Secara ringkas,
karakter menurut Ki Hadjar Dewantara adalah sebagai sifatnya jiwa manusia,
melalui dari angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga. Dengan adanya budi
pekerti manusia akan menjadi pribadi yang merdeka sekaligus berkepribadian, dan
dapat mengendalikan diri sendiri.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Banyak yang mengatakan bahwa masalah
terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia adalah terletak pada aspek moral.
Terbukti dengan banyaknya berita tentang tawuran antar pelajar, kasus-kasus
narkoba yang sering kita lihat ditelevisi tidak jarang pemakainya masih
menyandang status pelajar, karena menganiaya gurunya sendiri, tidak lagi
mempunyai sopan santun pada orang tua, dan yang sangat parah lagi ada anak yang
berani membunuh orang tuanya sendiri. Kita harus tegaskan lagi bahwa tujuan
pendidikan adalah memperbaiki moral yaitu “memanusiakan manusia”. Terjadinya
berbagai penyelewengan dan kejahatan tersebut menandakan rendahnya akhlak, budi
pekerti dan karakter bangsa.
Kalau kita perhatikan dalam Undang-Undang
Sisdiknas Tahun 2003 Pasal 3 “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.”
Pendidikan merupakan tahapan kegiatan yang bersifat kelembagaan
(seperti Sekolah dan Madrasah) yang digunakan untuk menyempurnakan perkembangan
individu dalam menguasai pengetahuan, kebiasaan, sikap, dan sebagainya. Dalam
penyelenggaraan pendidikan, proses belajar merupakan unsur yang sangat
fundamental. Ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan
pendidikan itu sangat bergantung pada proses belajar yang dialami peserta didik baik di lingkungan
sekolah maupun diluar sekolah.
Karenanya, persoalan karakter anak didik atau karakter bangsa ini
menjadi isu terpenting bagi dunia pendidikan di tanah air. Anak didik yang
mempunyai karakter yang tangguh tidak di ragukan lagi, bahwa hal itu merupakan
sebagai ‘solusi’ bagi beragam persoalan sosial yang sedang dan akan dihadapi
bangsa ini.
Guna untuk memperbaiki moralitas dan karakter peserta didik, maka
sudah semestinya pendidikan karakter diimplementasikan sekaligus menjadi ruh
dalam suatu lembaga pendidikan. Benar saat ini sudah ada sebagian sekolah
ataupun perguruan tinggi yang telah melaksanakan pembelajaran karakter dengan
baik. Umumnya sekolah tersebut memiliki mutu dan kualitas manajemen yang baik
pula. Namun masih banyak juga sekolah yang sebagian guru atau stafnya tidak
peduli dengan perilaku siswanya. Mereka terkesan abai, cuek, dan beranggapan jika tugasnya hanya mengajar, perkara
moralitas siswa amburadul dan bobrok itu urusan lain. Ironis lagi, mungkin
diantara pengajar tidak saling mengenal dengan baik, nyaris tidak ada
kepedulian dan penghormatan.
Pendidikan yang baik itu mestinya mampu mengalahkan dasar-dasar
jiwa manusia yang jahat, menutupi, bahkan mengurangi tabiat-tabiat yang jahat
tersebut. Pendidikan dikatakan optimal, jika tabiat luhur lebih menonjol dalam
peserta didik ketimbang tabiat jahat. Manusia berkarakter seperti inilah yang beradab, sosok yang menjadi
ancangan sejati pendidikan. Oleh karena itu, keberhasilan pendidikan yang
sejati adalah menghasilkan manusia yang beradab, bukan mereka yang cerdas
secara kognitif dan psikomotorik tapi miskin karakter atau budi pekerti luhur.
Dengan demikian, sudah saatnyalah sekarang, tidak hanya di tingkat
dasar dan menengah pendidikan karakter diefektifkan. Tetapi juga nanti ketika
diperguruan tinggi yang nantinya membentuk karakter peserta didik yang kokoh
dan kuat guna menghadapi aneka tantangan zaman dimasa yang akan datang. Melalui
pendidikan karakter ini pula diharapkan dapat mendorong para peserta didik
menjadi intelektual muda bangsa yang memiliki kepribadian unggul, sebagaimana rancangan
mulia pendidikan nasional.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pendidikan
karakter?
2. Apa saja pilar dalam pendidikan
karakter?
3. Seperti apa strategi dalam
mangaplikasikan pendidikan karakter?
4. Apa saja penyebab kemerosotan
pendidikan karakter?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi pendidikan
karakter.
2. Untuk mengetahui strategi dalam
mengaplikasikan pendidikan karakter.
3. Untuk mengetahui penyebab
kemerosotan pendidikan karakter.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Pendidikan Karakter
Banyak orang
memaknai sebuah kata, tetapi kadang tidak paham sepenuhnya terhadap makna atau
penggunaanya pada konteks yang tepat. Orang-orang semacam ini biasanya sekedar
ikut-ikutan menggunakan sebuah kata karena mendengar, tahu dari televisi,
maupun lewat cara-cara lainnya. Kata-kata kontemporer yang biasanya diadaptasi
dari bahasa asing, terutama bahasa inggris, menjadi daya tarik tersendiri.
Menggunakan kata-kata bernuansa inggris ini biasanya menjadikan penggunaanya
seolah-olah ikut modern dan terpelajar. Sebab, secara salah kaprah orang
umumnya memahami ciri modern dan terpelajar salah satunya lewat kemampuan
menggunakan kata-kata ilmiah yang dalam pendengaran orang awam sulit untuk
dipahami.[1]
Istilah
pendidikan karakter muncul ke permukaan pada akhir-akhir ini, setelah terjadi
degradasi moral yang melanda bangsa Indonesia. Pendidikan karakter terambil
dari dua suku kata yang berbeda, yaitu pendidikan dan karakter. Kedua kata ini
mempunyai makna sendiri-sendiri. Pendidikan lebih merujuk pada kata kerja,
sedangkan karakter lebih pada sifatnya. Artinya, melalui proses pendidikan
tersebut, nantiya dapat dihasilkan sebuah karakter yang baik. Untuk lebih
jelasnya dibawah ini akan didefinisikan satu persatu.
Pendidikan
sendiri merupakan terjemahan dari education, yang kata dasarnya educate
atau bahasa latinnya educo. Educo berarti mengembangkan dari dalam;
mendidik, melaksanakan hukum kegunaan. Ada pula yang mengatakan bahwa kata education
berasal dari bahasa latin educare yang memiliki konotasi melatih atau
menjinakkan (seperti dalam konteks manusia melatih hewan-hewan yang liar
menjadi semakin jinak sehingga bisa diternakkan).[2]
Sedangkan
karakter berarti to mark (menandai) dan memfokuskan, bagaimana
mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku.[3]
Secara ringkas,
karakter menurut Ki Hadjar Dewantara adalah sebagai sifatnya jiwa manusia,
melalui dari angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga. Dengan adanya budi
pekerti manusia akan menjadi pribadi yang merdeka sekaligus berkepribadian, dan
dapat mengendalikan diri sendiri.
Dari pengertian
diatas, antara pendidikan dan karakter dapat diambil pengertian bahwa
pendidikan karakter ialah suatu pendidikan yang mengajarkan tabiat, moral,
tingkah laku maupun kepribadian. Maksudnya proses pembelajaran yang dilakukan
di lembaga pendidikan harus mampu mengarahkan, dan menanamkan nilai-nilai
kebaikan kepada peserta didik yang kemudian dapat diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
Menrut Fakry
Gaffar, pendidikan karakter ialah suatu proses transformasi nilai-nilai
kehidupan untuk ditumbuh-kembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga
menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu. David Elkind dan Freddy Sweet
menambahkan bahwa pendidikan karakter adalah usaha sengaja atau sadar untuk
membantu manusia memahami, peduli tentang, dan melaksanakan nilai-nilai etika
inti.[4]
B.
Pilar
Penting Dalam Pendidikan Karakter
Ada enam karakter utama (pilar karakter) pada diri manusia yang
dapat digunakan untuk mengukur dan menilai watak dan perilakunya dalam hal-hal
khusus. Adapun enam pilar karakter tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Respect (Penghormatan), adalah untuk menunjukkan bagaimana sikap kita
secara serius dan khidmat pada orang lain dan diri sendiri. Dengan
memperlakukan orang lain secara hormat, berarti membiarkan mereka mengetahui
bahwa mereka aman, bahagia. Rasa hormat biasanya ditunjukkan dengan sikap sopan
dan juga membalas dengan kebaik hatian.
2.
Responsibility
(Tanggung Jawab), sikap tanggung
jawab menunjukkan apakah orang itu punya karakter yang baik atau tidak. Orang
yang lari dari tanggung jawabnya sering tidak disukai, artinya bahwa orang
tersebut berkarakter buruk.
3.
Citizenship-Civic
Duty (Kesadaran
Berwarga-Negara), karakter yang diperlukan untuk membangun warga negara ini
meliputi berbagai tindakan untuk mewujudkan terciptanya masyarakat sipil yang
menghormati hak-hak individu. Hak untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan
mendasarnya, hak untuk memeluk agama dan keyakinan masing-masing, hak untuk
mendapat informasi dan mengeluarkan informasi, dll.
4.
Fairness (Keadilan dan Kejujuran), sikap adil merupakan kewajiban moral,
kita diharapkan memperlakukan semua orang secara adil. Kita harus mendengarkan
orang lain dan memahami apa yang mereka rasakan dan fikirkan, atau setidaknya
yang mereka katakan.
5.
Caring (Kepedulian dan Kemauan Berbagi), kepedulian adalah perekat
masyarakat. Kepedulian adalah sifat yang membuat pelakunya merasakan apa yang
dirasakan orang lain, mengetahui bagaimana rasanya jadi orang lain.
6.
Trustworthiness
(Kepercayaan), kepercayaan mahal
harganya saat ini, kepercayaan yang semakin hilang juga ikut membentuk karakter
manusia. Misalnya ketika kepercayaan hilang, orang akan berinteraksi dengan
kebohongan. Biasanya, kebohongan muncul sedikit demi sedikit, dan kaetika
terpelihara, hal itu akan membentuk karakter.[5]
C.
Strategi Dalam Mangaplikasikan Pendidikan Karakter
Sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya bahwa karakter terbenttuk dari internalisasi nilai
yang bersifat konsisten, artinya terdapat keselarasan antar elemen nilai.
Sebagai contoh karakter jujur, terbentuk dalam satu kesatuan utuh antara tahu
makna jujur (apa dan mengapa jujur), mau bersikap jujur, dan berperilaku jujur.
Zamroni
menawarka tujuh strategi pendidikan karakter yang menurut hemat penulis relevan
untuk dilaksanakan dalam suatu pendidikan:
1.
Tujuan,
sasaran dan target yang dicapai harus jelas dan konkret.
2.
Pendidikan
karakter akan lebih efektif dan efesien jika dikerjakan tidak hanya dalam
lingkup suatu lembaga pendidikan, akan tetapi harus ada kerja sama antara
lembaga pendidikan dengan orang tua.
3.
Menyadarkan
pada semua guru/dosen akan peran yang penting dan tanggung jawab dalam
keberhasilan melaksanakan dan mencapai tujuan pendidikan karakter.
4.
Kesadaran
guru/dosen akan perlunya “hidden curriculum” dan merupakan instrumen
yang amat penting dalam pengembangan karakter peserta didik. Misalnya dalam
berinteraksi dengan peserta didik, yang disadari atau tidak akan berpengaruh
besar terhadap peserta didik.
5.
Dalam
melaksanakan pembelajaran guru/dosen hendaknya menekankan pada daya kritis dan
kreatif peserta didik, kemampuan bekerja sama, dan keterampilan mengambil
keputusan.
6.
Kultur
dalam suatu lembaga pendidikan harus dimanfaatkan dalam pengembangan karakter.
Misalnya nilai, keyakinan, norma, dll.
7.
Pada
hakikatnya salah satu fase pendidikan karakter adalah proses pembiasaan dalam
kehidupan sehari-hari.[6]
D.
Penyebab
Kemerosotan Karakter
Dewasa ini negara-negara yang memiliki power dan lebih maju dalam
bidang iptek dan sains, dengan berbagai cara berusaha menguasai umat islam
dalam semua aspek. Mereka berusaha menguasai wilayah, kekayaan, pemikiran,
kekarakteran, dan kekuatan militer umat islam.
Dekadensi moral sekarang menjangkiti setiap pelajar di bumi
Indonesia dan mengikis loyalitas mereka kepada ajaran agamanya. Loyalitas umat
sedikit demi sedikit berpindah kepada karakter barat yang sangat bertentangan
dengan agama. Berikut beberapa penyebab kemerosotan karakter:
1.
Dekadensi
Moral
Di negara Islam gelombang dekadensi moral semakin meningkat.
Gelombang yang berasal dari barat tersebut sama sekali tidak mengindahkan
urgensi aagama dalam menjaga moral. Tidak berlebihan jika kami menyebutkan hal
ini, sesuai dengan pendapat semua orang yang pernah ke barat ataupun menetap,
bahwa disana (orang barat) menghalalkan perzinahan, meskipun zina adalah
perbuatan sangat keji dan termasuk dosa besar dilarang didalam agama manapun,
menghalalkan homoseks, minuman keras, perjudian, dll.
Dosa besar yang kami sebut di atas merupakan penyebab kehancuran
bagi masyarakat maupun individu. Dosa besar ini juga dapat menimbulkan
munculnya berbagai tindakan kriminal.
Dengan demikian, kita sebagai orang muslim harus menghadapi badai
gelombang dekadensi moral tersebut dengan berbagai cara disertai dengan
keimanan yang kuat, sehingga mereka
dapat menyelamatkan diri, generasi, dan masyarakat mereka yang muslim.
2.
Hilangnya
Loyalitas Terhadap Agama yang di Anut
Jika loyalitas agama sudah hilang, maka selanjutnya rasa cinta pun
akan pudar. Sehingga keinginan untuk berkorban dan mempertahankan agama akan
sirna. Loyalitas sebagaimana yang kita ketahui adalah pembelaan yang diberikan
setelah timbulnya rasa cinta, kemudian berkorban karena kuatnya keimanan serta
kepasrahan. Jika loyalitas adalah keterikatan terhadap setiap individu tanpa
paksaan, maka loyalitas sorang muslim terhadap agamanya juga demikian.
Adapun orang muslim yang loyal terhadap akidah islam adalah orang
yang tahu bahwa loyalitas tersebut akan membawa mereka kepada puncak kemuliaan
di dunia dan akhirat, serta membuat merek mampu menghadapi serangan dan tipu
daya musuh.
3.
Merebaknya
Tuduhan Terhadap Islam
Dewasa ini tuduhan buruk terhadap islam sedang menggejala dan
mewabah. Hal ini dimaksudkan untuk membendung penyebaran islam dan melemahkan
gerakan kebangkitan dan pembaruan dalam diri umat islam. Tuduhan buruk tersebut
juga bertujuan untuk menghilangkan rasa percaya umat terhadap agama mereka.
4.
Fanatisme
yang Berlebihan
Fanatisme
yang dimaksudkan disini adalah fanatisme buta terhadap pendapat, mazhab, dan
sebagainya yang didasarkan pada hawa nafsu. Fanatisme ini merupakan salah satu
akibat dari kemerosotan moral umat islam, karena fanatisme seperti ini menjadi
pemicu terjadinya pertentangan umat. Jika umat islam berpegang teguh pada agama
dan ajaran akhlaknya, maka sifat fanatik mereka dapat terkendali. Sedangkan
jika mereka jauh dari ajaran agama mereka, maka sifat fanatik itu akan
menggelora dan membahayakan mereka sendiri.
5.
Terlalu
Ekstrem atau Terlalu Memudahkan Ajaran Agama
Terlalu keras atau ekstrem adalah melampaui batas yang telah
ditetapkan oleh agama dengan berlebih-lebihan dan menambahkankan hal-hal yang
sebenarnya tidak ada di dalamnya. Perbuatan ini dicela oleh agama karena ia
menampilkan sesuatu yang tidak asli. Sedangkan terlalu memudahkan juga dicela
oleh islam, karena dengan sikap ini ajaran islam banyak ditinggalkan dan
dikurangi. Sikap ini hampir sama dengan meremehkan terhadap ajaran islam. Dengan
demikian, kedua sikap ini juga menandakan
bahwa orang tersebut pada hakikatnya adalah melanggar dan jauh dari aturan
Allah.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan Karakter ialah suatu pendidikan yang mengajarkan tabiat,
moral, tingkah laku maupun kepribadian. Maksudnya proses pembelajaran yang
dilakukan di lembaga pendidikan harus mampu mengarahkan, dan menanamkan
nilai-nilai kebaikan kepada peserta didik yang kemudian dapat diimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari.
Ada enam karakter utama (pilar karakter) pada diri manusia yang
dapat digunakan untuk mengukur dan menilai watak dan perilakunya dalam hal-hal
khusus, yaitu:
1. Respect (Penghormatan).
2. Responsibility (Tanggung
Jawab).
3. Citizenship-Civic Duty
(Kesadaran Berwarga-Negara).
4. Fairness
(Keadilan dan Kejujuran)
5. Caring (Kepedulian
dan Kemauan Berbagi)
6.
Trustworthiness
(Kepercayaan).
Salah satu
strategi pendidikan karakter yang menurut hemat penulis relevan untuk
dilaksanakan dalam suatu pendidikan:
1.
Tujuan,
sasaran dan target yang dicapai harus jelas dan konkret.
2.
Pendidikan
karakter akan lebih efektif dan efesien jika dikerjakan tidak hanya dalam
lingkup suatu lembaga pendidikan, akan tetapi harus ada kerja sama antara
lembaga pendidikan dengan orang tua.
3.
Menyadarkan
pada semua guru/dosen akan peran yang penting dan tanggung jawab dalam
keberhasilan melaksanakan dan mencapai tujuan pendidikan karakter.
Berikut penyebab kemerosotan karakter diantaranya, Dekadensi Moral, Hilangnya Loyalitas
Terhadap Agama yang di Anut, Merebaknya Tuduhan Terhadap Islam, Fanatisme yang
Berlebihan, Terlalu Ekstrem atau Terlalu Memudahkan Ajaran Agama
DAFTAR PUSTAKA
Fathurrohman,
Pupuh. dkk, Pengembangan Pendidikan Karakter, Bandung: PT. Refika Aditama.
2013.
Muhammad
Fadlillah & Lilif Mualifatu Khorida, Pendidikan Karakter Anak Usia Dini,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.
Muin,
Fatchul. Pendidikan Karakter Konstruksi Teoritik dan Praktik, Jogjakarta:
AR-RUZZ MEDIA. 2011.
Naim,
Ngainun. Character Building, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
Wibowo,
Agus. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi; Membangun Karakter Ideal Mahasiswa
di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2013.
[1]Ngainun Naim,
Character Building, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2012), hlm.49.
[2]Muhammad
Fadlillah & Lilif Mualifatu Khorida, Pendidikan Karakter Anak Usia Dini,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2013), hlm.16-17.
[3] Ibid, hlm.20.
[4] Ibid, hlm.22.
[5] Fatchul Muin, Pendidikan
Karakter Konstruksi Teoritik dan Praktik, (Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA. 2011), Hlm.
211-243
[6] Agus Wibowo, Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi; Membangun
Karakter Ideal Mahasiswa di Perguruan Tinggi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013),Hlm. 143-145
[7] Pupuh Fathurrohman dkk, Pengembangan Pendidikan Karakter, (Bandung:
PT. Refika Aditama. 2013), Hlm. 88-92