Perdagangan atau bisnis di dalam al-Quran diungkapkan dengan
menggunakan kata al-tijarah. Al-bai’u, tadayantum, dan isytara.[4]
Al-Quran memandang bisnis (perdagangan) sebagai pekerjaan yang menguntungkan.
Banyak instruksi di dalam al-Qur‟an, dalam bentuknya yang sangat detail,
tentang praktek bisnis yang dibolehkan dan yang tidak diperbolehkan.
Ketetapan “boleh” dan “tidak” dalam kehidupan manusia telah dikenal
sejak manusia pertama, Adam dan Hawa diciptakan. Seperti dikisahkan dalam kitab
suci Al-Qur‟an, kedua sejoli ini diperkenankan oleh Allah memakan apa saja yang
mereka inginkan di surga, namun jangan sekali-sekali mendekati sebuah pohon
yang apabila dilakukan mereka akan tergolong orang-orang yang zalim.
Prinsip “boleh” dan “tidak” tersebut berlanjut dan dilanjutkan oleh
para nabi-nabi yang diutus oleh Allah termasuk Nabi Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad SAW. Mereka diutus untuk merealisir ketentuan sang
Pencipta dalam seperangkat regulasi agar dapat mengarahkan manusia hidup
bahagia di dunia. Tata nilai itu diletakkan sebagai regulator kehidupan guna
mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh tingkah laku manusia yang cendrung
egoistis dan liar. Tata nilai itulah yang disebut dengan etika .[5]
Kata-kata “etika” berasal dari bahasa Yunani yakni dari kata ethos
yang berarti kebiasaan (custom) atau karakter (character).
Dalam kata lain seperti pemaknaan dan kamus Webster berarti “the
distinguishing character, sentiment, moral nature, or guiding beliefs of a
person group, or institution”