Selamat Datang di Blog Kami. Blog ini meyediakan berbagai macam informasi seputar Pendidikan, Karya Tulis Ilmiah,Dan lain-lain. Membangun Indonesia Melalui Pendidikan

Pemikiran Ekonomi menurut Al-Syaibani

Untuk Mendapatkan File Makalah atau Artikel dibawah ini, Silahkan Klik Download! download
Pemikiran ekonomi Al-Syaibani dapat dilihat pada Kitab al-Kasb yaitu sebuah kitab yang lahir sebagai respon beliau terhadap sikap Zuhud yang tumbuh dan berkembang pada abad kedua Hijriyah. Secara keseluruhan, kitab ini mengungkapkan kajian mikro ekonomi yang bekisar pada teori Kasb (pendapatan) dan sumber-sumbernya serta pedoman prilaku produksi dan konsumsi.

      A.    Riwayat Hidup Al-Syaibani
Abu Abdilah Muhamad Bin Al-Hasan bin Farqad  Al Syaibani lahir pada tahun 132 H (750 M) di kota washit, ibu kota Irak pada masa akhir pemerintahan Bani Umawiyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaiban di jazirah Arab. Bersama orang tuanya, Al-Syaibani pindah ke kota Kuffah yang ketika itu merupakan salah satu kegiatan ilmiah. Di kota tersebut, ia belajar fiqih, sastra, bahasa, dan hadits kepada para ulama setempat, seperti Mus’ar bin Kadam, Sufyan Tsauri, Umar bin Dzar, dan Malik bin Maqhul. Pada usia 14 tahun Al Syaibani berguru kepada Abu Hanifah selama 4 Tahun. Setelah itu Ia berguru kepoada Abu Yusuf yang merupakan murid dari Abu Hanifah.[1]
Dalam menuntut ilmu, Al-Syaibani tidak hanya berinteraksi dengan para ulama ahl al-ra’yu, tetapi juga ulama ahl al-hadits.Hal tersebut memberikan nuansa baru dalam pemikiran fiqihnya yang membuat ia mengetahui berbagai hadits yang tidak di peroleh dari Abu Hanifah. Berkat keluasan pendidikannya ini, ia mampu mengombinasi antara aliran ahl al-ra’yu di Irak dengan ahl al-hadits di Madinah.
Al-Syaibani pernah di angkat menjadi hakim di kota Irak oleh Khalifah Harun Al-Rasyid. Namun tugas ini hanya berlangsung singkat karena ia mengundurkan diri untuk berkonsentrasi pada pengajaran dan penulisan fiqih. Al-Syaibani meninggal dunia pada tahun 189 H (804 M) di kota al_ray, dekat Teheran, dalam usia 58 Tahun.[2]

      B.     Karya-Karya Al-Syaibani
Dalam menulis pokok-pokok pemikiran fiqhnya, Al-Syaibani menggunakan istihsan sebagai metode ijtihadnya. Ia merupakan sosok ulama yang sangat produktif. Kitab-kitabnya dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan, yaitu:[3]
a.       Zhahir al-Riwayah
Yaitu kitab-kitab yang ditulis berdasarkan pelajaran yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah. Kitab Zahir ar-Riwayah terdiri atas enam judul, yaitu al-Mabsut, al-Jami’ al-Kabir, al-Jami’ as-Sagir, as-Siyar al-Kabir, as-Siyar as-Sagir, dan az-Ziyadat.
Keenam kitab ini berisikan pendapat Imam Abu Hanifah tentang berbagai masalah keislaman, seperti fikih, usul fikih, ilmu kalam, dan sejarah. Keenam kitab ini kemudian dihimpun oleh Abi al-Fadl Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w.334 H/945 M) salah seorang ulama fikih Mazhab Hanafi, dalam salah satu kitab yang berjudul al-Kafi.
b.      Al-Nawadir
Yaitu kitab yang ditulis berdasarkan pandangannya sendiri, seperti Amali Muhammad fi al-fiqh, al-Ruqayyat, al-Makharij fi al-Hiyal , al-Raddad ‘ala Ahl Madinah al-Ziyyah al-Atsar, dan al-Kasb.

      C.    Pemikiran Ekonomi Al-Syaibani
Pemikiran ekonomi Al-Syaibani dapat dilihat pada Kitab al-Kasb yaitu sebuah kitab yang lahir sebagai respon beliau terhadap sikap Zuhud yang tumbuh dan berkembang pada abad kedua Hijriyah. Secara keseluruhan, kitab ini mengungkapkan kajian mikro ekonomi yang bekisar pada teori Kasb (pendapatan) dan sumber-sumbernya serta pedoman prilaku produksi dan konsumsi. Kitap ini merupakan kitab pertaman di dunia Islam yang membahas permasalahan ini. Dr. al-Janidal menyebut al-Syaibani sebagai salah satu perintis ilmu ekonomi dalam islam. Hal-hal yang di kemukakan di antaranya adalah :[4]
1.      Al-Kasb (Kerja)
Menurut Al-Syaibani al-Kasb (kerja) yaitu sebagai mencari perolehan harta melaui berbagai cara yang halal. Kerja merupakan hal yang paling penting untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Allah telah menjadikan dunia ini dengan berbagai ciptaannya temasuk manusia. Manusia diciptakan sebagai khalifah dan bekerja keras untuk memenuhi kehidupanya. Dan manusia disuruh menyebar untuk mencari karunia Allah.Dalam ilmu ekonomi, aktivitas ini termasuk dalam aktivitas produksi
Dalam ekonomi islam berbeda dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional. Perbedaannya adalah jika dalam ekonomi islam, tidak semua aktivitas yang menghasilkan barang atua jasa disebut sebagai aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat erat kaitannya dengan halal haramnya suatu barang atau jasa dan cara memperolehnya. Maksudnya aktivitas menghasilkan barang dan jasa yang halal saja yang dapat disebut sebagai aktivitas produksi. Dalam memproduksi, kita harus mengetahi apa produk yang akan diproduksi, bagaimana cara memproduksi barang tersebut, apa tujuan dari produk yang diproduksikan, dan kepada siapa produk akan dituju. Hal itu harus kita ketahui agar terhindar dari produksi yang dilarang oleh Islam.
Produksi barang atau jasa dalam ilmu ekonomi yaitu barang atau jasa yang mempunyai utilitas (nilai guna). Dalam isalm, barang dan jasa mempunyai nilai guna jika dan hanya mengandung kemaslahatan. Seperti yang di ungkapkan oleh Imam asy-Syatibi yang mengatakan bahwa kemaslahatan hanya dapat dicapai dengan memelihara lima unsur pokok kehidupan yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[5]Dengan demikian seorang muslim termotivasi untuk memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki maslahat tersebut.
Dalam pandangan islam, aktivitas produksi merupakan bagian dari kewajiban akan ‘Imarul Kaum, yaitu menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk. Asy-Syaibani menegaskan kerja merupakan unsur utama produksi mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan karena menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah SWT dan karenanya hukum bekerja adalah wajib. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil, yaitu:[6]
1.      Firman Allah QS. Al-Jumu’ah: 10
Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.

2.      Hadits Rasulullah Saw,
“ Mencari pendapatan adalah wajib bagi setiap muslim.”

3.      Amirul Mukminin Umar ibn al-Khattab r. a. Lebih mengutamakan derajat kerja daripada jihad. Sayyidina Umar menyatakan, dirinya lebih menyukai meninggal pada saat berusaha mencari sebagian karunia Allah Swt di muka bumi daripada terbunuh di medan perang, karena Allah Swt mendahulukan orang-orang yang mencari sebagian karunia-Nya daripada para mujahidin melalui firman-Nya:
“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah….”( QS. Al-Muzammil: 20).

Berdasarkan hal tersebut, Al-Syaibani menyatakan bahwa sesuatu yang dapat menunjang terlaksananya yang wajib, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya. Untuk menunaikan berbagai kewajiban tersebut, seseorang memelukan kekuatan jasmani yang akan diperoleh melalui mengonsumsi makanan dan kerja keras. Dengan demikina, hokum bekerja wajib.Selain itu, bekerja merupakan ajaran para Rasul terdahulu yang mana sebagai kaum muslimin di perintahkan untuk meneladani hidup mereka.
Dari penjelasan di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa bekerja dalam pandangan Al-Syaibani adalah hidpu untuk meraih keridhaan Allah SWT., dan juga merupakan usaha untuk mengaktofkan roda perekonomian termasuk produksi, konsumsi, dan distribusi.

2.      Kekayaan dan Kefakiran
Menurut Al Syaibani sekalipun banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Ia menyatakan bahwa apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegas pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka.
Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir diartikannya sebagai kondisi yang cukup (kifayah), bukan kondisi meminta-minta (kafalah). Di sisi lain, ia berpendapat bahwa sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya hidup dalam kemewahan. Sekalipun begitu, ia tidak menentang gaya hidup yang lebih dari cukup selama kelebihan tersebut hanya digunakan untuk kebaikan.

3.      Klasifikasi Usaha-usaha Perekonomian
Al-syaibani, membagi usaha-usaha perekonomian atas empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian, dan perindustrian. Sedangkan para ekonom kontemporer membagi menjadi tiga, yaitu pertanian, perindustrian, dan jasa. Menurut para ulama tersebut usaha jasa meliputi usaha perdagangan. Diantara keempat usaha perekonomian tersebut, Al-Syaibani lebih mengutamakan usaha pertanian dari usaha lain. Menurutnya, pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksakan berbagai kewajibannya. Dalam perekonomian, pertanian merupakan suatu usaha yang mudah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Allah telah menyediakan sawah dan ladng untuk bercocok tanam. Dan makanan yang kita makan merypakan hasil dari pertanian.
Dari segihukum, Al-Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi dua, yaitu :
a.       Fardu kifayah. Berbagai usaha perekonomian dihukum fardu kifayah apabila telah ada orang yang mengusahakannya atau menjalankannya, roda perekonomian akan terus berjalan dan jika tidak seorang pun yang menjalankannya, tata roda perekonomian akan hancur berantakan yang berdampak pada semakin banyaknya orang yang hidup dalam kesengsaraan. Maka dari itu kita disuruh untuk bekerja dan berusa di muka bumi ini.
b.      dan fardu ‘ain. Berbagai usaha perekonomian dihukum fardu ‘ain karena usaha-usaha perekonomian itu mutlak dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan orang-orang yang ditanggunganya. Bila tidak dilakukan usaha-usaha perekonomian, kebutuhan dirinya tidak akan terpenuhi, begitu pula orang yang ditanggungnya, sehingga akan menimbulkan akan kebinasaan bagi dirinya dan tanggungannya.

4.      Kebutuhan-kebutuhan Ekonomi
Al-Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara, yaitu makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Para ekonom lain mengatakan bahwa keempat hal ini adalah tema ilmu ekonomi. Jika keempat hal tersebut tidak pernah diusahakan untuk dipenuhi, ia akan masuk neraka karena manusia tidak akan dapat hidup tanpa keempat hal tersebut.

5.     Spesialisasi dan Distribusi Pekerjaan
Manusia tidak akan bisa hidup sendirian tanpa memerlukan orang lain. Begitupula pendapat yang di kemukakan oleh Al-Syaibani yang menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan orang lain. Seseorang tidak akan menguasai pengetahuan semua hal yang dibutuhkan sepanjang hidupnya dan manusia berusaha keras, usia akan membatasi dirinya. Oleh karena itu, Allah SWT memberi kemudahan pada setiap orang untuk menguasai pengetahuan salah satu diantaranya, Allah tidak akan mempersulit makhluknya yang mau berusaha tetapi akan memberikan jalan atau petunjuk untuk dirinya. sehingga manusia dapat bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Allah SWT berfiman dalam surat az-Zukhruf ayat:32
“dan kami telah meninggikan sebagian mereka ats sebagian yang lain beberapa derajad........

Al-Syaibani menandaskan bahwa seorang yang fakir dalam memenuhi kebutuhan hidupnya akan membutuhkan orang kaya sedangkan yang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong-menolong tersebut, manusia akan semakin mudah dalam menjalankan aktivitas ibadah kepada-Nya. Dan Allah mengatakan dalam Qur’an surat al-Maidah ayat : 2
“….dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa…”

Rasulullah saw bersabda:
“sesungguhnya Allah SWT selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya tersebut menolong saudara muslimnya.” (HR Bukhari-Muslim)

Selain itu Al-syaibani menyatakan bahwa apabila seseorang bekerja dengan niat melaksanakan ketaatan kepada-Nya atau membantu suadaranya tersebut niscaya akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya. Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti di atas merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek secara bersamaan, yaitu aspek religius dan aspek ekonomis.
Suatu pekerjaan yang baik merupakan suatu ibadah, agar kita bisa hidup lebih sederhana dalam memenuhi kebutuhan hidup. Jika manusia hanya menunggu karunia dari-Nya, niscaya itu tidak akan perna ada rezeki untuk dirinya karna tidak mau berusaha. Dan bersyukurlah atas rezeki yang telah Allah berikan. Karna Allah akan menambahkan rezeki bagi orang yang mau mensyukurinya.



[1] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hlm. 254
[2] Ibid, hlm.255
[3] Ditulis oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 107
[4] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran ....................hlm. 257
[5]Ibid, hlm. 254
[6] Fadllan, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Surabaya: Pena Salsabila, 2003), hlm.95