Rahn (gadai) adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut
pandangan syariat sebagai jaminan hutang, sementara si penerima barang gadai
gadai dimungkinkan bisa mengambil barang itu sebagai ganti utang atau mengambil
sebagian manfaatnya. Pemilik barang yang berhutang disebut Rahin (penggadai),
pemberi utang yang menahan barang dibawah kekuasaannya disebut Murtahin
(penerima gadai) dan barang yang digadaikan disebut Rahn (barang gadaian).
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam adalah agama yang sempurna dan telah meletakkan kaedah-kaedah dasar
dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah maupun
mu’amalah. Setiap orang pasti butuh berinteraksi dengan orang lainnya untuk
saling menutupi kebutuhan dan saling
tolong-menolong diantara mereka. Hutang piutang terkadang tidak dapat
dihindari, padahal banyak bermunculan fenomena ketidak percayaan diantara
manusia. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang
berharga dalam meminjamkan hartanya.
Dalam hal jual-beli sungguh beragam, bermacam-macam cara orang untuk
mencari uang dan salah satunya dengan cara Rahn (gadai). Para ulama berpendapat
bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika memenuhi syarat dan
hukumnya. Akan tetapi, banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut
sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tanpa
mengetahui dasar hukum gadai tersebut. Oleh karena itu, kami akan mencoba
sedikit menjelaskan apa itu gadai dan hukumnya.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah penjelasan QS Al-Baqarah ayat 283?
2. Apa sajakah makna mufradat QS Al-Baqarah ayat 283?
3. Bagaimanakah munasabah ayat QS Al-Baqarah ayat 283?
4. Bagaimanakah kandungan QS Al-Baqarah ayat 283?
5. Apa sajakah dampak sosial dan ekonomi tentang gadai?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui penjelasan QS
Al-Baqarah ayat 283.
2. Untuk mengetahui makna mufradat QS Al-Baqarah ayat 283.
3. Untuk mengetahuimunasabah ayat QS Al-Baqarah ayat 283.
4. Untuk mengetahuikandungan QS Al-Baqarah ayat 283.
5. Untuk mengetahuidampak sosial dan ekonomi tentang gadai.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Penjelasan QS Al-Baqarah Ayat 283
Rahn (gadai) adalah menjadikan barang yang mempunyai
nilai harta menurut pandangan syariat sebagai jaminan hutang, sementara si
penerima barang gadai gadai dimungkinkan bisa mengambil barang itu sebagai
ganti utang atau mengambil sebagian manfaatnya. Pemilik barang yang berhutang
disebut Rahin (penggadai), pemberi utang yang menahan barang dibawah
kekuasaannya disebut Murtahin (penerima gadai) dan barang yang digadaikan
disebut Rahn (barang gadaian).[1]
Allah berfirman :
وإن كنتم على سفر و لم تجدوا كاتبا فرهن مقبوضة فإن آمن بعضكم بعضا فليؤد الذى اؤتمن آ منته
وليتق الله ربه ولا تكتمواالشهدة ومن
يكتمها فإنه ءاثم قلبه والله بما تعملو ن
عليم
Artinya:
Jika kamu dalam perjalanan dan bermu’amalah
secara tunai sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang
siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Tentu
saja tuntunan-tuntunan ayat yang lalu tidak sukar dilaksanakan jika seseorang
berada dalam kota., dimana para saksi dan penulis berada. Tetapi, jika kamu
dalam perjalanan, dan bermu’amalah tidak secara tunai sedang kamu tidak
mendapatkan seorang penulis yang dapat menulis hutang-piutang sebagaimana mestinya, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang.Ayat ini menjadi dalil
atas bolehnya menggadai.[2]
Ayat ini juga menunjukkan adanya gadaian itu ketika dalam perjalanan atau
ketika tidak terdapat juru tulis yang akan menuliskannya.
Bolehnya memberi barang tanggungan sebagaimana
jaminan atau dengan kata lain menggadai, walau dalam ayat ini dikaitkan dengan
perjalanan, tetapi itu bukan berarti bahwa menggadaikan hanya dibenarkan dalam
perjalanan. Nabi SAW pernah
menggadaikan perisai beliau kepada
seorang Yahudi, padahal ketika itu beliau sedang berada di Madinah. Dengan
demikian, penyebutan kata dalam perjalanan, hanya karena seringnya tidak
ditemukan penulis dalam perjalanan. Dari sisni pula dapat ditarik kesimpulan
bahwa sejak masa turunnya ayat ini Al-Qur’an telah menggarisbawahi bahwa
ketidak mampuan menulis hanya dapat ditoleransi untuk sementara bagi yang tidak
bertempat tinggal atau nomad.[3]
Bahkan
menyimpan barang sebagai jaminan atau menggadainya pun yang tidak harus
dilakukan, karena itu jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya, hutang atau apapun yang dia
terima. Disini jaminan bukan berbentuk tulisan atau saksi, tetapi kepercayaan
dan amanah timbal balik. Hutang diterima oleh pengutang, dan barang jaminan
diserahkan kepada pemberi utang.
Amanah
adalah kepercayaan dari yang memberi terhadap yang diberi atau dititipi, bahwa
sesuatu yang diberikan atau dititipkan kepadanya itu akan terpelihara
sebagaimana mestinya. Dan pada saat yang menyerahkan memintanya kembali, maka
ia akan menerimanya utuh sebagaimana adanya tanpa keberatan dari yang dititipi.
Yang menerima pun menerimanya atas dasar kepercayaan dari pemberi, bahwa apa
yang diterimanya diterima sebagaimana adanya dan kelak si pemberi/penitip tidak
akan meminta melebihi apa yang diberikan atau disepakati kedua pihak. Karena
itu, lanjutan ayat ini mengingatkan agar hendaklah ia, yakni yang menerima dan
memberi bertakwa kepada Allah Tuhan PemeliharaNya.
Kepada
para saksi, yang pada hakikatnya juga memikul amanah kesaksian, diingatkan jangnlah
kamu wahai para saksi menyembunyikan persaksian
yakni jangan mengurangi, melebihkan atau tidak menyampaikan sama sekali,
baik yang diketahui oleh pemilik hak maupun yang tidak diketahuinya. Dan barang
siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya.
Ayat
ini menguatkan keterangan diatas, yaitu juru tulis atau saksi jangan sampai
mendatangkan mudarat karena menyembunyikan apa yang telah disaksikan atau
enggan untuk menyaksikannya. Allah
menyebutkan “yang menyembunyikan itu hatinya telah berdosa”. Seseorang dapat
dituntut oleh karena niat jahatnya itu, sebagaimana seseorang telah mendapatkan
kebajikan dengan niatnya yang baik (good will).[4]
Penyebutan
kata hati dalam ayat ini adalah untuk mengukuhkan kalimat ini. Bukankah jika
anda berkata, “Saya melihatnya dengan mata kepala” maka ucapan anda ini lebih
kuat daripada sekedar berkata, “Saya melihatnya”. Disisi lain, penyebutan kata
itu juga mengisyaratkan bahwa dosa yang dilakukan adalah dosa yang tidak kecil.
Anggota badan yang lain boleh jadi melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan
kebenaran, tetapi apa yang dilakukannya itu belum tentu dinilai dosa jika tidak
ada dorongan atau pembenaran hati atas perbuatannya.[5]
Akhirnya
allah mengingatkan semua pihak, bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. Walau sekecil apapun, pekerjaan yang nyata maupun yang tersembunyi,
yang dilakukan oleh anggota badan maupun hati.
B. Makna Mufradat
الرهن : Bentuk tunggalnya
rahnun, artinya adalah barang-barang yang dijadikan jaminan.
كاتب : Penulis, yaitu orang
yang menuliskan transaksi untukmu. Ibnu
Abbas mengatakan : atau mereka mendapatkan penulis tetapi tidak mendapatkan
kertas, tinta atau pena maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang boleh
pemberi pinjaman. Maksudnya, penulisan itu diganti dengan jaminan yang dipegang
oleh si pemberi pinjaman.
مقبوضة : Yang dipegang, yaitu barang
jaminan harus merupakan sesuatu yang dapat dipegang.
C. Munasabah Ayat
Dalam surat Al-Baqarah ayat 282 bahwasanya
yang dimaksud piutang adalah meminjam atau memberi pinjaman yang merupakan
salah satu bentuk kegiatan bermuamalah. Dalam ayat ini, Allah menunjukkan beberapa
aturan kepada hamba-Nya apabila mereka bermuamalah dengan cara utang piutangdan
pengembalian dalam jangka waktu tertentu, maka hendaklah menulis perjanjian
dengan menghadirkan dua orang saksinyang mampu bersifat adil. [6]
Ayat ini memiliki kaitan dengan surat
Al-Baqarah ayat 283 bahhwa salah satu bentuk utang piutang adalah melakukan
transaksi tidak tunai yang dilakukan dalam perjalanan, tidak ada saksi dan
tidak pula tesedia fasilitas tulis-menulis.
Dengan demikian, orang yang berpiutang
hendaknya diberikan barang tangguhan apabila apabila masing-masing pihak tidak
saling percaya. Apabila masing-masing pihak saling percaya dan menyerahkan diri
kepada Allah SWT, maka barang tangguhan tersebut tidak diperlukan.
D. Kandungan
Ayat
Jaminan yang ada ditangan pihak piutang adalah amanah dan dia tidak
memiliki hak untuk
memanfaatkan/menggunakannya di jalan yang tidak benar. Melainkan ia
harus berupaya memelihara dan menjaganya agar ketika orang yang berhutang
membayar pinjamannya, maka jaminan tersebut dikembalikan secara utuh. Orang
yang berhutang pada hakekatnya dianggap sebagai orang yang amanah sehingga
diberikan pinjaman, maka ia harus membayar hutangnya tepat pada waktunya agar
orang yang meberikan pinjaman tidak memperoleh kerugian. Khususnya tempat dimana orang yang berpiutang
kepercayaannya kepada yang berhutang
sedemikian besarnya sehingga tidak meminta jaminan. Maka dalam kondisi
seperti ini, pihak yang berhutang harus memandang Allah dan tidak memakan harta
orang lain.
Dari
ayat tersebut, terdapat pelajaran yang dapat dipetik yaitu :[7]
1)
Transaksi bukan tunai, janganlah ditegaskan atas
janji lisan melainkan dengan tertulis dan mengambil kesaksian.
2)
Dengan jalan membayar utang tepat pada waktunya,
berarti kita telah memelihara kepercayaan dan keamanan ekonomi masyarakat
terjaga.
E. Dampak Sosial dan Ekonomi Gadai
Orang yang menerima gadai
membantu menghilangkan kesedihan orang yang menggadaikan, yaitu suatu kesedihan
yang membuat pikiran dan hati yang galau. Diantara manusia ada yang membutuhkan
harta untuk mencukupi kebutuhannya. Kebutuhan manusia itu banyak, mungkin ia
meminta harta pada seseorang dengan cara berhutang tapi orang itu menolak untuk
memberikan hartanya, kecuali dengan adanya jaminan yang nyata sampai
dikembalikan jaminan itu.
Dengan kenyataan seperti itu,
Allah yang Maha Bijaksana mensyari’atkan
dengan membolehkan sistem gadai agar orang yang menerima barang gadai merasa
tenang atas hartanya. Alangkah baiknya manusia itu mengikuti syari’at dalam
pergadaian, karena kalau mereka mengikuti syari’at tidak ada yang menjadi korban
keserakahan orang yang kaya yang dapat menutup pintu-pintu yang sudah terbuka
dan menjadikan melarat orang yang dahulunya makmur dengan kemewahan dan
kebahagiaan.
Berbagai kemanfaatan secara
ekonomis sistem gadai adalah timbulnya saling percaya dan saling menyayangi
dalam mengemban perekonomian meningkatkan daya beli dan menambah peredaran uang
di pasaran. Belum lagi pahala bagi orang yang menerima gadai dari Allah SWT
disuatu hari tiada guna harta dan anak kecuali orang yang datang dengan hati
yang lurus.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Allah
mengajarkan kepada kita sebagai orang yang beriman tentang pentingnya
pencatatan transaksi. Caranya dengan menunjuk seseorang untuk menjadi penulis
dari setiap transaksi, terutama yang dilakukan secara tidak tunai. Etika
seperti ini, harus dimiliki penulis untuk bersdikap adil dengan menuliskan
kebenaran transaksi yang dilakukan.
Diperlukan
juga saksi apabila terjadi masalah di kemudian hari. Jika utang-piutang
dilakukan dalam perjalanan, maka yang berhutang harus memberikan barang
tangguhan kepada yang berpiutang disertai dengan sikap moral yang dapat
dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan.
B. Saran
Dari
pengkajian yang telah dilakukan diharapkan kita mau lebih memahami tentang
salah satu sistem aturan yang ada dalam agama kita salah satunya tentang gadai. Selain itu, para
pembaca dan juga penulis mau melibatkan diri dalam pengkajian sistem ekonomi
Islam dan juga memiliki kepercayaan diri untuk menyerukan ekonomi Islam khususnya
tentang gadai di tengah-tengah masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Syaikh. Tafsir Imam Syafi’i. Jakarta :
Almahira, 2001.
Halim Hasan, Abdul. Tafsir Al-Ahkam.
Jakarta : Almahira, 2008.
Musthafa Al-Maraghi, Ahmad. Tafsir
Al-Maraghi. Semarang : Toha Putra, 1986.
Nawawi,
Ismail. Ekonomi Kelembagaan Syari’ah. Surabaya : Putra Media Nusantara,
2009.
Shihab, Quraish. Tafsir Al-Mishbah.
Jakarta : PT Niaga Swadya,2007
Yahya
A, Syaikh Sulaiman Ahmad. Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2013.
[1]Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid
Sabiq. (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2013), hlm.783.
[2]Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam. (Jakarta : Almahira, 2008),
hlm.176.
[6]Syaikh Ahmad, Tafsir Imam Syafi’i. (Jakarta : Almahira, 2001),
hlm.522.
[8]Ismail Nawawi, Ekonomi Kelembagaan Syari’ah. (Surabaya : Putra Media
Nusantara, 2009), hlm.137.