Perubahan sosial merupakan sebuah proses yang menyeluruh dengan
melibatkan semua komponen yang ada. Untuk itu pendayagunaan semua komponen
dalam hal ini potensi insane dan non-insani yang terlibat di dalamnya
(khususnya di sector pendidikan) harus di maksimalkan. Peluang dan kesempatan
harus di sediakan seluas-luasnya kepada semua komponen tersebut. pada postingan kali ini saya akan share tentang makalah "Memahami Tantangan Pendidikan Islam dalam Teknik Transformasi Sosial" untuk lebih jelasnya silahkan tuntaskan membaca makalah dibawah. selamat membaca.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan Islam yang
berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi ini dituntut untuk mampu
memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Kehadirannya diharapkan mampu
membawa perubahan dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan umat Islam, baik
pada tataran intelektual teoritis maupun praktis.
Pendidikan Islam bukan sekadar proses penanaman nilai
moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling
penting adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan
Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force)
dari himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sosial budaya dan
ekonomi.
Globalisasi merupakan tantangan dan permasalahan baru yang harus dijawab dan dipecahkan dalam upaya memanfaatkan
globalisasi untuk kepentingan kehidupan. Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi
mempercepat akselerasi proses globalisasi. Proses perkembangan globalisasi pada
awalnya ditandai kemajuan bidang teknologi informasi
dan komunikasi.
Globalisasi berpandangan bahwa dunia didominasi oleh
perekonomian dan munculnya hegemoni pasar dunia kapitalis dan ideologi
neoliberal yang menopangnya. Untuk mengimbangi derasnya arus globalisasi perlu
dikembangkan dan ditanamkan karakter nasionalisme guna menghadapi dampak
negatif dari arus globalisasi.
Dampak negative dari era globalisasi ini dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari, seperti budaya berpakaian, gaya rambut, gaya berbicara dan sebagainya.
Selain dampak negative, tentunya
globalisasi juga membawa dampak positif di berbagai bidang kehidupan
politik, ekonomi, ideology sosial budaya dan lain-lain yang tentunya
berdampak pada nilai-nilai nasionalisme terhadap
bangsa.
1.2. Rumusan masalah
1.
Bagaimana
pendidikan islam dalam teknik transformasi sosial?
2.
Seperti apa
tantangan dalam pendidikan dalam era globalilasi?
3.
Apa yang
dimaksud dengan teknologi pendidikan?
1.3.
Tujuan Penulisan
Sesuai dengan
rumusan masalah tersebut maka tujuannya adalah memberikan pemahaman tentang: Pendidikan Islam dalam teknik transformasi social, tantangan dalam
pendidikan dalam era globalilasi, dan teknologi pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pendidikan
Islam dalam Teknik Transformasi Sosial
Pendidikan merupakan salah satu agen perubahan sosial. Pada satu
segi pendidikan dipandang sebagai suatu variabel modernisasi atau pembangunan.
Tanpa pendidikan yang memadai, akan sulit bagi masyarakat mana pun untuk
mencapai kemajuan. Karena itu banyak ahli pendidikan berpandangan bahwa
“pendidikan merupakan kunci yang membuka pintu ke arah modernisasi.
Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan Islam yang berada dalam
atmosfer Modernisasi dan Globalilasi di tuntut untuk mampu memainkan perannya
secara dinamis dan proaktif. Kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan
dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan umat Islam, baik pada dataran
intelektual teoritis maupun praktis.
Perubahan sosial merupakan sebuah proses yang menyeluruh dengan
melibatkan semua komponen yang ada. Untuk itu pendayagunaan semua komponen
dalam hal ini potensi insane dan non-insani yang terlibat di dalamnya
(khususnya di sector pendidikan) harus di maksimalkan. Peluang dan kesempatan
harus di sediakan seluas-luasnya kepada semua komponen tersebut.[1]
2.2 Tantangan Pendidikan dalam Era Globalisasi
Pengertian globalisasi sendiri
diambil dari kata global yang artinya universal. Globalitas
adalah proses baru setidaknya karena tiga alasan. Pertama, pengaruhnya atas ruang
geografis jauh lebih
ekstensif. Kedua, pengaruhnya atas waktu jauh lebih stabil;
pengaruhnya terus berlanjut dari waktu ke waktu. Ketiga, ada
densitas (density) yang lebih besar untuk “jaringan transnasional,
hubungan dan arus pekerjaan jaringan”.[2]
Menurut David Held dan Anthony Mc Grew, tidak ada definisi
globalisasi yang tepat yang disepakati bersama. Globalisasi dapat dipahami
dalam pemahaman yang beragam sebagai kedekatan jarak, ruangan, waktu yang
menyempit, pengaruh yang cepat, dan dunia yang menyempit. Perbedaannya hanya
terletak pada penekanan dari sudut pandang material, ruangan dan waktu, serta
aspek-aspek kognitif dari globalisasi. Namun globalisasi secara sederhana dapat
ditunjukkan dalam bentuk perluasan skala, pengembangan wilayah, dan percepatan
pengaruh dari arus dan pola-pola inter-regional dalam interaksi sosial.
Era globalisasi dewasa ini dan di masa datang sedang dan akan
mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia umumnya
atau pendidikan Islam, termasuk pesantren khususnya. Masyarakat muslim tidak
dapat menghindarkan diri dari proses globalisasi tersebut, apabila ingin
survive dan berjaya ditengah perkembangan dunia yang kian kompetitif di masa
kini. Globalisasi sebenarnya bukanlah fenomena baru bagi masyarakat muslim di
Indonesia.
Tetapi globalisasi yang berlangsung dan melanda masyarakat muslim
Indonesia sekarang ini menampilkan sumber dan watak yang berbeda. Proses
globalisasi dewasa ini, tidak lagi bersumber dari timur tengah melainkan dari
barat yang terus memegang supremasi dan hegemoni dalam berbagai lapangan
kehidupan masyarakat dunia pada umumnya. Globalisasi yang bersumber dari barat
tampil dengan watak ekonomi politik, dan sains teknologi tentu memiliki dampak
positif dan negatif.
Diantara dampak negatif tersebut misalnya terjadi dislokasi,
dehumanisasi, sekularisasi, dan sebagainya. Dampak positifnya antara lain
terbukanya berbagai kemudahan dan kenyamanan baik dalam lingkungan ekonomi
(eksonosfer), informasi (infosfer), teknologi (teknosfer), sosial (sosiosfer),
dan psikologi (psikosfer).
Istilah konteks global bisa berarti banyak hal. Dalam level yang
jelas, secara sederhana berarti seluruh dunia, yang mengimplikasikan bahwa
studi agama harus mencakup semua agama-agama dan bukan hanya dari agama dari
wilayah-wilayah tertentu. Pada level yang lain, ide konteks global
mengimplikasikan adanya kebutuhan mengambil secara serius pandangan dan kajian
kesarjanaan dari bagian dunia yang lain, sehingga studi agama dapat menjadi
global dan tidak hanya bersifat Barat dalam sudut pandangannya.
Model modern hingga saat ini adalah model ilmu-ilmu alam dengan
penekanan utama pada analisis alam dan keterjerumusannya pada spesialisasi yang
terlalu tajam. Tantangan dan benturan terhadap kesarjanaan dalam konteks global
modern telah membuka jalan bagi studi intensif berkenaan dengan hakikat sains,
humaniora, dan teologi, serta hubungan diantara mereka.[3]
Berbagai perubahan di era global di masa depan akan sangat terbuka
disertai ketergantungan kultur yang bersifat global. Tenaga kerja luar negeri
akan masuk ke tanah air tidak dapat dibendung. Kecenderungan ini diperkuat oleh
laju perkembangan teknologi informasi yang dengan mudah dapat di akses dan
dapat mengubah sikap moral, sosial, dan intelektual seseorang dalam waktu
cepat.
Pada tataran konsep globalisasi tidak bertentangan dengan Islam.
Bahkan Islam sejalan dengan globalisasi karena Islam adalah universal dan
“Rahmatan lil ‘alamin”. Namun globalisasi yang terjadi akhir-akhir ini adalah
globalisasi yang lebih merupakan konsep dan beranjak dari terminology Barat
(AS). Globalisasi pada yang terakhir ini, lebih mengarah pada pemaksaan
hegemoni politik, ekonomi, sosial, dan budaya dari AS kepada dunia, khususnya
dunia Timur atau dunia ketiga, dan lebih khusus lagi dunia Islam. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa dalam konsep versi Barat, globalisasi berarti
“westernisasi dunia”. Konsep ini merupakan istilah santun bagi imperialisme
gaya baru yang telah menanggalkan baju lama dan cara-cara kunonya, untuk
memainkan hegemoni baru dengan payung istilah yang lembut, yakni “globalisasi”.
Tantangan di era globalilasi menuntut respons tepat dan cepat dari
sistem pendidikan Islam secara keseluruhan. Kaum muslimin tidak hanya ingin
sekedar survive di tengah persaingan global yang semakin tajam dan ketat,
tetapi juga berharap mampu tampil di depan, maka re-orientasi pemikiran
mengenai pendidikan Islam dan rekontruksi sistem dan kelembagaan merupakan
keniscayaan. Umat Islam tidak boleh hanya berpangku tangan dan menonton dari
luar seluruh perkembangan yang terjadi.
Dalam konsep ini, fakultas-fakultas agama tetap di pertahankan
seperti yang ada sekarang, namun perlu dikembangkan kurikulumnya yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat pengguna jasa IAIN di era global dan di perkuat
tenaga pengajar dan dosen-dosennya dengan berbagai metode dan pendekatan baru
dalam Islamic studies , humanities, dan ilmu-ilmu sosial. Sedangkan dalam
fakultas-fakultas umum perlu dibekali muatan-muatan spiritualitas dan moral
keagamaan yang lebih kritis dan terarah dalam format intergrated curriculum,
bukannya separated curriculum yang berjalan selama ini.[4]
Dalam kerangka struktur berpikir masyarakat agama, proses
globalisasi dianggap berpengaruh atas kelangsungan perkembangan identitas
tradisional dan nilai-nilai agama. Kenyataan tersebut tidak lagi dapat
dibiarkan oleh masyarakat agama. Karenanya, respon-respon konstruktif dari
kalangan pemikir dan aktivitas agama terhadap fenomena di atas menjadi sebuah
keharusan.
Dalam alur seperti ini, sebenarnya yang terjadi adalah
dialog positif antara prima facie norma-norma agama dengan
realitas empirik yang selalu berkembang. Meskipun demikian, penting untuk
dicatat, bahwa ‘pertemuan’ (encounter) masyarakat agama dengan realitas
empirik tidak selalu mengambil bentuk wacana dialogis yang konstruktif.
Alih-alih yang muncul adalah mitos-mitos ketakutan yang membentuk kesan, bahwa
globalisasi dengan serta yang membentuk kesan, bahwa globalisasi dengan
serta-merta menyebabkan posisi agama berada di pinggiran.
2.3 Pengaruh Globalisasi
Globalisasi
mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia dalam berbagai
aspek kehidupan, baik aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain
termasuk pendidikan. Globalisasi telah mempengaruhi generasi muda Islam,
terutama di Negara-negara Timur Tengah atau Negara-negara Islam dan
Negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Budaya komunisme.
Hedonisme, dan ketergantungan terhadap budaya barat menjadi fenomena baru bagi
generasi muda Islam. Model dan cara berpakaian yang tidak Islami
(mempertontonkan aurat), jenis makanan dan minuman yang dinikmati sudah jauh
dari menu dan kekhasan local, pengaruh bebas dan pergaulan muda-mudi yang tidak
mengenal tata karma merajalela dimana-mana, semakin terkikisnya nilai
kekeluargaan dan gotong royong dan sebagainya adalah merupakan pengaruh negatif
dari globalisasi.
Globalisasi juga
sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan pendidikan, baik terhadap tujuan,
proses, hubungan guru dan murid, etika, metode ataupun yang lainnya. Proses
globalisasi berpengaruh bagi kelangsungan perkembangan identitas tradisional
dan nilai-nilai agama, tentu saja tidak dapat dibiarkan begitu saja. Kalangan
agamawan, pemikir, pendidik, bahkan penguasa harus merespon secara konstruktif
terhadap berbagai persoalan yang ditimbulkan sebagai akibat dari pengaruh
globalisasi ini.
Era global/informasi menjadikan semua transparan. Apa yang terjadi
dibelahan dunia yang satu, dan dibelahan dunia yang lain dapat dengan cepat
diketahui. Hubungan seseorang dengan yang lainnya. Teknologi dan komunikasi
menjadi sedemikian dekat, gampang, dan mudah. Informasi, pengetahuan dan
lain-lainnya dengan mudah kita dapatkan dari berbagai media baik radio,
televisi, internet, koran, majalah, dan lain sebagainya. Dengan demikian,
banyak hal yang dapat mendorong pendidikan untuk meningkatkan kualitas dirinya,
baik dalam hal kelembagaan, tujuan, kurikulum, metode, dan lain sebagainya.
Peranan pendidikan dalam menghadapi globalisasi sangat penting
sebagai landasan nilai dan moral anak didik. Agar peran pendidikan dapat
berfungsi maksimal dalam menanggapi globalisasi maka ada beberapa hal yang
sekiranya patut di perhatikan. Diantaranya;
1.
Penigkatan mutu
sumber daya manusia, diantara tuntutan internal dan tantangan eksternal global
maka diantara keunggulan-keunggulan yang mutlak dimiliki bangsa dan Negara
Indonesia, adalah penguasaan atas sains dan teknologi, dan keunggulan kualitas
sumber daya manusia (SDM).
2.
Pengembangan
ilmu sosial profetik. Dengan ilmu sosial profetik yang kita bangun dari ajaran
Islam, kita tidak perlu takut atau khawatir terhadap dominasi sains barat dan
arus globalisasi yang terjadi saat ini. Islam selalu membuka diri terhadap
seluruh warisan peradaban. Islam adalah sebuah paradigma terbuka.
3.
Mendekonstruksi
metode dan managemen. Metodologi dan managemen yang selama ini kita pakai harus
dirubuhkan dan dibangun lagi yang terbaru, yang dapat membawa semangat dan
konsep baru sehingga menghasilkan tujuan yang diinginkan sesuai tuntutan modern
sekarang ini.
4.
Tersedianya
sarana dan prasarana yang memadai. Sarana dan prasarana merupakan unsur penting
yang sangat menunjang bagi kelancaran dan keberhasilan proses pendidikan. Oleh
karena itu, sarana dan prasarana akademik mutlak perlu, baik berupa
perpustakaan, gedung pembelajaran, mesjid, dan lain sebgainya.
5.
Terdapat
kurikulum yang handal yang berwawasan masa kini dan masa depan. Kurikulum ini
diharapkan dapat menciptakan manusia-manusia yang memiliki kemampuan yang
berkualitas dan memiliki keterampilan dan kecakapan dalam hidup. Kurikulum yang
dimaksud adalah kurikulum yang berbasis kompetensi (KBK).
Seiring dengan terjadinya perubahan dalam kehidupan masyarakat,
bangsa, dan Negara serta perkembangan dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni jelas diperlukan perubahan kurikulum secara berkala. Kurikulum ini
dibutuhkan karena adanya perkembangan dan perubahan global dalam berbagai aspek
kehidupan yang datang begitu cepat dan menurut perhatian segera dan serius.[5]
Upaya
memformulasikan kembali teori dan praktek pendidikan Islam segera dilakukan.
Untuk itu pendidikan Islam harus kontekstual terhadap arus global, pada intinya
menghilangkan batas pendidikan Islam yang dikotomik
menuju
pendidikan yang integralistik.
Hal-hal
yang perlu dilakukan pendidikan Islam antara lain;
a.
Mengharmoniskan kembali
ayat-ayat ilahiyah dengan ayat-ayat kauniyah.
b.
Islamisasi ilmu pengetahuan.
c.
Mengharmoniskan kembali relasi
Tuhan dan manusia dalam bentuk pendidikan yang teoantroposentris dengan titik
tekan bahwa manusia itu makhluk Tuhanyang mulia.
d.
Mengharmoniskan antara iman
dengan ilmu dimana keduanya tersebut tidak boleh dipisahkan.
e.
Mengharmoniskan antara
pemenuhan kebutuhan rohani (spiritual-ukhrawi) dengan pemenuhan kebutuhan
jasmani (material-duniawi).
f.
Mengharmoniskan antara wahyu
dengan daya intelektual (berfikir, kritis dan rasional)
2.4 Teknologi Pendidikan
Teknologi secara etimologi diambil dari bahasa inggris yaitu
“technology” yang berarti kajian, telaah, penelitian yang sistematis, dan
ilmiah. Teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan sains, bersumber atau
berkaitan erat dengan alam semesta. Tujuan penciptaan dan penerapan teknologi
adalah untuk kenyamanan manusia.
Sedangkan teknologi pendidikan yaitu konsep pendidikan yang
mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan pendidikan dalam
menyampaikan informasi. Namun di antara keduanya ada perbedaan. Dalam teknologi
pendidikan, lebih diutamakan pembentukan dan penguasaan kompetensi atau
kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya.
Pada tingkatan sub organisme, teknologi berperan sebagai abdi
manusia yang setia. Teknologi masih berwujud perkakas yang merupakan
perpanjangan tangan manusia. Sebagai contoh pisau adalha perpanjangan tangan
manusia dan kukunya untuk memotong. Teknologi kemudian berkembang pada taraf
semiorganisme dimana ia tak lagi menjadi kawan melainkan menjadi lawan yang
harus di taklukkan. Ketika teknologi menjelma dan berwujud mesin-mesin, ia
menjadi organisme sendiri yang terpisah dari manusia.
Dampak negative teknologi terhadap manusia. Teknologi sekarang ini
memasuki semua kehidupan kita, sebagian berasal dari Barat. Teknologi yang
berasal dari Asia, kebanyakan juga berasal dari masyarakat dan bangsa yang
mayoritas non-muslim seperti Jepang, Korea, dan Cina. Teknologi yang berasal
dari barat akan membawa serta kebudayaan barat yang mayoritas non-muslim.
Prinsip-prinsip teknologi yang demikian itu seringkali bertentangan dengan
agama.
Teknologi jelas membawa perubahan pada pola pikir seseorang.
Kemajuan teknologi menuntut pemahaman agama yang komprehensif. Meskipun
demikian, teknologi tidak selalu berdampak negative. Manfaat dan mudhorot
teknologi tergantung kepada penyaji atau provider dan penggunanya. Dalam contoh
yang sangat sederhana, teknologi sound-system dan rekaman mampu menyampaikan
pesan agama secara efektif. Bagaimana mungkin seorang muballigh mampu
menyampaikan isi tablighnya apabila ia berbicara di Istora Senayan tanpa
pengeras suara. Dengan pengeras suara, isi tabligh atau ceramahnya dapat
didengar dengan baik dan jelas.
Perkembangan teknologi yang sangat maju harus direspon dengan sikap
positif. Jika teknologi lebih banyak menimbulkan mudharat dalam kehidupan
muslim, maka kesalahan tersebut terletak dalam diri muslim bukan oleh
teknologinya. Teknologi bisa di manfaatkan sebagai media pembelajaran dalam
dalam pendidikan agama islam. Misalnya, menggunakan televisi dan video untuk
mengajarkan sholat. Dengan memanfaatkan teknologi ini, siswa dapat mempelajari
shalat secara efektif. Siswa dapat menirukan bacaan dari suara yang didengar
dan melihat gerakan shalat dari gambar.
Pemanfaatan teknologi canggih tersebut memiliki dua keuntungan.
Pertama, pembelajaran agama menjadi lebih menarik, efektif dan efisien. Kedua,
siswa memiliki sikap positif terhadap teknologi karena membuktikan dan
mempraktekkan sendiri manfaat dan penggunaannya. Pembelajaran agama tidak
dilakukan secara docmatic dan emosional, tetapi rasional dan diologis dan sikap
terbuka terhadap teknologi.[6]
Dalam konsep pendidikan teknologi, isi dipilih oleh tim ahli
bidang-bidang khusus yang berupa data-data objektif dan
keterampilan-keterampilan yang mengarah kepada kemampuan vokasional. Isi
disusun dalam bentuk desain pengajaran yang disampaikan dengan menggunakan
bantuan media elektronika dan para peserta didik belajar secara individual.
Mereka berusaha untuk menguasai sejumlah besar bahan dan pola-pola kegiatan secara
efisien tanpa refleksi.
Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam
masyarakat. Guru berperan sebagai direktur dalam proses belajar, lebih banyak
mengelola daripada menyampaikan bahan ajar.
Teknologi pendidikan menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum
teknologis, yaitu model kurikulum yang bertujuan memberikan penguasaan
kompetensi bagi para peserta didik melalui metode pembelajaran individual,
media buku, atau elektronik sehingga mereka dapat menguasai sejumlah
keterampilan dasar.[7]
Teknik operasional yang dipraktekkan oleh teknologi islam terapan
pada dasarnya adalah rekayasa metodologis potensi teori empiris dengan bantuan
ilmu-ilmu bantu. Potensi seperti ini baru tumbuh dalam kondisi tertentu sesuai
dengan sifat hubungan variabel yang ditemukan dalam penelitian. Bukan tidak
mungkin, sifat hubungan ini berada dalam hubungan multivariable, dengan
memiliki variabel pengganggu atau variabel antara atau sifat hubungan dalam
bentuk kausal, korelasi, interaktif, atau bentuk-bentuk lain.
Satuan-satuan perilaku atau perbuatan yang mungkin ditumbuhkan
dalam keberagaman Islam demikian beragam, karena menjangkau seluruh segi
kehidupan umat manusia. Belum lagi jika dipertimbangkan bahwa wujud perbuatan
dan perilaku ini dapat dalam bentuk perorangan maupun kelompok. Untuk
menumbuhkan suatu satuan perbuatan atau perilaku, diperlukan proses yang cukup
panjang, mulai dari tahap penyadaran iman sampai terbentuknya fenomena empiris.
Pada masing-masing lapis, eksistensi dan aspek gejala ini dapat
didekati dari berbagai pendekatan ilmu. Semua unsur ini menjadi pertimbangan
perumusan teknologi Islam terapan. Oleh karena itu, sebagai upaya penjelasan,
contoh-contoh konkretnya dapat dalam bentuk teknologi shalat, kerukunan agama,
terapi agama, pemberantasan korupsi kolusi dan nepotisme, tasawwuf amali dan
berbagai ragam perilaku agama dalam Islam.[8]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pendidikan merupakan salah satu agen perubahan sosial. Pada satu
segi pendidikan dipandang sebagai suatu variabel modernisasi atau pembangunan.
Tanpa pendidikan yang memadai, akan sulit bagi masyarakat mana pun untuk
mencapai kemajuan. Karena itu banyak ahli pendidikan berpandangan bahwa
“pendidikan merupakan kunci yang membuka pintu kea rah modernisasi”.
Tantangan di era globalilasi menuntut respons tepat dan cepat dari
sistem pendidikan Islam secara keseluruhan. Kaum muslimin tidak hanya ingin
sekedar survive di tengah persaingan global yang semakin tajam dan ketat,
tetapi juga berharap mampu tampil di depan, maka re-orientasi pemikiran
mengenai pendidikan Islam dan rekontruksi sistem dan kelembagaan merupakan
keniscayaan. Umat Islam tidak boleh hanya berpangku tangan dan menonton dari
luar seluruh perkembangan yang terjadi.
Pada tingkatan sub organisme, teknologi berperan sebagai abdi
manusia yang setia. Teknologi masih berwujud perkakas yang merupakan
perpanjangan tangan manusia. Sebagai contoh pisau adalha perpanjangan tangan
manusia dan kukunya untuk memotong. Teknologi kemudian berkembang pada taraf
semiorganisme dimana ia tak lagi menjadi kawan melainkan menjadi lawan yang
harus di taklukkan. Ketika teknologi menjelma dan berwujud mesin-mesin, ia
menjadi organisme sendiri yang terpisah dari manusia.
Pemanfaatan teknologi canggih tersebut memiliki dua keuntungan.
Pertama, pembelajaran agama menjadi lebih menarik, efektif dan efisien. Kedua,
siswa memiliki sikap positif terhadap teknologi karena membuktikan dan
mempraktekkan sendiri manfaat dan penggunaannya. Pembelajaran agama tidak
dilakukan secara docmatic dan emosional, tetapi rasional dan diologis dan sikap
terbuka terhadap teknologi.
3.2. Saran
Sampainya
tulisan ini kepada para pembaca, diharapkan mampu memancing gairah kepedulian
untuk ikut berpartisipasi menuju pembahasan yang lebih kompleks lagi. Oleh
karena itu penulis sedikit menyengaja memberikan ruang hampa untuk tempat para
partisipator menyumbangkan ide-ide yang konstruktif dan imajinatif sebagai
calon pemuka intelektual masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi,
Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2010.
A.
Kadir Muslim, Ilmu
Islam Terapan, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2003.
Kholiq Abdul, Dkk, Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta;
Pustaka Pelajar, 2001.
Langgulung
Hasan. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikhologi dan
Pendidikan, Jakarta; PustakaAl-Husna, 1986.
Minarti Sri, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta; Amzah, 2013.
Nata Abuddin, Prof, Dr. H.
MA, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung; Angkasa Bandung, 2003.
Norma Permata Ahmad, Metodologi Studi Agama, Yogyakarta;
Pustaka Pelajar, 2000.
[1]
Abdul Kholiq, Dkk, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta; Pustaka
Pelajar, 2001). Hlm; 287.
[2] Hasan Langgulung. Manusia dan
Pendidikan Suatu Analisa Psikhologi dan Pendidikan, (Jakarta; PustakaAl-Husna, 1986). Hlm; 341.
[3]
Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, (Yogyakarta; Pustaka
Pelajar, 2000), Hlm; 483.
[4]
Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta; Pustaka
Pelajar, 2010). Hlm; 99.
[5] Abuddin
Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung; Angkasa Bandung, 2003).
Hlm; 185.
[6]
Ibid, Hlm; 358.
[7] Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta; Amzah, 2013).
Hlm; 134.
[8] Muslim A. Kadir, Ilmu Islam Terapan, (Yogyakarta; Pustaka
Pelajar, 2003), Hlm; 60.