Selamat Datang di Blog Kami. Blog ini meyediakan berbagai macam informasi seputar Pendidikan, Karya Tulis Ilmiah,Dan lain-lain. Membangun Indonesia Melalui Pendidikan

Syirkah dalam Perspektif Hadits

Untuk Mendapatkan File Makalah atau Artikel dibawah ini, Silahkan Klik Download! download
Secara etimologi atau bahasa syirkah merupakan masdar dari kata شَرَكَ   yang memiliki makna asal bercampur antara dua belah pihak.. Kata شِرْكَة   merupakan bahasa modern dengan makna perusahaan. Yang dimaksud dengan bercampur disini adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga sulit untuk dibedakan.


BAB I
PENDAHULUAN


Islam adalah agama yang menganjurkan umatnya melakukan kerjasama yang terorganisasi dengan baik. Dalam upaya memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari, manusia tidak akan terlepas dari hubungan terhadap sesama manusia. Tanpa hubungan dengan orang lain, tidak mungkin berbagai kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Terkait dengan hal ini maka perlu diciptakan suasana yang baik terhadap sesama manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan akad syirkah dengan pihak lain.
Dalam konteks itu maka prinsip syirkah yang di dalamnya terdapat akivitas musyarakah menjadi prinsip dasarnya. Dalam fiqh muamalah pun terdapat akad kerjasama dengan karakter yang berbeda-beda. Akad syirkah atau musyarakah adalah akad kerjasama dengan kedua belah pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (keterampilan usaha) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.
Konsep Syirkah sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Hingga kini, syirkah masih dipakai dan bahkan seiring dengan pesatnya perekonomian dewasa ini, syirkah sudah menjadi salah satu dari berbagai alternatif halal yang ditawarkan lembaga keuangan syariah kepada masyarakat. Dan untuk kesempatan kali ini, penulis akan membahas atau menjelaskan mengenai akad syirkah dalam perspektif hadits.

BAB II
PEMBAHASAN    
      A.    Hadits Pertama
1.     Matan Hadits dan Terjemahannya:[1]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَ ةَ رَ فَعَهُ قاَ لَ إِنَّ اللهَ يَقُوْ لُ أَناَ ثاَ لِثُ الشَّرِيْكَيْنِ ماَلَمْ يَخُنْ  أَحَدُ هُماَ صاَ حِبَهُ فَإِ ذَ ا خاَ نَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا  ( رواه هبو داود )
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Nabi Saw bersabda, “ Saya adalah pihak ketiga dari kedua orang yang berkongsi selama salah satunya tidak berkhianat. Jika ia berkhianat maka saya keluar dari kongsi dengan keduanya.” (HR. Abu Daud)
2.      Makna Mufradat Hadits
a.        أَناَ ثاَ لِثُ الشَّرِ يْكَيْنِ Saya adalah pihak ketiga dari kedua orang yang berkongsi.  Artinya,  serikat itu adalah kerja sama atau perseroan dalam hal bisnis baik antara dua belah pihak maupun lebih dari dua orang.  gambaran yang diberikan oleh hadist diatas adalah implikasi yang harus diutamakan dalam syirkah adalah kejujuran, maka tidak boleh ada perkhianatan antara kedua belah pihak.
b.      خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا : hilangnya berkah, laba serta keutamaannya.

3.      Analisa Matan Hadits
Dalam hadits ini dijelaskan tentang kecintaan Allah swt. kepada para hamba-Nya yang melakukan akad syirkah (perkongsian) selama masing-masing pihak saling menjunjung tinggi nilai-nilai amanah dan tidak melakukan pengkhianatan (kecurangan) dalam menjalankan bisnis syirkahnya. Kecintaan Allah swt. terhadap orang yang melakukan akad syirkah tersebut digambarkan dengan kebersamaan Allah swt. dalam bisnis mereka, sedangkan kebersamaan Allah swt. dapat dimaknai sebagai makna keberkahan di dalamnya. Alah swt. mencintai orang-orang yang melakukan akad syirkah karena di dalamnya terkandung prinsip saling kerjasama, tolong-menolong, dan membantu orang lain  yang didasari ole nilai-nilai amanah dalam berbisnis.[2]

       B.     Hadits Kedua
1.      Matan Hadits dan Terjemahnnya:[3]

عَنِ السَّا ئِبِ بْنِ أَبِي السَّا ئِبِ أَنَّهُ كَا نَ يُشَا رِكُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيُهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ الْاِسلاَ مِ فِي التَّجَا رَ ةٍ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ اْلفَتُحِ جَاءَهُ فَقَالَ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَرْحَبًا بِأَ خِي وَشَرِيْكِي (رواه احمد )

“Dari Saib ibnu abi Saib al-Makhzumi ra. bahwasanya ia dahulu adalah sekutu Rasulullah saw. sebelum beliau diangkat menjadi rasul. Ketika ia datang pada hari penaklukan kota Mekkah,beliau bersabda : selamat datang wahai saudaraku dan sekutuku. (HR. Ahmad)

2.      Makna Mufradat Hadits
a.       يَوْمُ اْلفَتُحِ : hari penaklukkan kota Mekkah.
b.      شَرِيْكِي : sekutuku. Artinya adalah dua orang yang saling bekerjasama.

3.      Analisa Matan Hadits
Berdasarkan hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perkongsian menurut hukum Islam bukan hanya sekedar boleh, melainkan lebih dari itu, disukai selama dalam perkongsian itu tidak ada tipu menipu. Hadits ini menunjukkan bahwa ajaran syirkah bukan sekedar teori, namun pernah dipraktekkan oleh Nabi Saw. sendiri dan syirkah yang dilakukan dengan jujur akan diberkahi dan dipermudah oleh Allah Swt. Sebaliknya, terjadinya penghianatan akan menghilangkan keberkahan dan kemudahan yang dikaruniakan Tuhan.

      C.    Hadits lain Tentang Syirkah
1.      Hadits Abdullah:[4]

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ اشْتَرَكْتُ أَنَا وَعَمَّارٌ وَسَعْدٌ يَوْمَ بَدْرٍ فَجَاءَ سَعْدٌ بِأَسِيرَيْنِ وَلَمْ أَجِئْ أَنَا وَلَا عَمَّارٌ بِشَيْءٍ

Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. ia berkata: “Saya bersyirkah dengan ‘Ammar dan Sa’ad dalam hasil yang kami peroleh pada Perang Badar. Kemudian Sa’ad datang dengan membawa dua orang tawanan, sedangkan saya dan ‘Ammar datang dengan tidak membawa apa-apa”.(HR. Abu Daud)
2.      Sabda Rasulullah Saw. Yang artinya:[5]
Tangan Allah diatas dua orang yang berserikat selagi keduanya tidak berkhianat.” (HR.Ad-Darqquthni)

       D.    Fikih Hadist atau Definisi
1.      Pengertian Syirkah
Secara etimologi atau bahasa syirkah merupakan masdar dari kata شَرَكَ   yang memiliki makna asal bercampur antara dua belah pihak.. Kata شِرْكَة   merupakan bahasa modern dengan makna perusahaan. Yang dimaksud dengan bercampur disini adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga sulit untuk dibedakan.[6]
Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan syirkah, ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :[7]
a.       Menurut Hanafiyah, Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua orang yang berserikat di dalam modal dan keuntungan.
b.      Menurut Malikiyah, Perkongsian adalah izin untuk mendaya gunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf.
c.     Menurut  Hanabilah, Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan atas hak atau tasarruf.
d.     Menurut Syafi’iyah Perkongsian adalah ketetapan hak pada sesuatu yang dimiliki dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui).
Berdasarkan pendapat para ulama diatas, maka syirkah dapat diartikan sebagai dua orang atau lebih bersekutu (berserikat) dalam uang yang mereka dapatkan dari harta warisan, atau mereka kumpulkan sesama mereka untuk diivestasikan dalam perdagangan, atau industri, atau pertanian.[8]
Secara teknis, akad syirkah/musyarakah (sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama) adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih utuk menjalankan usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusinya (baik berupa dana atau keahlian)  dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan jumlah ulama berpendapat bahwa akad mudlarabah termasuk bagian dari akad syirkah/musyarakah karena ia memenuhi syarat-syarat dan kriteria akad syirkah/musyarakah, namun sebagian ulama lain berpendapat bahwa akad mudlarabah tidak termasuk kategori akad syirkah/musyarakah.
Syirkah disyariatkan dalam Al-Qur’an. Allah berfirman:[9]

فَهُمْ شُرَكَاءُ فِى الثُّلُثِ (12)
“........Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS.An-Nisa’:12)

2.      Macam-macam Syirkah
Ada dua macam bentuk syirkah, yaitu syirkah amlak (persekutuan yang berkaitn dengan hak milik) dan syirkah uqud (perserikatan yang berkaitan dengan transaksi).[10]
A.    Syirkah Amlak
Syirkah Amlak adalah dua orang atau lebih memiliki hak kepemilikan atas barang tertentu tanpa adanya transaksi. Jenis syirkah ini bisa dilakukan secara pilihan sukarela (ikhtiyariyah)dan bisa juga secara paksa (ijbaryah).  Bentuk ikhtiyariyah ialah seperti ketika seseorang menghibahkan mewasiatkan suatu hibah dan wasiat kepada dua orang yang kemudian menerimanya tanpa paksaan. Adapun bentuk ijbaryah ialah ketika satu orang atau lebih memiliki hak kepemilikan melalui unsur paksaan tanpa adanya perjanjian transaksi, seperti dalam kasus warisan.[11]
Dalam syirkah amlak, satu pihak yang berserikat tidak boleh menggunakan atau memanfaatkan hak milik pihak lain yang berserikat dengannya. Sebab, masing-masing keduanya tidak memiliki hak atas bagian pihak lain yang seolah-olah seperti bagian milik orang asing.
Hukum syirkah ini partner tidak berhak untuk menggunakan milik partner lainnya tanpa izin yang bersangkutan karena masing-masing memiliki hak yang sama.
B.     Syirkah Uqud
Syirkah Uqud adalah dua orang atau lebih melakukan transaksi perserikatan dalam hal harta dan perolehan keuntungan.[12] Ada empat macam bentuk syirkah uqud, diantaranya Syirkah inan,  Syirkah abdan, Syirkah mufawadzah dan Syirkah wujuh.[13] Madzhab Hanafi membolehkan semua bentuk syirkah tersebut selama syaratnya terpenuhi. Malikiyun membolehkan semua bentuk syirkah tersebut kecuali syirkah wujuh. Syafi’iyun membatalkan semua kecuali syirkah inan. Sedangkan Hanbilah membolehkan semua kecuali syirkah mufawadzah.

1)    Syirkah Inan
Syirkah inan ialah dua orang atau lebih dari orang-orang yang diperbolehkan bertindak berserikat (bersekutu) mengumpulkan sejumlah uang yang jumlahnya dibagi antara mereka, atau dalam bentuk saham yang telah ditentukan, kemudian mereka mengembangkannya. Keuntungan dan kerugiannya dibagi diantara mereka sesuai dengan besarnya saham mereka.
Masing-masing dari mereka berhak bertindak terhadap syirkah, baik atas namanya sendiri atau mewakili para mitra usahanya (sekutu), menjual, membeli, menerima barang, membayar harga barang, menagih hutang, dan mengembalikan barang yang cacat. Ringkas kata, masing-masing dari mereka berhak mengerjakan apa saja yang mendatangkan kemaslahatan bagi syirkah.
Syarat-syarat keabsahannya:
a)      Hendaknya syirkah dilakukan sesama kaum muslimin, karena non-muslim tidak bisa dijamin bisa meninggalkan berinteraksi dengan riba atau tidak memasukkan harta haram kedalam syirkah, kecuali jika hak menjual dan membeli ditangan orang muslim maka tidak ada salahnya meibatkan non-muslim dalam syirkah, karena tidak ada kekhawatiran kalau orang non-muslim tersebut akan memasukkan harta haram kedalam syirkah.
b)      Besarnya modal dan bagian para sekutu harus diketahui, karena keuntungan dan kerugian sangat terkait dengan diketahuinya modal dan saham. Sedang tidak tau bagian setiap para sekutu, atau saham mereka menyebabkan sekutu memakan harta manusia dengan batil yang diharamkan Allah dengan firman-Nya:
dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagia yang lain diantara kalian dengan jalan yang batil.” (QS.Al-Baqarah:188)
c)      Keuntungan harus dibagi berdasarkan jumlah saham. Jadi sekutu tidak boleh berkata, “jika kita mendapatkan keuntungan berupa kambing, maka menjadi milik si Fulan dan jika kita mendapatkan keuntungan berupa pohon rami maka menjadi milik si Fulan,” karena didalamnya terdapat unsur ketidak jelasan (gharar) yang diharamkan.
d)     Jika saham berupa uang, namun ada seseorang mempunyai komoditi ingin ikut bergabung dalam syirkah, maka komoditinya dihargai dengan uang sesuai dengan harga pada hari itu, karena komoditi itu tidak diketahui nilainya dan berinteraksi dengan sesuatu yang tidak diketahui nilainya itu dilarang syariat karene menyebabkan penyia-nyiaan hak dan memakan harta manusia dengan batil.
e)      Pekerjaan harus diatur sesuai dengan banyak tidaknya saham sama seperti dalam pembagian keuntungan dan kerugian. Misalnya, sekutu yang mempunyai saham sebesar seperempat di syirkah maka bekerja empat  hari. Jika para sekutu sepakat mengontrak tenaga, maka gajinya sesuai dengan nilai saham para pemberi saham.
f)       Jika salah seorang sekutu meninggal dunia, syirkah menjadi batal. Jika misalnya ia gila, ahli warisnya atau walinya berhak membatalkan syirkah atau mempertahankannya berdasarkan akad terdahulu.

2)      Syirkah Abdan
Syirkah Abdan adalah dua orang atau lebih sepakat berserikat bekerja dengan badannya. Misalnya, keduanya berserikat memproduksi sesuatu, penjahitan, cuci pakaian, dan lain sebagainya, kemudian keuntungan yang diperoleh dibagi dua diantara keduanya atau sesuai dengan kesepakatan keduanya.
Dalil diperbolehkannya syirkah abdan ialah hadist yang diriwaytakan Abu Daud bahwa Abdullah, Sa’ad, dan Ammar berserikat pada perang badar terhadap harta rampasan yang mereka peroleh dari orang-orang musyrikin. Akhirnya, Ammar tidak mendapatkan apa-apa, Abdullah juga tidak mendapatkan apa-apa, sedang Sa’ad berhasil mendapatkan dua tawanan kemudian Rasulullah SAW membuat keduanya berserikat terhadap dua tawanan yang diperoleh Sa’ad. Itu terjadi sebelum disyariatkannya pembagian rampasan perang.
Hukum-hukumnya:
a)      Masing-masing dari sekutu berhak meminta gaji dan menerimanya dari pihak yang mengontrak.
b)      Jika salah satu dari dua sekutu sakit atau absen dari kerja karena udzur syar’i, maka apa yang diperoleh sekutu lainnya tetap dibagi sesama keduanya.
c)      Jika salah satu dari kedua sekutu absen kerja dan sakit hingga waktu yang lama maka sekutu yang sehat berhak menunjuk orang lain sebagai pengganti sekutu yang sakit tersebut atau yang absen tersebut, kemudian gajinya tetap menjadi jatah sekutu yang sakit atau sekutu yang absen.
d)     Jika salah satu dari kedua sekutu berhalangan hadir, maka sekutu satunya berhak membatalkan syirkah.

3)      Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh ialah dua orang atau lebih bersekutu membei dan menjual suatu barang dengan jabatan keduanya, dan keuntungannya dibagi kepada keduanya. Jika ada kerugian, maka dibagi antara keduanya seperti halnya pembagian keuntungan.

4)      Syirkah Mufawadzah
Syirkah Mufawadzah jangkauannya lebih luas daripada syirkah Inan, atau syirkah abdan atau syirkah wujuh karena mencakup semua syirkah tersebut dan mencakup mudharabah. Syirkah Mufawadzah ialah salah satu dari orang yang bersekutu (berserikat) mendelegasikan semua pengelolaan uang dan aktivitas jual beli, menjual, membeli, mengadakan mudzarabah, menugaskan seseorang, menggadaikan, bepergian, dan lain sebagainya kepada sekutu lainnya, kemudian keuntungannya dibagi diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan keduanya dan kerugiannya dibagi sesuai jumlah uang keduanya.

3.      Rukun Syirkah
Secara garis besar, terdapat tiga rukun syirkah sebagai berikut:[14]
1)         Dua belah pihak yang berakad (aqidani). Persyaratan orang melakukan akad adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta).
2)        Objek akad yang disebut juga ma’qud alaihi mencakup pekerjaan atau modal. Adapun persyaratan pekerjaan atau benda yang boleh dikelola dalam syirkah harus halal dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan.
3)             Akad atau yang disebut juga dengan istilah shighat. Adapun syarat sah sihat harus berupa tasharruf, yaitu harus adanya aktivitas pengelolaan.

4.      Berakhirnya Syirkah
Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut:[15]
1)      Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lain.  Sebab syirkah adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela dari kedua belah pihak yang tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak mengingunkannya lagi, hal ini menunjukan pencabutan kerelaan syirkah oleh salah satu pihak.
2)      Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf (keahlian mengelola harta) baik karena gila atau alasan lainnya.
3)      Salah satu pihak meninggal dunia. tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal dunia saja.
4)      Salah satu pihak jatuh bangkrut.
5)      Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah, bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi percampuran harta hingga tidak dapat dipisah-pisahkan lagi, yang menanggung resiko adalah para pemiliknya sendiri, apabila harta lenyap setelah terjadi percampuran yang tidak bisa dipisah-pisah lagi, maka menjadi resiko bersama.

5.      Hikmah Syirkah
Hikmah yang diperoleh dari praktik syirkah adalah sebagai berikut:[16]
1)      Menggalang kerja sama untuk saling menguntungkan antara pihak-pihak yang bersyirkah.
2)      Membantu meluaskan ruang rezeki karena tidak merugikan secara ekonomi.
  

BAB III
PENUTUP 
       A.    Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahsan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada hadist pertama menjelaskan tentang kecintaan Allah swt. kepada para hamba-Nya yang melakukan akad syirkah (perkongsian) selama masing-masing pihak saling menjunjung tinggi nilai-nilai amanah dan tidak melakukan pengkhianatan (kecurangan) dalam menjalankan bisnis syirkahnya. Sedangkan pada pada hadist kedua menjelaskan tentang  perkongsian menurut hukum Islam bukan hanya sekedar boleh, melainkan lebih dari itu, disukai selama dalam perkongsian itu tidak ada tipu menipu.
Jadi pada intinya, kedua hadist menjelaskan mengenai syirkah yang merupakan perbuatan yang dianjurkan, yang akan diberi imbalan oleh Allah Swt. karena syirkah itu merupakan perbuatan yang sangat terpuji karena bisa meringankan beban orang lain.

       B.     Saran
Dari pengkajian yang telah dilakukan diharapkan kita mau lebih memahami tentang salah satu akad dalam bidang muamalah yaitu akad syirkah. Dengan demikian, kami selaku penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca. Karena kami sadar masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Dan kami selaku penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca.

DAFTAR RUJUKAN
Al-Jazairi, Abu Bakr Jabir . Ensiklopedi Muslim. Jakarta: PT Darul Falah, 2003.
Al-Qarni, Syaikh Aidh.  Ringkasan Fikkih Sunnah Sayyid Sabiq. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2009.
Diana, Ilfi Nur. Hadis-hadis Ekonomi. Malang: UIN Press, 2008.
Gaffar, Abdu l. Fikih Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998.
Munir, Misbahul.  Ajaran-ajaran Ekonomi Rasulullah. Malang: UIN Press, 2007.
Muslich, Ahmad Wardi.  Fiqh Muamalat . Jakarta: AMZAH, 2013.
Zaini, Fiqih Muamalah. Surabaya: CV. Salsabila Putra Pratama, 2013.

[1] Ilfi Nur Diana, Hadis-hadis Ekonomi (Malang: UIN Press, 2008), hlm.149.
[2] Misbahul Munir, Ajaran-ajaran Ekonomi Rasulullah (Malang: UIN Press, 2007), hlm. 167.
[3] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: AMZAH,2013), hlm. 289.
[4] Abdu Gaffar, Fikih Wanita (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), hlm. 699.
[5] Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim (Jakarta: PT Darul Falah, 2003), hlm. 515.
[6] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, hlm. 288.
[7] Zaini, Fiqih Muamalah (Surabaya: CV. Salsabila Putra Pratama, 2013), hlm. 47.
[8] Ibid. 49.
[9] Syaikh Aidh Al-Qarni, Ringkasan Fikkih Sunnah Sayyid Sabiq (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2009), hlm.877.
[10] Ibid.
[11] Ibid. 878.
[12] Ibid.
[13] Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim, hlm. 516-518..
[14] Zaini, Fiqih Muamalah, hlm. 48.
[15] Ibid.49.
[16] Abdu Gaffar, Fikih Wanita, hlm. 701.