Secara etimologi atau bahasa syirkah merupakan masdar dari kata شَرَكَ yang memiliki makna asal bercampur
antara dua belah pihak.. Kata شِرْكَة merupakan bahasa modern dengan makna
perusahaan. Yang dimaksud dengan
bercampur disini adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain
sehingga sulit untuk dibedakan.
BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang menganjurkan umatnya melakukan
kerjasama yang terorganisasi dengan baik. Dalam upaya memenuhi kebutuhan
kehidupan sehari-hari, manusia tidak akan terlepas dari hubungan terhadap
sesama manusia. Tanpa hubungan dengan orang lain, tidak mungkin berbagai
kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Terkait dengan hal ini maka perlu diciptakan
suasana yang baik terhadap sesama manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
mengadakan akad syirkah dengan pihak lain.
Dalam konteks itu maka prinsip syirkah yang
di dalamnya terdapat akivitas musyarakah menjadi prinsip dasarnya. Dalam
fiqh muamalah pun terdapat akad kerjasama dengan karakter yang berbeda-beda.
Akad syirkah atau musyarakah adalah akad kerjasama dengan
kedua belah pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana (keterampilan usaha) dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.
Konsep Syirkah sudah ada sejak zaman Nabi
Muhammad SAW. Hingga kini, syirkah masih dipakai dan bahkan seiring
dengan pesatnya perekonomian dewasa ini, syirkah sudah menjadi salah
satu dari berbagai alternatif halal yang ditawarkan lembaga keuangan syariah
kepada masyarakat. Dan untuk kesempatan kali ini, penulis akan membahas atau
menjelaskan mengenai akad syirkah dalam perspektif hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Pertama
عَنْ أَبِي هُرَيْرَ ةَ رَ فَعَهُ قاَ لَ إِنَّ اللهَ يَقُوْ لُ أَناَ ثاَ
لِثُ الشَّرِيْكَيْنِ ماَلَمْ يَخُنْ
أَحَدُ هُماَ صاَ حِبَهُ فَإِ ذَ ا خاَ نَهُ خَرَجْتُ مِنْ
بَيْنِهِمَا ( رواه هبو داود )
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra.,
sesungguhnya Nabi Saw bersabda, “ Saya adalah pihak ketiga dari kedua orang
yang berkongsi selama salah satunya tidak berkhianat. Jika ia berkhianat maka
saya keluar dari kongsi dengan keduanya.” (HR. Abu Daud)
2.
Makna
Mufradat Hadits
a.
أَناَ ثاَ لِثُ
الشَّرِ يْكَيْنِ : Saya adalah pihak ketiga dari kedua orang yang berkongsi. Artinya, serikat itu adalah kerja sama atau
perseroan dalam hal bisnis baik antara dua belah pihak maupun lebih dari dua
orang. gambaran yang diberikan oleh
hadist diatas adalah implikasi yang harus diutamakan dalam syirkah adalah
kejujuran, maka tidak boleh ada perkhianatan antara kedua belah pihak.
b.
خَرَجْتُ مِنْ
بَيْنِهِمَا :
hilangnya berkah, laba serta keutamaannya.
3.
Analisa
Matan Hadits
Dalam hadits ini dijelaskan tentang kecintaan Allah swt. kepada
para hamba-Nya yang melakukan akad syirkah (perkongsian) selama masing-masing
pihak saling menjunjung tinggi nilai-nilai amanah dan tidak melakukan
pengkhianatan (kecurangan) dalam menjalankan bisnis syirkahnya. Kecintaan Allah
swt. terhadap orang yang melakukan akad syirkah tersebut digambarkan dengan
kebersamaan Allah swt. dalam bisnis mereka, sedangkan kebersamaan Allah swt.
dapat dimaknai sebagai makna keberkahan di dalamnya. Alah swt. mencintai
orang-orang yang melakukan akad syirkah karena di dalamnya terkandung prinsip
saling kerjasama, tolong-menolong, dan membantu orang lain yang didasari ole nilai-nilai amanah dalam
berbisnis.[2]
B.
Hadits
Kedua
1.
Matan
Hadits dan Terjemahnnya:[3]
عَنِ السَّا
ئِبِ بْنِ أَبِي السَّا ئِبِ أَنَّهُ كَا نَ يُشَا رِكُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيُهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ الْاِسلاَ مِ فِي التَّجَا رَ ةٍ فَلَمَّا كَانَ
يَوْمُ اْلفَتُحِ جَاءَهُ فَقَالَ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
مَرْحَبًا بِأَ خِي وَشَرِيْكِي (رواه احمد )
“Dari Saib
ibnu abi Saib al-Makhzumi ra. bahwasanya ia dahulu adalah sekutu Rasulullah
saw. sebelum beliau diangkat menjadi rasul. Ketika ia datang pada hari
penaklukan kota Mekkah,beliau bersabda : selamat datang wahai saudaraku dan
sekutuku. (HR. Ahmad)
2.
Makna Mufradat Hadits
a.
يَوْمُ
اْلفَتُحِ : hari
penaklukkan kota Mekkah.
b.
شَرِيْكِي
: sekutuku. Artinya adalah dua orang
yang saling bekerjasama.
3.
Analisa Matan Hadits
Berdasarkan
hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perkongsian menurut hukum Islam
bukan hanya sekedar boleh, melainkan lebih dari itu, disukai selama dalam
perkongsian itu tidak ada tipu menipu. Hadits ini menunjukkan bahwa ajaran
syirkah bukan sekedar teori, namun pernah dipraktekkan oleh Nabi Saw. sendiri
dan syirkah yang dilakukan dengan jujur akan diberkahi dan dipermudah oleh
Allah Swt. Sebaliknya, terjadinya penghianatan akan menghilangkan keberkahan
dan kemudahan yang dikaruniakan Tuhan.
C.
Hadits
lain Tentang Syirkah
1.
Hadits
Abdullah:[4]
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ اشْتَرَكْتُ أَنَا وَعَمَّارٌ
وَسَعْدٌ يَوْمَ بَدْرٍ فَجَاءَ سَعْدٌ بِأَسِيرَيْنِ وَلَمْ أَجِئْ أَنَا وَلَا
عَمَّارٌ بِشَيْءٍ
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. ia berkata: “Saya bersyirkah dengan ‘Ammar
dan Sa’ad dalam hasil yang kami peroleh pada Perang Badar. Kemudian Sa’ad
datang dengan membawa dua orang tawanan, sedangkan saya dan ‘Ammar datang
dengan tidak membawa apa-apa”.(HR. Abu Daud)
2. Sabda Rasulullah Saw. Yang artinya:[5]
“ Tangan Allah
diatas dua orang yang berserikat selagi keduanya tidak berkhianat.”
(HR.Ad-Darqquthni)
D. Fikih Hadist atau Definisi
1. Pengertian Syirkah
Secara etimologi atau bahasa syirkah merupakan masdar dari kata شَرَكَ yang memiliki makna asal bercampur
antara dua belah pihak.. Kata شِرْكَة merupakan bahasa modern dengan makna
perusahaan. Yang dimaksud dengan
bercampur disini adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain
sehingga sulit untuk dibedakan.[6]
Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan syirkah, ulama
fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :[7]
a.
Menurut Hanafiyah, Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua orang
yang berserikat di dalam modal dan keuntungan.
b.
Menurut Malikiyah, Perkongsian adalah
izin untuk mendaya gunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua orang secara
bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah
satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki
hak untuk bertasharruf.
c. Menurut Hanabilah, Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan atas hak atau tasarruf.
d. Menurut
Syafi’iyah Perkongsian adalah ketetapan hak pada sesuatu yang dimiliki dua
orang atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui).
Berdasarkan pendapat para ulama diatas, maka syirkah
dapat diartikan sebagai dua orang atau lebih bersekutu (berserikat) dalam uang
yang mereka dapatkan dari harta warisan, atau mereka kumpulkan sesama mereka
untuk diivestasikan dalam perdagangan, atau industri, atau pertanian.[8]
Secara teknis, akad syirkah/musyarakah (sebagaimana
yang dijelaskan oleh para ulama) adalah akad kerja sama antara dua pihak atau
lebih utuk menjalankan usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan
kontribusinya (baik berupa dana atau keahlian)
dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama
sesuai dengan kesepakatan jumlah ulama berpendapat bahwa akad mudlarabah
termasuk bagian dari akad syirkah/musyarakah karena ia memenuhi syarat-syarat
dan kriteria akad syirkah/musyarakah, namun sebagian ulama lain berpendapat
bahwa akad mudlarabah tidak termasuk kategori akad syirkah/musyarakah.
Syirkah disyariatkan dalam Al-Qur’an. Allah berfirman:[9]
فَهُمْ
شُرَكَاءُ فِى الثُّلُثِ (12)
“........Maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu.” (QS.An-Nisa’:12)
2. Macam-macam Syirkah
Ada dua macam bentuk syirkah, yaitu syirkah amlak (persekutuan yang
berkaitn dengan hak milik) dan syirkah uqud (perserikatan yang berkaitan dengan
transaksi).[10]
A. Syirkah Amlak
Syirkah Amlak adalah dua
orang atau lebih memiliki hak kepemilikan atas barang tertentu tanpa adanya
transaksi. Jenis syirkah ini bisa dilakukan secara pilihan sukarela
(ikhtiyariyah)dan bisa juga secara paksa (ijbaryah). Bentuk ikhtiyariyah ialah seperti ketika
seseorang menghibahkan mewasiatkan suatu hibah dan wasiat kepada dua orang yang
kemudian menerimanya tanpa paksaan. Adapun bentuk ijbaryah ialah ketika satu
orang atau lebih memiliki hak kepemilikan melalui unsur paksaan tanpa adanya
perjanjian transaksi, seperti dalam kasus warisan.[11]
Dalam syirkah amlak,
satu pihak yang berserikat tidak boleh menggunakan atau memanfaatkan hak milik
pihak lain yang berserikat dengannya. Sebab, masing-masing keduanya tidak
memiliki hak atas bagian pihak lain yang seolah-olah seperti bagian milik orang
asing.
Hukum syirkah ini
partner tidak berhak untuk menggunakan milik partner lainnya tanpa izin yang
bersangkutan karena masing-masing memiliki hak yang sama.
B. Syirkah Uqud
Syirkah Uqud adalah dua
orang atau lebih melakukan transaksi perserikatan dalam hal harta dan perolehan
keuntungan.[12]
Ada empat macam bentuk syirkah uqud, diantaranya Syirkah inan, Syirkah abdan, Syirkah mufawadzah dan Syirkah
wujuh.[13] Madzhab
Hanafi membolehkan semua bentuk syirkah tersebut selama syaratnya terpenuhi.
Malikiyun membolehkan semua bentuk syirkah tersebut kecuali syirkah wujuh.
Syafi’iyun membatalkan semua kecuali syirkah inan. Sedangkan Hanbilah
membolehkan semua kecuali syirkah mufawadzah.
1) Syirkah Inan
Syirkah inan ialah dua
orang atau lebih dari orang-orang yang diperbolehkan bertindak berserikat
(bersekutu) mengumpulkan sejumlah uang yang jumlahnya dibagi antara mereka,
atau dalam bentuk saham yang telah ditentukan, kemudian mereka
mengembangkannya. Keuntungan dan kerugiannya dibagi diantara mereka sesuai
dengan besarnya saham mereka.
Masing-masing dari
mereka berhak bertindak terhadap syirkah, baik atas namanya sendiri atau
mewakili para mitra usahanya (sekutu), menjual, membeli, menerima barang,
membayar harga barang, menagih hutang, dan mengembalikan barang yang cacat.
Ringkas kata, masing-masing dari mereka berhak mengerjakan apa saja yang
mendatangkan kemaslahatan bagi syirkah.
Syarat-syarat
keabsahannya:
a) Hendaknya syirkah dilakukan sesama kaum muslimin, karena non-muslim tidak
bisa dijamin bisa meninggalkan berinteraksi dengan riba atau tidak memasukkan
harta haram kedalam syirkah, kecuali jika hak menjual dan membeli ditangan
orang muslim maka tidak ada salahnya meibatkan non-muslim dalam syirkah, karena
tidak ada kekhawatiran kalau orang non-muslim tersebut akan memasukkan harta
haram kedalam syirkah.
b) Besarnya modal dan bagian para sekutu harus diketahui, karena keuntungan
dan kerugian sangat terkait dengan diketahuinya modal dan saham. Sedang tidak
tau bagian setiap para sekutu, atau saham mereka menyebabkan sekutu memakan
harta manusia dengan batil yang diharamkan Allah dengan firman-Nya:
“dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagia yang lain diantara
kalian dengan jalan yang batil.” (QS.Al-Baqarah:188)
c) Keuntungan harus dibagi berdasarkan jumlah saham. Jadi sekutu tidak boleh
berkata, “jika kita mendapatkan keuntungan berupa kambing, maka menjadi milik
si Fulan dan jika kita mendapatkan keuntungan berupa pohon rami maka menjadi
milik si Fulan,” karena didalamnya terdapat unsur ketidak jelasan (gharar) yang
diharamkan.
d) Jika saham berupa uang, namun ada seseorang mempunyai komoditi ingin ikut
bergabung dalam syirkah, maka komoditinya dihargai dengan uang sesuai dengan
harga pada hari itu, karena komoditi itu tidak diketahui nilainya dan
berinteraksi dengan sesuatu yang tidak diketahui nilainya itu dilarang syariat
karene menyebabkan penyia-nyiaan hak dan memakan harta manusia dengan batil.
e) Pekerjaan harus diatur sesuai dengan banyak tidaknya saham sama seperti
dalam pembagian keuntungan dan kerugian. Misalnya, sekutu yang mempunyai saham
sebesar seperempat di syirkah maka bekerja empat hari. Jika para sekutu sepakat mengontrak
tenaga, maka gajinya sesuai dengan nilai saham para pemberi saham.
f) Jika salah seorang sekutu meninggal dunia, syirkah menjadi batal. Jika
misalnya ia gila, ahli warisnya atau walinya berhak membatalkan syirkah atau
mempertahankannya berdasarkan akad terdahulu.
2) Syirkah Abdan
Syirkah Abdan adalah
dua orang atau lebih sepakat berserikat bekerja dengan badannya. Misalnya,
keduanya berserikat memproduksi sesuatu, penjahitan, cuci pakaian, dan lain
sebagainya, kemudian keuntungan yang diperoleh dibagi dua diantara keduanya
atau sesuai dengan kesepakatan keduanya.
Dalil diperbolehkannya
syirkah abdan ialah hadist yang diriwaytakan Abu Daud bahwa Abdullah, Sa’ad,
dan Ammar berserikat pada perang badar terhadap harta rampasan yang mereka
peroleh dari orang-orang musyrikin. Akhirnya, Ammar tidak mendapatkan apa-apa,
Abdullah juga tidak mendapatkan apa-apa, sedang Sa’ad berhasil mendapatkan dua
tawanan kemudian Rasulullah SAW membuat keduanya berserikat terhadap dua
tawanan yang diperoleh Sa’ad. Itu terjadi sebelum disyariatkannya pembagian
rampasan perang.
Hukum-hukumnya:
a) Masing-masing dari sekutu berhak meminta gaji dan menerimanya dari pihak
yang mengontrak.
b) Jika salah satu dari dua sekutu sakit atau absen dari kerja karena udzur
syar’i, maka apa yang diperoleh sekutu lainnya tetap dibagi sesama keduanya.
c) Jika salah satu dari kedua sekutu absen kerja dan sakit hingga waktu yang
lama maka sekutu yang sehat berhak menunjuk orang lain sebagai pengganti sekutu
yang sakit tersebut atau yang absen tersebut, kemudian gajinya tetap menjadi
jatah sekutu yang sakit atau sekutu yang absen.
d) Jika salah satu dari kedua sekutu berhalangan hadir, maka sekutu satunya
berhak membatalkan syirkah.
3) Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh ialah dua
orang atau lebih bersekutu membei dan menjual suatu barang dengan jabatan
keduanya, dan keuntungannya dibagi kepada keduanya. Jika ada kerugian, maka
dibagi antara keduanya seperti halnya pembagian keuntungan.
4) Syirkah Mufawadzah
Syirkah Mufawadzah
jangkauannya lebih luas daripada syirkah Inan, atau syirkah abdan atau syirkah
wujuh karena mencakup semua syirkah tersebut dan mencakup mudharabah. Syirkah
Mufawadzah ialah salah satu dari orang yang bersekutu (berserikat)
mendelegasikan semua pengelolaan uang dan aktivitas jual beli, menjual,
membeli, mengadakan mudzarabah, menugaskan seseorang, menggadaikan, bepergian,
dan lain sebagainya kepada sekutu lainnya, kemudian keuntungannya dibagi
diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan keduanya dan kerugiannya dibagi
sesuai jumlah uang keduanya.
3. Rukun Syirkah
Secara garis besar, terdapat tiga rukun syirkah sebagai berikut:[14]
1)
Dua belah pihak yang berakad (aqidani).
Persyaratan orang melakukan akad adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah)
melakukan tasharruf (pengelolaan harta).
2)
Objek akad yang disebut
juga ma’qud alaihi mencakup pekerjaan atau modal. Adapun persyaratan pekerjaan
atau benda yang boleh dikelola dalam syirkah harus halal dan diperbolehkan
dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan.
3)
Akad atau yang disebut
juga dengan istilah shighat. Adapun syarat sah sihat harus berupa tasharruf,
yaitu harus adanya aktivitas pengelolaan.
4. Berakhirnya Syirkah
Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut:[15]
1) Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lain. Sebab syirkah adalah akad yang
terjadi atas dasar rela sama rela dari kedua belah pihak yang tidak ada
kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak mengingunkannya
lagi, hal ini menunjukan pencabutan kerelaan syirkah oleh salah satu pihak.
2) Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf (keahlian
mengelola harta) baik karena gila atau alasan lainnya.
3) Salah satu pihak meninggal dunia. tetapi apabila anggota syirkah lebih
dari dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal dunia saja.
4) Salah satu pihak jatuh bangkrut.
5) Modal para
anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah, bila modal
tersebut lenyap sebelum terjadi percampuran harta hingga tidak dapat
dipisah-pisahkan lagi, yang menanggung resiko adalah para pemiliknya sendiri,
apabila harta lenyap setelah terjadi percampuran yang tidak bisa dipisah-pisah
lagi, maka menjadi resiko bersama.
5.
Hikmah Syirkah
Hikmah yang diperoleh dari praktik
syirkah adalah sebagai berikut:[16]
1)
Menggalang kerja sama
untuk saling menguntungkan antara pihak-pihak yang bersyirkah.
2)
Membantu meluaskan
ruang rezeki karena tidak merugikan secara ekonomi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahsan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada
hadist pertama menjelaskan tentang kecintaan
Allah swt. kepada para hamba-Nya yang melakukan akad syirkah (perkongsian)
selama masing-masing pihak saling menjunjung tinggi nilai-nilai amanah dan
tidak melakukan pengkhianatan (kecurangan) dalam menjalankan bisnis syirkahnya.
Sedangkan pada pada hadist kedua menjelaskan tentang perkongsian menurut hukum Islam
bukan hanya sekedar boleh, melainkan lebih dari itu, disukai selama dalam
perkongsian itu tidak ada tipu menipu.
Jadi pada
intinya, kedua hadist menjelaskan mengenai syirkah yang merupakan perbuatan
yang dianjurkan, yang akan diberi imbalan oleh Allah Swt. karena syirkah itu
merupakan perbuatan yang sangat terpuji karena bisa meringankan beban orang
lain.
B. Saran
Dari pengkajian yang
telah dilakukan diharapkan kita mau lebih memahami tentang salah satu akad
dalam bidang muamalah yaitu akad syirkah. Dengan demikian, kami selaku penulis
mengharap kritik dan saran dari pembaca. Karena kami sadar masih terdapat
banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Dan kami selaku penulis berharap
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Jazairi, Abu Bakr Jabir . Ensiklopedi Muslim. Jakarta: PT
Darul Falah, 2003.
Al-Qarni,
Syaikh Aidh. Ringkasan Fikkih Sunnah
Sayyid Sabiq. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2009.
Diana, Ilfi Nur. Hadis-hadis Ekonomi. Malang: UIN Press,
2008.
Gaffar, Abdu l. Fikih Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1998.
Munir, Misbahul. Ajaran-ajaran
Ekonomi Rasulullah. Malang: UIN Press, 2007.
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh
Muamalat . Jakarta: AMZAH, 2013.
Zaini, Fiqih Muamalah. Surabaya: CV. Salsabila Putra
Pratama, 2013.
[3] Ahmad Wardi
Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: AMZAH,2013), hlm. 289.
[5] Abu Bakr Jabir
Al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim (Jakarta: PT Darul Falah, 2003), hlm.
515.
[6] Ahmad Wardi
Muslich, Fiqh Muamalat, hlm. 288.
[7] Zaini, Fiqih
Muamalah (Surabaya: CV. Salsabila Putra Pratama, 2013), hlm. 47.
[8] Ibid. 49.
[9] Syaikh Aidh
Al-Qarni, Ringkasan Fikkih Sunnah Sayyid Sabiq (Jakarta : Pustaka
Al-Kautsar, 2009), hlm.877.
[10] Ibid.
[12] Ibid.
[15] Ibid.49.