Selamat Datang di Blog Kami. Blog ini meyediakan berbagai macam informasi seputar Pendidikan, Karya Tulis Ilmiah,Dan lain-lain. Membangun Indonesia Melalui Pendidikan

Definisi Akhlak Tercela, Ayat Al-Qur’an dan Hadits yang Berkenaan dengan Akhlak Tercela, Apa saja macam-macam Akhlak Tercela

Untuk Mendapatkan File Makalah atau Artikel dibawah ini, Silahkan Klik Download! download
 
Akhlak tercela merupakan perbuatan yang tidak di ridhoi Allah swt. dikarenakan perbuatan ini adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah. Dalam al-Qur’an sangat jelas bahwa orang berperilaku tercela akan dilaknat oleh Allah swt. seperti halnya orang yang hanya menyuruh tanpa berbuat (dalam hal agama). untuk lebih jelasnya langsung saja baca dibawah ini.

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Akhlak tercela merupakan perbuatan yang tidak di ridhoi Allah swt. dikarenakan perbuatan ini adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah. Dalam al-Qur’an sangat jelas bahwa orang berperilaku tercela akan dilaknat oleh Allah swt. seperti halnya orang yang hanya menyuruh tanpa berbuat (dalam hal agama). Jadi orang yang hanya menyuruh tanpa melakukan apa yang ia katakan, maka Allah akan melaknatnya dan membenci orang tersebut. Untuk itu segeralah meminta ampun dan bertawakkallah kepada Allah swt. Rasulullah telah mencontohkan tentang bagaimana kita bersikap terlebih dahulu sebelum memerintah terhadap orang lain, seperti suksesnya beliau dalam memimpin dunia ini.

B.     Rumusan Masalah
       1.      Apa definisi Akhlak Tercela ?
       2.      Ayat al-Qur’an dan Hadits yang berkenaan dengan Akhlak Tercela ?
       3.      Apa saja macam-macam Akhlak Tercela ?
       4.      Bagaimana upaya menghindari sifat tercela ?
       5.      Apa saja kerugian orang mempunyai Akhlak Tercela ?

C.    Tujuan Penulisan
       1.      Untuk mengetahui apa itu Akhlak Tercela
       2.      Ayat sifat tercela menurut al-Qur’an dan Hadits.
       3.      Untuk mengetahui macam-macam Akhlak Tercela
       4.      Upaya menghindari sifat tercela
       5.      Kerugian memiliki Akhlak Tercela


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Akhlak Tercela
      Yang dimaksud dengan akhlak tercela adalah sifat, perilaku dan perbuatan yang merugikan kepada diri sendiri dan orang lain. Dalam pandangan al-Ghazali, akhlak yang tercela disebut dengan al Mazdmumah, yaitu segala perilaku yang dicela oleh Allah dan makhluk. [1]
      Dalam al-Qur’an disebutkan, bahwa manusia memiliki akhlak karena ia memiliki nafsu yang mengajaknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah.
      Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “Tercela” diartikan sesuatu yang tidak pantas. Jadi, jelas bahwa akhlak tercela adalah memang merupakan perbuatan yang sangat tidak pantas bagi manusia dikarenakan pada hakikatnya manusia adalah suci. Allah swt. selalu memerintahkan kebaikan kepada hambanya, namun ada saja orang yang melalaikan perintah-Nya. Sesuai dengan firman-Nya:
أَتَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبِرِّ وَتَنسَوۡنَ أَنفُسَكُمۡ وَأَنتُمۡ تَتۡلُونَ ٱلۡكِتَٰبَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ ٤٤ 
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir.[2]
      Sedangkan dalam ayat yang lain Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٢ كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَنْ تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٣ 
2. Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan 3. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.[3]

Penjelasan ayat:
            Mereka yang tidak menyucikan Allah swt., menyimpang dari sistem yang berlaku dan menyendiri padahal semua menyucikan-Nya, sungguh sikap merekea itu harus diluruskan. Kaum beriman telah menyadari hal tersebut, bahkan ada yang telah menyatakan siapnya berjuang dalam rangka menyucikan Allah, tetapi ketika tiba saatnya, mereka mengingkari janji. Ayat di atas mengecam mereka dengan  memanggil mereka dengan panggilan keimanan sambil menyindir bahwa dengan keimanan itu mestinya tidak berlaku demikian. Allah berfirman: Hai orang-orang yang mengaku beriman, kenapa kamu  mengatakan yakni berjanji akan berjihad atau mengapa kamu mengucapkan apa yang tidak kamu perbuat yakni tidak sesuai dengan kenyataan? Amat besar kemurkaan di sisi Allah, bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat.
            Setelah menyebut apa yang dibenci Allah, disebutnya apa yang disukai-Nya dengan mengatakan: Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjuang dijalan-Nya yakni untuk menegakkan agama-Nya dalam bentuk satu barisan yang kokoh yang saling kait-berkait dan menyatu jiwanya lagi penuh disiplin seakan-akan mereka kukuh dan saling berkaitannya satu dengan yang lain bagaikan bangunan yang tersusun rapi.
            Dalam pengantar surat ini, penulis telah kemukakan riwayat at-Tirmidzi tentang turunnya surah ini. Dengan demikian surah di atas dapat dinilai sebagai kecaman yang ditujukan kepada mereka yang berjanji akan berjihad tetapi ternyata enggan melakukannya. Ibn Katsir dalam tafsirannya menuturkan bahwa mayoritas ulama menyatakan bahwa ayat ini turun ketika kaum muslimin mengaharapkan diwajibkannya jihad atas mereka, tetapi ketika Allah mewajibkannya mereka tidak melaksanakannya. Dengan demikian ayat ini serupa denga firman-Nya dalam  QS. al-Baqarah (2): 246 yang berbicara tentang orang-orang Yahudi yang satu ketika mengaharap diizinkan untuk berperang tetapi “Tatkala perang diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali sedikit diantara mereka. Riwayat lain menyatakan bahwa ayat di atas turun sebagai kecaman terhadap mereka yang mengatakan: “Kami telah membunuh (musuh), menikam, memukul dan telah melakukan ini dan itu.”, padahal merek atidak melakukannya. Dengan demikian ayat di atas mengecam juga orang-orang munafik yang mengucapkan kalimat syahadat dan mengaku muslim tanpa melaksanakan secara baik dan benar tuntunan agama islam.
            Melihat lanjutan ayat yang berbicara tentang perjuangan/ peperangan, maka agaknya ayat di atas turun berkaitan dengan sikap sementara kaum muslimin yang enggan berjuang, padahal sebelumnya telah menyatakan keinginan melaksanakan apa yang disukai Allah swt. Kendati demikian, semua riwayat-riwayat itu dapat ditampung kandungan oleh ayat di atas, karena memang ulama menggunakan kata sabab nuzul bukan saja terhadap peristiwa yang terjadi menjelang turunnya ayat, tetapi juga peristiwa-peristiwa yang dapat dicakup oleh kandungan ayat, baik peristiwa itu terjadi sebelum maupun sesudah turunnya ayat itu , selama masih dalam masa turunnya al-Qur’an.
            Kata (كبر) kabura berarti besar tetapi yang dimaksud adalah amat keras, karena sesuatu yang besar terdiri dari banyak hal/komponen. Kata ini digunakan disini untuk melukiskan sesuatu yang sangat aneh, yakni mereka mengaku beriman, mereka sendiri yang meminta agar dijalankan tentang amalan yang paling disukai Allah untuk mereka kerjakan, lalu setelah dijelaskan oleh-Nya mereka mengingkari janji dan enggan melaksanakannya sungguh hal tersebut adalah suatu keanehan yang luar biasa besarnya.
            Kata (مقتا) maqtan adalah kebencian yang sangat keras, dari sini ayat di atas menggabungkan dua hal yang keduanya sangat besar, sehingga apa yang diuraikan disini sungguh sangat mengundang murka Allah. Ini ditambah lagi dengan kalimat (عند الله) ‘inda Allah/disisi Allah yang menunjukkan bahwa kemurkaan itu jatuh langsung dari Allah swt. Karena itu menurut al-Qur’an – sabagaimana dikutip oleh al-Biqa’i – “Tidak ada ancaman menghadap satu dosa sepert ancaman yang ditemukan ayat ini.”
            Thabathaba’i menggarisbawahi perbedaan antara mengatakan sesuatu apa yang tidak dia kerjakan, dengan tidak mengerjakan apa yang dikatakan. Yang pertama adalah kemunafikan, sedang yang kedua adalah kelemahan tekad. Yang kedua inipun merupakan keburukan. Allah menjadikan kebahagiaan manusia melalui amal kebajikan yang dipilihnya sendiri, sedang kunci pelaksanaannya adalah kehendak dan tekad, yang keduanya tidak akan memberikan dampak positif kecuali jika ia mantap dan kuat. Nah, tidak adanya realisasi perbuatan setelah ucapan, merupakan pertanda kelemahan tekad dan ini tidak akan menghasilkan kebajikan bagi yang bersangkutan. Demikian lebih kurang Thabathaba’i.
            Kata (صفّا) shaffan/barisan adalah sekelompok dari sekian banyak anggotanya yang sejenis dan kompak serta berada dalam satu wadah yang kukuh lagi teratur.
            Kata (مرصوص) marsush berarti berdempet dan tersusun dengan rapi. Yang dimaksud oleh ayat di atas adalah kekompakan anggota barisan, kedisiplinan mereka yang tinggi, serta kekuatan mental mereka menghadapi ancaman dan tantangan. Maka ini demikian, karena dalam pertempuranpun – apalagi dewasa ini – pasukan tidak harus menyerang atau bertahan dalam bentuk barisan.
            Ayat-ayat di atas merupakan kecaman. Sementara ulama memahaminya sebagai kecaman kepada orang-orang munafik, bukan orang-orang mukmin, karena sifat orang-orang mukmin sedemikian tinggi sehingga mereka tidak perlu dikecam. Pendapat ini hemat penulis benar, tetapi kita juga tidak dapat mengatakan bahwa yang dikecam itu bukan hanya orang-orang munafik, karena itu ayat di atas menggunakan kata alladzina amanu bukan al-mu’minun.[4]
Sedangkan dalam hadits, ada beberapa hadits yang menjelaskan tentang akhlak tercela, diantaranya:
213. وَعَنْ مُعَذٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: بَعَثَنِي رَسُوْلُ اللهِ فَقَالَ : إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَاإِلَهَ إِلَّااللهَ, وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ, فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لِذَلِكَ, فَأَعْلِمُهُمْ أَنَّ اللهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ, فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمُهُمْ أَنَّ اللهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ, فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ, وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ, مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
213. Dari Mu'az r.a., katanya: "Saya diutus oleh Rasulullah saw. lalu beliau saw. bersabda: "Sesungguhnya engkau akan mendatangi sesuatu kaum dari ahlul kitab - Yahudi dan Nasrani, maka ajaklah mereka itu kepada menyaksikan bahwasanya tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwasanya saya adalah pesuruh Allah. Jikalau mereka telah mentaati untuk melakukan itu, maka beritahukanlah bahwasanya Allah telah mewajibkan atas mereka akan lima kali sembahyang dalam setiap sehari semalam. Jikalau mereka telah mentaati yang sedemikian itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah - zakat - yang diambil dari kalangan mereka yang kaya-kaya, kemudian dikembalikan - diberikan - kepada golongan mereka yang fakir-miskin. Jikalau mereka mentaati yang sedemikian itu, maka jagalah harta-harta mereka yang dimuliakan – yakni yang menjadi milik peribadi mereka. Takutlah akan permohonan - doa - orang yang dianiaya - baik ia muslim atau kafir, karena sesungguhnya saja tidak ada tabir yang menutupi antara permohonannya itu dengan Allah - yakni doanya pasti terkabul." (Muttafaq 'alaih).
Penjelasan Hadits:
Wasiat Rasulullah saw. yang agung ini disampaikan kepada Mua’adz bin Jabal sesaat sebelum dia bertolak ke Yaman dalam jabatannya sebagai amir disana. Dalam wasiatnya itu pertama-tama Mua’adz diperingatkan bahwa dia akan berada diperkampungan ahli kitab pemeluk suatu agama  yang sekaligus bertugas untuk menyampaikan ajaran Islam itu kepada mereka.
Untuk itu diperlukan keterangan yang jujur dan jelas. Pertama-tama adalah ajakan untuk beriman kepada Allah dengan benar dan kepada Rasul-Nya Muhammad saw. jangan keburu pindah kepersoalan lain, sebelum yang satu ini benar-benar diyakini. Kalau sudah, barulah berpindah kesoal lain, yaitu soal sholat dan kemudian zakat yang haarus dipilihkan dari harta yang baik, demi memperhatikan hak fakir miskin, sedang bagi petugas dilarang keras berbuar zhalim, misalnya dengan memungut zakat itu berlebihan, sehingga merugikan pihak yang dipungut, sebab orang yang diperlakukan dengan zhalim itu akan mendoakan yang tidak baik, sedang doanya akan selalu diperhatikan oleh Allah, kendati yang bersangkutan itu banyak berbuat durhaka kepada Allah dan tidak memenuhi persayaratan doa sebagaimana layaknya.[5]
598. وَعَنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ  : دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ, رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَقَالَ: حَدِيْثُ حَسَنٌ صَحِيْحٌ. وَمَعْنَاهُ: اتْرُكُ مَا تَشُكُّ فِيْهِ، وَخُذْ مَا لَا تَشُكُّ فِيْهِ.
598. Dari al-Hasan bin Ali radhiallahu 'anhuma, katanya: "Saya hafal sesuatu sabda dari Rasulullah saw. : "Tinggalkanlah apa-apa yang meragu-ragukan padamu untuk beralih kepada apa-apa yang tidak meragu-ragukan padamu."
Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan shahih. Artinya ialah: Tinggalkanlah apa-apa yang engkau merasa bimbang untuk dilaksanakan dan ambil sajalah apa-apa yang engkau tidak merasa bimbang samasekali dalam melaksanakannya.
Penjelasan Hadits:
Diantara perkara yang meragukan, yaitu perkara yang belum jelas halal-haramnya serta tidak ada dalil (nash) yang menerangkan halal-haramnya terhadap perkara yang kedudukannya seperti ini sesuai petunjuk Nabi saw. dalam hadits beliau tersebut seharusnya dijauhi/ditinggalkan karena jalan itulah yang lebih selamat.[6]
629. وَعَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ  عَنِ البِرُّ وَالْإِثْمُ، فَقَالَ: البِرُّ: حُسْنُ الْخُلُقِ، وَالْإِثْمُ: مَاحَاكَ فِي نَفْسِكَ، وَكَرِهْتُ أَنْ يَطَّلِعُ عَلَيْهِ النَّاسُ. رواه مسلم.
629. Dari an-Nawwas bin Sam'an r.a., katanya: "Saya bertanya kepada Rasulullah saw. perihal kebajikan dan dosa. Beliau saw. lalu bersabda: "Kebajikan itu ialah baiknya budipekerti dan dosa itu ialah apa-apa yang engkau rasakan bimbang dalam dada – yakni hati - dan engkau tidak suka kalau hal itu diketahui oleh orang banyak." (Riwayat Muslim).
Penjelasan Hadits:
Budi pekerti yang baik adalah merupakan sendi ketaatan karena orang yang perangainya baik akan melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat dan meninggalkan hal-hal yang tidak baik dan tidak bermanfaat. Karena itu ketika Nabi saw. ditanya tentang kebaikan, jawab beliau pendek: “Kebaikan ialah perangai yang bagus inilah akan memancar segala kebaikan dan ketaatan seorang mukmin terhadapa Tuhannya maupun terhadap sesama manusia.
Setiap perbuatan yang dilarang oleh Allah, atau hal-hal yang belum diketahui kedudukan hukumnya menurut syariat-Nya, tentu jiwa seorang mukmin akan ragu dan bimbang mengerjakannya dan kalau perbuatan itu sudah jelas terlarang sedang ia tahu akan pasti seorang mukmin tidak suka perbuatannya itu diketahui orang lain. Lantaran itulah ketika Rasulullah saw. ditanya tentang “Keburukan” (maksiat) maka jawab beliau pendek: “Keburukan yaitu apa yang meragukanmu dan kamu tidak suka perbuatanmu itu diketahui orang lain”.[7]

B.     Macam-Macam Akhlak Tercela
            1.      Syirik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia syirik adalah penyekutuan Allah dengan yang lain, misalnya, pengabdian selain kepada Allah Taala dengan menyembah patung, tempat keramat, dan kuburan, dan kepercayaan terhadap keampuhan peninggalan nenek moyang yang diyakini akan menentukan dan mempengaruhi jalan kehidupan;
Menurut Imam an-Nawawi syirik adalah menyandarkan perbuatan yang hanya Dzat Yang Maha Esa semata berhak melakukannya kepada makhluk yang bukan haknya melakukan perbuatan itu.
Allah berfirman dalam al-Qur’an:
وَإِذۡ قَالَ لُقۡمَٰنُ ­­لِٱبۡنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَيَّ لَا تُشۡرِكۡ بِٱللَّهِۖ إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٞ ١٣ 
13. Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar"[8]

2.      Kufur

Kufur atau kafir adalah keadaan tidak beriman kepada Allah swt. maka orang yang kufur atau kafir adalah orang yang percaya atau tidak beriman kepada Allah baik orang tersebut bertuhan selain Allah maupun tidak bertuhan, seperti paham komunis (atheis).[9]
Imam an-Nawawi mengatakan “Sesungguhnya orang yang mengingkari sesuatu yang diketahui secara pasti dalam agama Islam, maka dihukumi murtad dan kafir, kecuali jika dia baru saja masuk Islam atau dia hidup di tempat yang jauh (dari dakwah Islam) dan semisalnya dari orang yang samar atasnya lalu mengetahuinya, jika terus seperti itu, maka dihukumi kafir”.
            Artinya seseorang dihukumi kafir jika mengingkari perkara syari’at yang sudah pasti diketahui bagi setiap orang (dharurah) yakni diketahui baik orang khusus (alim) ataupun orang awam semisal sholat farduh dan meminum khomer, bukan perkara yang samar yakni perkara yang diketahui oleh orang khusus saja semisal pembagian hak waris seperenam untuk cucu perempuan.
Allah berfirman dalam al-Qur’an:
وَجَعَلُواْ لِلَّهِ أَندَادٗا لِّيُضِلُّواْ عَن سَبِيلِهِۦۗ قُلۡ تَمَتَّعُواْ فَإِنَّ مَصِيرَكُمۡ إِلَى ٱلنَّارِ ٣٠

30. Orang-orang kafir itu telah menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah supaya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: "Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka"[10]

3.      Nifak

Nifak adalah suatu perbuatan yang lahir dan batinnya tidak sama. Secara lahiriyah beragama Islam, namun jiwanya atau batinnya tidak beriman. Munafiq adalah orang yang melakukan perbuatan nifak, yaitu orang yang secara lahiriyah mengaku beriman kepada Allah, mengaku beragama Islam, bahkan dalam beberapa hal kelihatan seperti perbuatan dan bertindak untuk kepentingan Islam, tetapi sebenarnya hatinya mempunyai maksud lain tidak didasari iman kepada Allah.[11] Dalam hal ini Allah berfirman dalam al-Qur’an:
وَإِذَا جَآءُوكُمۡ قَالُوٓاْ ءَامَنَّا وَقَد دَّخَلُواْ بِٱلۡكُفۡرِ وَهُمۡ قَدۡ خَرَجُواْ بِهِۦۚ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا كَانُواْ يَكۡتُمُونَ ٦١
61. Dan apabila orang-orang (Yahudi atau munafik) datang kepadamu, mereka mengatakan: "Kami telah beriman", padahal mereka datang kepadamu dengan kekafirannya dan mereka pergi (daripada kamu) dengan kekafirannya (pula); dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.[12]

4.      Takabur

Imam al-Ghazali mendefinisikan takabur ialah sifat orang yang merasa dirinya lebih besar daripada orang lain. Kemudian ia memandang enteng orang lain itu. Boleh jadi orang yang bersikap demikian dikarenakan ilmu, amal, keturunan, kekayaan, anak buah, alias kecantikannya.[13] Allah berfirman dalam al-Qur’an bahwa Allah tidak menyukai orang yang sombong:
لَا جَرَمَ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعۡلِنُونَۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡتَكۡبِرِينَ ٢٣ 
23. Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.[14]

5.      Dengki

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Dengki adalah menaruh perasaan marah (benci, tidak suka) karena iri yang amat sangat kepada keberuntungan orang lain. Jadi jelaslah bahwa orang yang memiliki sifat dengki akan cenderung membenci sesorang disertai dengan tindakan. Rasulullah saw. bersabda:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ إِسْمَاعِيلَ قَالَ حَدَّثَنِي قَيْسٌ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Yahya dari Isma'il berkata, telah menceritakan kepada saya Qais dari Ibnu Mas'ud radliallahu 'anhu berkata; Aku mendengar Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Tidak boleh iri (dengki) kecuali kepada dua hal. (Yaitu kepada) seorang yang Allah berikan kepadanya harta lalu dia menguasainya dan membelanjakannya di jalan yang haq (benar) dan seorang yang Allah berikan hikmah (ilmu) lalu dia melaksanakannya dan mengajarkannya (kepada orang lain) ".[15]
6.      Iri
Iri berbeda dengan dengki. Perbedaannya hanya saja iri yaitu merasa kurang senang terhadap nikmat yang diberikan oleh Allah kepada orang lain tanpa melakukan tindakan, atau mencemburui sesuatu yang dilihatnya.
7.      Riya
Riya’ adalah melakukan ibadah untuk mencari perhatian manusia sehingga mereka memuji pelakunya  dan ia mengharap pengagungan dan pujian serta penghormatan dari orang yang melihatnya. Allah berfirman dalam al-Qur’an:
إِنَّ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَٰدِعُهُمۡ وَإِذَا قَامُوٓاْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُواْ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلٗا ١٤٢ 
142. Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.[16]

C.    Upaya Menghindari Sifat Tercela
      1.      Mengekang atau mengendalikan hawa naafsu diri sendiri
Hawa nafsu selalu mengajak kejahatan dan kemaksiatan. Al Nafs al Ammarah. Nafsu jenis ini disebutkan dalam surah Yusuf ayat 53:
”Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”[17]
      2.      Waspada dan berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk.
Syetan adalah makhluk Allah yang berusaha agar segenap anak cucu Adam berada dalam kesesatan dan durhaka kepada Allah. Untuk itu, kita dianjurkan untuk berlindung kepada Allah untuk terhindar dari bujuk rayu syetan sehingga kita menang dengan rayuan syetan tersebut.
      3.      Beritiqamah dalam taat kepada Allah, melalui serangkaian ibadah dan memperbanyak sholawat kepada Nabi Muhammad saw.
Dengan membiasakan diri  mengingat Allah dan Rasulullah, maka lambat laun iman kita akan semakin kokoh, sehingga nafsu akan terkendali.[18]

D.    Kerugian Memiliki Akhlak Tercela
      1.      Dimurkai dan dibenci Allah SWT.
Seseorang yang memiliki akhlak yang tercela akan terbiasa dengan segala bentuk kedurhakaan dan kemaksiatan terhadap Allah. Seorang yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah, maka Allah akan membencinya dan akan memberi balasan dengan azab yang pedih. azab Allah dapat diturunkan di dunia dengan berbagai macam bencana, malapetaka yang disebabkan oleh kemaksiatan kemungkaran yang dilakukan oleh manusia.
      2.      Dibenci dan dijauhi oleh manusia
Seseorang yang terbiasa dengan hal yang buruk akan terbiasa berbuat kedzaliman, aniaya dan merugikan orang lain. Perbuatannya selalu merugikan dan mendatangkan bahaya bagi orang lain.
      3.      Mendapatkan penderitaan dan kehinaan dunia akhirat
Seorang yang memiliki akhlak tercela akan mendapatkan balasan yang setimpal dengan perbuatannya, karena sekecil apapun dosa yang diperbuatnya akan mengurangi amal kebaikan yang diperbuatnya.[19]


BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

akhlak tercela adalah sifat, perilaku dan perbuatan yang merugikan kepada diri sendiri dan orang lain. Dalam pandangan al-Ghazali, akhlak yang tercela disebut dengan al Mazdmumah, yaitu segala perilaku yang dicela oleh Allah dan makhluk. Sedangkan macam-macamnya adalah syirik, kufur, nifak, takabur, dengki, iri, riya.

B.     Saran

Sesuai dengan perintah Allah dalam dalam al-Qur’an QS. as-Saff ayat 2-3 bahwa kita harus melakukan terlebih dahulu sebelum kita menyuruh kepada orang lain dalam hal agama sehingga Allah tidak menurunkan murka-Nya kepada kita semua.


DAFTAR PUSTAKA

Hasyim, Husaini A. Madjid. Syarah Riyadhus Shalihin 1. Surabaya: Bina Ilmu,      2003.
Sholichin, Muchlis. Ilmu Akhlak dan Tasawwuf. Pamekasan: STAIN Pamekasan    Press, 2009.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.     Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Software Kitab Shahih Bukhari
Tauhid Ilmu Kalam.


[1] Muchlis Sholichin. Ilmu Akhlak dan Tasawwuf (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2009), hlm. 89
[2] QS. al-Baqarah (2): 44.
[3] QS. as-Saff (61): 2-3
[4] M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 189-191.
[5] Husaini A. Madjid Hasyim. Syarah Riyadhus Shalihin 1 (Surabaya: Bina Ilmu, 2003), hlm. -
[6] Husaini A. Madjid Hasyim. Syarah Riyadhus Shalihin 1. hlm. 406.
[7] Husaini A. Madjid Hasyim. Syarah Riyadhus Shalihin 1. hlm. 432-433.
[8] QS. al-Luqman (31): 13
[9] Tauhid Ilmu Kalam. hlm. 21.
[10] QS. Ibrahim (14): 30
[11] Tauhid Ilmu Kalam. hlm. 22.
[12] QS. al-Maidah (5): 61.
[13] www.cahayatasbih.com
[14] QS. an-Nahl (16): 23.
[15] Software Kitab Shahih Bukhari
[16] QS. an-Nisaa’ (4): 142.
[17] Software Ayat
[18] Muchlis Sholichin. Ilmu Akhlak dan Tasawwuf. hlm. 103
[19] Muchlis Sholichin. Ilmu Akhlak dan Tasawwuf. hlm. 89.