Istilah konflik berasal dari bahasa latin configere
yang berati saling memukul. Dari bahasa latin diadopsi kedalam bahasa Inggris, conflict
yang kemudian diadopsi kedalam bahasa Indonesia konflik. Konflik adalah pertentangan yang terjadi antara apa yang diharakan oleh
seseorang terhadap dirinya, orang lain, organisasi, dengan kenyataan apa yang
diharapkannya.
BAB I
PENHAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu pengetahuan dan keterampilan yang
perlu dikuasai oleh para pemimpin, manajer, administrator, bahkan setiap warga
Negara adalah konflik dan menajemen konflik. Para pemimpin politik menggunakan
minimal 25% dari waktunya untuk menghadapi dan memanejemani konflik. Pada kurun
waktu 2008 sampai awal 2009, di Negara-negara yang bergejolak seperti Irak,
Afganistan, Pakistan, dan Palestina, tiada hari tanpa konflik. Demikian juga
diseluruh Indonesia banyak terjadi konflik dalam kurun waktu tersebut.
Konflik merupakan salah satu esensi dari
kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai karakteristik beraneka ragam.
Manusia memiliki perbedaan jenis kelamin, starata sosial dan ekonomi, sistem
hukum, bangsa, suku, agama dan kepercayaan, aliran politik, serta budaya dan
tujuan hidupnya. Dalam sejarah umat manusia, perbedaan inilah yang menimbulkan
konfik. Selama masih ada perbedaan tersebut, konflik tidak dapat dihindarkan
dan akan selalu terjadi. Dari sini, jika sejarah umat manusia merupakan sejarah
konflik. Konflik selalu terjadi di dunia. Dalam sistem sosial yang bernama
Negara, bangsa, organisasi perusahaan, dan bahkan dalam sistem sosial terkecil
yang bernama keluarga dan pertemanan. Konflik terjadi di masa lalu, sekarang,
dan pasti akan terjadi dimasa yang akan datang.
Sejumlah tokoh memulai kerirnya sebagai
pemimpin politik dengan menciptakan konflik untuk menciptakan perubahan.
Kemudian mereka memanejemani konflik dengan baik dan menggerakkan pengikutnya
untuk menghancurkan rezim yang berkuasa dan menggantinya dengan rezim baru.
Kualitas dan kuantitas konflik yang terjadi di
Indonesia pada masa mendatang cenderung meningkat. Kecenderungan ini pertama
karena perkembangannya masyarakat madani atau masyarakat sipil (civil society).
Masyarakat sipil memberdayakan warga negara terhadap pemerintah. Warga negara
bukan lagi objek pemerintah, tetapi subjek yang menentukan apa yang harus
dilakukan oleh pemerintah.[1]
Seperti kita ketahui bahwa sehubungan dengan
sumberdaya manusia ini dapat diidentifikasi pula berbagai kompleksitas seperti
kompleksitas jabatan, kompleksitas tugas, kompleksitas kedudukan dan status,
kompleksitas hak dan wewenang dan lain-lain. Kompleksitas ini dapat merupakan
sumber potensial unuk timbulnya konflik dalam organisai, terutama konflik yang
berasal dari sumberdaya manusia, dimana dengan berbagai latar belakang yang
berbeda tentu mempunyai tujuan yang berbeda pula dalam tujuan dan motivasi
mereka dalam bekerja. Seorang pimpinan yang ingin memajukan organisasinya,
harus memahami faktor-faktor apa saja yang menyebabkan timbulnya konflik, baik
dalam individu maupun dalam maupun konflik antar perorangan dan konflik didalam
kelompok dan konflik antar kelompok. Pemahaman faktor-faktor tersebut akan
lebih memudahkan tugasnya dalam hal menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi
dan menyalurkan kearah perkembangan yang lebih positif.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Konflik?
2. Bagaimana Tahap-Tahap Perkembangan Konflik?
3. Bagaimana Ciri Konflik?
4. Bagaimana Cara Mengatasi Konflik?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Konflik.
2. Untuk Memahami Tahap-Tahap Perkembangan
Konflik.
3. Untuk Memahami Ciri Konflik.
4. Untuk Memehami Cara Mengatasi Konflik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Konflik
Istilah konflik berasal dari bahasa latin configere
yang berati saling memukul. Dari bahasa latin diadopsi kedalam bahasa Inggris, conflict
yang kemudian diadopsi kedalam bahasa Indonesia konflik.
Konflik adalah pertentangan yang terjadi
antara apa yang diharakan oleh seseorang terhadap dirinya, orang lain,
organisasi, dengan kenyataan apa yang diharapkannya.[2]
Menurut Dawis & Newstrom (1989), konflik
adalah ketidak sesuaian atau perbedaan antara tujuan yang ingin dicapai atau
metode yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Mc Carthy & Stone R.
J (1986), mengatakan bahwa konflik terjadi bila seseorang atau kelompok
mempunyai dua atau lebih kebutuhan atau keinginan yang tidak dapat dipenuhi
secara bersamaan. Tomas mendefinisikan konflik sebagai “a procces that
begins when one party perceives that another perty has negatively affect, or is
about to negatively affect, something that the first party cares about”
(sebuah prose yang diawali ketika suatu pihak menganggap bahawa pihak lain
mengganggu sesuatu yang bernilai bagi pihak pertama).
Menurit Robin dan Judges sangat tepat untuk
mengatakan bahwa terdapat konflik tentang peran konflik dalam kelompok atau
organisasi. Ada mahzab pemikiran yang mengatakan bahwa konflik harus dihindari,
dan konflik mengindikasikan terjadinya suatu kesalahan fungsi dalam kelompok.
Konflik dipandang sebagai hasil yang tidak fungsional (dysfunctional outcame)
karena buruknya komunikasi, kurangnya keterbatasan dan kepercayaan diantara
orang-orang, dan kegagalan pera menejer dalam menjawab kebutuhan dalam aspirasi
karyawan mereka. Singkatnya, persepektif ini mengasumsikan bahwa semua konflik
itu jelek. Pemikiran ini disebut sebagai pandangan tradisional (traditional
view).
Mahzab pemikiran lain, yakni human relation
view, mengatakan bahwa konflik merupakan hasil alamiah dan tidak dapat
dielakkan dalam kelompok manapn dan bahwa konflik bukanlah sesuatu yang “jahat”.
Edngan kata lain, konflik mempunyai potensi untuk menjadi kekuatan yang positif
dalam menentukan kinerja kelompok.
Mahzab ketiga yang paling mutakhir, melihat
bahwa koflik tidak hanya dapat menjadi kekuatan positif dalam kelompok, tetapi
secara eksplisit mengatakan bahwa ada konflik yang mutlak diperlukan oleh
sebuah kelompok agar dapat bekerja secara efektif. Mahzab ketiga ini disebut
sebagai interctioist approach. Kalau pendekatan human relations menerima
konflik, pendekatan interaksionis mendorong adanya konflik, dengan alasan bahwa
sebuah kelompok yang harmonis, damai, tentram, dan komperatif, cenderung
menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan untuk melakukan
perubahan dan menciptakan inovasi.[3]
Danil Webster mendefinisikan konflik sebagai
1. Persaingan atau pertentangan antara
pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain.
2. Keadaan atau perilaku yang bertentangan:
antara pertentangan pendapat, pertentangan kepentingan, atau pertentangan antar
individu.
3. Perselisihan akibat kebutuhan, dorongan,
keinginan, atau tuntunan yang bertentangan.
Jadi pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
konflik adalah sebuah pertentangan, ketidak sesuaian atau perbedaan tujuan
antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhdap dirinya, orang lain,
organisasi, dengan kenyataan yang diharapkannya.
B. Tahap-Tahap Perkembangan Konflik
1. Persoalan dan perselisihan kecil sehari-hari
Inilah konflik yang paling tidak menimbulkan
rasa terancam pada diri kita. Untuk menanganinya dapat digunakan sebagai cara
mengatasi konflik.
2. Tantangan Yang Lebih Besar
Konflik tahap dua dalam jangka panjang membawa
dampak dan memicu emosi yang lebih besar. Umtuk menanganinya diperlukan latihan
dan keahlian tertentu.
3. Pertarungan Terbuka
Orang baik pun bisa menimbulkan kerugian pada
orang lain bila ia dikuasai emosi, dan bila keinginannya untuk menang lebih
besar dibandingkan dengan keinginannya untuk menghukum.
Konflik merayap naik tahap demi tahap, tetapi
tidak selalu mengikuti garis lurus. Konflik tahap satu pada dasarnya pada hari
seni pagi, bila tidak diatasi, maka akan berubah menjadi konflik tahap tiga
pada petang harinya. Sebalikya, konflik tahap tinggi tanpa disadari dapat
mencair sejalan dengan waktu. Karena tahap konflik dapat berubah-rubah dengan
cepat, maka perlu dipahami ciri khas setiap konflik dan cara yang tepat untuk
menanganinya.[4]
Jadi tahap konflik ini naik sedikit demi
sedikit, jika tidak diselesaikan secara tepat, maka konflik iu akan menjadi
lebih tinggi sehingga ketika menyelesaikannya membutuhkan energi yang sangat
besar.
C. Ciri Khas Konflik
1. Persoalan dan perselisihan kecil sehari
Konflik satu ini jelas ada, tetapi
intensitasnya rendah. Tahap ini ditandai dengan hal-hal kecil yang
menjengkelkan yang terjadi setiap harinya. Biasanya orang secara oomatis
berusaha mengatasi konflik seperti ini dan inilah cara yang bagus untuk
mengatasi konflik tahap satu. Namun secara menangani konflik, seperti
mentolerir perilaku rekan kerja. Paling efektif bila digunakan dengan secara
sengaja dan secara sadar. Dan kita harus mengupayakan agar hal-hal kecil yang
menyebalkan tidak berkembang menjadi masalah besar.
Unsur yang paling menentukan adalah manusia.
Kepribadian kita bermacam-macam, cara kita mengatasi konflik berbeda pula, dan
peristiwa kehidupan berubah-ubah, sehingga mustahil menentukan kapan kesabaran
seseorang akan habis. Apa yang bisa ditolerir kemarin bisa saja menjadi
persoalan besar esok harinya. Tidak ada cara yang pasti untuk mengetahui
terlebih dahulu kapan amarah seseorang akan meledak.
Bila kita bekerja bersama orang lain dalam
kelompok, ada perbedaan dari sisi tujuan, nilai dan kbutuhan. Pada konflik
tahap satu, kita merasa tidak nyaman dan mungkin agak marak, tetapi semua ini
masih masih bisa dikendalikan. Orang pada umumnya mau bekerja sama untuk
mencari cara mengatasinya bila timbul
konflik, dan mereka akan optimis akan berhasil.
Cara mudah untuk menentukan apakah kita berada
pada konflik tahap satu atau yang lebih tinggi adalah mengamati kemampuan
orang-orang yang terlibat konflik, dan memisahkan orang-orang yang terlibat
dari persoalan yang dihadapinya. Brainsstoming (mengutarakan pendapat
sebebas-bebasnya), dan problem solving (mencari alternatif jalan keluar
sebanyak-banyaknya). Baik sekali digunakan dalam upaya mengatasi konflik tahap
satu, karena peserta bersedia membahas masalah yang dihadapi bukan mencari
kesalahan orang lain.
Kesediaan mendengarkan pendapat orang lain dan
artisipasi berbicara penting sekali pada tahap satu, adakan pertemuan dengar
pendapat untuk mencari alternatif pemecahan, atas dasar asas kerja kelompokdan
tanggung jawab bersama. Dengan cara ini perhatian peserta digiring ke satu
fokus dan setiap peserta mendapat kesempatan untukmengemukakan pkirannya.
2. Tantangan yang lebih besar
Pada tahap kedua, konflik mengandung unsur
persaingan, yang dilandasi oleh sikap menang atau kalah. Kekalahan pada tahap
ini terasa sangat besar karena semua orang yang terlibat menghadapi masalah ini
sebagai masalah pribadi. Kepentingan diri sendiri dan menyelamatkan muka
menjadi sangat penting. Tahap ini diwarnai dengan sikap “selamat diri”. Dan
setiap orang yang terlibat mencatat kemenangan yang yang diraih dalam
perdebatan dan kesalahan yang dibuat, saksi memilih pihak yang didukungnya, dan
dalam pikiran terjadi perdebatan untuk mencoba mereka siapa yang bakal menang. Persekutuan
dan pengelompokan mulai terjadi. Oleh karena itu, tenaga dan pikiran yang
dicurahkan untuk menghadapi konflik tahap dua jauh lebih brsar dibandingkan
konflik tahap pertama.
Perhatikan kata-kata yang digunakan orang itu
untuk menggambarkan sebuah konflik atau selisih pendapat. Pada konflik tahap
dua, bahasa yang digunakan tidak spesifik, orang berbicara secara umum, kita
akan sering mendengar orang-orang menggunakan istilah “mereka” yang tidak jelas
menunjuk pada siapa, dan ungkapan seperti “semua orang yakin”. Kata-kata yang
bersifat berlebihan seperti “selalu” dan “tidak pernah” banyak sekali digunakan
pada konflik taha kedua. Karena konflik tahap dua lebih rumit, persoalan yang
dihadapi tidak lagi dapat dipecahkan dengan cara biasa.
Pada tahap ini, orang yang terlibatpun menjadi
bagian dari masah. Pembahasan mengenai persoalan bersangkutan sering
sia-siakarena pihak yang terlibat cenderung semakin hanyut kearah upaya mencari
keslahan orang lain. Bahkan sering ada yang menolak bila pembahasan difokuskan
langsung pada masalah.
Perlu ditekankan bahwa suasana pada konflik
tahap kedua selalu tidak diwarnai dengan dengan sikap bermusuhan, suasana saat
itu ditandai dengan sikap hati-hati, penghinaan, ejekan, dan sindiran adalah
siasat pertahanandiri yang digunakan pada tahap ini. Cara menangani konflik
yang biasa dan manjur sering kali pada tahap pertama, seperti menghindar dan
menyerah, tidak efektif bila digunakan pada tahap kedua. Sikap “menunggu”
berubah menjadi sikap “coba buktikan pada saya keunggulan anda”, pada tahap
kedua. Pihak-pihak yang terlibat, kecil kemungkinan membuka fakta kepada yang
lain, karena kepercayaan mereka pada satu sama lain sudah menurun.
3. Pertarungan terbuka
Pada tahap ini, tujuan bergeser dari ingin
menang keingin menyakiti. Motivasinya adalah melenyapkan pihak lawan, dan
mengubah susana dan mencari pemeachan tidak lagi memuaskan bagi pihak-pihak
yang terlibat, dan bersikukuh berada pada pihak yang benar dan menghukum pihak
yang salah menjadi motivasi utama.
Seorang pemimpin muncul dari kelompok dan
bertindak sebagai juru pembicara. Berbagai pedapat mengelompok dan berbentuk
kubu-kubu pendapat dan faksi-faksi, hingga akhirnya keutuhan faksi lebih
penting dari kebutuhan perusahaan. Argumen dan kegigihan mempertahankan
pendapat mencapai tingkat yang berlebihan pada tahap ini. Pihak-pihak yang
bertikai kemungkinan besar kehilangan persepektif.
Konflik tahap ketiga akan selesai bila
pihak-pihak yang bertikai memahi sejernih-jernihnya tujuan dan arah yang
ditempuh perusahaan atau keorganisasi. Atasan yang mengatasi konflik dengan
mendelegasikan wewenang pada bawahannya, membenahi apa yang perlu dibenahi, dan
mendorong agar bawahannya untuk menggunakan kemampuan masing-masing semaksimal
mungkin. Ini bukan saatnya untuk menutup-nutupi konflik, namun konflik tidak
pula harus menjadi persoalan yang besar dan memakan tenaga dan pikiran, seperti
yang cenderung pihak-pihak yang bertikai.[5]
Jadi ciri khas konflik pada tahap pertama
ditandai dengan perselisihan kecil sehari-hariyang menjengkelkan. Kemudian pada
tahap kedua ditandai dengan persaingan yang dilandasi dengan ingin
menang atau kalah, dan menyelamatkan muka menjadi tujuan utamnya sehingga sikap
penghinaan, ejekan dan sindiran yang menjadi sikap pertahan diri. Pada tahap
ketiga ditandai dengan ingin melenyapkan lawan bicara. yang mana pada tahap
tiga ini tujuan ingin menang keingin menyakiti lawan bicaranya.
D. Cara Mengatasi Konflik
1. Konflik tahap pertama
Menghindar adalah salah satu cara yang efektif
untuk mengatasi konflik tingkat satu. Anda secara sadar menghindari orang yang
menjadi sumber konflik, karena anda menilai tampaknya tidak ada waktu maupun
keinginan pihak atasan untuk mencoba mengubah perilaku orang itu. Hal-hal kecil
yang dianggap tidak penting anda biarkan saja. Anda lebih menutup mulut dari
pada mebawa persoalan bersangkutan pada atasan anda dan terlibat dalam
pembicaraan yang bisa memanas. Jika hubungan anda dengan orang itu dari sisi
pekerjaan tidak terlalu dekat, kemungkinan besar cara menghindar ini adalah
sudash tepat. Pada tahap ini, sikap “mari kita hidup menuruti kemauan
masing-masing selagi tidak menyimpang dari aturan yang ditetapkan” merupakan
alat yang ampuh untuk mengatasi konflik.
Tetapi hati-hati jka terlalu banyaj hal-hal
yang kecil yang menjengkelkan yang dibiarkan menumpuk, maka timbul masalah baru
dimasa datang, hal-hal yang menumpuk itu dapat menyebabkan masalah semakin
sulit. Contoh pengalaman anda disekolah dasar ketika waktu olahraga teman anda
disuruh memilih anggota untuk dua kesebelasan yang akan bermain? Saat itu juga
setiap murid diberi tugas memilih murud yang dipilih terakhir memiliki kiat
mrngadaptasikan diri dengan situasi yang ada. Anda terpilih terakhir, anda
kecewa. Perasaan ini dapat mengedap dalam dalam diri anda berbulan-bulan atau
bahkan bertahun-tahun. Perasaan serupa juga dapat timbul dalam pergaulan kita
sehari-hari dengan orang lain.
Menyerah adalah bentuk menghindar yang agak
lebih kuat. Dalam hal ini anda mengikuti
keinginan orang lain. Menyerah pada keinginan orang lain mengandung arti anda
ingin menyesuaikan diri dan diterima oleh orang lain. Biasanya keingina untuk
diterima oleh orang lain ini kuat dan mengalahkan konflik tahap lebih rendah.
Cara ini berpijak pada sikap menerima, dengan harapan segalanya tetap berjalan lancar.
Sengaja mengikuti kemauan orang lain bisa membawa manfaaat bagi kelompok,
tetapi tidak ada cara untuk memastikan sampai berapa lama seseorang bersedia
mengukuti kemaian orang lian.
2. Konflik tahap kedua
a. Ciptakan iklim yang menimbulkan rasa aman yang
memberikan rasa percaya diri semua orang diantaranya:
·
Buatlah suasana informal
·
Bentuk wilayah wewenang yang netral
·
Siapkan agenda
·
Pegang kendali
·
Tempatkan diri anda pada posisinya yang sedikit lemah
b. Giat menggali fakta, tetapi perlakukan semua
orang dengan lemah lembut. Jangan kikir dengan waktu, gunakan kesempatan yang
ada untuk mendapatkan fakta serinci-rincinya.
c. Lakukan semua ini bersama-sama sebagai satu
tim, bagi tanggung jawab untuk mencari sebanyak-banyaknya alternatif jalan
keluar yang dapat diterima semua orang. Tekankan perlunya tanggung jawab
bersama.
d. Cari jalan tengah tetapi jangan kompromi.
Sebaiknya, carilah secara kreatif jalan tengah yang berfokus pada hal
kesepakatan bersama.
e. Sediakan waktu yang cukup bagi pihak yang
bertikai untuk mencapai kesepakatan bersamatanpa dipaksa atau harus memberikan
konsensi.
f. Pihak yang bertukai hendaknya didudukkan
berdampingan, jangan berhadap-hadapan, lebih baik mengunakan meja bundar.
Konflik tahap dua bila tidak dikendalikan akan
mengeruhka pikiran dan membesar persoalan. Pihak yang terlibat dalam konflik
akan melihat dirinya sendiri lebih baik hati dengan menganggap orang klain
culas. Bila pembicaraan dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang bersifat putih
atau hitam, itu berarti konflik telah memasuki tahap tiga.
3. Konflik tahap tiga
Cara mengatasi konflik ketiga ialah dengan
mengadakan intervensi atau perundingan. Anda perlu memahami sepenuhnya tata
cara mengadakan perundingan atau arbitrari, karena kalau tidak anda tidak punya
apa lagi untuk dikelola.
Taktik yang patut dipertimbangkan bila anda
melihat konflik mulai memasukitahap ketiga ialah membentuk tim intervensi yang
bersikap netral pada pihak-pihak yang bertikai. Misalnya, parak karyawan
perusahaan yang tidak terlibat konflikdapat diminta menjadi anggota tim untuk
mencari jalan keluar bagi persoalan yang dirasakan setiap pihak yang bertikai.
Tim intervensi itu dapat memainkan peran negoisasi, mediasi dan arbitrase.
·
Negoisasi: membuat pihak-pihak yang terlibak duduk
berhadap-hadapan dan berupaya bersama-sama mencari jalan pemecahan dengan
disaksikan pihak luar. Sekali dimulai, proses ini dapat menghasilkan jalan
keluar bagi masalah yang dihadapi. Namun, proses ini tidak akan mampu
menumbuhkan harmoni. Pihak-pihak yang bertikai sudah berketetapan hati harus
ada yang tersingkir.
·
Mediasi: kedua belah pihak membeberkan masalah argumennya
yang terbaik pada tim intervensi. Tim ini akan mendorong untuk diskusi dan
mengusahakan agar pihak-ppihak yang bertikai bertanggung jawab memberi landasan
yang sama dan jalan keluarnya.
·
Arbitrasi: setiap pihak yang membeberkan argumennya yang
terbaik dan tim intervensi memenangkan salah satu pihak. Taktik ini bila
digunakan jelas membawa kerugian besar pada kedua belah pihak, tetapi konflik
tahap tinggi dapat diselesaikan. Terutama yang mengikat harus ditegakkan. Semua
pihak harus mematuhi dan menerima keputusan tim intervensi.
Para tim intervensi tidak boleh memihak dan
harus mampu mendengarkan mendengarkan semua pihak. Tim intervensi harus
menyaring fakta dari tumpukan berbagai emosi pihak-pihak yang bertikai, dan
harus memberikan arah yang jelaspada akhir pencarian fakta.
Orang-orang yang terlibat konflik pada tahap
ketiga kemungkinan besar akan memperpanjang konflik, kerena mereka terhanyut
oleh perseteruan itu dan semangat yang berapi-api. Bahkan setelah pimpinan
berusaha mengambil keputusan, beberapa orang tersebut akan terus bertempur
mengejar tujuan masing-masing.[6]
Jadi untuk mengatai konflik pada tahap pertama
ialah dengan sikap menghindar dari orang yang menjadi sumber konflik, dan
menyerah pada keinginan orang lain. Pada tahap kedua yaitu dengan
menciptakan iklim yang menimbulkan rasa aman, giat menggali fakta, lakukan ini
secara bersama, mencari jalan tengah namun tidak berkompromi, memberi waktu
yang cukup pada pihak yang bertikai, dan jangan didudukkan secara berdampingan.
Pada tahap ketiga ialah dengan mencari jalan keluar secara negoisasi,
mediasi, dan arbitrasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konflik adalah pertentangan ketidaksesuaian,
perbedaan, persaingan antara tujuan yang ingin dicapai atau metode yang
digunakan untuk mencapai tujuan setiap kelompok atau individu yang terjadi
antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap dirinya, orang lain,
organisasi, dengan kenyataan apa yang apa yang diharapkannya.
Tahapan perkembangan kearah terjadadinya
konflik ialah dari persoalan dan perselisihan sehari-hari yang menjengkelkan,
tantangan yang lebih besar, dan pertarungan terbuka.
Ciri tahap pertama ialah ditandai
dengan hal-hal kecil yang menjengkelkan, seperti penghinaan. Kedua
persaingan yang dilandasi oleh sikap menang atau kalah sehingga menyelamatkan
muka menjadi sangat penting. Ketiga ialah bersikukuh terhadap argumen
dan ideologi yang mereka pertahankan sehingga mereka membedakan mana lawan mana
kawan.
Cara mengatasi konflik pada tahap pertama
yang paling efektif ialah menghindar, kedua yaitu menciptakan iklim
yang menimbulkan rasa aman, giat
menngali fakta, lakukan semua ini secara berkelompok atau satu tim, mencari
jalan tengah namun tidak berkompromi, menyediakan waktu yang culup bagi yang
bertikai untuk mencapai kesepakatan, pihak yang bertikai hendaknya didudukkan
secara berdampingan. Ketiga ialah dengan mengadakan intervensi dengan
cara nogoisasi, mediasi, dan arbitrari.
B. Saran
Diharapkan para pembaca dapat mampu memahami
sebagai pengetahuan ketika terjadi suatu konflik dengan cara mengetahui dahulu
ciri khas pada konflik tersebut, serta menerapkan atau mengimplementasikan apa
yang kalian pahami untuk mengatasi terjadinya konfik.
DAFTAR PUSTAKA
Mangkunegara. Anwar Prabu. Manajemen Sumber Daya
Manusia, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Marwansyah. Manajemen Sumber Daya Manusia,
Bandung: Alfabeta, 2012.
Pickering, pieg. How To Manage Konflict: Kiat
Menangani Konflik, Jakarta: Erlangga, 2001.
Wirawan. Konflik dan Manajemen Konflik, Teori.
Aplikasi, dan Penelitian, Jakarta: Salemba Humaika, 2001.
[1] Wirawan, Konflik Dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, da penelitian
(Jakarta: Salemba Humaika 2010), hlm. 1-2.
[2] Anwar Prabu Mangkunegara, Manajemen Sember Daya Manusia (Bandung:
Remaja Rosdakarya 2001), hlm. 155.
[4] Peg Pickering, How To Manage Konflict: Kiat Menangani Konflik
(Jakarta: Erlannga 2001), hlm. 24-25.