Kata “madrasah” adalah isim makan dari kata darasa
–yadrusu –darsan wa durusan wa dirasatan, yang berarti: terhapus, hilang
bekasnya, menghapus, menjadi using, melatih, mempelajari. Dilihat dari
pengertian ini, maka madrasah berarti merupakan tempat untuk mencerdaskan
para peserta didik, menghilangkan ketidak tahuan atau membebaskan kebodohan
mereka sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. penjelasan lebih lanjut silahkan baca makalah dibawah ini.
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Agama islam adalah agama yang diturunkan
terahir oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW, mulai saat itu ajaran Islam pun di
kenalkan di dalam masyarakat, selain itu Madrasah adalah salah satu jenis
tempat pendidikan yang ada di Indonesia, adapun sistem pendidikan dalam
madrasah adalah mengombinasikan antara pendidikan agama dan pendidikan mon
agama. Madrasah muncul pada pertengahan abad ke 20 yang tujuan utamanya ingin
mengembangkan pendidikan islam, dan menyebar luaskan ajaran-ajaran islam.
Pendidikan madrasah untuk saat ini
sudah banyak mengalami kemajuan, sehingga terbentuk seperti sekolah-sekolah
modern adapun bentuk-bentuk atau tingkatan-tigkatanya adalah madrasah
ibtidaiyah, tsanawiyah dan Aliyah, dan dengan penbagian-pembagian tingkatan
tersebut di yakini mampu mempermudah santri atau pelajar-pelajar yang belajar
dimadrasah.
Kemunculan madrasah dipandang
menjadi salah satu indikator penting bagi perkembangan positif kemajuan
prestasi budaya umat Islam, mengingat realitas pendidikan, sebagaimana terlihat
pada fenomena madrasah yang sedemikian maju saat itu, adalah cerminan dari
keunggulan capaian keilmuan, intelektual dan kultural yang mampu mengendalikan
tingkah laku manusia, sehingga manusia berbuat sebagaimana fitrahnya.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana konsep
pendidikan madrasah?
2.
Bagaimana perkembangan
madrasah?
3.
Bagaimana tingkat
pendidikan madrasah?
4.
Bagaimana
kurikulum pendidikan madrasah?
C.
TUJUAN
PENULISAN
1.
Untuk
mengetahui konsep pendidikan madrasah.
2.
Untuk
mengetahui perkembangan madrasah.
3.
Untuk
mengetahui tingkat pendidikan madrasah..
4.
Untuk
mengetahui kurikulum pendidikan madrasah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Pendidikan Madrasah
Pendidikan adalah segala upaya, latihan dan sebagainya untuk
menumbuh kembangkan segala potensi yang ada dalam diri manusia baik secara
mental, moral dan fisik untuk menghasilkan manusia yang dewasa dan serta
tanggung jawab sebagai mahluk yang berbudi luhur. [1]
Kata “madrasah” adalah isim makan dari kata darasa
–yadrusu –darsan wa durusan wa dirasatan, yang berarti: terhapus, hilang
bekasnya, menghapus, menjadi using, melatih, mempelajari. Dilihat dari
pengertian ini, maka madrasah berarti merupakan tempat untuk mencerdaskan
para peserta didik, menghilangkan ketidak tahuan atau membebaskan kebodohan
mereka sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.[2]
Dikota Malang, dalam suatu lokasi terdapat tiga jenjang madrasah
yaitu madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan madrasah aliyah, yang
kesemuanya berstatus negeri. Madrasah Ibtidaiyah Negeri
Malang, satu diantara tiga jenis jenjang pendidikan yang unggul. Prestasi yang
dicapai saat ini melebihi sekolah dasar umum lainnya. Atas dasar peristiwa itu ternyata berhasil menarik
minat cukup luas dari berbagai lapisan masyarakat.
Konsep madrasah terpadu yang diintrodusir oleh pemerintah pusat
dalam hal ini Departemen Agama, sebagaimana yang tertuang dalam Master Plan
Madrasah Terpadu, berharap agar melalui implementasi konsep Madrasah Terpadu,
ketiga jenis jenjang madrasah itu, secara kualitatif menjadi unggulan, baik
kualitas input, proses, maupun output. Lebih lanjut, ketiga jenis
Madrasah yang berstatus negeri dan unggul ini menjadi motor penggerak bagi
madrasah lainnya di Jawa Timur yang
berjumlah tidak kurang dari 17 % dari keseluruhan lembaga pendidikan tingkat
dasar dan menengah yang ada.
Tatkala awal dicanangkannya konsep baru ini, yakni pada tahun 1999,
kondisi kualitatis ketiga jenjang mandrasah tersebut tidak sama, secara
berturut-turut –dari pengamatan awal –adalah MIN, MTsN, dan yang terakhir
adalah MAN. Perbedaan kualitas ini berdampak pada minat masyarakat terhadap ketiga jenjang madrasah itu, dinilai berkualitas tinggi
selalu diperebutkan masyarakat dari berbagai kalangan. Sebaliknya Madrasah
Aliyah Negeri yang berada di satu lokasi itu, oleh karena kualitasnya belum memperoleh
pengakuan masyarakat tidak terlalu banyak peminatnya, bahkan oleh lulusan MTsN
yang berada di lokasi itu sendiri. Tegasnya, perbedaan kualitatis ini
mengakibatkan lulusan MIN yang ungul tak
menjamin bersedia meneruskan ke MTsN, dan demikian juga lulusan MTsN ke MAN.
Yang diinginkan konsep madrasah terpadu ini adalah:
1.
Melahirkan
keterpaduan kualitas yang merata ketiga jenjang madrasah tersebut, sehingga memilki daya tarik yang sama kuatnya
dari masyarakat peminat madrasah;
2.
Memiliki konsep
kurikulum yang terpadu diantara ketiga jenjang madrasah, sehingga ketiga
jenjang madrasah ini merupakan kelanjutan secara padu utuh;
3.
Sebagai konsekuensinya
melahirkan keterpaduan itu maka
perlu di bangun manajemen, strukrturr organisasi/kelembagaan,
arah pengembangan, dann pendanaan yang mendukung konsep keterpaduan tersebut.[3]
Kekuatan madrasah, selain berasal dari masyarakat simpatisannya, juga
berasal dari lembaga atau perorangan. Orang mendirikan madrasah, jarang sekali
dan bahkan tidak ditemukan, dimotivasi oleh keinginan memperoleh keuntungan
ekonomis dan bersifat transaksional. Bahkan guru yang mengajarpun, tidak jarang yang semata-mata dimotivasi oleh panggilan
keimanan, bahkan mengajar merupakan panggilan dan kewajiban dari agamanya.[4]
Konsep madrasah bagi masyarakat sesungguhnya cukup idea. Lembaga
pendidikan ini dipandang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama
masyarakat Islam. Lembaga pendidikan ini secara konseptual ingin mengembangkan
semua ranak kehidupan yang lebih sempurna, yaitu aspek intelektual, spiritual,
social, dan keterampilan sekaligus.ranah intelektual dikembangkan lewat ranah
umum, seperti Matematika, IPA, dan lain-lain.
Aspek spiritual dan social dikembangkan melalui pendidikan agama yang
bersumberkan kitab suci dan hadits nabi dan keterampilan ditempuh melalui
pelatihan-pelatihan di sekolah maupun di lingkungan keluarga lewat
penugasan-penugasan.
Konsep ini ternyata kahir-akhir ini mendapatkan momentumnya setelah
mulai diakui dan digalakkan tentang konsep kedewasaan yang lebih luas, seperti
kedewasaan intelektual, kedewasaan spiritual, dan emosional serta kedewasaan
social. Terkait dengan lingkup mata pelajaran madrasah yang cukup luas
disbanding sekolah umum, seringkali melahirkan kekhawatiran dan bahkan
pandangan negative karena dianggap terlalu memberatkan dan membebani para
siswa. Kekhawatiran itu sesungguhnya tidak perlu terjadi jika mereka mau
melihat pada kenyataan, tidak sedikit siswa madrasah yang jauh lebih unggul
bilamana dibandingkan dengan prestasi siswa sekolah umum. Jika konsep madrasah
ini diterima secara penuh sebagai satu pendidikan nasional, maka yang perlu
dibenahi adalah bagaimana lembaga pendidikan ini tidak diposisikan secara
marginal dan segera diperlakukan secara adil.[5]
B.
Perkembangan
Madrasah
Tumbuh dan berkembangnya madrasah di Indonesia tidak bisa
dipisahkan dengan tumbuh dan berkembangnya ide-ide pembaharuan pemikiran di
kalangan umat Islam etrutama pada awal
abad ke-20 dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan
Hindia Belanda.
Munculnya pergerakan pembaharuan di Indonesia pada awal abad ke-20
dilatar belakangi oleh kesadaran dan semangat yang kompleks. Streenbrink empat
factor yang mendorong gerakan pembaharuan Islam di Indonesia awal abad ke-20 antara lain:
1)
Factor
keinginan untuk kembali pada Al-Quran dan al-Hadits;
2)
Foktor semangat
nasionalisme dalam melawan penjajah;
3)
Factor
memperkuat basis gerakan social, ekonomi, budaya, dan politik; dan
4)
Factor
pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.
Meskipun demikian, ia menyatakan bahwa empat factor tersebut tidak
secara terpadu mendorong gerakan pembaharuan, melainkan disebabkan oleh salah
satu antara dua factor tersebut. Dengan kata lain, menurut Streenbrink, gerakan
pembaharuan tersebut memiliki alasan atau motif yang berbeda-beda.
Dalam batas yang cukup jauh usaha pembaharuan itu dilakukan sejalan
dengann gerakan pembaharuan di Timur Tengah, sehingga dapat dikatakan bahwa
pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia dipengaruhi secara cukup
kuat oleh tradisi madrasah di Timur Tengah masa modern. Namun demikian, dalam
kenyataan politik ditanah air pada zaman pemerintahan Hindia Belanda
mengembangkan system pendidikan sekolah, agaknya cukup beralasan untuk
berasussi bahwa perkembangan madrasah di Indonesia juga merupakan respon atas
kebijakan dan politik pendidikan pemerintah Hindia pada masa itu.[6]
Keika memasuki era Orde Baru,
dunia pendidikan di Indonesia sudah berkembang dalam system yang dua
listik antara pendidikan umum (nasional) di satu pihak dan pendidikan agama (Islam) di lain pihak,
dengan posisi pendidikan umum lebih dominan. Dualism itu sendiri merupakan
produk penjajahan Hindia Belanda, namun sampai pada batas tertentuia juga
merupaka refleksi dari pergumulan dua basis politik, Islam dan Nasionalisme,
yang sejak awak kemerdekaan tidak bisa dielakkan telah menjadi titik
perbenturan yang cukup serius khususnya dalam penentuan dasar dan bentuk Negara
Indonesia. Meskipun dalam kenyataannya terjadi rekonsilasi dalam formula Negara
yang berdasarkan Pancasila, tetapi implikasi dualism ideologis itu terhadap
dunia pendidikan tampak tidak bisa dihapuskan dalam masa pendek.[7]
Usaha memadukan system pendidikanyang dualistic itu, sebagai usaha
dalam era Orde baru, bukan merupakan uasaha yang baru sama sekali. Pada tingkat
yang sangat signifikan, usaha keaah itu, seudah dimulai sejak paruh abad ke-19
ketika gerakan modernism Islam mulai berkembang di Indonesia. Pada tahap ini
usaha memperbarui pendidikan Islam dengan memasukkan mata-mata pelajaran baru
(umum) dan memperkenalkan system didaktikmetodik ala “Belanda” sudah mulai
dilakukan, disamping usaha mempengaruhi kebijakan pemerintah Hindia Belanda
untuk memasukkan pendidikan agama dalam system pendidikan pribumi yang
dikembangkannya.[8]
1.
Masa Penjajahan
dan Orde Lama
Pada
masa penjajahan colonial belanda, madrasah memulai proses pertumbuhannya atas
dasar semangat pembaharuan di kalangan umat Islam. Latar belakang kelahiran
madrasah itu bertumpu pada dua factor penting. Pertama, pendidikan Islam
tradisional dianggap kurang sistematis dan kurang memberi kemampuan pragmatis
yang memadai. Dan kedua, laju perkembangan sekolah-sekolah ala Belanda di
kalangan masyarakat cenderung meluas dan membawakan watak klularisme sehingga
harus diimbangi dengan system pendidikan Islam yang memilki model dan
organisasi yang lebih teratur dan terencana. Pertumbuhan madrasah sekaligus
menunjukkan adanya pola response umat Islam yang lebih progresif, tidak
semata-mata difensif, terhadap politik Hindia Belanda. Dengan berbagai variasi,
sesuai dengan basis pendukungnya, madrassah tumbuh diberbagai lokasi dalam
jumlah yang dari waktu kewaktu semakin banyak.
Kebijakan
pemerintah Hindia Belandavsendiri terhadap pendidikan Islam pada dasarnya
bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin
terpelajar. Bagi pemerintah penjajah “pendidikan di Hindia Belanda tidak hanya
bersifat pedagogis cultural, tetapi juga bersifat spikologis politik.”pandangan
ini di satu pihak menimbulkan kesadaran bahwa pendidikan dianggap begitu vital
dalam upaya mempengaruhi budaya masyarakat. Melalui pendidikan ala Belanda
dapat diciptakan kelas masyarakat terdidik yang berbudaya barat sehingga akan
lebih akomodif terhadap kepentingan penjajah. Tetapi dipihak lain, pandangan
diatas juga mendorong pengawasan yang berlebihan terhadap perkembangan lembaga
pendidikan Islam seperti madrasah. Walaupun pengorganisasian madrasah
menerimapengaruh dari system sekolah Belanda, tetapi muatan keagamaan dilembaga
itu pada akhirnya akan menambah semangat kritis umat Islam terhadap system
kebudayaan yang dibawakan oleh kaum penjajah.
Salah
satu kebujakan pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi pendidikan Islam
adalah penerbitan Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru agama
untuk memiliki surat izin dari pemerintah. Tidak setiap orang, meskipun ahli
ilmu agama, dapat mengajar dilembaga-lembaga pendidikan. Latar belakang
Ordonansi Guru ini sepenuhnya bersifat politis untuk menekan sedemikian rupa
sehingga pendidikan agama tidak menjadi factor pemicu perlawanan rakyat
terhadap penjajah. Pengalaman penjajah yang direpotkan oleh perlawanan rakyat
di Celegon tahun 1888 merupakan pelajaran serius bagi pemerintah Hindia Belanda
untuk menerbitkan Ordonasi Guru ini.
Ordonasi
Guru dinilai umat Islam sebagai kebijakan yang tidak sekedar membatasi
perkembangan pendidikan Islam saja, tetapi sekaligus menghapus peran penting
Islam di Indonesia. Dalam banyak kasus sering terjadi guru-guru agama
dipersalahkan ketika menghadapi gerakan kristenisasi dengan alasan ketertiban
dan keamanan. Dalam peristiwa di Tanah Batak misalnya pemerintah sempat
menggunakan ordonasi guru itu untuk menyingkirkan guru-guru agam Islam dari
persaingan dengan pengajur (missionaries/zending) Kristen. Meskipun keputusan
itu akhirnya dipersalahkan oleh pemerintah Hindia Belanda, tetapi hal itu
merupaka contoh dari efek negative pemberlakuan Ordonansi Guru.
Dalam
perkembangnnya, Ordonansi Guru itu sendiri mengalami perubahan dari keharusan
guru agama mendapatkan surat izin menjadi keharusan guru agama itu cukup
melapor dan member tahu saja. Ordonansi Guru yang diperbarui ini diberlakukan
secara lebih luas diberbagai wilayah, baik dijawa maupun diluar jawa. Namun
demikian, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya, Ordonansi Guru ini pun sering
kali disalahgunakan oleh pemerintah local untuk menghambat gerakan umat Islam.
Peristiwa yang dialama oleh kalangan
Muhammadiyah pada tahun 1926 di Sekayu Palembang membuktikan adanya maksud
negative dibalik Ordonansi Guru tersebut. Pada waktu itu, pengurus pusat akan
meresmikan Sekolah Muhammadiyah setempat tetapi tiba-tiba dilarang padagal
sebelunya sudah member tahukan rencana kegiatan itu kepada Residen Palembang.
Selain
Ordonansi Guru, pemerintah HIndia Belanda juga memberlakukan Ordonansi Sekolah
Liar. Ketentuan ini mengatur penyelenggaraan pendidikan harus terlebih dahulu
mendapat izin dari pemerintah. Laporan-laporan mengenai kurikulum dan keadaa
sekolah pun harus diberikan secara berkala. Ketidak lengkapan laporan sering
dijadikan alasan untuk menutup kegiatan pendidikan dikalangan masyarakat
tertentu, karena kebiasaan lembaga pendidikan Islam yang masih belum tertata,
Ordonasi itu dengan sendirinya menjadi factor penghambat. Reaksi nagatif dari
Ordonansi Sekolah Liar ini juga datang dari penyelenggara pendidikan di luar
gerakan Islam.
Reaksi
umat Islam terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda itu dapat dikelompokkan
kedalam dua corak:
1.
Defense, dan
2.
Progressif.
Corak defensive ditunjukkan dengan
menghindari sejauh mungkin pengaruh politik Hindia Belanda itu terhadap system
pendidikan Islam. Sikap ini terlihat dalam system pendidikan tradisional pesantren yang sepenuhnya mengambil jarak dengan
pemerinta penjajah. Disamping mengambil lokasi di daerah-daerah terpencil,
pesantern juga mengembangkan kurikulum sendiri yang hampir seluruhnya
berorentasi pada pembinaan mental keagamaan. Pesantren dalam hal ini
memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan yang menjadi benteng pertahanan
umat atas penetrasi penjajah, khususnya dalam bidang pendidikan. Dengan posisi
defensif ini, pesantren dalam kenyataannya memang bebas dari campur tangan
pemerintah Hindia Belanda, meskipun dengan resiko harus terasing dari
perkembangan masyarakat modern.
Corak response umat Islam juga
bersifat progressif, yang memandang
bahwa tekanan pemerintag Hindia Belanda itu merupakan kebijakan
diskriminatif. Usaha umat Islam dalam bidang pendidikan dengan demikian adalah
bagaimana mencapai kesetaraan dan
kesejajaran, baik dari sudut kelembagaan maupun kurikulum. Ketergantungan dalam
tekanan penjajah jusrtu akan semakan melemahkan posisi umat Islam itu sendiri.
Begitupun sebaliknya, membiarkan sikap defensive terus menerus, akan semakin
member ruang yang lapangan bagi gerakan
pendidikan pamerintah hindia Belanda.[9]
Perkembangan madrasah pada masa Orde
lama –sejak awal kemerdekaan- sangat terkait dengan peran Departemen Agama yang
mulai resmi berdiri 3 Januari 1946.
Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di
Indonesia. Orientasi usaha Departemen Agama dalam bidang pendidikan Islam
bertumpu pada aspirasi umat Islam agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah,
di samping pada pengembangan madrasah itu sendiri. Secara lebih spesifik usaha
ini ditangani oleh satu bagian khusus yang mengurusi masalah pendidikan agama.
Dalam salah satu dokumen disebutkan bahwa tugas bagian pendidikan di lingkungan
Departemen Agama itu meliputi:
1.
Memberi
pelajaran agama di sekolah negeri dan partiklir.
2.
Memberi
pengetahuan umum di madrasah, dan
3.
Mengadakan
Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN).
Salah satu perkembangan madrasah
yang cukup menonjol pada masa Orde Lama adalah didirikan dan dikembangkannya
Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Kedua
madrasah ini menandai perkembangan yang sangat penting di mana madrasah
dimaksudkan mencetak tebaga-tenaga professional keagamaan, di samping mempersiapkan
tenaga-tenaga yang siap mengembangkan madrasah.
Sejarah perkembangan PGA pada masa
Orde Lama bermula dari Program Departemen Agama yang ditangani oleh Drs.
Abdullah Sigit ssebagai penanggung jawab bagian pendidikan. Pada tahun 1950,
bagian itu membuka lembaga pendidikan yang dapat dikatakan sebagai madrasah
professional keguruan:
1.
Sekolah Guru
Agama Islam (SGAI), dan
2.
Sekolah Guru
Hakim Agma Islam (SGHAI).
SGHAI terdiri dari dua jenjang:
a)
Jenjang jangka
panjang yang ditempuh selama 5 tahun dan diperuntukkan bagi siswa tamatan
SR/MI, dan
b)
Jenjang jangka
pendek yang ditempuh selam 2 tahun yang diperuntukkan bagi tamatan SMP/Madrasah Tsanawiyah
Sedangkan
SGHAI ditempuh selama tahun dan
diperuntukkan bagi tamatan SMP/Madrasah Tsanawiyah. SGHAI memiliki empat bagian:
a)
Bagian a
mencetak guru kesusasteraan,
b)
Bagian b
mencetak guru ilmu alam/ilmu pasti,
c)
Bagian c
mencetak guru agama, dan
d)
Bagian d
mencetak gutu pengadilan agama.
2.
Masa Orde Baru
Secara
umum diakui bahwa kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai pendidikan agama,
termasuk madrasah, bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua decade
terakhir 1980-an – 1990-an. Pemerintah memandang bahwa lembaga itu harus
dikembangkan dalam rangka pemerataan kesempatan dan peningkatan mutu
pendidikan. Kebijakan seperti ini secara lebih kuat tercermin dalam komitmen Orde Baru untuk
penyelenggaraan pendidikan agama sebagai bagian yang tidak terpisah dari Sistem
Pendidikan Nasional.
Pada
awal-awal pemerintahan Orde Baru, kebijakan dalam beberapa hal mengenai
madrasah bersifat melanjutkan dan memperkuat kebijakan Orde Lama. Pada tahap
ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem pendidika secara
nasional, tetapi merupakan lembaga pendidikan otonom dibawah penguasaan Menteri Agama.
Pada
tahap bberikutnya, antara akhir 70-an sampai dengan akhir 80-an, pemerintah
Orde Baru mulai memikirkan kemungkinan mengintegrasikan madrasah kedalam system
Pendidikan Nasional. Usaha menuju kearah seperti ini agaknya tidak sederhana
secara konstitusional pendidikan nasional masih diatur oleh UU No. 4 Tahun 1950
jo. No. 12 Tahun 1954 yang mengabaikan pendidikan madrasah.
Memasuki
sekade 90-an, kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai madrasah ditunjukan
secara penuh untuk membangun satu system pendidikan nasional yang utuh. Dengan
satu system yang utuh dimaksudkan bahwa pendidikan nasional tidak hanya
tergantung pada pendidikan jalur sekolah tetapi juga memanfaatkan jalur luar
sekolah. Untuk tujuan ini, pemerintah Orde Baru melakukan langkah konkrit
berupa penyusunan Undang-Undang No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan sekaligus menggantikan UU No. 4 Tahun 1950 jo. No. 12 Tahun 1954.
Dalam konteks ini, penegasan definitive tentang madrasah diberikan melaui
keputusan-keputusan yang lebih operasional dan dimasukkan dalam kategori
pendidikan sekolah tanpa menghilangkan karakterk keagamaannya. Melalui upaya
ini dapat dikatakan bahwa madrasah berkembang secara terpadu dalam system
pendidikan nasional.
Perkembangan
kebijakan terhadap madrasah dalam empat decade terakhir bagaimanapun tidak bisa
diisolasikan dari politik Orde Baru terhadap Islam. Dapat dipastikan bahwa
tingkat apresiasi pemerintah terhadap madrasah mencerminkan tingkat dan pola
hubungan Negara dan Islam. Dalam situasi dimana hubungan Islam dengan Negara
mengarah pada konflik, perkembangan madrasah cenderung terbatasi; bahkan
mungkin terancam eksistensinya. Begitupun sebaliknya, dalam kondisi hubungan
Negara dan Islam bersifat integrative, kebijakan orde baru terhadap madrasah
tampak sangat positif dengan menempatkan madrasah secara konsisten dalam
sistempendidikan nasional.[10]
C.
Tingkat
Pendidikan Madrasah
1.
Prasekolah
Dari kelahiran sampai usia 3 tahun, kanak-kanak Indonesia pada
umumnya tidak memiliki akses terhadap pendidikan formal. Dari usia 3 sampai 4
atau 5 tahun, mereka memasuki taman kanak-kanak. Pendidikan ini tidak wajib
bagi warga negara Indonesia, tujuan pokoknya adalah untuk mempersiapkan anak
didik memasuki sekolah dasar. Dari 49.000 taman kanak-kanak yang ada di
Indonesia, 99,35% diselenggarakan oleh pihak swasta. Periode taman kanak-kanak
biasanya dibagi ke dalam "Kelas A" (atau Nol Kecil) dan "Kelas
B" (atau Nol Besar), masing-masing untuk periode satu tahun.
2.
Sekolah dasar
Kanak-kanak berusia 6–11 tahun memasuki sekolah dasar (SD) atau
madrasah ibtidaiyah (MI).Tingkatan pendidikan ini adalah wajib bagi seluruh
warga negara Indonesia berdasarkan konstitusi nasional. Tidak seperti taman
kanak-kanak yang sebagian besar di antaranya diselenggarakan pihak swasta,
justru sebagian besar sekolah dasar diselenggarakan oleh sekolah-sekolah umum
yang disediakan oleh negara (disebut "sekolah dasar negeri" atau
"madrasah ibtidaiyah negeri"), terhitung 93% dari seluruh sekolah
dasar/madrasah ibtidaiyah yang ada di Indonesia[5]. Sama halnya dengan sistem
pendidikan di Amerika Serikat dan Australia, para siswa harus belajar selama
enam tahun untuk menyelesaikan tahapan ini. Beberapa sekolah memberikan program
pembelajaran yang dipercepat, di mana para siswa yang berkinerja bagus dapat
menuntaskan sekolah dasar selama lima tahun saja.
3.
Sekolah
menengah pertama
Sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs) adalah
bagian dari pendidikan dasar di Indonesia. Setelah tamat dari SD/MI, para siswa
dapat memilih untuk memasuki SMP atau MTs selama tiga tahun pada kisaran usia
12-14. Setelah tiga tahun dan tamat, para siswa dapat meneruskan pendidikan
mereka ke sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), atau
madrasah aliyah (MA).
4.
Sekolah Menengah
Atas
Jumlah sekolah menengah atas di Indonesia sedikit lebih kecil dari
9.000 buah[6].Di Indonesia, pada tingkatan ini terdapat tiga jenis sekolah,
yaitu sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan
madrasah aliyah (MA). Siswa SMA dipersiapkan untuk melanjutkan pendidikannya di
perguruan tinggi, sedangkan siswa SMK dipersiapkan untuk dapat langsung
memasuki dunia kerja tanpa melanjutkan ke tahapan pendidikan selanjutnya.
Madrasah aliyah pada dasarnya sama dengan sekolah menengah atas, tetapi porsi
kurikulum keagamaannya (dalam hal ini Islam) lebih besar dibandingkan dengan sekolah
menengah atas.
5.
Pendidikan Tinggi
Setelah tamat dari sekolah menengah atas atau madrasah aliyah, para
siswa dapat memasuki perguruan tinggi. Pendidikan tinggi di Indonesia dibagi ke
dalam dua kategori: yakni negeri dan swasta. Kedua-duanya dipandu oleh
Kementerian Pendidikan Nasional.Terdapat beberapa jenis lembaga pendidikan
tinggi; misalnya universitas, sekolah tinggi, institut, akademi, dan
politeknik.
Ada beberapa tingkatan gelar yang dapat diraih di pendidikan
tinggi, yaitu Diploma 3 (D3), Diploma 4 (D4), Strata 1 (S1), Strata 2 (S2), dan
Strata 3(S3).
D.
Kurikulum
Pendidikan Madrasah
Kurikulum dalam bahasa Latin “Curriculum”,
semula berarti “a running course, specialy a chariot race course” dan
terdapat pula dalam bahasa Prancis “Courir” artinya “to run”
artinay “berlari.” Istilah ini diguakan untuk sejumlah “courses” atau
mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai gelar atau ijazah. Secara
tradisional kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan
disekolah.
Kurikulum dalam pendidikan Islam
dikenal dengan kata-kata “Manhaj” yang berarti jalan yang terang yang
dilalui oleh pendidik beserta anak didiknya untuk mengembangkan pengetahuan,
keterampilan dan sikap mereka. Selain itu kurikulum juga dipandang sebagai
suatu program pengetahuan, keterampilan dan sikap mereka. Selain itu kurikulum
juga dipandang sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan dan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Willian B. Ragan, sebagaimana
dikutip S. Nasution, berpendapat bahwa kurikulum meliputi seluruh program dan
kehidupan di sekolah. Kurikulum tidak hanya meliputi bahan pengajaran, tetapi
seluruh kehidupan dikelas.
S. Nasution menyatakan, ada bebarapa
penafsiran lain tentang kurikulum. Di
antaranya; pertama, kurikulum sebagai produk (sebagai hasil pengembangan kurikulum), kedua, kerikulum
sebagai program (alat yang dilakukan sekolah untuk mencapat tujuan), ketiga,
kurikulu sebagai hal-hal yang diharapka akan dipelajari oleh siswa (sikap,
keterampilan tertentu), dan keempat, kurikulum dipandang sebagai
pengalaman siswa.[11]
Dengan memperhatikan isi Kurikulum
Madrasah Tahun 2004 yang memuat bahan kajian dan mata pelajaran sebagai
berikut:
1.
Pendidikan
Agama Islam;
2.
Pendidikan
Kewarganegaraan;
3.
Bahasa;
4.
Matematika;
5.
Ilmu
Pengetahuan Awal;
6.
Ilmu Pengetahuan
Sosial;
7.
Seni dan
Budaya;
8.
Pendidikan
Jasmani dan Olahraga;
9.
Keterampilan/Kejuruan
(termasuk Tegnologi Informasi); dan
10.
Muatan Lokal,
Maka model
pengembangan kurikulum madrasah menggunkan pendekatan eklektik,
yaitu dapat memilih yang terbaik dari keempat pendekatan dalam pengembangan
kurikulum (pendekatan Subjek akademis, humanism, rekonstruksi social, dan
tegnologis) sesuai dengan karakteristik bahan-bahan kajian dan/atau mata
pelajaran-mata pelajaran tersebut.[12]
Dapat
dijelaskan bahwa bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI), terdiri atas
Al-Quran-Hadits, Akidah-Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, serta
penciptaan suasana lingkungan yang relegius harus menjadi komitmen bagi setiap
warga madrasah dalam rangka mewujudkan madrasah sebagai wahana untuk membina
ruh dan praktek hidup keislaman. PAI juga menjadi motivator dan dinamisator
bagi pengembangan kualitas IQ (Intelligent Quotient), EQ (Emotional
Qoutient), CQ (Creativity Qoutient), dan SQ (Spritual Qoutient).
PAI tersebut merupakan core (inti), sehingga bahan-bahan kajian yang
termuat dalam Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa, Matematika, Ilmu Pengetahuan
Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni dan Budaya, Pendidikan Jasmani dan
Olahraga, Keterampilan/Kejuruan (termasuk
Teknologi Informasi), dan Muatan Lokal, di samping harus mengembalikan
kualitas IQ (Intelligent Quotient), EQ (Emotional Qoutient), CQ (Creativity
Qoutient), dan SQ (Spritual Qoutient) , juga harus dijiwai oleh
Pendidikan agama Islam (PAI).[13]
Dengan
demikian, di madrasah perlu dilakukan upaya spiritualisasi pendidikan atau
berupaya menginternalisasi nilai-nilai atau spirit agama melalui proses
pendidik kedalam seluruh aspek pendidikan di madrasah. Hal ini dimaksudkan
untuk memadukan nila-nilai sains dan teknologi serta seni dengan keyakinan dan
kesalehan dalam diri peserta didik. Ketika belajar biologi misalnya, maka pada
waktu yang sama diharapkan pelajaran itu dapat meningkatkan keimanan dan
ketakwaannya kepada Allah, karena di dalam ajaran agama diterangkan bahwa
Tuhanlah yang telah menciptakan keanekaragaman (biodiversity) di muka
bumi ini dan semuanya tunduk pada hukumnya.[14]
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Konsep madrasah bagi masyarakat
sesungguhnya cukup idea. Lembaga pendidikan ini dipandang mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat, terutama masyarakat Islam. Lembaga pendidikan ini secara
konseptual ingin mengembangkan semua ranak kehidupan yang lebih sempurna, yaitu
aspek intelektual, spiritual, social, dan keterampilan sekaligus.ranah
intelektual dikembangkan lewat ranah umum, seperti Matematika, IPA, dan
lain-lain.
Tumbuh dan berkembangnya madrasah di
Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan tumbuh dan berkembangnya ide-ide
pembaharuan pemikiran di kalangan umat Islam etrutama pada awal abad ke-20 dan adanya respon
pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda.
Tingkat pendidikan sekolah yaitu: 1.
Prasekolah, 2. Sekolah Dasar, 3. Sekolah Menengah Pertama, 4. Sekolah Pendidika
Atas, dan 5. Perguruan Tinggi.
Kurikulum dalam pendidikan Islam
dikenal dengan kata-kata “Manhaj” yang berarti jalan yang terang yang
dilalui oleh pendidik beserta anak didiknya untuk mengembangkan pengetahuan,
keterampilan dan sikap mereka. Selain itu kurikulum juga dipandang sebagai
suatu program pengetahuan, keterampilan dan sikap mereka. Selain itu kurikulum
juga dipandang sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan dan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Arief, Armai. 2002. Pengantar
Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press.
Maksum. 1999. Madrasah Sejarah dan Perkembangnnya. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.
Muhaimin. 2012. Pengembangan Kuriulum Pendidikan Agama Islam
di Sekolah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persabda.
Siswanto. 2012. Pendidikan Islam
Dalam Dialektika Perubahan. Yogyakarta: SUKA-Press.
Suprayogo, Imam. 2007. Quo Vadis
Madrasah. Yogyakarta: Hikayat Publishing.
[1] Siswanto, Pendidikan
Islam Dalam Dialektika Perubahan, (Yogyakarta: SUKA-Press, 2012), hlm. 9
[2] Muhaimin, Pengembangan
Kuriulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persabda, 2012), hlm. 188
[3] Imam
Suprayogo, Quo Vadis Madrasah, (Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2007),
hlm. 102-103
[4] Ibid, hlm. 10
[5] Ibid, hlm.
11-12
[6] Siswanto, Pendidikan…,
hlm. 88-89
[7] Maksum, Madrasah
Sejarah dan Perkembangnnya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 113
[8] Ibid, 114
[9] Ibid, hlm14-17
[10] Ibid, hlm.
131-133
[11] Armai Arief, Pengantar
Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm.
29-30
[12] Muhaimin, Pengembangan…,
hlm. 215-216
[13] Ibid, hlm. 217
[14] Ibid, hlm. 211