Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, perjuangan Rasulullah SAW diteruskan oleh khulafâ’ al-râsyidîn, yaitu Abu Bakar al-Shiddîq RA, Umar bin Khattab RA, Utsman bin Affan RA, dan Ali bin Abi Thalib RA. untuk penjelasan lebih lanjut tentang "Sejarah Peradaban Islam pada Masa Khulafaurrasyidin" silahkan lanjutkan membaca makalah dibawah ini. semoga bermanfaat.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, perjuangan Rasulullah SAW diteruskan
oleh khulafâ’ al-râsyidîn, yaitu Abu Bakar al-Shiddîq RA, Umar bin Khattab
RA, Utsman bin Affan RA, dan Ali bin Abi Thalib RA.
Alasan disebut dengan khulafâ’ al-râsyidîn adalah dikarenakan kata khulâfâ’
berasal dari khalîfah yang berarti pengganti. Sedangkan râsyidûn
adalah yang mendapatkan petunjuk. Jadi khulafâ’ al-râsyidîn adalah
khalifah-kahlifah (pengganti-pengganti) Rasulullah SAW yang berarti mendapat
bimbingan yang benar, karena mereka melakasanakan tugas sebagai pengganti
Rasulullah SAW menjadi kepala negara Madinah dan sebagai pembantu rakyat dan
wakil pelaksana mereka dalam mengelola negara.
Dalam meneruskan perjuanggan Rasulullah SAW, khulafâ’ al-râsyidîn
telah melakukan banyak sekali kebijakan untuk membangkitkan perjuangan Islam. Salah satunya
adalah peradilan (yudisial). Ini dikarenakan peradilan adalah sangat penting
bagi pembangunan umat Islam itu sendiri, melihat Nabi yang mendapatkan wahyu
dari Allah SWT sudah tidak ada lagi. Maka dari itu, konsep peradilan khulafâ’
al-râsyidîn sangatlah penting dalam sejarah pembentukan ‘Peradilan Islam’.
1.2 Rumusan
masalah.
1.
Bagaimana
peradilan Islam pada masa khulafaurrasyidin?
2.
Bagaimana
kritik sumber sejarahnya?
3.
Bagaimana
penafsiran dari sumber yang diperoleh?
1.3 Tujuan
penulisan.
1.
Mengetahui
peradilan Islam pada masa khulafaurrasyidin
2.
Mengetahui
perbedaan peradilan
3.
Mengetahui
perbedaan peradilan masa khulafaurrasyidin dengan masa sekarang
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Heuristik/pengumpulan sumber-sumber sejarah.
1. Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Abu Bakar
As-sidiqy.
Abu
Bakar al-Shiddîq RA, adalah pengganti Rasulullah SAW dalam hal duniawi
(pemerintahan) dan dalam hal ukhrawi (spiritual) yang hanya terbatas pada
pemimpin agama, seperti imam solat, mufti, dan lain-lain yang bukan sebagai
rasul yang mendapatkan wahyu.
Pada
saat Abu Bakar RA menggantikan Rasulullah SAW, beliau tidak merubah sistem
peradilan yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW. Ini dikarenakan beliau sibuk
menegakkan hukum Islam dengan memerangi kemurtadan, orang-orang muslim yang
enggan membayar zakat, dan lain-lain perkara yang berhubungan dengan politik
dan hukum.
Malahan, pada periode ini peradilan dikuasai
oleh khalifah sendiri, dan kadang-kadang khalifah memberi kuasa kepada orang
lain untuk menjadi hakim seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Perkara ini
berlaku sampai pada awal kekhalifahan Umar bin al-Khattab. Jadi, pada periode
ini, belum ada pemisahan antara tiga jenis kekuasaan; yaitu eksekutif,
yudikatif, dan legislatif, sebaliknya khalifah memegang kekuasaan yudikatif.
Doktor ‘Athiyyah Mushthofâ Musyrafah menukil dari Syaikh Muhammad Bakhît
al-Muthî’î di dalam kitabnya yang berjudul; Hakîkat al-`Islâmi wa `Ushûl
al-Hukm:
(... dan pada kekhalifahan
Abu Bakar, beliau (Abu Bakar) menganggkat Umar bin al-Khatthâb sebagai hakim,
maka adanya Umar adalah awal-awalnya hakim di dalam Islam bagi khalifah)
Abu Bakar RA membagi
Jazirah Arab menjadi beberapa wilayah. Beliau melantik pada setiap wilayah
tersebut seorang pemimpin (amîr) yang ada sebelumnya. Amîr ini
memimpin solat, menjadi hakim bagi perkara yang diangkat padanya, begitu juga
melaksanakan hudûd. Dikarenakan ini, Abu Bakar RA memberi setiap amîr
tersebut ketiga-ketiga kekuasaan pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan
legislatif).
2. Peradilan Islam Pada Masa Umar bin Khatab.
Setelah wafatnya Abu Bakar
RA, kekhalifahan dipegang Saidina Umar bin al-Khattab RA. Pada saat ini, daerah
Islam semakin luas. Tugas-tugas pemerintahan dalam bidang politik, sosial, dan
ekonomi semakin rumit. Khalifah Umar RA juga mulai sibuk dengan peperangan yang
berlaku antara negara Islam dengan Parsi dan Romawi. Dengan semua kesibukan
ini, Umar tidak sempat untuk menyelesaikan semua masalah peradilan. Maka dari
itu, beliau memutuskan untuk mengangkat hakim yang berada di luar kekuasaan
eksekutif. Ini adalah pertama kali pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan
yudikatif terjadi.
- Memisahkan Qadla (Lembaga Peradilan) dari tangan gubernur dan yang mula-mula melakukannya.
Dikala Khilafah ( pemerintahan ) Islam dikendalikan umar r.a barulah
dirasakan perlu mengadakan pejabat tertentu untuk menyelesaikan perkara-perkara
yang diadukan kepada penguasa. Pada masa khalifah Umar, kota-kota Islam telah
bertambah banyak.Pekerjaan yang harus diselesaikan Khalifah, atau para gubernur
telah bertimbun-timbun hingga sukarlah bagi khalifah menyelesaikan sendiri
segala perkara yang diajukan kepadanya.Urusan-urusan pengadilan, di samping
pemangku-pemangku wilayah umum (Gubernur). Tidak saja di kota Madinah di pusat
pemerintahan, Umar mengangkat pejabat tinggi yang khusus mengendalikan lembaga
pengadilan, bahkan di kediaman para gubernur pun beliau mengangkat juga pejabat
sebagai hakim.
Untuk hakim di Madinah, diangkat Abud Darda.Untuk hakim di Bashrah di
angkat Syuraih.Dan untuk hakim di Kufah diangkat Abu Musa Al Asy’ary.Oleh Abu
Msalah ditulis Risalatu Qadla.
Kepada Qadli
Abu Musalah Amirul Mu’minin ‘Umar, mengirim instruksinya yang dikenal dalam
sejarah kehakiman Islam dan menjadi pedoman pokok bagi para hakim.
- Yang berwenang mengangkat Qadli (Hakim)
Yang berhak
mengangkat Qadli dan memberhentikannya pada mulanya adalah Khalifah (Kepala
Negara) sendiri. Khalifah sendiri mengangkat seseorang untuk menjabat jabatan
Qadli guna di tempatkan di Suatu daerah, atau dengan cara mengirim surat kepada
para wali (Gubernur) supaya mengangkat Qadli. Adakala orangnya ditunjuk oleh
khalifah atau Gubernur.
Adapun, Al
Khatib Al Baghdady menerangkan dalam tarik Baghdad bahwa: wali – Kepala daerah
sendiri yang menentukan Qadli yakni tidak menanti amanat Khalifah lebih dahulu.
Dr. Hasan
Ibrahim dalam tarik Al Islam As Siyasi berkata: Apabila Kepala Daerah umum
urusannya mempunyai wilayah ammmah, yakni mengendalikan segala persoalan yang
bersangkutan dengan pemerintahan maka bolehlah ia menentukan, atau mengangkat Qadli-qadli
tanpa menanti amarah (perintah) Khalifahnya.
Penjelasan:
Qadli daerah
mula-mulanya ditunjuk oleh Khalifah sendiri, Khalifah yang mengutus dari pusat
pemerintahan ke suatu daerah, qadli yang telah diangkat menjadi qadlli di
daerah itu.
Apabila Khalifah
tidak menetapkan dan mengutus orang yang telah ditetapkan untuk suatu daerah,
maka Khalifah menginstruksikan kepada amir-amir atau walinya mengangkat qadli
yang ditunjuk oleh Khalifah.Jika Khalifah tidak menunjukkan maka amir-amir
sendiri menetapkan orangnya.
Para Gubernur
yang umum urusannya, dibolehkan mengangkat qadli dengan tidak menunggu perintah
Khalifah, apabila hal itu dipandang perlu oleh Gubernur yang bertanggung jawab.[1]
- Sifat-sifat Qadli yang dipentingkan oleh Khalifah Umar
Umar pernah
mengirim surat kepada Mu’azd dan Abu ‘Ubaidah untuk mengangkat mereka menjadi
Qadli negri Suriya.
- Umar berpesan kepada amir-amirnya supaya berlaku jujur dalam mengangkat para Qadli. Umar berkata :
“
Amir-amir yang mengangkat seseorang Qadli dengan maksud agar Qadli yang
diangkat itu, memihak kepadanya, akan menanggung separuh dari dosa Qadli itu “.
- Umar Ibn Abdil ‘Aziz mengangkat Qadli dengan mengutamakan sifat- sifat yang lima ini :
Pertama, sempurna
ilmunya tentang masalah –masalah yang telah terjadi.Kedua, Suci atau
bersih jiwanya dari sifat tama’.
Ketiga, mempunyai
sifat tenang, tidak mencari kesempatan membalas sakit hati.
Keempat, meniru dan
meneladani pemimpin-pemimpin agama yang terkenal.
Kelima, suka berunding
dalam menghadapi perkara-perkara yang diputuskan, dengan ahli ilmu dan berakal.[2]
Peletakan
Azas-azas Hukum Perdata oleh Umar Bin Khatab
Naskah
azas-azas hukum acara.
Dari Umar
amirul mu’minin kepada Abdullah zbin Qais, mudah-mudahan Allah melimpahkan
kesejahteraan dan rahmatnya kepada engkau.
- Kedudukan Lembaga Peradilan.
Kedudukan lembaga peradilan ditengah-tengah
masyarakat suatu negara hukumnya wajib (sangat urgen) dan sunnah yang harus
diikuti dan dipatuhi.
- Memahami kasus persoalan, baru memutuskannya.
Pahami persoalan suatu kasus gugatan kepada
anda dan ambillah keputusan setelah jelas mana yang benar dan mana yang salah.
Karena sesungguhnya suatu kebenaran yang tidak memperoleh perhatian hakim akan
menjadi sia-sia.
- Samakan pandangan anda kepada kedua belah pihak, dan berlaku adillah.
Kedudukan kedua belah pihak di majlis secara
sama, pandang mereka dengan pandangan yang sama agar orang yang terhormat tidak
melecehkan anda dan orang yang lemah tidak merasa teraniaya.
- Kewajiban pembuktian.
Penggugat wajib membuktikan gugatannya dan
tergugat wajib membuktikan bantahannya.
- Lembaga damai.
Penyelesaian perkara secara damai dibenarkan,
sepanjang tidak menghalalkan yang haram dan mengaharamkan yang halal.
- Penundaan persidangan.
Barang siapa menyatakan ada sesuatu hal yang
tidak ada ditempatnya atau suatu keterangan, maka berilah tempo kepadanya untuk
dilaluinya. Kemudian jika ia memberikan keterangan hendaklah engkau memberikan
kepadanya haknya. Jika dia tidak mampu memberikan yang demikian, maka engkau
dapat memutuskan perkara yang merugikan haknya, karena yang demikian itu lebih
mantap bagi keuzurannya dan lebih menampakkan apa yang tersembunyi.
- Kebenaran dan keadilan adalah masalah universal.
Janganlah engkau dihalangi oleh suatu putusan
yang telah anda putuskan pada hari ini, kemudian anda tinjau kembali putusan
itu lalu anda ditunjuk pada kebenaram untuk kembali kepada kebenaran, karena
kebenaran itu suatu hal yang qadim yang tidak dapat dibatalkan oleh
sesuatu.Kembali kepada yang hak, lebih baik daripada terus bergelimangan dalam kebatilan.
- Kewajiban menggali hukum yang hidup dan melakukan penalaran logis.
Pergunakanlah kekuatan logis pada suatu kasus
perkara yang diajukan kepada anda dengan mrenggali dan memahami hukum yang
hidup, apabila hukum suatu perkara kurang jelas dalam Al qur’an dan sunnah.
Kemudian bandingkanlah permasalahan tersebut satu sama lain dan ketahuilah
(kenalilah) hukum yang serupa, kemudian ambillah mana yang lebih mirip dengan
kebenaran.
- Orang Islam haruslah berlaku adil.
Orang Islam dengan orang Islam lainnya haruslah
adil, terkecuali orang yang pernah menjadi saksi palsu atau sudah pernah
dijatuhi hukuman hadd atas orang yang diragukan tentang asal usulnya, karena
sesungguhnya Allah yang mengendalikan rahasia hamba dan menutupi hukuman atas
merekam terkecuali dengan ada keterangan dan sumpah.
- Larangan bersidang ketika sedang emosional.
Jauhilah diri anda dari marah, pikiran kacau
perasaan tidak senag dan berlaku kasar terhadap para pihak.
Karena
kebenaran itu hanya berada didalam jiwa yang tenang dan niat yang bersih.[3]
3. Peradilan Islam Pada
Masa Khalifah Utsman bin Affan.
Setelah
Khalifah Umar bin al-Khattab RA meninggal dengan dibunuh, maka kursi
kekhalifahan dipegang oleh Saidina Utsman bin Affan RA dengan dilantik oleh
rakyat. Khalifah Utsman adalah orang yang mengkodifikasi Alquran setelah
pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar RA atas usulan Umar RA.
Sistem
pengadilan pada zaman beliau adalah sama seperti yang telah diatur Umar RA,
karena beliau tinggal meneruskan saja sistem Umar RA yang sudah tertata rapi.
Salah
satu perubahan penting bagi pengadilan Islam pada zaman Khalifah Utsman bin
Affan RA adalah dibangunnya bangunan khusus yang digunakan untuk peradilan
negara Islam. Sebelum Khalifah Utsman RA, masjid adalah tempat untuk
berperkara.
Utsman juga
mengirim pesan-pesan kepada para pemimpin di daerah lain, petugas menarik
pajak, dan masyarakat muslim secara umum untuk menegakkan kelakuan baik dan
mencegah dari kemungkaran. Beliau memesan kepada petugas menarik pajak untuk
menarik pajak dengan adil dan jujur. Beliau memberi nasihat khusus kepada
petugas pajak dengan kata-kata berikut ini:
أما بعد, فإن الله خلق
الخلق بالحق فلا يقبل إلا الحق خذوا الحق وأعطوا الحق والأمانة الأمانة قوموا
عليها ولا تكونوا أول من يسلبها فتكونوا شركاء من بعدكم الوفاء الوفاء لا تظلموا
اليتيم ولا المعاهد فإن الله خصم لمن ظلمهم .
Dalam
memberi hukum, Utsman memakai Alquran, sunnah, lalu pendapat khalifah
sebelumnya. Kalau tidak ditemukan, beliau akan bermusyawarah dengan para
sahabat.
4.
Peradilan Islam Pada Masa
Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Setelah
meninggalnya Utsman RA, Saidina Ali bin Abi Thalib RA menjabat sebagai
khalifah. Beliau tidak melakukan perubahan di dalam peradilan. Beliau juga
berpegang pada Alquran, sunnah, lalu merujuk pada khalifah sebelumnya. Seumpama
tidak ditemui, baru beliau bermusyawarah dengan sahabat yang lain berdasarkan
pada ayat: {وشاورهمفيالأمر}.
Sesuai dengan
khalifah sebelumnya, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA juga membayar gaji para
hakim dengan memakai uang yang ada di Bait al-Mâl.
Selain dari
itu, dalam usaha Khalifah Ali RA meningkatkan kualitas peradilan Islam, beliau
memberi insruksi kepada Gubenur Mesir dalam penentuan orang-orang yang akan
diangkat menjadi hakim. Di dalam instruksi itu, ditekankan agar penguasa
memilih orang-orang yang akan menjadi hakim dari orang-orang yang dipandang
utama oleh penguasa sendiri, jangan dari orang-orang yang berpenghidupan
sempit, jangan dari orang-orang yang tidak mempunyai wibawa dan jangan pula
dari orang-orang yang loba kepada harta dunia, di samping mempunyai ilmu yang
luas, otak yang cerdas, daya kerja yang sempurna.
Khalifah Ali
bin Abi Thalib telah banyak memberi hukum atau fatwa yang dijadikan hukum oleh
orang-orang setelahnya. Salah satu kemusykilan hukum yang diselesaikan Ali RA
adalah apabila ada seorang istri yang mana suaminya meninggal dunia sebelum
suami tersebut menjimak istrinya. Sedangkan suami tersebut belum menyerahkan
mas kawin kepada istri tersebut. Maka Ali RA menghukumi bahwa tidak ada hak
bagi istri tersebut mas kawin yang sepadan (مهرالمثل), karena diqiyaskan pada
wanita yang tertalak. Ini berdasarkan pada firman Allah SWT:
“لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ
أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً”.
- Instansi-Instansi Peradilan dan tugas-tugasnya pada periode pertama
Kekuasaan lembaga peradilan pada periode
pertama dibagi menjadi tiga bagian ;
- Jawatan pengadilan yang dikendalikan oleh kepalanya yang dinamakan “Qadli’’, para Qadli menyelesaikan perkara-perkara yag bersangkutan dengan hutang piutang atau hukum-hukum perdata.
- Jawatan pengadilanyang dikendalikan oleh kepalanya yang dinamakan “Muhtasib”, para Muhtaasib menyelesaikan urusan urusan yang berpautan dengan umum dan urusan-urusan pidana atau jinayah, uqubat, dsb.
- Jawatan pengadilan yang dikendalikan oleh kepala negara atau seseorang yang diserahi tugasnya kepadanya, yang dinamakan Qadli (wali) madhalim, wali madhalim menyelesaikan persengketaan yang tak dapat diselesaikan oleh jawatan perrama dan kedua.
Dewan madhalim
inii dipimpin oleh kepala negara sendiri, atau wali (kepala daerah), atau oleh
seseorang yang ditunjuk untuk itu.Dan biasanya sidang-sidang itu dilakukan
didalam masjid.
Majlis pengadilan iini dihadiri oleh :
- Beberapa petugas, beberapa pengawal Qadli (hakim) untuk dimintakan pertolongannya dan untuk menasehati orang-orang yang bersangkutan.
- Beberapa para fuqoha untuk dimintakan pendapat-pendapatnya mengenai hukum yang harus diberikan.
- Para pencatat (panitera) dan beberapa orang yang sesewaktu diminta menjadi saksi.[4]
2.2 Verifikasi/ kritik sumber sejarah.
Verifikasi pada
masa Abu Bakar peradilan yang ada masih tetap berpegang teguh pada apa-apa yang
telah dilakukan oleh Rasulullah yakni masih tetap berpgang teguh terhadap
al-Quran dan Hadis. Dan pada zaman ini
abubakar tettp mengunakan system peradilan pemutusan masalh di berikan
sepenuhnya kepada khalifah sehing 3 sistem yudikatif eksekutif dan legislatif
tetap menjadi tanggungan dari diri sendiri dari khalifah, maka dari itu
lemahnya pemerintahan pada khlifa abu bakar berada pada pembagian job
dekription hanya terpaut untuk satu orang saja yakni pada khalifah
Untuk masa selanjutanya yaitu peradilan yang di gantikan
oleh Sayyidina Umar terdapat beberapa perkembangan dari masa sebelumnya,
khalifah Umar tidak jauh beda dengan khalifah Abu Bakar yakni sangat memiliki
kesibukan yang luar biasa akan tetapi khalifa Umar dapat mensiasati hal
tersebut yakni dengan membentuk hakim haki lain dan pemisahan yudikatif dengan
ekskutif, yang menjadi kelemahan masa peradilan pada masa ini yakni pemisahan
tersebut hanya berlaku pada dua lembaga tersebut tanpa adanya pembuatan hukum
peradilan yang baru.
Peradilan pada masa Usman mempunya ciri yang sangat menonjol
dengan peradilan pada masa-masa sebelumnya yakni menerapan keputusan hakim
lebih di tekankan lagi, sampai pengutusan Qadhi ke pedesa pedasaan. Jadi pada
masa usman hal yang melanggar dengan hukum dapat di minimalisair dengan baik,
akan tetapi kekurangan pada masa usman ini peradilan yang ada di atas kurang
terkontrol sehingga menyebabkan terbangkang Usman karena banyak pemberontakan
pada saat itu.
Setelah
wafatnya Usman maka secara otomatis system kepmimpinan turun taerhadap
sayyidina Ali kareana system pemerintahan yang ada pada saat itu adalah system
munarkhi. Dan peradilan yang ada pada khlifa Ali
dengan Umar tidaklah jauh berbeda tetap berpegang teguh terhadap alquran
dan hadis dan apabila ada hal yang tidak terkandung dalam alquran dan hadis
maka penyelasaian masalahnya dengan melakukan musywarah di antara sahabat, kekerasan yang
ada pada sayyidina Ali menjadi salah satu titik lemah dari peradilan yang diterapkan sehingga
pada saat itu sayyidina Ali kalah pada
muawiyah dan kekuasaan tersebut berpindah terhadap Muawiyah
bin Abi Sufya.
2.3
Interpretasi/Penafsiran sejarah.
Sistem peradilan yang ada pada saat pra Islam dan Islam
hingga pada zaman khulafaur rasyidin mengalami perkembangan sangatlah pesat,
meskipun tidak ada lagi orang yang mau ditanyakan ketika mendapatkan
permasalahan mereka tetap mengacu pada al-Quran dan Hadist, dan walaupun permasalahan
tersebut tidak tercantum pada al-Quran dan Hadis merekapun melakukan suatu
ijtihad,yang ijtihad ini menjadi salah satu ciri khas dari hakim-hakim yang ada
pada saat ini.
Hal baru yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah akan
tetapi lakukan oleh kalangan sahabat menjadi salah satu teori untuk penetapan hukum
yang ada pada saat ini yang diantaranya adalah ijtihad, masalahtulmursalah, dan
sebagainya. Hal ini menjadi salah satu kelebihan
dari peradilan yang ada di zaman para sahabat yang hingga saat ini tetap di
gunakan teori-teori yang dikeluarkannya
Peradilan yang
ada pada saat ini masih tetap jauh lebih
bagus dari pada peradilan yang ada pada sebelumnya akan tetapi yang menjadi
kekurangan dari system peradilan yang ada pada saat ini yakni kurangnya
penerapan dan sosialisasi peraturan peraturan hukum yang telah di buat terhadap
orang yang awam akan hukum. Sehingga peradilan yang ada pada saat ini dipandang
sebelah mata oleh kebanyakan masyarakat.
2.4
Historiograsi/Penulisan sejarah.
Sistem
peradilan Islam pada masa khulafaurrasyidin terbagi menjadi 4 kepemimpinan
yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Pada masing-masing kepemimpinan
mempunyai cara yang berbeda. Pada masa abu bakar peradilan yang ada masih tetap
berpegang teguh pada apa-apa yang telah dilakukan oleh rasulullah, kemudian
pada pmasa Umar yakni dengan membentuk hakim haki lain dan pemisahan yudikatif
dengan ekskutif, yang menjadi kelemahan mada eradilan pada masa ini yakni
pemisahan tersebut hanya berlaku pada dua lembaga tersebut tanpa adanya
pembuatan hukum peradilan yang baru, pada masa usman hal yang melanggar dengan
hukum dapat di minimalisair dengan baik, akan tetapi kekurang pada masa usman
ini peradilan yang ada di atas kurang terkontrol sehingga menyebabkan
terbangkang usman karena banyak pemberontakan pada saat itu dan yang terakhir
pada masa Ali tetap berpegang teguh terhadap alquran dan hadis dan apabila ada
hal yang tidak terkandung dalam alquran dan hadis maka penyelasaiian masalhnya
dengan melakukan musywarah di antara sahabat, kekerasan yang ada pada sayyidina
ali menjadi salah satu titik lemah dari peradilan yang diterapkan sehingga pada
saat itu sayyidina ali kalah pada muawiyah dan kekuasaan tersebut berpindah
terhadap muawiyah bin abi sufya. Sedangkan jika dibandingkan dengan masa
sekarang peradilan yang ada pada saat ini masih tetap jauh lebih bagus dari
pada peradilan yang ada pada sebelumnya akan tetapi yang menjadi kekurangan
dari system peradilan yang ada pada saat ini yakni kurangnya penerapan dan
sosialisasi peraturan peraturan hukum yang telah di buat terhadap orang yang
awam akan hukum.
Bab III
PENUTUP
3.1Kesimpulan.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar RA, beliau tidak melakukan perubahan
sistem peradilan seperti yang telah ditinggalkan Nabi Muhammad SAW.Khalifah
Umar bin al-Khattab RA adalah khalifah yang pertama kali memisah kekuasaan
yudisial dari eksekutif. Beliau juga membuat pegangan bagi para hakim
agung.Utsman bin Affan RA tidak banyak melakukan perubahan sistem peradilan
dari apa yang ditinggalkan Umar RA. Utsman adalah khalifah yang pertama kali
membangun gedung khusus untuk peradilan Islam.Ali bin Abi Thalib RA memberi instruksi kepada pemimpin-pemimpin daerah
bagi kriteria orang yang layak untuk diangkat menjadi hakim. Dan pada masa Ali
ini tetap berpegang teguh terhadap alquran dan hadis dan apabila ada hal yang tidak
terkandung dalam alquran dan hadis maka penyelasaian masalahnya dengan
melakukan musywarah di antara sahabat.
3.2 Saran.
Dari peradilan Islam pada masa Khulafaurrasyidin yang
banyak memberikan contoh baik sekiranya tetap diterapkan pada masa sekarang.
Meski sekarang jauh lebih bagus dari pada peradilan yang ada pada masa
sebelumnya, akan lebih baik lagi jika ada sosialisasi kepada masyarakat agar
lebih memahami sistem peradilan Islam itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
·
Ash-shidiqy Hasbi, Sedjarah Peradilan Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
·
Fauzan. M, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata
Peradilan Agam dan Mahkamah Syar’iyah Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.