Umar bin khattab adalah orang
yang memiliki kecerdasan yang luar biasa, mampu memperkirakan hal-hal yang akan
terjadi pada msa yang akan datang. Tutur bahasanya halus dan bicaranya
fasih. Pengangkatan khalifah Umar bin
Khattab terjadi ketika Abu Bakar sakit yang kemudian ketika itu beliau
berwasiat kepada Umar sebagai waliy al ’had (putera mahkota). Khalifah
Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah selama 10 tahun dari tahun 634
sampai 644 (13-23 H). Umar bin khattab adalah khalifah yang melakukan
banyak pembaharuan dalam sistem pemerintah. Ia mneruskan lngkah abu bakar
melakukan perluasan wilayahislam keluarsemenanjung arabia. Pada masanya terjadi
perluasan wilayah isalm secra besar-besaran.
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Umar bin khattab adalah orang
yang memiliki kecerdasan yang luar biasa, mampu memperkirakan hal-hal yang akan
terjadi pada msa yang akan datang. Tutur bahasanya halus dan bicaranya
fasih. Pengangkatan khalifah Umar bin
Khattab terjadi ketika Abu Bakar sakit yang kemudian ketika itu beliau
berwasiat kepada Umar sebagai waliy al ’had (putera mahkota). Khalifah
Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah selama 10 tahun dari tahun 634
sampai 644 (13-23 H). Umar bin khattab adalah khalifah yang melakukan
banyak pembaharuan dalam sistem pemerintah. Ia mneruskan lngkah abu bakar
melakukan perluasan wilayahislam keluarsemenanjung arabia. Pada masanya terjadi
perluasan wilayah isalm secra besar-besaran.
2. Rumusan Masalah
a)
Apa peran Umar dalam pengembangan
peradilan islam pada masa dulu?
b)
Bagaimana sistem yang direalisasikan
Umar dalam membentuk kepemerintahan yang adil bagi rakyatnya?
c)
Adakah struktural resmi serta lembaga
yang diakui dan dipakai pada masanya
3. Tujuan Pembahasan
a)
Agar pembaca dapat mengetahui terlebih
dahulu sejarah hidup Umar serta peran penting beliau ketika menjadi khalifah
kedua.
b)
Untuk menjadikan tauladan jika dirasa
perlu diterapkan di era sekarang guna menegakan keadilan bagi rakyat.
c)
Agar pembaca dapat memahami bentuk
kepemerintahan masa dulu serta mengetahui sejarah dari orang-orang yang
terlibat dalam pembangunan peradilan islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mengenal
Sisi Sejarah Kehidupan Umar bin Khattab
Umar bin khattab adalah salah
satu seorang sahabat utama Rosulullah saw. Yang termasuk dalam khulafaur rasyidin.
Dia berasal dari suku Adi, suku yang terpandang dan mulia serta mempunyai
derajat tinggi di kalanagn orang-orang arab. Postur tubuhnya kuat, dan tegap.
Wataknya keras dan pemberani, juga memiliki disipin yang tinggi. Pada masa
remajanya di dikenal sebagai penggulat
perkasa dan sering menampilkan kemampuannya itu didalam pesrta tahunan di pasar
Urkaz yang terletak di Mekkah.[1]
Ia memeliki kecerdasan yang luar
biasa, mampu memperkirakan hal-hal yang akan terjadi pada msa yang akan datang.
Tutur bahasanya halus dan bicaranya fasih. Sebelum masuk isla, ia terpilih
menjadi wakil kabilahnya. Selalu diberi kepercayaan untuk diutus mewakili suku
Quraisy dalam melakukan perundingan dengan suku-suku lain. Memang, dia memiliki
keunggulan berdiplomasi di acara-acara perundinagn itu, di hadapan wakil
suku-suku lain. Keungulannya berdiplomasi itu akhirnya membuat dia populer
dikalngan berbagai suku di Arab. Khalifah Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah
selama 10 tahun dari tahun 634 sampai 644 (13-23 H). Pada masa Khalifah Umar
kekuasaan Negara Madinah makin menjadi luas meliputi semenanjung Arabia,
Palestina, Suria, Irak, Persia dan Mesir. Inilah sejarah kehidupan Umar sebelum
pada pembahasan tentang peradilan pada masanya, Umar dikenal admininstator yang terampil dan pandai,
sebagai seorang negarawan, beliau juga seorang pembaharu yang membuat kebijakan
mengenai pengelolaan wilayah kekuasaan yang luas itu.
Bahkan Michael H. Hart
menempatkannya sebagai salah stau oang yang sangat berpengaruh didunia. Hart menyatakan
bahwa Umar merupakan tokoh terbesar dari semua khalifah islam. Keberhasilan
Umar benar-benar mengesankan. Sesudah Nabi Muhammad ia merupakan tokoh utama
dalam hal penyerbuan oleh umat islam. Tanpa penaklukannya yang secepat kilat,
diragukan apakah islam bisa tersebar luas seperti sekarang ini[2]
Pengangkatan
khalifah Umar bin Khattab terjadi ketika Abu Bakar sakit yang kemudian ketika
itu beliau berwasiat kepada Umar sebagai waliy al ’had (putera mahkota).[3]
Saat itu pula muncul suara sumbang terutama dari kalangan bani umayyah. Mereka
ngeri tentang pritotipe umar yang tegas, tidak muda dikalahkan dan tidak mudah
ditipu. Tampaknya penunjukan waliy al-‘ahad oleh Abu Bakar hanya
bertujuan untuk lebih mempertimbangkan kemaslahatan umat. Sebab saat itu adalah
masa transisi selama dua tahun ditinggal Nabi. Abu Bakar sepertinya tidak ingin
kejadian saqifah terulang kembali setelah beliau wafat. Akan tetapi pada
kenyataannya penunjukan tersebut diamini atau disetujui oleh sahabat-sahabat
senior, setelah mereka mempertimbangkan segala sesuatunya dengan seksama.
Ketika
Abu Bakar wafat, para sahabat mengadakan musyawarah terbesar arah untuk mencari
dan menetapkan salah seorang sahabat utama untuk menjadi seorang khalifah. Para
sahabat sepakat untuk mengangkat umar menjadi Khalifah. Sebagai seorang
khalifah ia adalah pemimpin yang sangat bijaksana. Ia terkenal pemimpin yang
adil, juga mempelajari dasar-dasar hukum baik dalam Al quran dan hadist
Rasulullah. Dengan melakukan ijtihad ketika diperlukan.
Umar bin
khattab adalah khalifah yang melakukan banyak pembaharuan dalam sistem
pemerintah. Ia mneruskan lngkah abu bakar melakukan perluasan wilayahislam
keluarsemenanjung arabia. Pada masanya terjadi perluasan wilayah isalm secra
besar-besaran. Oleh karena itu, periode pemerintahan umar dikenal dengan period
perluasan wilayah. Ditingkat daerah umar memberikan wewenang dan otonomi yang
seluas-luasnya kepeda pemerintah daerah, guna mengemban dan menggali potensi
daerahnya.
Umar tampil
sebagai khilafah kedua pengganti abu bakar. Ia memerintah selama 10 tahun, ia
mengenalkan kebjakan islam dalam mengkomodir sahabat nabi dari kalangan Mekkah
dan Anshar. Mengangkat gubernur dari klan yang ikut mendukung penaklukan iraq,
serta mengangkat pegawai pemerintah dengan sistem gaji, mengizinkan mereka
menguasai sawah(lahan pertanian) yang ditinggalkan oleh pengusa sasania.
Menjalankan pemerintahn dengan sistem desantralisasi. Namun apapun kebijakan
politik yang dijlankam umar masih saja ada kelompok-kelompok yang tidak puas.
Kelompok oposisi dan kelompok aristokrat Quraisy kecewa terhadap kebijakan
tersebut. Menjelang akhir pemerintahan umar, konflik interes yang rumit mulai
berkembang, yang nantinya akan berpengaruh terhadap khalifah dan perkembangan
islam selanjutnya.
B. Sistem
Peradilan Pada Masa Khalifah Umar bin Khattab
Pranata Sosial lain yang dibangun oleh Khalifah Umar
adalah pelaksanaan administrasi pemerintah di daerah dengan menerapkan sistem
desentralisasi. Yaitu pelimpahan wewenang dan otonomi seluas-luasnya kepada
pemerintah daerah. Umar berjasa membentuk Majelis Permusyawaratan, Anggota
Dewan, dan memisahkan lembaga pengadilan. Wilayah kekuasaan Negara Madinah yang
luas di bagi ke dalam delapan propinsi, yaitu Madinah, Mekkah, Syria, Jazirah,
Bashrah , Kufah, Mesir, dan Palestina. Dengan demikian untuk beberapa propinsi
Khalifah Umar telah memisahkan jabatan peradilan dari jabatan eksekutif.
Hakim diberikan wewenang sepenuhnya untuk melaksanakan
peradilan yang bebas, dan bebas dari pengaruh dan pengawasan gubernur bahkan
Khalifah sekalipun. Sehubungan dengan itu, Umar membuat beberapa diktum
peraturan yang berkaitan dengan peradilan, yaitu:
a.
Hakim harus berlaku adil dalam memutus perkara
siapapun.
b.
Bebas dari rasa takut dan tidak memihak siapapun.
c.
Memperlakukan semua orang sama dihadapan hukum.
d.
Si penggugat harus menunjukkan bukti yang akurat.
e.
Si tertuduh harus disumpah jika menyangkal.
f.
Penyelesaian perselisihan secara damai boleh selama tidak
bertentangan dengan hukum.
g.
Keputusan yang telah mempunyai kepastian hukum tidak
boleh diubah bila kemudian terbukti salah.
h.
Keputusan harus berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
i.
Analogi atas kasus-kasus sejenis yang telah diputuskan
hukumnya atas dasar ijtihad,
j.
Jika tidak ada bukti maka perkara gugur,
k.
Setiap muslim dapat dihadirkan menjadi saksi kecuali
yang pernah dihukum atau pernah memberikan kesaksian palsu.
Para hakim
pada masa Umar bin Khattab merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Tapi jika
mereka tidak mendapatkan sesuatu di dalamnya, mereka bertanya kepada fuqaha
mujtahidin, apakah di antara mereka terdapat seorang yang mengetahui sesuatu
dalam Sunnah mengenai perkara-perkara yang dihadapi. Dalam kaitannya dengan
proses penetapan hukum, periode ini juga ditandai dengan munculnya diskursus
tentang siapa saja yang berhak menetapkan sebuah hukum. Diskursus ini
mengerucut pada karakteristik yang harus dipenuhi oleh mereka yang akan
menetapkan hukum yang dimaksud, yakni:[4]
1)
Sampai sejauh mana keahlian mereka dalam masalah hukum
2)
Berapa lama mereka bergaul dan berdampingan dengan
Nabi Muhammad Saw semasa beliau hidup
3)
Seberapa jauh pengetahuan mereka terhadap al-Quran
baik itu asbabun nuzulnya ataupun hadits serta asbabul wurudnya.
4)
Disamping syarat diatas, hafal al Quran dan hadits
juga menjadi dasar pertimbangan
Jika tidak didapatkan suatu ketetapan dengan jalan
tersebut, maka mereka berijtihad secara kolektif jika dalam topic
permasalahan terdapat dasar-dasar yang bersifat universal, dan berijtihad
secara individu dalam masalah-masalah sektoral yang khusus menyangkut individu.
Untuk lebih dijelasnya berikut ini dipaparkan beberapa contoh terkait dengan
kasus peradilan yang terjadi pada masa Umar bin Khattab, sebagaimana dikutip
dari beberapa referensi:
v Masalah
nasab
Seorang anak
mengaku di depan Umar bahwa seorang wanita adalah ibunya. Maka, wanita tersebut
datang dengan beberapa orang yang bersaksi bahwa dia belum menikah dan anak
tersebut telah berbohong. Umar pun memerintahkan untuk menghukum anak itu
dengan had qadaf (tuduhan zina). Lali, hal tersebut terdengar
oleh Ali, maka dia mengintervensi perkara ini dan menawarkan kepada anak
tersebut agar menikahi wanita yang diakui sebagai ibunya. Wanita itu pun
berteriak “ Allah, Allah, itu neraka, Demi Allah, dia adalah anakku”. Kemudian
dia mengakui bahwa keluarganya telah menikahinya dengan seseorang tanpa
kerelaannya, lalu ia mengandung anak ini darinya, dan suaminya pergi berperang
lalu terbunuh. Kemudian dia mengirimkan anaknya kepada kaum yang bersedia merawatnya,
dan dia tidak mengakuinya sebagai anak. Maka, Ali menetapkan bahwa nasab anak
tersebut dengan wanita yang ditunjuknya”.[5]
Di
masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, terjadi perkembangan baru di
bidang peradilan. Beliau yang pertama kali meletakan prinsip-prinsip peradilan
dengan menyusun risalah yang kemudian dikirimkan kepada Abu Musa Al Asy’ary.
Risalah disebut Dustur Umar atau Risalah Umar.[6]
Khalifah
Umar jugatelah berhasil memisahkan antara kekuasaan peradilan (yudikatif)
dengan kekuasaan pemerintahan (eksekutif), hal ini dipengaruhi oleh semakin
meluasnya wilayah kekuasaan Islam, semakin banyaknya beban-beban yang
menyangkut bidang peradilan, tugas-tugas yang dihadapi oleh pemerintahan dalam
bidang politik, sosial dan ekonomi, keharusan peningkatan perhatian dalam
urusan pemerintahan di daerah-daerah, serta telah berbagai corak ragamnya dan
pergaulan orang - orang. Umar juga orang pertama yang menetapkan hakim-hakim
daerah yang memiliki independensi dan otonomi yang tinggi. Mereka tidak
terpengaruh oleh siapapun dan pihak manapun dalam memutuskan sebuah perkara.
Untuk menjamin nilai-nilai persamaan dimata hukum, dan hak atas keadilan bagi
masyarakat, maka dibentuklah hakim banding (al Nadzar fi al madzalim)
dan pengadilan damai (al hisbah)[7]
Arab
dengan orang-orang lain pun sudah sangat erat. Maka khalifah Umar Bin Khatab
mengangkat Abu Darda’ sebagai qodi’ di Madinah, dan Syuraih Bin Qais Bin Abil
Ash di Mesir, Abu Musa Al Asy’ari di Kuffah, sedang untuk daerah Syam diberi
pula hakim sendiri. Menurut kitab Tarikhul Islam, Abu Musa menjadi hakim di
masa Umar hanya untuk Bashrah saja, sedang pengadilan di Kufah diserahkan
kepada Syuraih. Di masa Usman barulah Abu Musa menjadi hakim di Kufah.[8]
Oleh
karena tugas peradilan sebagian dari kewenangan umum itu, maka kepala negaralah
yang memegang wewenang ini dan dialah yang mengangkat para hakim untuk
perkara-perkara khusus. Karena itulah diwaktu Umar mengangkat beberapa orang
menjadi hakim, beliau membatasi wewenang mereka dalam perkara-perkara perdata saja,
perkara-perkara pidana dipegang sendiri oleh khalifah, atau oleh penguasa
daerah. Para khalifah senantiasa mengawasi perbuatan para penguasa daerah
danhakimnya. Serta terus-menerus memberikan petunjuk-petunjuk dan
bimbingan-bimbingan.
Umar
juga meletakkan dasar-dasar yang sistematis sebagai pegangan hakim dalam
menjalankan persidangan sebagaimana ditetapkan oleh khalifah Umar, yaitu:[9]
a. Memutus
perkara berdasarkan Al Qur’an dan sunah Rasul adalah suatu kewajiban.
b. Memutus
suatu perkara apabil telah jelas (kedudukannya).
c. Pihak yang
berperkara adalah sama dalam majlis, pandangan dan keputusannya
d. Bukti wajib
atas penggugat dan penuduh, sedang sumpah wajib atas pihak yang menolak gugatan
atau tuduhan.
e. Memberi
kesempatan untuk pembuktian, jika mampu membuktikan dan meyakinkan, dapat
dimenangkan.
f. Putusan tidak
dapat dibatalkan oleh apapun, kecuali adanya peninjauan kembali yang didasarkan
petunjuk kebenaran.
g. Orang-orang
Islam dianggap adil, kecuali yang pernah dianggap bersaksi palsu atau pernah
dijatuhi hukuman had atau yang diragukan asal usulnya.
h. Perkara yang
tidak terdapat ketentuan hukumnya di dalam Al Qur’an dan As Sunah,
diperbolehkan berijtihad dengan pendapat yang diyakini lebih diridhoi Allah dan
RasulNya, serta lebih mendekati kebenaran.
C. Penataan Struktur serta Kelembagaan dalam
Pemerintah
Ustman adalah khalifah yang
mula-mula membangun gedung pengadilan, yang di masa Abu Bakar dan Umar
masjidlah yang dijadikan sebagai tempat pengadilan. Di dalam masa Khulafa’ Rasyidin,
belum diadakan panitera dan buku register untuk mencatat putusan-putusan yang
telah dilakukan, hal ini disebabkan karena qhodi’lah yang melaksanakan sendiri
segala keputusan yang dikeluarkannya. Pada masa itu, hakim di samping bertindak
sebagai pemutus perkara, juga bertindak sebagai pelaksana hukum agar dijalani. Kebanyakan
hakim pada masa itu duduk di rumahnya sendiri menerima dan memutuskan perkara,
karena pada masa itu qhodi’ belum memiliki tempat khusus (gedung pengadilan).
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, masjidlah yang dijadikan tempat untuk
menyelesaikan segala sengketa, karena masjid-masjid pada masa itu tidak hanya
khusus untuk tempat bersembahyang, yang memang demikian sebenarnya fungsi masjid
merupakan pusat bagi memecahkan segala urusan sosial seperti peradilan, bahkan
merupakan kantor pusat pemeritahan, dan juga sebagai tempat perguruan tinggi.
Pada masa khalifah ar rasyidun
ini sistem pemerintahan tidak lagi berbentuk teokrasi karena khalifah itu bukan
sebagai wakil tuhan di bumi melainkan sebagai pengganti Nabi dalam menangani
urusan keagamaan dan keduniaan, sehingga ketika muncul persoalan baru mereka
memutuskannya melalui ijtihad dan musyawarah diantara sahabat
Ia menata struktur kekuasaan dan administrasi
pemerintahan Negara Madinah. Kekuasaan tertinggi yang bertugas membuat
keputusan atas masalah-masalah umum kenegaraan yang dihadapi Khalifah adalah
Majelis Permusyawaratan, yang dibentuk oleh Khalifah Umar. Anggota Majelis ini
terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar (suku Khazraj dan Aus). Dari sudut
ketatanegaraan majelis ini dapat disebut sebagai pemegang kekuasaan
legislative, sekalipun penentu keputusan akhir adalah Khalifah sendiri
Umar telah memberikan kontribusi
besar bagi penataan pemerintahan dan perkembangan peradaban islam yaitu Kekuasaan
tertinggi yang bertugas membuat keputusan atas masalah-masalah umum kenegaraan
yang dihadapi Khalifah yang disebut dengan Majelis Permusyawaratan. Anggota
Majelis ini terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar (suku Khazraj dan Aus).
Dari sudut ketatanegaraan majelis ini dapat disebut sebagai pemegang kekuasaan
legislative, sekalipun penentu keputusan akhir adalah Khalifah sendiri.
Umar selaku orang yamg pandangan
politiknya cemerlang dan jauh kedepan ia telah memberikan batasan-batasan yang
jelas tentang hak dan kewajiban khalifah sebagaimana yang disyartkan oleh Nabi.
Menurut umar tidak ada kebaikan pada suatu urusan yang diputuskan dengan tidak
musyawarah dan wajib atas orang islam
memusyawarahkan urusan mereka diantara mereka, dan diantara ornag-orang yang
memiliki pikiran tajam, dan tidak ada pemerintahan tanpa musyawarah sehingga
ini telah dilembagakan oleh umar sebagai institusi tertinggi pemegang kekuasaan
legislatif dengan anggotanya sahabat-sahabat senior dan para cendekiawan
lainnya.[10] berikut
nama-nma yang tercatat dalam anggota mejelis ini adalah:
1. Ustman
2. Ali
3. Abdurraman
bin auf
4. Muaz ibn
jabal
5. Ubay ibn
kaab
6. Zaid bin
tsabit
7. Dan
lain-lain.[11]
Susunan tata usaha negara pada
masa pemerinthan awal islam sangatlah sederhana, kemudian pada masa umar
berkembang dan semakin disempurnakan. Tata usaha negara meliputi: al dawamin, al
imarah ala albuldan, al barid, dan al syurthah. Serta wilayah kekusaannyapun
semakin luas. Untuk mengefektifkan pembinaan teritorial ia membuat kebijakan-kebijakan.
Ia menata struktur dan administrasi pemerintahan negara madinah. Ia juga
membentuk badan permusyawaratan yang bertugas membuat keputusan atas
masalah-masalah umat dan kenegaraan yang dihadapi khalifah, sedangkan kekuasaan
eksekutif dipegang langsung oleh khlaifah umar.
Guna
kelancaran jalannya administrasi, umar melengkapinya dengan berbagai
jawatan(dewan) yaitu:
1. Diwan
kharraj (dewan pajak) yang megurus dan mengelola administrasi pajak tanah
daerah yang ditaklukan.
2. Diwan al
ahdats (kepolosian) bertugas memelihara keterriban dan menindak
pelanggar-pelanggar hukum yang kemudian diadili oleh hakim.
3. Zazarat
al nafi’at (jawatan pekerjaan umum), bertugas
untuk membuat dan memelihara saluran-saluran
irigasi, jalan-jalan, jembatan-jembatan, rumah sakit, gedung-gedung pemerintah
dan lainnya.
4. Diwan al
jund (jawatan militer), berkewajiban menginventarisir dan mengelola
administrasi negara. Dewan ini didampingi oleh diwan umar, yang mencatat para
tentara asal-usul dan ketetapan gajinya berdasarkan pertimbangan pengadilan dan
lamanya mengabdi.
5. Bait al
mal yaitu lembaga perbendaharaan negara yang bertugas dan bertanggung jawab
atas pengelolaan keunagn negara.[12]
Keberhasilan umar tersebut pere
lamnen (seorang sarjana barat) menyebutnya sebagai seorang penakluk sekaligus
administrator.[13] Pada
masanya pula, rakyat memiliki hak politik yang luas mengontrol dan memberikan kontribusi
bagi jalannya pemerintahan. Sebaliknya
penguasa harus secara terbuka menerima aspirasi rakyat. Umar menegangkat
seorang gubernur yang disebut wali atau amir yang bertuga sebagai wakil
khalifahdi daerah. Tugas-tugasnya antara lain adalah:
1. Imam
shalat
2. Memelihara
keamanan dan ketertiban di daerah
3. Memimpin
eksepedisi
4. dan,
mengawasi pemungutan pajak.
Bahkan untuk pengangkatan
gubernur, umar selalu memeperhatikan suara dan aspirasi rakyat dari daerah yang bersangkutan. Dan umar
meminta laporan langsung dari rakyat tentang kinerja gubernur di derah mereka
tinggal.[14] Untuk lebih efektifnya jalannya pemerintahan
di daerah, maka diangkat pula katib (sekretaris), shahib al kharraj (pejabat
pajak), shahib ala ahdats (kepolosian), shahib al bait al mal (pejabat
keuangan), dan qadi (hakim).
Untuk menjamin adanya supremasi
hukum dan tegaknya keadilan didaerah, umar telah membentuk lembaga peradilan yang terpisah dari jabatan
eksekutif. Hakimpun diberikan wewenang sepenuhnya untuk melaksanakan pengadilan
yang bebas dari segala pengaruh kekeuasaan.tercatat beberapa hakim daerah saat
itu antara lain[15]:
1. syarih
ibn al harits (hakim kufah)
2. abu musa
al asy’ary (hakim basyrah)
3. qais ibn
abi al-ash (hakim mesir)
4. dan abu
darda’ (hakim madinah)
Salah
satu modus operandi yang dilakukan oleh kelompok yang tidak puas terhadap
kebijakan umar tersebut, mereka mengusulkan kepada umar untuk mendatangkan ahli
pedang dalam rangka memperkuat scurity
umat islam. Umar memasrahkan hal tersebut kepada mereka untuk mencarinya. Maka
didatangkanlah seorang majusy yang barnama Fairus, yang selanjutnya dikenal
dengan abu lu’luah atas prakarsa bani umayyah. Meskipun fairus tersebut
diangkat sebagai pengawal resmi khalifah namun ia tetap yang dimanfaatkan oleh
kelompokyanga tidak puas terhadap umar dengan menghasut fairus. Tampaknya
fairus pun termakan hasutan tersebut, sehingga ia berani maju kepada khalifah
meminta keadilan untuk membebaskan dia dari jizyah. Sementara umar bersikeras
tidak mengabulkan permintaan tersebut. Kesumat itu terus diprovokasi oleh kaum
munafiq tersebut, hingga akhirnya fairus bertindka nekad membunuh umar saat ia menjadi imam shalat
subuh.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pada masa khalifah ar rasyidun
ini sistem pemerintahan tidak lagi berbentuk teokrasi karena khalifah itu bukan
sebagai wakil tuhan di bumi melainkan sebagai pengganti Nabi dalam menangani
urusan keagamaan dan keduniaan, sehingga ketika muncul persoalan baru mereka
memutuskannya melalui ijtihad dan musyawarah diantara sahabat. .tercatat
beberapa hakim daerah saat itu antara lain[16]:
5. syarih
ibn al harits (hakim kufah)
6. abu musa
al asy’ary (hakim basyrah)
7. qais ibn
abi al-ash (hakim mesir)
8. dan abu
darda’ (hakim madinah)
Pada masa
khalifah ar rasyidun ini sistem pemerintahan tidak lagi berbentuk teokrasi
karena khalifah itu bukan sebagai wakil tuhan di bumi melainkan sebagai
pengganti Nabi
DAFTAR PUSTAKA
Tamam M Badrut, jejak
manusia pilihan, jawa timur: MASmedia Buana Pustaka, 2009
Michael H. Hart,
seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah. Terj. Mahbub junaidi
jakarta: pustaka jaya, 1993
Hasan Nor, Sejarah
Peradaban Islam Surabaya: Pena Salsabila, 2013
Naim Ngainum, Sejarah
Pemikiran Hukum Islam, yogyakarta: penerbit TERAS Komplek POLRI Gowok Blok
D 2 No. 186, 2009
Samir Aliyah, alih bahasa Asmuni
Solihan Zamakhsyari, Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam
Islam, Jakarta: Khalifa, 2004
TM Hasby as
siddiqy, peradilan dan hukum acara islam
Asadullah al
faruq, hukum acara peradilan islam
Harun Nasution, Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI Press, 1980
Tahir Muhammad, Sejarah
Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, 1981
Suyuthi. J Pulungan,
fiqh siyasah, jakarta: grafindo persada, 1989
[2] Michael H. Hart, seratus tokoh yang paling
berpengaruh dalam sejarah. Terj. Mahbub junaidi (jakarta: pustaka jaya, 1993),
hlm. 164.
[4] Ngainum Naim, Sejarah Pemikiran Hukum
Islam, (yogyakarta: penerbit TERAS Komplek POLRI Gowok Blok D 2 No. 186,
2009), hlm. 59
[5] Samir Aliyah, alih bahasa Asmuni Solihan
Zamakhsyari, Sistem Pemerintahan, Peradilan dan Adat dalam Islam,
(Jakarta: Khalifa, 2004), hlm. 297.
[8] TM Hasby as siddiqy, peradilan dan hukum acara
islam, hlm. 16
[11] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspek, (Jakarta: UI Press, 1980), Hlm. 58.
[12] Nor Hasan, Sejarah Peradaban Islam
(Surabaya: Pena Salsabila, 2013), Hlm. 48-49
[13] Muhammad Thahir, Sejarah Islam,
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), Hlm. 55
[14] Suyuthi. J Pulungan, fiqh siyasah, (jakarta:
grafindo persada, 1987), hlm. 125
No comments:
Post a Comment