Mendifinisikan kepemimpinan merupakan suatu masalah yang komplek dan sulit, karena sifat dasar
kepemipinan itu sendiri memang sangat kompleks.Akan tetapi, perkembangan ilmu
saat ini telah membawa banyak kemajuan sehingga pemahaman tentan kepemimpinan
menjadi lebih sistematis dan objektif. Kepemimpian melibatkan hubungan pengaruh
yang mendalam yang terjadi di antara orang-orang yang menginginkan perubahan
yang signifikan, dan perubahan tersebut mencerminkan tujuan yang dimiliki
bersama oleh pemimpin dan pengikutnya (bawahan).
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Kepemimpinan
dipahami sebagai segala daya upaya besama untuk mengerakan semua sumber dan
alat (resources) yang tersedia dalam suatu oganisasi. Resaouces tersebut dapat
tergolongakan menjadi dua bagian besar, yaitu: human resource dan non human
resaouces. Dalam lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan islam yang
termasuk salah satu unit organisasi juga terdiri dari berbagai unsure atau
sumber, dan manusia lah merupakan unsure terpenting. Untuk itudapat dikatakan
bahwa sukses tidaknya suatu organisasi untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sangat tergantung atas kemampuan pemimpinya untuk menubuhkan iklim
kerja sama dengan mudah an dapat menggerakan sumber-sumber daya yang ada
sehingga dapat mendaya gunakanya dan dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Dengan demikian kehidupan suatu
organisasi sangat ditentukan oleh peran seorang pemimpin. Kepemimpinan yang
efektif adalah kepemimpinan yang Mampu menumbuhkan dan mengembangkan usaha
kerja sama serta memelihara iklim yang kondusif dalam kehidupan organisasi.
Kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang dapat mengintegrasikan
orientasi tugas dengan orientasi
hubungan manusia.
Dalam makalah ini akan diuraikan
seberapa penting peran kepemimpinan dalam lembaga pendidikan islam pesantren
tradisional yang merupakan kiai sebagai tokoh sentralnya.
2.
Rumusan Masalah
A. Apa yang dimakssud kepemimpinan?
B. Apa yang dimaksud pesantren
tradisional?
C. Bagaimana kepemimpinan di pondok
pesantren tradisional?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian kepemimpinan
Mendefinisikan
kepemimpinan merupakan suatu masalah yang komplek dan sulit, karena sifat dasar
kepemipinan itu sendiri memang sangat kompleks.Akan tetapi, perkembangan ilmu
saat ini telah membawa banyak kemajuan sehingga pemahaman tentan kepemimpinan
menjadi lebih sistematis dan objektif. Kepemimpian melibatkan hubungan pengaruh
yang mendalam yang terjadi di antara orang-orang yang menginginkan perubahan
yang signifikan, dan perubahan tersebut mencerminkan tujuan yang dimiliki
bersama oleh pemimpin dan pengikutnya (bawahan).
Jadi apa
yang dimaksud dengan kepemimpinan itu adalah: kemampuan dan kesiapan yang
dimiliki oleh seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak,
menunutun, menggerakan dan kalau perlu memaksa orang lain agar ia menerima
pengaruh itu dan selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu pencapaian
tujuan-tujuan tertentu demi kemaslahatan bersama. Dari pengertian tentang
kepemimpinan yang kami ketahui dapat disimpulkan hal-hal yang penting mengenai
kepemimipinan, antara lain:
1. Kepemimpinan
itu pada hakekatnya berhubungan dengan tenaga manusia.
2. Kepemimpinan
itu pada hakekatnya hanya terdapat pada kelompok yang terorganisasi.
3. Sebagai
satu kekuatan atau potensi.
Pengaruh
pemimpin itu pada pihak lain dapat memperkembangkan hubungan kemanusiaan yang
lebih baik, dapat mempengaruhi pertumbuhan sikap-sikap yang positif dari pada
individu-individu yang dipimpinnya. Dan yang paling penting ialah pengaruh
kepemimpinannya sangat menentukan bagaimana kualitas kegiatan kerjasama dan
kualitas hasil yang dapat dicapai oleh kegiatan kerjasama dalam lembaga
tersebut.
Adapun Ciri-ciri Seorang Pemimpin yaitu;
1. Memiliki
pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk mengendalikan lembaga atau
organisasinya
2. Memfungsikan
keistimewaannya yang lebih disbanding orang lain (QS Al-Baqoroh : 247)
3. Memahami
kebisaan dan bahasa orang yang menjadi tanggung jawabnya (QS Ibrahim: 4)
4. Mempunyai
karisma atau wibawa dihadapan manusia atau orang lain (QS Huud: 91)
5. Bermuamalah
dengan lembut dan kasih sayang terhadap bawahannya, agar orang lain simpatik
kepadanya (QS Ali Imron: 159)
6. Bermusyawarah
dengan para pengikut serta mintalah pendapat dan pengalaman mereka (QS Ali
Imron: 159)
7. Mempunyai
power dan pengaruh yang dapat memerintah serta mencegah karena seorang pemimpin
harus melakukan control pengawasan atas pekerjaan anggota, meluruskan keliruan,
serta mengajak mereka untuk berbuat kebaikan dan mencengah kemungkaran (QS Al
hajj 41)
8. Bersedia
mendengar nasehat dan tidak sombong, karena naehat dari orang yang ikhlas
jarang sekali kita peroleh (QS Al Baqoroh 206)
Jabatan
pemimpin merupakan jabatan yang istimewa sebab, pemimpin organisasi apapun
dipersyaratkan memiliki berbagai kelebihan menyangkut pengetahuan, perilaku,
sikap, maupun keterampilan dibanding orang lain.[1] Pada
umunya,seseorang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu, tetapi sebaliknya juga
memiliki kelemahan-kelemahan tertentu.
Figur
pemimpin yang ideal sangatlah diharapkan oleh masyarakat, lantaran seorang
pemimpin menjadi contoh terbaik dalam segala ucapan, perbuatan, dan kebiasaan,
termasuk dalam hal berpakaian. Dalam konteks pendidikan islam, pemimpin harus
memiliki keunggulan yang lebih lengkap. Dasar filosofinya adalah pendidikan
islam selama ini mengklaim sebagai lembaga yang berusaha keras membangun kecerdasan
intelektual, kesalehan social, dan kemantapan spiritual.
B.
Pengertian pesantren tradisional
Kata pesantren
sebenarnya berakar dari kata santri yang menurut Prof. A.H. Johns, kata
tersebut adalah bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Sedangkan CC.Berg
berpendapat bahwa istilah tesebut berasal dari istilah shastri yang dalam
bahasa India berarti orang yang tahu buku‐buku suci agama Hindu, atau
seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata Shastri berasal dari shastra
yang berarti buku buku suci, buku‐buku
agama atau buku‐buku
agama atau buku‐buku
pengetahuan.[2] Tetapi, walaupun istilah santri berdekatan
dengan bahasa agama Hindu, namun di Indonesia kata yang kemudian berubah
menjadi kata pesantren ini lazim digunakan dalam khasanah kelembagaan
pendidikan Islam.
Secara terminologis, pesantren
adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam. Umumnya, proses
pendidikan pesantren berlangsung secara non klasikal, dimana seorang kyai
mengajarkan ilmu agama Isalam kepada santri‐santri berdasarkan kitab‐kitab yang
ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya
tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.
Kyai
di sini adalah seorang guru yang menjadi tokoh sentral dalam pesantren, yang
dari kemampuan pribadinya, pertumbuhan suatu pesantren tergantung padanya.
Santri adalah murid‐murid
yang sengaja menuntut ilmu di pesantren, baik ia bermukim di sana ataupun
tidak.[3]
Merujuk
kepada pengertian‐pengertian
di atas, pesantren tradisional bisa didefinisikan sebagai lembaga pendidikan
Islam yang dikelola berdasarkan pola‐pola lama yang sengaja
dilestarikan, pengajarannya menggunakan kurikulum yang diadopsi dari warisan
masa sebelumnya dan dilakukan secara turun temurun.
Pondok
pesantren adalah sebuah sistem yang unik. Tidak hanya unik dalam pendekatan pengajarannya,
tapi juga unik dalam pandangan hidup dan tata nilai yang dianut, cara hidup
yang ditempuh, struktur kewenangan, serta semua aspek‐aspek
kependidikan dan kemasyarakatan lainnya. Dari perbagai corak dan model
pesantren yang ada yang di Indonesia, secara umum paling tidak ada 5 (lima)
unsur pembentuk pesantren, yaitu:
1) kyai,
2) santri,
3) pengajian,
4) asrama/pondok, dan
5) masjid.
Kelima
unsur pembentuk pesantren itu biasanya tersentral kepada figur kyai yang memimpin/mendirikan
pesantren itu, segala macam aktivitas yang ada dalam pesantren harus atas
sepengetahuan dan persetujuan sang kyai, termasuk pembelajaran yang ada di
dalamnya semua terpusat pada kyai, kalaupun ada sistem klasikal yang berjenjang,
yang setiap kelas diajar oleh ustadzustadz muda, maka semua pengajar di
kelas itu adalah orang‐orang
yang direkomendasiakan sang kyai. Di sini, kyai adalah pusat dari gerakan
kelompok yang terwadahi dalam pesantren tersebut. Dalam subbab ini penulis akan
menguraikan beberapa hal yang terkait dengan pembelajaran agama Islam dan
bahasa Arab di pesantren antara lain: kurikulum/manhaj, masa
pembelajaran dan syahadah, serta metode
pembelajaran.
C.
Kepemimpinan Kiai Pada Pondok Pesantren Tradisional
Kiai sebagai salah satu unsur dominan dalam kehidupan sebuah
pesantren. Ia mengatur irama pekembangan dan keberlangsungan kehidupan suatu
pesantren dengan keahlian, kedalaman ilmu, karisma, dan keterampilannya. Tidak
jarang sebuah pesantren tidak memiliki manajemen pendidikan yang rapi, sebab
segala sesuatu terletak pada kebijaksanaan dan keputusan kiai.
Seorang kiai
dalam budaya pesantren memiliki berbagai macam peran, termasuk sebagai ulama,
pendidik dan pengasuh, penghubung masyarakat, pemimpin, dan pengelola
pesantren. Peran yang begitu kompleks tersebut menuntut kiai untuk bisa
memosisikan diri dalam berbagai situasi yang dijalani. Dengan demikian,
dibutuhkan sosok kiai yang mempunyai kemampuan, dedikasi, dan komitmen yang
tinggi untuk bisa menjalankan peranperan tersebut.
Eksistensi kiai
sebagai pemimpin pesantren, ditinjau dari tugas dan fungsinya, dapat dipandang
sebagai sebuah fenomena yang unik. Dikatakan unik karena kiai sebagai pemimpin
sebuah lembaga pendidikan Islam tidak sekadar bertugas menyusun kurikulum,
membuat peraturan atau tata tertib, merancang sistem evaluasi, sekaligus
melaksanakan proses belajar-mengajar yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama di
lembaga yang diasuhnya, melainkan pula scbagai pembina dan pendidik umat serta
menjadi pemimpin masyarakat.[4]
Peran yang
begitu sentral yang dilaksanakan oleh kiai seorang diri menjadikan pesantren
sulit berkembang. Perkembangan atau besar-tidaknya pesantren semacam ini sangat
ditentukan oleh kekarismaan kiai pengasuh. Dengan kata lain, semakin karismatik
kiai (pengasuh), semakin banyak masyarakat yang akan berduyunduyun untuk
belajar bahkan hanya untuk mencari barakah dari kiai tersebut dan pesantren
tersebut akan lebih besar dan berkembang pesat.
Kepemimpinan
individual kiai inilah yang sesungguhnya mmewarnai pola relasi di kalangan
pesantren dan telah berlangsung dalam rentang waktu yang lama, sejak pesantren
berdiri pertama hingga sekarang dalam kebanyakan kasus. Lantaran kepemimpinan
individual kiai itu pula, kokoh kesan bahwa pesantren adalah milik pribadi
kiai. Karena pesantren tersebut milik pribadi kiai, kepemimpinan yang
dijalankan adalah kepemimpinan individual.[5]
Dengan
kepemimpinan semacam itu, pesantren terkesan eksklusif. Tidak ada celah yang
longgar bagi masuknya pemikiran atau usulan dari luar walaupun untuk kebaikan
dan pengembangan pesantren karena hal itu wewenang mutlak kiai. Hal seperti
inilah pola kepemimpinan pada pondok pesantren tradisional/salaf.
Model
kepemimpinan tersebut memengaruhi eksistensi pesantren. Bahkan belakangan ada
pesantren yang dilanda masalah kepemimpinan ketika ditinggal oleh kiai
pendirinya. Hal itu disebabkan tidak adanya anak kiai yang mampu meneruskan
kepemimpinan pesantren yang ditinggalkan ayahnya baik dari segi penguasaan ilmu
keislaman maupun pengelolaan kelembagaan. Karena itu, kesinambungan pesantren
menjadi terancam.[6]
Krisis kepemimpinan juga bisa terjadi ketika kiai terjun ke dalam partai
politik praktis. Kesibukannya di politik akan menurunkan perhatiannya terhadap
pesantren dan tugas utamanya sebagai pembimbing santri terabaikan, sehingga
kelangsungan aktivitas pesantren menjadi terbengkalai.
Adapun
pergantian kepemimpinan di pesantren dilaksanakan apabila kiai yang menjadi
pengasuh utama meninggal dunia. Jadi kiai adalah pemimpin pesantren seumur
hidup. Apabila kiai sudah meninggal, estafet kepemimpinan biasanya dilanjutkan
oleh adik tertua dan kalau tidak mempunyai adik atau saudara, biasanya
kepemimpinan langsung digantikan oleh putra kiai. Biasanya kiai mengkader
putra-putranya untuk meneruskan kepemimpinannya. Namun, jika kaderisasi itu
gagal, biasanya yang melanjutkan adalah menantu yang paling pandai atau
menjodohkan putrinya dengan putra kiai lain. Jadi tidak ada peluang masuknya
orang luar menjadi pemimpin pesantren tanpa memasuki jalur feodalisme kiai.
Dengan
demikian, jelas bahwa posisi kepemimpinan kiai adalah posisi yang sangat
menentukan kebijaksanaan di semua segi kehidupan pesantren, sehingga cenderung
menumbuhkan otoritas mutlak, yang pada hakikatnya justru berakibat fatal. Namun
profil kiai di atas pada umumnya hanyalah terbatas pada kiai pengasuh pesantren
tradisional yang memegang wewenang (otoritas) mutlak dan tidak boleh diganggu
gugat oleh pihak mana pun.
Kepemimpinan
kiai yang karismatik cenderung individual dan memunculkan timbulnya sikap
otoriter mutlak kiai. Otoritas mutlak tersebut kurang baik bagi kelangsungan
hidup pesantren, terutama dalam
hal suksesi kepemimpinan. Kaderisasi hanya terbatas keturunan dan saudara,
menyebabkan tidak adanya kesiapan menerima tongkat estafet kepemimpinan
ayahnya. Oleh karena itu, tidak semua putra kiai mempunyai kemampuan,
orientasi, dan kecenderungan yang sama dengan ayahnya.
Selain
itu, pihak luar sulit sekali untuk bisa menembus kalangan elite kepemimpinan
pesantren, maksimal mereka hanya bisa menjadi menantu kiai. Padahal, menantu
kebanyakan tidak berani untuk maju memimpin pesantren kalau masih ada anak atau
saudara kiai, walaupun dia lebih siap dari segi kompetensi maupun
kepribadiannya. Akhirnya sering terjadi pesantren yang semula maju dan
tersohor, tiba-tiba kehilangan pamor bahkan mati lantaran kiainya meninggal.
DAFTAR
PUSTAKA
Mujamil
Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007)
Zamakhsyari
Dhofier. 1994. , Tradisi Pesantren. (Jakarta: LP3ES, 1994)
Imron Arifin, Kepemimpinan
Kiai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, (Malang: Kalimasada Press, 1993)
Mujamil Qomar, Pesantren: Dari
Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga,
2004)
M. Dawam Rahardjo (ed.), Pergumulan
Dunia Pesantren: Membangun
dari
Bawah, (Jakarta: P3M, 1985).
[1] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta:
Erlangga, 2007), hal. 279
[2] Zamakhsyari
Dhofier. 1994. , Tradisi Pesantren. (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 18.
[3] Ibid, hlm. 55.
[4]
Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng,
(Malang: Kalimasada Press, 1993), hlm. 45.
[5]
Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 40.
[6] M.
Dawam Rahardjo (ed.), Pergumulan Dunia Pesantren: Membangun
dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), hlm. 114.
No comments:
Post a Comment