Menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun
1974 tentang pokok-pokok Kepegawaian pada pasal 28 menyatakan bahwa “Pegawai
Negeri Sipil mempunyai Kode Etik sebagai pedoman sikap, tingkah laku dan
perbuatan di dalam dan luar kedinasan.” Dalam penjelasan Undang-Undang tersebut
dinyatakan bahwa dengan adanya Kode Etik ini, Pegawai Negeri Sipil sebagai aparatur
negara, abdi negara, dan abdi masyarakat mempunyai pedoman sikap, tingkah laku,
dan perbuatan dalam melaksanakan tugasnya dan dalam pergaulan hidup
sehari-hari. Sedangkan dalam pidato pembukaan Kongres PGRI XIII, Basuni sebagai
Ketua Umum PGRI menyatakan bahwa Kode Etik Guru Indonesia merupakan moral dan
pedoman tingkah laku guru warga PGRI dalam melaksanakan panggilan pengabdiannya
bekerja sebagai guru (PGRI, 1973).
A. Pengertian Kode Etik
Kode etika berasal dari dua kata
yaitu “kode” dan “etik/etika”. Kode berarti kumpulan peraturan atau prinsip
yang sistematis, sedangkan Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu Ethos
yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat-istiadat (kebiasaan).[1]
Etika merupakan suatu azas akhlak (moral) yang menilai benar dan buruk atau
baik. Etika adalah refleksi dari kontrol diri karena segala sesuatunya dibuat
dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu
sendiri.[2] Sedangkan kode etik itu sendiri
diartikan sebagai azas dan norma yang diterima oleh suatu kelompok tertentu
sebagai landasan tingkahlaku.[3]]
Menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok Kepegawaian
pada pasal 28 menyatakan bahwa “Pegawai Negeri Sipil mempunyai Kode Etik
sebagai pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan di dalam dan luar kedinasan.”
Dalam penjelasan Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa dengan adanya Kode
Etik ini, Pegawai Negeri Sipil sebagai aparatur negara, abdi negara, dan abdi
masyarakat mempunyai pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam
melaksanakan tugasnya dan dalam pergaulan hidup sehari-hari. Sedangkan dalam
pidato pembukaan Kongres PGRI XIII, Basuni sebagai Ketua Umum PGRI menyatakan
bahwa Kode Etik Guru Indonesia merupakan moral dan pedoman tingkah laku guru
warga PGRI dalam melaksanakan panggilan pengabdiannya bekerja sebagai guru
(PGRI, 1973).
Beda halnya kode etik menurut tokoh islam, H. Jalaludin salah seorang
tokoh thariqat Naqsabandiyah membagi kode etik guru kepada empat domain,
yaitu: domain kepribadian, domain pendagogik, domain profesional, dan domain
sosial. Sedangkan menurut Abu Hafs al-Suhrawardi, menyebutkan etika guru dengan
istilah adab dan syarat. Etika guru ini terdiri atas etika guru terhadap diri
sendiri dan etika guru kepada murid. [4]
Dari uraian dapat disimpulkan bahwa Kode Etik Profesi adalah norma-norma
yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam melaksanakan tugas
profesinya dan dalam hidupnya di masyarakat. Norma-norma tersebut berisi
petunjuk-petunjuk bagi para anggota profesi tentang bagaimana mereka
melaksanakan profesinya dan larangan-larangan, yaitu ketentuan-ketentuan
tentang apa yang tidak boleh diperbuat atau yang dilaksanakan oleh mereka.
Kode etik kode etik dipandang sebagai suatu bentuk aturan tertulis yang secara
sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada
saat yang dibutuhkan akan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi
segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense)
dinilai menyimpang dari kode etik.
B.
Tujuan Kode Etik
Tujuan kode etik profesi di antaranya adalah untuk
menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga dan memelihara kesejahteraan para
anggota, meningkatkan pengabdian para anggota profesi, meningkatkan mutu
profesi, meningkatkan mutu organisasi profesi, meningkatkan layanan di atas
keuntungan pribadi, mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin
erat, serta menentukan standar bakunya sendiri.
C.
Pelanggaran dan Sanksi Kode Etik
Pelanggaran kode etik adalah terjadinya penyimpangan yang
dilakukan oleh anggota kelompok profesi dari kode etik profesi di mata
masyarakat.
Beberapa
penyebab pelanggaran kode etik profesi adalah :
1) Idealisme dalam kode etik profesi
tidak sejalan dengan fakta yang terjadi di sekitar para profesional sehingga
harapan terkadang sangat jauh dari kenyataan.
2) Memungkinkan para profesional untuk
berpaling kepada kenyataan dan mengabaikan idealisme kode etik profesi. Kode
etik profesi bisa menjadi pajangan tulisan berbingkai.
3) Kode etik profesi merupakan himpunan
norma moral yang tidak dilengkapi dengan sanksi keras karena keberlakuannya
semata-mata berdasarkan kesadaran profesional.
Sanksi pelanggaran kode etik yang diberikan kepada pelaku
pelanggaran adalah.
a. Sanksi moral
Sanksi moral ini biasanya sebuah
ejekan atau celaan dari kawan-kawan seprofesi yang kemungkinan akan terjadi dia
diasingkan oleh teman-temannya.
b. Sanksi dikeluarkan dari organisasi
Sanksi dikeluarga dari organisasi
ini adalah sanksi yang paling berat yang diberikan kepada pelaku pelanggaran
kode etik profesi. Dikarenakan sebuah profesi harus menaati aturan atau kode
etik profesi.
Kasus pelanggaran kode etik akan ditindak dan dinilai oleh
suatu dewan kehormatan atau komisi khusus. Seringkali, kode etik juga berisikan
ketentuan-ketentuan profesional, seperti kewajiban melapor jika teman sejawat
melanggar kode etik.[6]
Namun, dalam praktek sehari-hari kontrol ini tidak berjalan mulus karena rasa
solidaritas dalam anggota-anggota profesi. Seorang profesional mudah merasa
segan melaporkan teman sejawat yang melakukan pelanggaran. Akan tetapi dengan
perilaku semacam itu solidaritas antar kolega ditempatka di atas kode etik
profesi.
Sebagai contoh dalam hal ini jika seorang anggota profesi
bersaing secara tidak jujur atau curang dengan sesama anggota profesinya, dan
jika dianggap kecurangan itu serius ia dapat dituntut di muka pengadilan. Pada
umumnya, karena kode etik merupakan landasan moral dan merupakan pedoman sikap,
tingkah laku, dan perbuatan maka sanksi terhadap pelanggaran kode etik adalah
sanksi moral. Barangsiapa melanggar kode etik akan mendapaat celaan dari rekan-rekannya,
sedangkan sanksi yang dianggap terberat adalah sipelanggar dikeluarkan dari
organisasi profesi
DAFTAR PUSTAKA
Ondi dan Aris Suherman, Etika
Profesi, Bandung: PT. Refika Aditama, 2010
Ramayulis,
Profesi dan Etika Keguruan, Jakarta: Kalam Mulia, 2013
Satori Djam’an, Profesi Keguruan, Jakarta: UT. Depdiknas. 2009
Soetjipto,
dan Raflis Kosasi. Profesi Keguruan. Edisi Keempat, Jakarta: Rineka
Cipta, 2009
Zubair Achmad Charris, Kuliah
Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1980
[2] Soetjipto,
dan Raflis Kosasi. Profesi Keguruan. Edisi Keempat, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2009), hlm. 148.