata شعر يشعر شعرا وشعورا yang berarti mengetahui, merasakan, sadar, mengomposisi atau mengubah sebuah syair. pada kesempatan kali ini saya akan share makalah tentang "Pengertian Syi'ir dan Sejarah Munculnya Syi'ir serta Macam-macam Syi'ir dalam Kajian Kebudayaan Bangsa Arab". semoga makalah ini bermanfaat bagi sahabat pembaca. selamat membaca.

BAB I
PENDAHULUAN
      A.    Latar Belakang Masalah
Menurut pandangan bangsa Arab, Syair  merupakan puncak keindahan dalam sastra, sebab syair itu adalah suatu bentuk gubahan yang dihasilkan dari kehalusan perasaan dan keindahan daya khayal, karena itu bangsa Arab lebih menyenangi syair dibandingkan dengan hasil satra lainnya.
Apabila dibandingkan antara karangan-karangan ataupun khutbah, maka yang dapat berpengaruh lebih dahulu dihati seseorang adalah gubahan syair, karena gubahan syair itu dapat langsung dirasakan dalam hati walaupun tidak dipikirkan terlebih dahulu. Disini dapat kita ketahui dengan jelas bahwa bangsa Arab lebih menyukai syair daripada bentuk prosa lainnya.
Keistimewaan bangsa Arab adalah meraka mempunyai perhatian yang besar terhadap bahasa dan keindahan sastra, karena mereka mempunyai perasaan yang halus dan ketajaman penilaian terhadap sesuatu. Dua sifat ini menjadi faktor utama mereka untuk mempunyai kelebihan dan kemajuan dalam bahasa. Karena keindahan bahasa akan bersandarkan pada perasaan yang halus dan daya khayal yang tinggi. Dengan kedua sifat ini maka bangsa Arab dapat mengeluarkan segala yang bergejolak dalam jiwanya dalam bentuk gubahan syair yang indah. Hal ini pula berkenaan dengan peranan atau kedudukan penyair dalam masyarakat Arab. Seorang penyair yang hebat mampu membela kehormatan kaum dan keluarga kabilahnya. Oleh karena itu, Bangsa Arab menganggap betapa pentingnya peranan syiir dan penyair, sampai mereka sering memperalat seorang penyair sebagai seorang yang dapat memberi semangat dalam perjuangan, memberi sokongan suara bagi seorang untuk dapat diangkat sebagai kepala kabilah, dan ada pula yang menggunakan mereka sebagai perantaraan untuk mendamaikan dua lawan yang saling bermusuhan, bahkan ada juga yang menggunakan penyair untuk meminta maaf dari seorang penguasa.
Dari pemaparan di atas kami tertarik untuk menggali lebih dalam lagi mengenai syair dalam kehidupan bangsa Arab dalam bab selanjutnya.

     B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian syiir?
2.      Bagaimanakah sejarah munculnya syiir?
3.      Apa saja macam-macam syiir?
4.      Apa saja ciri-ciri syiir?
5.      Bagaimanakah analisis syiir jahiliyah (Umruul Qaisy)?

    C.    Tujuan Masalah
                 1.      Untuk mengetahui pengertian syiir
                 2.      Untuk Sejarah munculnya syiir arab
                 3.      Untuk mengetahui jenis-jenis syiir
                 4.      Untuk mengetahui ciri-ciri syiir
                 5.      Untuk mengetahui analisis syiir jahiliyah (Umruul Qaisy)



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Syiir

Syir, seringkali kita mendengar istilah tersebut dalam buku-buku sejarah kebudayaan bangsa arab terutama pra islam. Istilah tersebut secara etimologis diambil dari asal kata شعر يشعر شعرا وشعورا yang berarti mengetahui, merasakan, sadar, mengomposisi atau mengubah sebuah syair. Sedangkan menurut Jurji Zaidah, syair berarti nyanyian (Al-Ghina), lantunan (Insyadz), atau melagukan (Tartil). Asal kata ini telah hilang dari bahasa arab, namun masih ada dalam bahasa lain seperti syuur dalam bahasa ibrani yang berarti suara, nyanyian, melantunkan lagu. Diantara sumber kata syiir adalahشير  (syir) yang berarti kasidah atau nyanyian-nyanyian, yang terdapat dalam kitab taurat juga menggunakan nama ini.[1]
Menurut Al-Aqqad, kata Syir harus dikembalikan pada makna aslinya, yaitu bahasa smith. Kata شيرو  pada suku Aqqadi kuno merujuk pada suara nyanyian gereja. Dari kata ini, kemudian pindah ke dalam bahasa ibrani (شير) dengan arti melagukan (Insyadz) dan ke dalam bahasa aramiyah yang bersinonim denganشور ,ترنم  (menyanyikan) dan ترتيل  (melagukan). Namun, sejarah menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi lebih dulu berkelud dalam dunia nadzam dari pada orang Hijaz. Dengan demikian menunjukkan bahwa pengalaman dan kemahiran mereka telah memperkuat keberadaan Syi’ir yang berkaitan dengan kasidah dan nyanyian. Berdasarkan sumber itu, orang-orang Arab dipandang kuat telah mengambil شير  dengan huruf ain, jadilah kata Sy’ir (شعر). Kata inilah kemudian digunakan pada kata syair secara universal.[2]
Bagi orang arab, kata syi’ir mempunyai arti tersendiri sesuai dengan pengetahuan, kemampuan, dan kebiasaan mereka. Dalam pandangan mereka, sy’ir berarti pengetahuan, kemampuan dan kebiasaan mereka. Karena sy’ir mempunyai arti kepandaian dan pengetahuan, maka pelakunya dikenal dengan al-Fathin(cerdik pandai). Sedangkansecara Terminologi terdapat beberapa definisi, di antaranya:
    1. Menurut DR. Ali Badri :
اَلشِّعْرُ هُوَ كَلاَمٌ مَوْزُوْنٌ قَصْدًا بِوَزْنِ عَرَبِيٍّ.
Syi’ir adalah suatu kalimat yang sengaja disusun dengan menggunakan irama atau wazan arab.
    1. Menurut Ahmad Hasan Az-Zayyat :
اَلشِّعْرُ هُوَ الكَلاَمُ الْمَوْزُوْنُ الْمُقَفَّى الْمُعَبِّرَ عَنِ اْلأَخِيْلَةِ الْبَدِيْعَةِ وَ الصُّوَرِ الْمُؤَثِّرَةِ الْبَلِيْغَةِ.
Syi’ir adalah suatu kalimat yang berirama dan bersajak yang mengungkapkan tentang hayalan yang indah dan juga melukiskan tentang kejadian yang ada.[3]
    1. Menurut Para Ahli Kesusastraan Arab :
أَمَّا الْمُحَقِّقُوْنَ مِنَ اْلأُدَبَآءِ فَيَخُصُّوْنَ الشِّعْرَ بِأَنَّهُ الْكَلاَمُ الْفَصِيْحُ الْمَوْزُوْنُ الْمُقَفَّى الْمُعَبِّرَ غَالِبًا عَنْ صُوَرِ الْخَيَالِ الْبَدِيْعِ.
Syi’ir adalah suatu kalimat yang fasih, berirama, bersajak, biasanya melukiskan tentang khayalan/imajinasi yang indah.
d.      Menurut Stadmon ( Penyair barat ) :
اَلشِعْرُ هُوَ اللُّغَةُ الْخَيَالِيَّةُ الْمَوْزُوْنَةُ الَّتِى تُعَبِّرُ عَنِ الْمَعْنَى الْجَدِيْدِ وَ الذَّوْقِ وَ الْفِكْرَةِ وَ الْعَاطِفَةِ وَ عَنْ سِرِّ الرُّوْحِ الْبَشَرِيَّةِ.
Syi’ir adalah bahasa yang mengandung khayalan dan berirama yang mengungkapkan tentang suatu arti dan perasaan serta ide yang timbul dari dalam jiwa penya’ir.[4]
Dari definisi tersebut di atas kami menyimpulkan definisi syiir adalah
اَلشِعْرُ هُوَ كَلاَمٌ يُقْصَدُ بِهِ الْوَزْنُ وَ الْقَافِيَةُ وَ يُعَبِّرُ عَنِ اْلأَخْيِلَةِ الْبَدِيْعَةِ.
Syi’ir adalah suatu kalimat yang sengaja disusun dengan menggunakan irama dan sajak yang mengungkapkan tentang khayalan atau imajinasi yang indah.

B.     Sejarah Munculnya Syiir
Keadaan bangsa Arab pada masa sebelum Islam datang dikenal suka berperang, berfoya-foya dan menyembah berhala, akan tetapi mereka dikenal cukup luas karena keahliannya dalam bidang sastra. Mereka sangat terkenal karena bahasa dan syairnya. Bahasa Arab adalah bahasa yang memiliki sejarah panjang sesuai dengan kekayaan yang didapat sampai saat ini. Bahasa arab yang sekarang kita tahu adalah kerabat dekat dengan bahasa semitik, misalnya akkad/babylonia, aram, nabatea, ibrani, feonisia dan dialek kan’an lainnya. Dari sebagian banyak bahasa semitik pada waktu itu hanya bahasa Arablah yang masih bertahan sampai sekarang.
Syair pada waktu itu adalah bagian dari kehidupan orang-orang Arab pra Islam. Apa yang menjadi aktivitas orang-orang pra Islam pada waktu itu menjadi sebuah manifestasi yang begitu banyak yang diabadikan di dalam puisi. Oleh karenanya tema-tema yang ada pada waktu itu berkisar hanya pada kegiatan sehari-hari mereka, terutama yang paling banyak menjadi tema adalah tentang kesukuan. Syair pada waktu itu bisa menjadi sebuah senjata yang bisa membuat hasrat manusia berdebar, tersanjung, dan memuji sehingga orang yang mendengarkannya merasa terbuai.[5]
Bahkan fanatisme orang-orang Arab yang masih akut sekali kesukuannya menjadi hal paling penting dalam bentuk suatu syair pada waktu itu. Semangat kepahlawanan ditunjukan di dalam puisi bukan tak lain untuk menyemangati orang-orang yang akan ikut berperang. Tema dari sy’iir-sy’iir orang Arab pra Islam menurut Ismail Al-Faruqi terjadi karena disebabkan oleh adanya dua keadaan yang sangat beragam, yakni hedonisme dan romantisisme. Hedonisme artinya, bahwa mereka hanya mengejar kehidupan yang bersifat nisbi, mereka tidak terlalu percaya akan adanya hari pembalasan dan menikmati kehidupan, mengejar kebahagiaan adalah tujuan mereka. Sementara romantisisme mungkin lebih pada bagaimana mereka mengagungkan seseorang dalam prihal perang yang terus menerus atau kepahlawanan.[6]
Dalam bangsa arab ada yang namanya Ayyam Al-Arab yaitu peristiwa-peristiwa penting yang menimpa masyarakat Arab, dan Al-Ansab (genealogi) secara umum menjadi simbol kebanggan masyarakat Arab. Ayyam Al-Arab merekam peristiwa-peristiwa atau peperangan-peperangan yang pernah terjadi antar kabilah atau antar suku. Sedangakan Al-Ansab memuat silsilah keturunan, dan mereka merasa bangga apabila berasal dari keturunan yang terhormat. Dua jenis pengetahuan ini banyak tersimpan dalam karya sastra, baik berupa syair maupun prosa.
Dalam sejarah kesusasteraan Arab, munculnya prosa lebih awal dari pada syi’ir, karena prosa tidak terikat dengan aturan-aturan sebagaimana yang ada dalam syair. Pernyataan ini berbeda dengan Thaha Husein yang menyatakan sebaliknya, bahwa syair lebih dahulu dari pada prosa, karena syair terikat dengan rasa sastra dan imajinasi yang tinggi.[7] Perkembangan ini baru berkembang dengan perkembangan setiap individu dan kelompok masyarakat. Sementara Ulama Lughah dan para kritikus sastra berpendapat bahwa keberadaan prosa lebih dulu dari pada syi’ir. Karena prosa merupakan karya sastra yang bebas, tidak terikat (muthlaq), sedangkan syair adalah karya sastra yang terikat dengan aturan (muqayyad).
Syi’ir Arab itu muncul dan berkembang menuju kesempurnaan mulai dari bentuk ungkapan kata yang besar (mursal) menuju sajak dan dari sajak menuju syi’ir yang berbahar ramal, kemudian menuju syi’ir yang berbahar rajaz. Mulai fase inilah syi’ir Arab dikatakan sempurna dan dalam tempo yang cukup lama berkembang menjadi susunan kasidah yang terikat dengan aturan wazan dan qafiah.[8]

C.    Macam-macam Syiir
Jika puisi Arab ditinjau dari segi bentuk dan isinya, maka terbagi menjadi bermacam-macam, antara lain:
         1.         Puisi Multazim/ Tradisional, Puisi Tradisional adalah puisi yang masih terikat dengan aturan wazan qafiyah. Seperti pada syi’ir Kasidah Imrul Qais:
قضانبك من ذكرى حبيب رمنزل
بسقط اللوى بين الدخول فحومل
2.      Puisi Mursal/ Mutlak, Puisi Mursal adalah puisi yang terikat dengan satuan irama atau ta’filah, dan tidak terikat oleh wazan dan qafiyah tertentu.
3.      Puisi Mantsur/ bebas, Puisi bebas adalah puisi yang tidak terikat oleh aturan wazan dan qafiah yang ada. Contoh:
شكوى
شاك إلى البحرى اضطرب خواطر         فيجيبنى  برياحه الهوجاء
ثاو على صخر أصم وليت لي  قلبا كهذي الصخرة الصماء
Sedangkan puisi ditinjau dari segi maknanya:
a.        Puisi Qashashi
Yaitu puisi yang materinya menyebutkan tentang beberapa kejadian dan peristiwa yang ada dalam satu bentuk kisah, dengan di sertai pembukuannya, pandangan-pandangan atau arahnya, dan diceritakan pula pelaku-pelakunya. Contohnya seperti kisah “Ilyadzah Humirus bagi bangsa Yunani”
 الياذة هو ميروس عند اليونا ن
b.      Puisi Tamsili
Puisi Tamsili adalah puisi yang isinya melukiskan suatu kejadian atau kisah, dengan mengemukakan padangan-pandangan dan peranan-peranan yang dilakukan oleh para pelakunya, serta ditamppilkan di depan penonton. Biasanya dilakukan dengan cara bercakap-cakap atau berdialog antara para pelaku tersebut.
Sedangkan unsur-unsur syiir yaitu: adanya Kalimat/ bahasa, bahar, Qofiyah, Kesengejaan bersyiir, khayalan/ imajinasi. Qafiyah, adalah sebuah ilmu yang membahas ujung kata di dalam bait syiir yang terdiri dari huruf  akhir yang mati di ujung bait sampai dengan huruf  hidup sebelum huruf mati. Bahar, adalah wazan (timbangan) tertentu yang dijadikan pola dalam menggubah syi'ir arab. Menurut Imam Kholil, jumlah bahar ada 15, sedangkan menurut imam Akhfasy jumlah bahar ada 16, dengan menambahkan satu bahar lagi, yakni bahar mutadarik. 
Macam-macam Bahar dalam 'Ilmu 'Arudh:
1. Bahar Thowil
Juz Tafa'ilnya adalah:  فعولن مفاعيلن فعولن مفاعيلن  # فعولن مفاعيلن فعولن مفاعيلن 
2. Bahar Madid
Juz tafa'ilnya adalah: فاعلاتن فاعلنفاعلاتن فاعلن فاعلاتن فاعلنفاعلاتن فاعلن
3. Bahar Basit
Juz tafa'ilnya adalah: مستفعلن فاعلن مستفعلن فاعلن مستفعلن فاعلنمستفعلن فاعلن
4. Bahar Wafir
Juz tafa'ilnya adalah: مفاعلتن مفاعلتن مفاعلتن مفاعلتن مفاعلتن مفاعلتن
5. Bahar Kamil
Juz tafa'ilnya adalah: متفاعلن متفاعلن متفاعلن متفاعلن متفاعلن متفاعلن
6. Bahar Hazj
Juz tafa'ilnya adalah: مفاعيلن مفاعيلن مفاعيل  # مفاعيلن مفاعيلن مفاعيلن
7. Bahar Rajaz
Juz tafa'ilnya adalah: مستفعلن مستفعلن مستفعلن مستفعلن مستفعلن مستفعلن
8. Bahar Raml
Juz tafa'ilnya adalah: فاعلاتن فاعلاتن فاعلاتن فاعلاتن فاعلاتن فاعلاتن
9. Bahar Sari'
Juz tafa'ilnya adalah: مستفعلن مستفعلن مفعولات مستفعلن مستفعلن مفعولات
10. Bahar Munsarah
Juz tafa'ilnya adalah: مستفعلن مفعولات مستفعلن مستفعلن مفعولات مستفعلن 
11. Bahar Khofif
Juz tafa'ilnya adalah:فاعلاتن مستفعلن فاعلاتن فاعلاتن مستفعلن فاعلاتن
12. Bahar Mudhori'
Juz tafa'ilnya adalah:مفاعيلن فاعلاتن مفاعيلن مفاعيلن فاعلاتن مفاعيلن
13. Bahar Muqtadhob
Juz tafa'ilnya adalah: مفعولات مستفعلن مستفعلن مفعولات مستفعلن مستفعلن
14. Bahar Mujtats
Juz tafa'ilnya adalah: مستفعلن فاعلاتن فاعلاتن مستفعلن فاعلاتن فاعلاتن
15. Bahar Mutaqarib
Juz tafa'ilnya adalah: فعولن فعولن فعولن فعولن فعولن فعولن فعولن فعولن
16. Bahar Mutaqarib
Juz tafa'ilnya adalah: فاعلن فاعلن فاعلن فاعلن فاعلن فاعلن فاعلن فاعلن

Dibawah ini adalah beberapa contoh syi'ir dengan bahar-bahar di atas:
(البحر الطاويل)
اَلاَلاَتَنَمْ فِي اْلفَصْلِ وَاسْمَعْ مُدَرِّسًا # وَسَكِّتْ كَنَحْوِالْجُنْدِ وَالْمَالِكِ الْمَلاَ  
“Ingat ! Jangan tidur di kelas, dengarkanlah bapak ibu guru, dan diamlah seperti prajurit dihadapan  seorang raja yang berwibawa”
(البحر الهزج)
تَوَضَّعْتُمْ عَلَى الْشَّيْخِ # بِحُرْمَاتٍ وَاِخْلاَصٍ
“Kalian semua telah bertawadhu terhadap sang guru dengan hormat dan ikhlas”
(البحر الطاويل)
وَاِنْ كَانَ عَالِمً فَحُسْنَى بِقَائِلٍ # وَاِنْ كَانَ جَاهِلاً فَحُسْنَى بِسَاكِتٍ
“Ketika engkau adalah seorang alim maka lebih baik berbicara, Ketika engkau adalah orang bodoh maka lebih baik diam”
(البحر الهزج)
تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللّه # اِذَاكُنْتُمْ بِلاَحَوْلٍ
“Kalian semua telah bertawakkal kepada Allah SWT ketika kalian semua sudah tak ada daya upaya”
(البحر الرجز)
اِجْعَل لِسَانِيْ سَالِمً # لاَكِذْبَ بَلْ بِاالصِّدْقِ كُلْ
“Ya Allah, jadikanlah lisanku penyelamat, tiada berbohong melainkan penuh dengan kebenaran”
(البحر الرمل)
كُلْ طَعَامًا بِحَلاَلٍ طَيِّبٍ # كُلْ اِذَاكَانَ بِجَا ئِعٍ شَابِعًاقِفْ
“Makanlah makanan dengan cara yang halal lagi baik, makanlah ketika lapar dan ketika sudah kenyang berhentilah”
(البحر البسيط)
يَاصَاحِبِيْ قُلْ كَلاَمً فَضِلاً # وَانْقِصْ كَلاَمًا بِمَا لاَنَافِعًا
“Hai Kawan, Bicaralah pembicaraan yang utama, dan kurangilah pembicaraan yang tiada manfaat”
(البحر الكامل)
وَاِذَا نَظَرْتَ مَرْأَةً لَكَ نِعْمَةٌ # وَكَمَا نَظَرْتَ بِبَعْدِهِ لَكَ عَاصِيًا
”Tatkala kamu melihat wanita (yang pertama) adalah nikmat bagimu # Sebagaimana kamju melihat setelahnya, kamu adalah orang yang bermaksiyat”
(البحر الوافر)
لَقَدْعَمَلَتْ حَبِيْبَةُ عَنْ # وَظِيْفَتُهَا بِكَامِلَةٍ
“Sungguh, sang kekasih telah melakukan peranya dengan begitu sempurna”
(البحر الطاويل)
وَحَرِّسْ لِسَانَكَ مِنَ الْكِذْبِ وَالْحِقْدِ # لِسَانٌ كَلَحْمٍ فِيهِ سَيْفٌق شَدِيدٍحَدْ
“Jagalah lisanmu dari bohong dan hasut, karena lisan seperti daging yang di dalamnya terdapat pedang yang sangat tajam

D.    Ciri-ciri Syiir
Di antara cir-ciri syiir adalah sebagai berikut:
a.       Setiap bait terdiri dari emat baris,
b.      Setiap baris terdiri dari 8-14 suku kata,
c.       Semua baris adalah isi dan
d.      menggunakan bahasa kiasan

E.     Analisis syiir
Dijelaskan oleh Sukron Kamil dalam bukunya Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern bahwa kritik sastra (dalam istilah Arabnya naqd adab) adalah mengkaji terhadap karya sastra yang menganalisis dan menjelaskannya agar bisa dipahami dan dinikmati pembaca dan kemudian menilainya secara objektif.[9]  Kritik sastra juga diartikan sebagai penilaian yang benar yang beranjak dari pemikiran yang baik dan indah dalam aktifitas sastra, yang dengan pemikiran indah itu kita dapat menilai suatu karya sastra itu bagus atau tidaknya.[10]  Berikut ini adalah analisis sastra dari Umru-Al Qaisy

      a     Puisi Umru al-Qais

مُهَفْهَفَـةٌ بَيْضَـاءُ غَيْرُ مُفَاضَــةٍ # تَرَائِبُهَـا مَصْقُولَةٌ كَالسَّجَنْجَــل
Langsing, putih, ramping dadanya berkilau bagaikan cermin
تَـصُدُّ وتُبْدِي عَنْ أسِيْلٍ وَتَتَّقــِي # بِـنَاظِرَةٍ مِنْ وَحْشِ وَجْرَةَ مُطْفِـلِ
Ia pun berpaling, menampakan pipinya yang ranum, menghindari buasnya tatapan mata sapi setelah beranak
وجِـيْدٍ كَجِيْدِ الرِّئْمِ لَيْسَ بِفَاحِـشٍ# إِذَا هِـيَ نَصَّتْـهُ وَلاَ بِمُعَطَّــلِ
Lehernya bagaikan leher kijang yang putih tanpa noda, saat ia biarkan terbuka dengan perhiasaan yang menghiasinya
وفَـرْعٍ يَزِيْنُ المَتْنَ أسْوَدَ فَاحِــمٍ # أثِيْـثٍ كَقِـنْوِ النَّخْلَةِ المُتَعَثْكِــلِ
Rambutnya yang sempurna menghiasi punggungnya, hitam kelam bagaikan buah kurma
غَـدَائِرُهُ مُسْتَشْزِرَاتٌ إلَى العُــلاَ # تَضِلُّ العِقَاصُ فِي مُثَنَّى وَمُرْسَــل
Kepang rambutnya menjulang keatas, terselip madari (sisir hias) saat diurai
وكَشْحٍ لَطِيفٍ كَالجَدِيْلِ مُخَصَّــرٍ # وسَـاقٍ كَأُنْبُوبِ السَّقِيِّ المُذَلَّــلِ
Pinggang yang ramping bagai ikat pinggang yang melilit, betisnya bagaikan bulu tebu yang subur
وتُضْحِي فَتِيْتُ المِسْكِ فَوْقَ فِراشِهَـا # نَئُوْمُ الضَّحَى لَمْ تَنْتَطِقْ عَنْ تَفَضُّـلِ
Terbangun di pagi hari dengan taburan minyak kasturi di atas kasur melewati pagi tanpa arus disibukkan dengan baju tidur
وتَعْطُـو بِرَخْصٍ غَيْرَ شَثْنٍ كَأَنَّــهُ # أَسَارِيْعُ ظَبْيٍ أَوْ مَسَاويْكُ إِسْحِـلِ
Menggigit ujung jarinya yang lentik dengan lembut, bagaikan Garis-garis yang terdapat dalam tubuh kijang atau bagaikan pohon siwak
كَبِكْرِ المُقَـانَاةِ البَيَاضَ بِصُفْــرَةٍ # غَـذَاهَا نَمِيْرُ المَاءِ غَيْرُ المُحَلَّــلِ
Bagaikan telor burung unta yang baru menetes putih kemerah-merahan bercampur kuning, dialiri air yang sangat bening
تُضِـيءُ الظَّلامَ بِالعِشَاءِ كَأَنَّهَــا# مَنَـارَةُ مُمْسَى رَاهِـبٍ مُتَبَتِّــلِ
Menyinari gelapnya malam bagaikan pelita yang bersinar dari tempat peribadahan rahib
      b    Arti Mufradat

1   
مُهَفْهَفَـة حفيفة اللحم           =  Langsing                13  تنتبه من نومها فى صخوة    = Bangun pagi
2   
مُفَاضَــةٍ المسترخية البطن  = Ramping                 14ببنان لطيف                        = ujung jari lentik
3
مَصْقُولَة مجلوة                  = berkilau                  15 غَيْرَ شَثْن لبس بكز ولاغليظ    = Lembut
4
السَّجَنْجَــل                         = Cermin                   16 شجر                               = Pohon
5
تَـصُد تعرض عنا                = Berpaling                17 بِكْر بيضة النعامة                = Telor burung
6
تُبْدِي خد                            = Tatapan mata         18  صفرة و حمرة                   = Kuning & merah
7
وجِـيْد العنق                        = Leher                     19 نَمِيْرُ المَاء الصافي               = Bening
8
الرِّئْمِ الظبي الابيض              =  Rusa putih             20 مَنَـارَةُ سراج الراهب            = Bersinar
9
فَـرع الشعر التام                   = Rambut                  21 المُذَلَّـل المحروث                 = Subur
10
غَـدَائِر الدوائب                   =  Kepang                 22 فَاحِــمٍ الشديد السواد              = Hitam kelam
11
مرتفعات                           =Menjulang keatas    23 مُطْفِـل أطفال                      = Beranak
12
كَشْحٍ                                = Pinggang                 24 كَقِـنْوِ العذق                       =  Rentetan

       c.       Analisis Unsur-Unsur Struktur

        ·         Ekstrinsik (الخارجية)
Sebab Pembuatan Puisi dan hubungan dengan masyarakat (Asbab al-Wurud). Apabila kita analisis syi’ir umru al-Qais, ia melukiskan kecantiakan dada pujaanya (Unaizah) bagaikan kaca tanpa cacat dan juga keindahan rambutnya terurai bagaikan mayang kurma, dari sini kelihatan Umru al-Qais termasuk aliran romantisme (al-madrasah al-rumantikiyyah) karena ia mengungkapkan perasaan sebagai dasar perwujudan.
Untuk mengungkapkan hal tersebut, sastrawan selalu berusaha menggambarkan realitas kehidupan dalam bentuk yang seindah-indahnya dan sehalus-halusnya, sehingga terlihat tanpa cela. Gambaran gadis yang cantik, misalnya, selalu diupayakan sesempurna mungkin, tanpa ada cacat sedikitpun juga. Begitu pula keindahan alam atau mungkin kesedihan biasanya digambarkan sedetail-detailnya sampai tuntas.
 Syi’ir-syi’ir yang digubah oleh Umru al-Qais di atas adalah rayuan  (Ghazal) yang mengindikasikan ia mengenal dengan baik berbagai karakter perempuan yang berasal dari berbagai suku dan bangsa termasuk Romawi dan Persia. Umru al-Qais yang dianggap sebagai tokoh pelopor syair Arab Jahiliyah yang berasal dari kalangan Istana dan bangsawan, sangat terkenal dengan syi’ir-syi’ir percintaanya. Di dalam syi’ir-syi’irnya, nuansa pencitraan perempuan secara fisik terasa sangat kantal. Untuk itu ia memiliki konsep tersendiri tentang perempuan ideal. Baginya perempuan ideal haruslah seorang yang muhafhafah yang berarti bertubuh langsing dengan kulit perut yang tipis, tidak tebal juga tidak kendor. Selain itu, ia juga harus berkulit putih, memiliki perut yang lembut, dada yang menawan dan tampak bersinar, memiliki pipi yang ranum, berleher jejang dan  rambut hitam mayang mengurai dengan berbagai hiasan.
·         Intrinsik (الداخلية)
     1.      Bahr
Bahr adalah Ilmu yang mempelajari pola-pola bentuk puisi Arab Klasik adalah Ilmu Arudh. Setiap bait puisi Arab Klasik terdiri dari 2 Syatr ( bagian) yaitu Syatr 1 dan Syatr 2.  Syatr 1 disebut Ash-Shadr dan Syatr 2 disebut Al-ajz , dan setiap bait terdiri dari 6 sampai 8 Taf‟iilat. Taf‟iilat adalah potongan- potongan dalam bait puisi Arab Klasik yang bisa berupa gabungan antara kata  dan sebahagian kata atau gabungan sebahagian kata dan kata sesuai pola puisi Arab Klasik.
Berdasarkan penggunaan ilmu al-aruudh, puisi Umru al-Qais ini termasuk ke dalam Bahr al-Thawil, karena terdiri dari 8 taf‟iilat, bentuknya lengkap (taam) dan jenis qaafiyanya Mutawaatir. Al qaafiya menurut Al Khalil didefinisikan sebagi “kumpulan dua huruf al-Saakin (huruf mati) yang berada di akhir bait, yang di tengahnya terdapat huruf al-mutaharrik (huruf hidup), dan sebelum huruf mati yang pertama terdapat huruf yang hidup. (0/0/) Tanda “/” untuk huruf yang berharakat/hidup (al-Mutaharik) sedangkan tanda “0” untuk huruf mati (al-saakin). Dengan analisis sebagai berikut:
مهفهفة بيضاء غير مفاضة
Al-kitab al-‘Arudhiya
مفاضتن ئغير تبيضا مهفهف
Al-Isyarah (al-Rumuz) //0//0 //0/ //0/0 //0/0
Al-Taf’ilah
مفاعيلن فعول مفاعيلن فعولن
تَرَائِبُهَـا مَصْقُولَةٌ كَالسَّجَنْجَــل
Al-kitab al-‘Arudhiya
سجنجلن لتنكس همصقو ترائبن
Al-Isyarah (al-Rumuz) //0//0 //0/0 //0/0 //0//0
Al-Taf’ilah
مفاعيلن فعول مفاعيلن فعولن
Bentuk pola diatas disebut dengan pola bahr. Jadi hasil analisis bentuk yang penulis lakukan terhadap syi’ir umru al-Qais itu terdapat bahr al-Thawwil
      2.      Diksi (Pilihan kata)
Puisi ini dianggap sebagai contoh sebagai puisi ghazal umru al-Qais yang bertemakan ghazal yang merupakan campuran dari kehalusan kata-kata dan ungkapan, seperti مهفهفة, غير مفاضةmempunyai arti yang ramping, tipis atau tidak tebal. Penggambaran ini kemudian diperkuat dengan ungkapan yang maknanya sama. Yaitu :
وكَشْحٍ لَطِيفٍ كَالجَدِيْلِ مُخَصَّــر
Pinggang yang ramping bagai ikat pinggang yang melilit.
      3.      Imajinasi
Ahmad sl-Syayib mengatakan bahwa Khayal adalah kekuatan jiwa yang dapat membangkitkan rasa, secara mutlak khayal merupakan kelengkapan bagi seorang penulis, penyair, orator, novelis dan seniman.
Dari beberapa bait di atas, kita bisa mengatakan umru al-Qais selalu menggunakan kata-kata yang berimajinasi dalam ugungkapnya, seperti yang terdapat pada bait di bawah ini.
تَـصُدُّ وتُبْدِي عَنْ أسِيْلٍ وَتَتَّقــِي # بِـنَاظِرَةٍ مِنْ وَحْشِ وَجْرَةَ مُطْفِـلِ
Ia pun berpaling, menampakan pipinya yang ranum, menghindari buasnya tatapan mata sapi setelah beranak.
Jadi jelas dari ungkapan yang digaris bawahi ia berimajinasi bahwa tatapan mata disamakan dengan tatapan mata sapi setelah beranak.
      4.      Tema Puisi
Tema puisi Umru al-Qais adalah tentang Ghazal yang berisi ungkapan si penyair tentang kecantikan perempuan dengan ungkapan yang berlebihan, seperti yang terdapat pada bait syair dibawah ini:

مُهَفْهَفَـةٌ بَيْضَـاءُ غَيْرُ مُفَاضَــةٍ # تَرَائِبُهَـا مَصْقُولَةٌ كَالسَّجَنْجَــل
Langsing, putih, ramping dadanya berkilau bagaikan cermin.
Mungkin kalau kata orang zaman sekarang, ungkapan tersebut termasuk ungkapan/kata gombal yang sering diungkapkan peria yang sedang jatuh cinta kepada wanita yang dicintainya sering mengungkapkan kata-kata yang berimajinasi, berlebihan dalam menggambarkan wanita yang dicintainya. Begitu pula Umru al-Qais terhadap perempuan yang dicintainya sebagaimana yang tergambar dalam bait-bait syair dibawah ini:
وجِـيْدٍ كَجِيْدِ الرِّئْمِ لَيْسَ بِفَاحِـشٍ# إِذَا هِـيَ نَصَّتْـهُ وَلاَ بِمُعَطَّــلِ
Lehernya bagaikan leher kijang yang putih tanpa noda, saat ia biarkan terbuka dengan perhiasaan yang menghiasinya
وفَـرْعٍ يَزِيْنُ المَتْنَ أسْوَدَ فَاحِــمٍ # أثِيْـثٍ كَقِـنْوِ النَّخْلَةِ المُتَعَثْكِــلِ
Rambutnya yang sempurna menghiasi punggungnya, hitam kelam bagaikan buah kurma
تُضِـيءُ الظَّلامَ بِالعِشَاءِ كَأَنَّهَــا# مَنَـارَةُ مُمْسَى رَاهِـبٍ مُتَبَتِّــلِ
Menyinari gelapnya malam bagaikan pelita yang bersinar dari tempat peribadahan rahib.
Jadi, jelas dari ungkapan Umru al-Qais yang tertuang dalam syair-syair diatas adalah bertemakan Ghazal
      5.      Emosi
Emosi yaitu perasaan pengarang yang tertuang dalam puisi tersebut, atau keadaan batin yang kuat yang memperlihatkan kegembiraan, kesedihan, kecintaan, keharuan, atau keberanian yang bersifat subjektif. Dari syair tersebut umru al- Qais memperlihatkan ketertarikan atau kecintaannya terhadap perempuan sehingga beliau menyanjung perempuan yang dicintainya. Seperti yang terdapat pada salah satu bait puisi dibawah ini:
وجِـيْدٍ كَجِيْدِ الرِّئْمِ لَيْسَ بِفَاحِـشٍ# إِذَا هِـيَ نَصَّتْـهُ وَلاَ بِمُعَطَّــلِ
Lehernya bagaikan leher kijang yang putih tanpa noda, saat ia biarkan terbuka dengan perhiasaan yang menghiasinya
      6.      Aspek retorika / Balagah
Aspek retorika yang dipakai dalam syair umru al-Qais sebagai berikut
1.      Tasybih
Tasybih menurut bahasa bermakna tamsil, yang artinya penyerupaan atau perumpamaan, sedangkan menurut ahli ilm al-bayan adalah suatu istilah yang di dalamnya terdapat pengertian penyerupaan atau perserikataan antara dua perkara (musyabah dan musyabah bih). Tasybih merupakan langkah awal untuk menjelaskan suatu makna dan sarana untuk menjelaskan sifat. Dengan tasybih, maka kita dapat dapat menambah ketingian makna dan kejelasannya serta juga dapat membuat makna tampak lebih indah dan bermutu.
Suatu ungkapan dinamakan tasybih jika memenuhi unsur-unsurnya. Menurut Fadilah al-Syaikh al-‘Alamah al-Lugawiyah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimain sebuah tasybih harus memenuhi unsur-unsur berikut ini:
1)  Adanya Musyabah, adalah sesuatu yang hendak diserupakan,
2)  Adanya Musyabah bih, adalah sesuatu yang diserupai, dan kedua unsur ini disebutTharafai tasybih.
3)  Adanya Wajh al- Syibh, adalah sifat khusus yang terdapat pada tharafain.
4)  Adanya Adat   al-Tasybih adalah huruf atau kata yang digunakan untuk penyerupaan  seperti kaf dan ka-anna
مُهَفْهَفَـةٌ بَيْضَـاءُ غَيْرُ مُفَاضَــةٍ # تَرَائِبُهَـا مَصْقُولَةٌ كَالسَّجَنْجَــل
   Apabila kita analisis syi’ir di atas dari segi ilm al-Balaghah ini termasuk tasybih/penyerupaan, dalam ilmu bayan tasybih yang disebut adatnya adalah tasybih mursal, dan tasbih yang dibuang wajh sibhnya adalah tasybih adalah tasybih mujmal, secara lengkapnya tasybih tersebut adalah tasybih mursal mujmal karena disebut adatnya dan dibuang wajh sibhnya .

وجِـيْدٍ كَجِيْدِ الرِّئْمِ لَيْسَ بِفَاحِـشٍ# إِذَا هِـيَ نَصَّتْـهُ وَلاَ بِمُعَطَّــلِ
Lehernya bagaikan leher kijang yang putih tanpa noda, saat ia biarkan terbuka dengan perhiasaan yang menghiasinya

Bait diatas mengandung tasybih sperti :
Musyabbah :
جِـيْد
Musyabbah bih:
جِيْدِ الرِّئْمِ
Adat Tasybih:
ك
Wajh syibh:
فَاحِـشٍ
وفَـرْعٍ يَزِيْنُ المَتْنَ أسْوَدَ فَاحِــمٍ # أثِيْـثٍ كَقِـنْوِ النَّخْلَةِ المُتَعَثْكِــلِ
Rambutnya yang sempurna menghiasi punggungnya, hitam kelam bagaikan buah kurma
Musyabbah:
فَـرْعٍ يَزِيْنُ المَتْنَ
Musyabbah bih:
قِـنْوِ النَّخْلَةِ المُتَعَثْكِــل
Adat Syibh :
ك
وكَشْحٍ لَطِيفٍ كَالجَدِيْلِ مُخَصَّــرٍ # وسَـاقٍ كَأُنْبُوبِ السَّقِيِّ المُذَلَّــلِ
Pinggang yang ramping bagai ikat pinggang yang melilit, betisnya bagaikan bulu tebu yang subur
Musyabbah:
سَـاقٍ
Musyabbah bih:
أُنْبُوبِ السَّقِيِّ المُذَلَّــل
Adat Syibh:
ك
وتَعْطُـو بِرَخْصٍ غَيْرَ شَثْنٍ كَأَنَّــهُ # أَسَارِيْعُ ظَبْيٍ أَوْ مَسَاويْكُ إِسْحِـلِ
Menggigit ujung jarinya yang lentik dengan lembut, bagaikan Garis-garis yang terdapat dalam tubuh kijang atau bagaikan pohon siwak
Musyabbah:
وتَعْطُـو بِرَخْصٍ غَيْرَ شَثْنٍ
Musyabbah bih:
أَسَارِيْعُ ظَبْيٍ
Adat Syibh:
ك
تُضِـيءُ الظَّلامَ بِالعِشَاءِ كَأَنَّهَــا# مَنَـارَةُ مُمْسَى رَاهِـبٍ مُتَبَتِّــلِ
Menyinari gelapnya malam bagaikan pelita yang bersinar dari tempat peribadahan rahib
Musyabbah:
تُضِـيءُ الظَّلام
Musyabbah bih:
مَنَـارَةُ
Adat Syibh:
ك
      Jadi, dari hasil analisi penulis umru al-Qais mengungkapkan suatu ide dengan menggunakan model Tasybih/penyerupaan, namun dari sekian banyak tasybih yang ia gunakan adalah tasybih mursal mujmal karena disebutkan adat tasybih dan dibuang wajh syibh dan Ia selalu menggunakan penyerupaan/tasybihnya selalu memakai adat huruf kaf.
2.      Majaz
Majaz pada garis besarnya ada dua jenis, yaitu majaz lughawi dan aqli. Majaz lughawi adalah majaz yang alaqahnya ditinjau dari aspek bahasa, sedangkan majaz aqli adalah penisbatan suatu kata fi’il (kata kerja ) kepada fa’il yang tidak sebenarnya. Dari hasil analisis penulis terhadap puisi umru al-Qais, ia mengungkapkan idenya dengan menggunakan majaz isti’arah seperti yang terdapa pada bait berikut:
تَـصُدُّ وتُبْدِي عَنْ أسِيْلٍ وَتَتَّقــِي # بِـنَاظِرَةٍ مِنْ وَحْشِ وَجْرَةَ مُطْفِـلِ
Ia pun berpaling, menampakan pipinya yang ranum, menghindari dari buasnya tatapan mata sapi setelah beranak
Pada syair diatas kita menemukan ungkapan “
وَتَتَّقــِي # بِـنَاظِرَةٍ مِنْ وَحْشِ وَجْرَةَ مُطْفِـل ” (menghindari dari buasnya tatapan mata sapi setelah beranak).
Dari perkataan tersebut, kita dapat mengetahui bahwa ada penyamaan matanya dengan buasnya mata sapi yang beranak.Ia menyerupakan tatapan matanya dengan tatapan mata sapi setelah beranak, jika kita telaah kata ini “dari buasnya tatapan mata sapi” merupakan makna majazi, makna yang sebenarnya adalah tatapan matanya umru al-Qais yang diserupakan dengan tatapan matanya sapi. Ungkapan yang seperti ini adalah majaz istia’arah tashrihiyyah karena yang ditegaskannya adalah musta’ar minhu (dari buasnya tatapan mata sapi) sedangkan musta’arnya (tatapan matanya umru al-Qais) dibuang.
3.      Badi’
Al-muhasanat al-Badi’iyat yang berjenis Tibaq seperti yang terdapat pada bait berikut ini تُضِـيءُ الظَّلامَ بِالعِشَاءِ كَأَنَّهَــا# مَنَـارَةُ مُمْسَى رَاهِـبٍ مُتَبَتِّــلِ, dalam bait itu terdapat kata (الظَّلامَ) yang berarti gelap dan kata(مَنَـارَةُ) yang berati terang atau bersinar, yang keduanya merupakan dua hal yang berlawanan.


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Syir, seringkali kita mendengar istilah tersebut dalam buku-buku sejarah kebudayaan bangsa arab terutama pra islam. Istilah tersebut secara bahasa diambil dari asal kata شعر يشعر شعرا وشعورا yang berarti mengetahui, merasakan, sadar, mengomposisi atau mengubah sebuah syair. Sedangkan menurut istilah definisi syiir adalah
اَلشِعْرُ هُوَ كَلاَمٌ يُقْصَدُ بِهِ الْوَزْنُ وَ الْقَافِيَةُ وَ يُعَبِّرُ عَنِ اْلأَخْيِلَةِ الْبَدِيْعَةِ.
Syi’ir adalah suatu kalimat yang sengaja disusun dengan menggunakan irama dan sajak yang mengungkapkan tentang khayalan atau imajinasi yang indah.
Syi’ir Arab itu muncul dan berkembang menuju kesempurnaan mulai dari bentuk ungkapan kata yang besar (mursal) menuju sajak dan dari sajak menuju syi’ir yang berbahar ramal, kemudian menuju syi’ir yang berbahar rajaz. Mulai fase inilah syi’ir Arab dikatakan sempurna dan dalam tempo yang cukup lama berkembang menjadi susunan kasidah yang terikat dengan aturan wazan dan qafiah.
Jika puisi Arab ditinjau dari segi bentuk dan isinya, maka terbagi menjadi bermacam-macam, antara lain: Puisi Multazim/ Tradisional, Puisi Tradisional adalah puisi yang masih terikat dengan aturan wazan qafiyah. Puisi Mursal/ Mutlak, Puisi Mursal adalah puisi yang terikat dengan satuan irama atau ta’filah, dan tidak terikat oleh wazan dan qafiyah tertentu.Puisi Mantsur/ bebas, Puisi bebas adalah puisi yang tidak terikat oleh aturan wazan dan qafiah yang ada.
Sedangkan puisi ditinjau dari segi maknanya: pertama, Puisi Qashashi. Yaitu puisi yang materinya menyebutkan tentang beberapa kejadian dan peristiwa yang ada dalam satu bentuk kisah, dengan disertai pembukuannya, pandangan-pandangan atau arahnya, dan diceritakan pula pelaku-pelakunya.  Puisi Tamsili. Kedua Puisi Tamsili adalah puisi yang isinya melukiskan suatu kejadian atau kisah, dengan mengemukakan padangan-pandangan dan peranan-peranan yang dilakukan oleh para pelakunya, serta ditamppilkan didepan penonton. Biasanya dilakukan dengan cara bercakap-cakap atau berdialog antara para pelaku tersebut. Ketiga Puisi Ghina-I, Yaitu penyairnya mensifati apa yang sedang terasa didalam hati, sanubarinya, dan apa yang terasa didalam jiwanya, baik gejolak tersebut berupa kesenangan, kebencian, kegembiraan, kesusahan, kemarahan maupun kerelaan
Sedangkan Ciri-ciri Syiir : Setiap bait terdiri dari emat baris, Setiap baris terdiri dari 8-14 suku kata, Semua baris adalah isi dan menggunakan bahasa kiasan. dijelaskan oleh Sukron Kamil dalam bukunya Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern bahwa kritik sastra (dalam istilah Arabnya naqd adab) kritik sastra  adalah mengkaji terhadap karya sastra yang menganalisis dan menjelaskannya agar bisa difahami dan dinikmati pembaca dan kemudian menilainya secara objektif.  Kritik sastra juga diartikan sebagai penilaian yang benar yang beranjak dari pemikiran yang baik dan indah dalam aktifitas sastra, yang dengan pemikiran indah itu kita dapat menilai suatu karya sastra itu bagus atau tidaknya. Berikut ini adalah analisis sastra dari Umru-Al Qaisy.


DAFTAR PUSTAKA

Busyrawi ,Ahmad,MadkhalIlaManahij an-Naqdi al-AdabiPadang:HaifaPers, 2009
Muzakki,Akhmad,Kesusastraan Arab; PengantarTeoridanTerapan, Yogyakarta :Ar-Ruzz Media, 2006
Ali, Affandi,Adang,StudiSejarah Islam, Jakarta: Binacipta, 1995
Maksum, Pengaruh Islam Terhadap Sastra Arab: StudiAnalisisTerhadapSyi`ir Hassan BinTsabit,Jakarta: NuansaMadani, 2002
Hamid,Mas`an, IlmuArudl dan qawafi, Surabaya: Al-Ikhlas, 1995
Sayyid, Al-Hasyimi, Ahmad, Jawahirul Adab, juz II, DArul-Fikri, cet. ke 26, Mesir, 1965
Kamil, Sukron,Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern,Jakarta: Rajawali Pers, 2009

Aidia,Zakii, Muallaqat yang tersisa dari sejarah ada pada syair,2012

http://zakiiaydia.com/2012/07/29/muallaqat-yang-tersisa-dari-sejarah-ada-pada-syair/ diakses 11/06/2013



[1]Akhmad Muzakki, Kesusastraan Arab; Pengantar Teori dan Terapan, (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2006), h. 41
[2]Ibid, h. 42
[3]Mas`an Hamid, Ilmu Arudl dan qawafi, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), hal 11
[4]Maksum, Pengaruh Islam Terhadap Sastra Arab: Studi Analisis Terhadap Syi`ir Hassan Bin Tsabit, (Jakarta: Nuansa Madani, 2002), hal. 18
[5]Ali dan Adang Affandi, Studi Sejarah Islam, (Jakarta: Binacipta, 1995), h. 45-46
[6]Zakii Aidia,, 2012, Muallaqat yang tersisa dari sejarah ada pada syair, http://zakiiaydia.com/2012/07/29/muallaqat-yang-tersisa-dari-sejarah-ada-pada-syair/ diakses 11/06/2013.
[8]Mas’an Hamid, yang dikutib dari Sayyid Ahmad Al-Hasyimi, Jawahirul Adab, juz II, DArul-Fikri, cet. ke 26, Mesir, 1965, hal.24
[9]Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2009), Hal.52.
[10]Ahmad Busyrawi , Madkhal Ila Manahij an-Naqdi al-Adabi (Padang:Haifa Pers, 2009), hal.73