BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
sejarah islam, pendidikan Islam ada
sejak pertama kali islam diturunkan. Ketika Rasulullah Saw mendapat perintah
untuk menyebarkan agama islam, maka yang dilakukan adalah masuk kategori
pendidikan karena kepribadian Rasulullah mencerminkan wujud ideal islam,
seorang guru dan pendidik. Pada masa modern, sejarah peradaban islam ditandai
dengan munculnya berbagai pemikiran modern atau lebih dikenal dengan pemikiran
pembaharuan Islam.
Pada
masa modern dalam sejarah peradaban islam ditandai dengan munculnya berbagai
pemikiran modern atau lebih dikenal dengan pembaharuan Islam. Respon tersebut
dilakukan oleh para pembaru Islam sebagai reaksi umat Islam terhadap kondisi
syari’at islam yang telah terpuruk jauh, sampai pada pengalaman hal-hal yang
berhubungan dengan takhayul, khurafat, dan bid’ah.
Sebenarnya
munculnya pemikiran modern atau pembaharuan Islam bukan pada abad ke-18, akan
tetapi pada abad ke-15 itu sudah ada pemikiran pembaharu Islam besar Ibnu
Taimiyah sudah menjadi rujukan banyak ulama’ Islam pada saat itu, mungkin
karena belum ada gerakan yang menfasilitasi pemikran Ibnu Taimiyah. Pemikiran secara formal muncul
pada abad ke-18 ketika Muhammad bin Wahab dari wilayah Najed pada awal abad
ke-18 mendirikan Gerakan Wahabiyah atau Gerakan Muhawiddin. Pada saat itu dalam
sejarah dikenal dengan periode pembaharu
Islam atau periode modern. Tokoh yang terkenal diantaranya; Muhammad bin Abdul
Wahab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan sebagainya. Kebangkitan pemikiran dalam dunia Islam baru
muncul pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani di
Afrika, Muhammad Abduh di mesir. Kedua tokoh ini di bawa oleh pelajar Indonesia
di Timur Tengah seperti K.H. Ahmad Dahlan. Beliau berbekal Ilmu agama yang ia
kuasai dan ide-ide pembaru dari Timur Tengah, K.H. Ahmad Dahlan mencoba
menerapkannya di bumi Nusantara.
K.H.Ahmad
Dahlan adalah tokoh yang paling bersemangat dalam melakukan pembaharuan bagi
dunia Islam. Ahmad Dahlan sebagai tokoh
pendiri organisasi Muhammadiyah yang sangat bijaksana dan patut
diteladani, karena beliau banyak
berjuang untuk mengubah kebiasaan masyrakat khususnya daerah Yogyakarta, yang
pada saat itulah beliau berupaya secara strategis untuk menyelamatkan umat
Islam dari pola berpikir yang statis menuju pemikiran yang dinamis adalah
melalui pendidikan.
Beliau
memiliki peran besar dalam mengembangkan pendidikan Islam dengan
pendekatan-pendekatan yang lebih modern. Ia melihat banyaknya pengalaman
keislaman masyarakat yang menurutnya tidak sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan
Hadis.
A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi K.H. Ahmad Dahlan?
2. Bagaimana pemikiran pendidikan K.H.
Ahmad Dahlan?
B. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui biografi K.H. Ahmad
Dahlan
2. Untuk mengetahui pemikiran pendidikan
K.H. Ahmad Dahlan
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi K.H. Ahmad Dahlan
Nama
lengkap Ahmad Dahlan yaitu Muhammad Darwis bin K.H. Abu Bakar Bin Kiai
Sulaiman, beliau akrab dipanggil dengan sebutan Ahmad Dahlan, beliau lahir pada
tahun 1869 M di Kauman, Yogyakarta. Ahmad Dahlan lahir di lingkungan keluarga
yang berpendidikan agama dan hidup sederhana, beliau adalah tokoh pendiri
organisasi Muhammadiyah. Ayahnya bernama
K.H. Abu Bakar bin K.H. Sulaiman, yaitu seorang Khatib di Masjid Besar
Kesultanan Yogyakarta, Darwis hidup dalam lingkungan yang tenteram dan
masyarakat yang sejahtera. Ibunya
bernama Siti Aminah binti K.H. Ibrahim seorang penghulu kesultanan di
Yogyakarta.
Dalam
silsilah keturunannya Darwis termasuk keturunan ke-12 dari Maulana Malik
Ibrahim, seorang wali terkemuka diantara Wali Songo yang merupakan pelopor
pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa. Adapun
silsilahnya ialah Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan) bin K.H. Abu Bakar bin K.H.
Muhammad Sulaiman bin Kiai Murtadha bin Kiai Ilyas bin Demang Djurung Djuru
Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig
(Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana Ainul Yaqin bin
Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.[1]
Pada saat itu Ahmad Dahlan tidak belajar
di sekolah formal,hal ini karena sikap orang-orang Islam pada waktu itu
yang melarang anak-anaknya memasuki sekolah gurnamen.
Masa
pendidikan Ahmad Dahlan,Semasa kecilnya Ahmad Dahlan diasuh dan dididik mengaji
oleh ayahnya sendiri. Kemudian, ia meneruskan pelajaran mengaji mengaji tafsir
dan hadis serta bahasa arab dan fiqih kepada beberapa ulama,misalnya, K.H.
Muhammad Saleh, K.H. Muhsin,K.H.R. Dahlan,K.H. Mahfudz, Syaikh Khayyat Sattokh,
Syaikh Amin, dan Sayyid Bakri. Dengan ketajaman intelektualitasnya yang tinggi
K.H. Ahmad Dahlan selalu merasa tidak puas dengan disiplin ilmu yang telah
dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya.
Sebelum
berdirinya Muhammadiyah pada tahun 1914 Ahmad Dahlan sempat berdiskusi dengan
Syekh Ahmad Al-Syurkati pembaruan dari Sudan dan pendiri perkumpulan Al-Irsyad,
Al-Syurkati memenuhi undangan Jami’ah Al-Khair untuk berceramah. Kembali pada
proses lahirnya Muhammadiyah di Kauman hingga sekarang terdapat pengajian malam
selasa yang terkenal yang ada sejak zaman K.H. Ahmad Dahlan, yang dahulu sering
dihadiri oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman. Desa Kauman melahirkan empat
pahlawan nasional yaitu: K.H. Ahmad Dahlan, Nyai Ahmad Dahlan, K.H. Fachruddin,
dan Ki Bagus Hadikoesoemo.
Muhammadiyah
lahir pada 8 Dzulhijjah 1330 H/ 18 November 1912. K.H. Ahmad Dahlan adalah
pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta, khatib, sekaligus pedagang. Beliau juga
perlu menanamkan tauhid kepada para pemuda agar dapat menumbuhkan iman yang
teguh untuk mengamalkan agama Islam yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.
Riwayat pembaharuan Muhammadiyah sudah tampak sekitar tahun1906, K.H. Ahmad
Dahlan menyatakan bahwa ziarah kubur itu kufur, musyrik, dan haram. Peluru yang
mengenai sasaran sehingga kaum Muslim pun gempar, termasuk di kalangan ulama.
Kemudian mereka melakukan pertemuan untuk membicarakan nama, tujuan organisasi,
dan sosok yang bisa menjadi anggota Boedi Oetomo. K.H. Ahmad Dahlan berkata”
Soal nama, saya sudah berpikir sejak lama, yaitu Muhammadiyah. Nama itu memang
di ambil dari nama Nabi Muhammad Saw. Saya menggunakan nama organisasi itu
sesuai nama Nabi Muhammad. Beliau berharap mudah-mudahan Muhammadiyah menjadi
Jam’iyah akhir zaman, Sebagaimana Nabi
Muhammad dan Rasul akhir zaman. Penambahan kata iyah dimaksudkan agar siapa pun yang menjadi anggota Muhammadiyah
bisa menyesuikan diri dengan kepribadian Nabi Muhammad Saw.
Muhammadiyah
mencita-citakan masyrakat Islam yang sebenar benarnya. Dalam arsip Anggaran
Dasar,”Mengembirakan dan memajukan pelajaran dan pengajaran Islam serta
memajukan dan mengembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam”. Muhammadiyah
merupakan gerakan dakwah dengan lingkup kegiatan yang mencakup semua aspek
kehidupan sosial: agama, pendidikan, ekonomi, politik, dan lain sebagainya.
Muhammdiyah paling tidak memiliki peran dalam tiga dataran, sebagai gerakan
pembaruan, sebagai agen perubahan sosial, dan sebagai kekuatan politik.Ketiga
peran tersebut yang disematkan kepada Muhammadiyah merupakan keniscayaan.
Sebagai gerakan pembaruan, Muhammadiyah berupaya menghadirkan pemikiran-pemikiran
inovatif dan kritis. Sekaligus membawa transformasi sosial, terutama melalui
modernisasi sistem pendidikan Islam.
Pada
tahun 1888, ia disuruh orang tuanya menunaikan ibadah haji. Ia bermukim di
mekkah selama 5 tahun untuk menuntut ilmu agama Islam, seperti qiraat, tauhid,
tafsir, fiqih, tasawuf, ilmu mantik dan ilmu falak. Pada tahun 1903, ia
berkesempatan kembali pergi ke mekkah untuk memperdalam ilmu agama selama3
tahun. Ia banyak belajar dengan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Di samping itu,
ia tertarik pada pemikiran Ibnu Taimiyah, Jamaluddin Al-Afghani,Muhammad Abduh
dan Muhammad Rasyid Ridla. Di antara kitab Tafsir yang menarik hatinya adalah Tafsir Al-Manar. Dari tafsir ini ia
mendapat inspirasi dan motivasi untuk mengadakan perbaikan dan pembaruan umat
Islam di Indonesia[2]. Beliau
mengawali pendidikan di pangkuan ayahnya dirumah sendiri dan ia mempunyai sifat
yang baik, berbudi pekerti halus, dan berhati lunak, tapi juga berhati cerdas.
Pada
usia balita kedua orang tuanya Darwis sudah memberikan pendidikan Agama. Ketika
berusia delapan tahun, ia sudah bisa membaca Al-Qur’an dengan lancar sampai
khatam. Ketika dewasa beliau mulai mengaji dan menuntut ilmu fiqih kepada K.H. Muhammad Saleh. Dia
juga menuntut ilmu nahwu kepada K.H.
Muhsin. Kedua guru tersebut merupakan kakak ipar sekaligus tetangganya di
Kauman, dan beliau juga berguru kepada penghulu Hakim K.H. Muhammad Noor bin
K.H. Fadlil dan K.H. Abdulhamid di kampung Lempuyang Wangi. Ketika berumur 18
tahun, orang tuang tuanya bermaksud menikahkannya dengan putri dari K.H. Fadlil
yang bernama Siti Walidah. Setelah orang tua dari kedua belah pihak
berunding, maka pernikahan dilangsungkan pada bulan Dzulhijjah tahun
1889 dalam suasana yang tenang.
Siti
Walidah adalah anak seorang ulama yang disegani oleh masyarakat, ia
pergaulannya sangat terbatas dan tidak belajar disekolah formal. Mengaji
Al-Qur’an dan ilmu agama dipandang cukup pada masa itu. Beliau belajar
Al-Qur’an dan kitab-kitab agama berbahasa arab-jawa. (pegon) Siti Walidah adalah sosok yang sangat giat menuntut ilmu, ia
hanya memperoleh pendidikan dari lingkungan keluarganya, dan ia juga mempunyai
pandangan yang luas, terutama ilmu-ilmu keislaman. Setelah menikah dengan
Muhammad Darwis ia merasa terpuaskan ia mengikuti segala hal yang diajarkan
oleh suaminya.
Secara
umum, pembaharuan Ahmad Dahlan dapat diklasifikasi pada dua dimensi, yaitu: pertama, berupaya memurnikan (purifikasi) ajaran Islam dari Khufarat,
takhayul, dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah
umat islam. Kedua, mengajak umat
Islam untuk keluar dari jaring pemikiran tradisional melalui reinterpretasi
terhadap doktrin islam dalam rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh
rasio[3].
Sebelum mendirikan organisasi Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan menjadi tenaga
pengajar agama di kampungnya. Ia juga mengajar di sekolah negeri, seperti
Kweekschool (sekolah pendidikan guru) di jetis (Yogyakarta) dan Opleiding
School Voor Inlandhsche Ambtenaren (OSVIA, sekolah untuk pegawai pribumi) di
magelang. Ia juga berdagang dan bertabligh[4].
Beliau juga telah melakukan berbagai kegiatan keagamaan dan dakwah.Pada tahun
1922, K.H. Ahmad Dahlan membentuk Badan Musyawarah Ulama.
Tujuan
di bentuknya badan ini ialah untuk mempersatukan ulama di seluruh Hindia
Belanda dan merumuskan berbagai kaidah hukum Islam sebagai pedoman pengalaman
Islam, khususnya bagi warga Muhammadiyah. Badan Musyawarah ini diketuai K.H.
Muhammad Chalil Kamaluddiningrat. Meskipun berbeda pendapat, beliau mendorong
para pimpinan Muhammadiyah membentuk Majelis Tarjih. Majlis ini diketuai oleh
Kiai Mas Mansur. Dengan tujuan dakwah ini manusia berpikir dan tertarik pada
kebagusan Islam melalui pembuktian jalan kepandaian ilmu. Reformasi dan
modernisasi di mata Ahmad Dahlan bukan ditujukan kepada musuh yang berada
diluar, melainkan justru di kalangan internal Muhammadiyah sendiri. Sebab
Muhammadiyah lebih mengutamakan aspek ibadah, akidah, syariah, akhlak,
muamalah, dan bukan politik yang berada diluar Muhammadiyah.
Kegagalan
dipanggung politik bukan dari akhir segalanya, warga Muhammahadiyah tetap
berpegang teguh pada komitmen agama yang lebih pasti menjanjikan kesejahteraan
hidup dunia dan akhirat yang tidah mungkin mampu dipenuhi oleh partai politik.
Perkumpulan Muhammadiyah berusaha mengembalikan ajaran Islam kepada aslinya,
yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Hal ini diwujudkan melalui usaha memperluas dan
mempertinggi pendidikan Islam, serta memperteguh keyakinan agama Islam.
B. Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan
Menurut Ahmad Dahlan, upaya strategi untuk
menyelamatkan umat Islam dari berfikir yang statis menuju pada pemikiran yang
dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala
prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya dididik agar
cerdas kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memetakan dinamika
kehidupannya pada masa depan. Adapun kunci bagi peningkatan kemajuan umat Islam
adalah dengan kembali pada Al-Qur’an dan Hadits, mengarahkan umat pada
pemahaman Islam secara Komprehensif, dan menguasai bebagai disiplin ilmu
pengetahuan. Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan[5].
Sejarah berdirinya suatu organisasi tidak dapat dipisahkan dari gagasan dan
pikiran pendirinya, seperti NU tidak
mungkin dipisahkan dengan K.H. Hasyim Asy’ari. Demikian juga Muhammadiyah tidak
mungkin dipisahkan dari K.H. Ahmad Dahlan.
Pada
awal abad ke-20, tepatnya pada 08 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912.
Organisasi ini dipengaruhi oleh gerakan tajdid
(reformasi, pembaruan pemikiran Islam) yang digelorakan oleh Muhammad bin
Abd Al-Wahhab (1703-1792) di Arab Saudi, Muhammad Abduh (1849-1905), Muhammad
Rasyid Ridha (1865-1935) di Mesir, dan lain-lain. Masing-masing tokoh tersebut
memiliki corak pemikiran yang berbeda satu dengan yang lain. Jika Muhammad bin
Abd Al-Wahhab menekankan pemurnian akidah, sehingga gerakannya lebih bersifat
puritan (purifikasi), maka Muhammad Abduh lebih menekankan pemanfaatan budaya
modern dan menempuh jalur pendidikan, oleh karena itu, gerakannya lebih
bersifat modernis populis. Sementara Rasyid Ridha menekankan pentingnya
keterikatan pada teks-teks Al-Qur’an dalam kerangka pemahaman Islam, yang
dikenal dengan al-Ruju’ ila al-Qur’an wa
al-Sunnah (kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah). Oleh karena itu,
gerakannya lebih bersifat skriptualis (tekstual), yang kelak menjadi akar
fundamentalisme (al- Ushuliyyah) di
Timur Tengah.
Sesungguhnya
Dahlan telah mencoba menggugat praktik pendidikan Islam pada masanya. Pada
waktu itu, pelaksanaan pendidikan hanya dipahami sebagai proses pewarisan adat
dan sosialisasi perilaku individu maupun sosial yang telah meenjadi model baku
dalam masyarakat. Pendidikan tidak memberikan kebebasan pada peserta didik
untuk berkreasi dan mengambil prakarsa. Kondisi yang demikian menyebabkan
pelaksanaan pendidikan bejalan searah dan tidak bersifat dialogis. Padahal
menurut Dahlan, Pengembangan Daya Kritis, sikap dialogis, menghargai potensi
akal dan hati yang suci, merupakan strategi bagi peserta didik mencapai
pengetahuan tertinggi. Dari batasan ini terlihat bahwa Dahlan ingin meletakkan
visi dasar bagi reformasi pendidikan Islam melalui penggabungan sistem
pendidikan Modern dan tradisional secara harmonis dan integral.[6]
Pemikiran
Dahlan yang demikian merupakan respon pragmatis terhadap kondisi ekonomi umat
Islam yang tidak menguntungkan di Indonesia, karena berada dibawah kolonialisme
Belanda. Umat Islam tertinggal secara ekonomi karena tidak memilki akses dan
sektor-sektor pemerintahan atau perusahaan swasta. Situasi ini menjadi perhatian
Ahmad Dahlan yang berusaha memperbaharui sistem Pendidikan Islam[7].
K.H. Ahmad Dahlan adalah sosok man of
action. He ismade history his work
than his word. Dahlan lebih dikenal sebagai sosok pembaru yang pragmatis.
Kader-kader Muhammadiyah pun lebih memahami bahwa bermuhammadiyah adalah dengan
aktif mengurusi dan mendirikan lembaga pendidikan dari tingkat prasekolah
hingga perguruan tinggi, panti asuhan, rumah sakit, dan amal usaha lain. Kader
dan aktivis Muhammadiyah bangga jika prestasi Muhammadiyah dijadikan obyek
penelitian ilmiah sarjana internasional, seperti James L Peacock, Mitsuo
Nakamura, George Kahin, Robert Van Neil, Drewes, Deliar Noer, Alfian, dan A.
Jainuri. Pembaruan yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan melahirkan Muhammadiyah
kendati yang sering dikaitkan dengan gerakan pembaruan Islam sebelumnya di
dunia Islam sebagaimana yang dipelopori Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil
Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain-lain,
secara tipikal mereka memiliki kekhususan tertentu. Selain lebih dekat dengan
pada pembaruan atau pemikiran Muhammad Abduh dari Mesir ketimbang dengan tokoh
pembaru yang lainnya, pemikiran atau pembaruan Dahlan memiliki ciri khas terutama
dalam gerakan mendirikan organisasi perempuan (Aisyiyah pada tahun 1917) dan
gerakan amal usahanya yang melembaga sebagai aktualisasi dari spirit Al-Ma’un.
Menurut
Dahlan, Pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia
muslim yang berbudi pekerti luhur, ’alim dalam agama, luas padndangan
dan paham masalah ilmu keduniaan serta bersedia berjuang untuk kemajuan
masyarakatnya. Hal ini berarti bahwa pendidikan Islam merupakan upaya pembinaan
pribadi muslim sejati yang bertaqwa, baik sebagai ‘abd maupun khilafah
fil al-ardh. Untuk mencapai tujuan ini, proses pendidikan Islam hendaknya
mengakomodasi berbagi ilmu pengetahuan, baik umum ataupun agama, untuk
mempertajam daya intelektualitas dan memperkokoh spiritualitas peserta didik.
Upaya akan terealisasi manakala proses pendidikan bersifat integral. Proses
pendidikan yang demikian pada gilirannya akan mampu menghasilkan alumni
“intelektual ulama” yang lebih berkualitas.[8]
Adapun
materi yang pendidikannya adalah pengajaran Al-Qur’an dan al-Hadits, membaca,
menulis, berhitung, ilmu bumi dan menggambar. Materi al-Qur’an dan al-Hadits
meliputi ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan, manusia dalam menentukan
nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran al-Qur’an dan al-Hadits menurut
akal, kerjasama antara agama-kebudayaan-kemajuan peradaban, hukum kualitas
perubahan, nafsu dan kehendak, demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan
berfikir, dinamika kehidupan dan peranan manusia didalamnya, dan akhlak (budi
pekerti).[9]
Secara
praktis, pandangan Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan dapat dilihat pada
kegiatan yang dilaksanakan Muhammadiyah. Dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah
melanjutkan model sekolah yang digabungkan dengan sistem gubernemen,
disamping itu juga dalam waktu yang singkat juga mendirikan sekolah yang lebih
bersifat agama. Untuk pengajian kitab, Muhammadiyah juga segera mencarai
penggatinya sesuai dengan tuntunan jaman modern, usaha tersebut dpat dianggap
sebagai realisasi dari rencana sarekat Islam yang semenjak tahun 1912 bersaha
mendirikan sekolah pendidikan gubernemen[10].
Pada
tanggal 18 Desember 1921, Muhammadiyah sudah dapat mendirikan pondok
Muhammadiyah sebagai sekolah pendidikan guru agama. Dalam sekolah tersebut,
pelajaran umum diberikan oleh dua orang guru dari sekolah pendidikan guru (kweekschool),
sedangkan Ahmad Dahlan dan beberapa guru lainnya memberikan peajaran agama yang
lebih mendalam.
Melihat
kegiatan ini, nampak Muhammadiyah mengikuti pola yang sama dengan kegiatan yang
dilakukan Abdullah Ahmad di Padang. Persamaan tersebut terlihat dalam hal-hal
berikut: Pertama, adalah kegiatan tabligh, yaitu pengajaran agama kepada
kelompok orang dewasa dalam satu kursus yang teratur. Kedua, mendirikan
sekolah dewasa menurut model pendidikan gubernemen dengan ditambah beberapa jam
pelajaran agama per minggu. Ketiga, untuk membantu kader organisasi dan
guru-guru agama, didirikan pondok Muhammadiyah seperti Norma Islam di Padang
pada tahun 1931.
Perkembangan
sekolah Muhammadiyah mengalami “booming” setelah tahun 1921. Pada tahun
itu pemerintahan mengeluarkan peraturan yang memperbolehkan pendirian
cabang-cabang Muhammadiyah diluar Yogyakarta. Mengikuti diberlakukannya
peraturan ini, Muhammadiyah melakukan rekontrukturisasi, di mana urusan-urusan
sekolah yang sebelumnya ditangani oleh Ahmad Dahlan, kemudian ditangani oleh
bagian sekolah. Sebagai dampak positif dari adanya lembaga ini, sekolah-sekolah
baru terus dibangun. Pada tahun 1922 Muhammadiyah membangun HIS Met de
Qur’an, yang tingkatnya setara dengan HIS peme
rintahan,
tapi mengerjakan pendidikan Agama[11].
Diantara
sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tertua dan besar jasanya dalam pengembangan
Pendidikan Islam di Indonesia adalah:
a. Kweekschool Muhammadiyah di Yogyakarta
b. Mu’allim Muhammadiyah di Solo dan
Jakarta
c. Mu’allim Muhammadiyah di Yogyakarta
d. Zu’ama/Za’imat di Yogyakarta
e. Kulliyah Muballighin/Muballighat di
Padang Panjang Sumatera Tengah
f. Tablighschool di Yogyakarta
g. HIK Muhammadiyah di Yogyakarta[12].
Melihat perkembangan pendidikannya,
ternyata Muhammadiyah berhasil melanjutkan model pembaharuan pendidikan
disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa ia menghadapi lingkungan sosial yang
terbatas pada pegawai, guru maupun pedagang di kota. Kelompok menengah di kota
dalam banyak hal merupakan latar belakang sosial yang dominan dalam
Muhammadiyah hingga sekarang ini.
Ada banyak hal yang menjadikan
K.H. Ahmad Dahlan sebagai pembaharu di antaranya yaitu:
1. Melakukan purifikasi ajaran Islam dari
khufarat, takhayyul, dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah
dan ibadah umat Islam, dan mengajak umat Islam untuk keluar dari jaring
pemikiran tradisional melalui interprestasi terhadap dotrin Islam dalam rumusan
dan penjelasan yang di terima oleh rasio.
2. Usaha dan jasanya mengubah dan membetulkan
arah kiblat yang tidak tepat menurut mestinya. Umumnya masjid-masjid dan
langgar di Yogyakarta menghadap timur dan orang-orang shalat menghadap kearah
barat lurus.
3. Berdasarkan perhitungan astronominya,
K.H. Ahmad Dahlan menyatakan bahwa hari raya Idul Fitri yang bersamaan dengan
hari ulang tahun sultan,, harus dirayakan sehari sebelum lebih awal dari yang
diputuskan para Ulama”mapan”.
4. Mengajarkan dan menyiarkan agama Islam
di pesantren popular, bukan saja di pesantren, melainkan ia pergi ke tempat
–tempat lain dan mendatangi berbagai golongan. K.H. Ahmad Dahlan adalah bapak
Muballigh di Jawa Tengah.
5. Mendirikan perkumpulan Muhammadiyah yang
tersebar di seluruh Indonesia sampai sekarang.
6. Sebuah Refleksi dan Kritik Realita
Sekolah-Sekolah Muhammadiyah saat ini.
Kontinuitas
dan perubahan merupakan dua ciri yang menonjol dari perkembangan Islam di
Indonesia pada awal abad ke-20. Kontinuitas mewujudkan diri dalam kecenderungan
Kaum Muslim: 1. Melestarikan kepercayaan dan praktek (keagamaan),yang sebagian
besar tidak diterima di daerah tertentu; dan 2. Membatasi Islam dalam bentuk
ritual dan tidak menginspirasikan dalam kehidupan sosial, kultural dan
material.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nama
lengkap Ahmad Dahlan yaitu Muhammad Darwis bin K.H. Abu Bakar Bin Kiai
Sulaiman, beliau akrab dipanggil dengan sebutan Ahmad Dahlan, beliau lahir pada
tahun 1869 M di Kauman, Yogyakarta. Ahmad Dahlan lahir dilingkungan keluarga
yang berpendidikan agama dan hidup sederhana, beliau adalah tokoh pendiri
organisasi Muhammadiyah. Ayahnya bernama
K.H. Abu Bakar bin K.H. Sulaiman, yaitu seorang Khatib di Masjid Besar
Kesultanan Yogyakarta, Darwis hidup dalam lingkungan yang tenteram dan
masyarakat yang sejahtera. Ibunya
bernama Siti Aminah binti K.H. Ibrahim seorang penghulu kesultanan di
Yogyakarta.
Pemikiran
Dahlan yang demikian merupakan respon pragmatis terhadap kondisi ekonomi umat
Islam yang tidak menguntungkan di Indonesia, karena berada dibawah kolonialisme
Belanda. Umat Islam tertinggal secara ekonomi karena tidak memilki akses dan
sektor-sektor pemerintahan atau perusahaan swasta. Situasi ini menjadi
perhatian Ahmad Dahlan yang berusaha memperbaharui sistem pendidikan.
B. Saran
Setelah dipaparkan pembahasan pada konsep pendidikan
Islam persepektif K.H. Ahmad Dahlan ini, mungkin
dari pembahasan yang disajikan ada ketidak cocokan dengan yang pada
kenyataannya atau dari sumber referensi lainnya, kami mengharap kritik dan saran dari
pembaca ataupun sekaligus dari dosen.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata, Abuddin.
Pemikiran Pendidikan Islam Dan Barat. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2012.
Siswanto.
Filsafat dan Pemikiran Pendidikan Islam.
Surabaya: CV. Salsabila Putra Pratama. 2015.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:
Ciputat Press. 2002.
Nugraha, Adi. Biografi Singkat. Jogyakarta: PT.
Ar-ruzz Media. 2009.
[1]Adi Nugraha, Filsafat Pendidikan Islam, Biografi
Singkat (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2009), hlm. 17
[2] Siswanto, Filsafat dan Pemikiran Pendidikan Islam
(Surabaya: CV. Salsabila Putra Pratama, 2015), hlm. 185
[3] Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 120
[4] Ibid, hlm. 123
[5] Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 88
[6] Siswanto, Filsafat
Dan Pemikiran Pendidikan Islam (Surabaya: CV. Salsabila Putra Pratama,
2015), hlm. 186-187
[7] Abudin Nata, Tokoh
tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 102
[8] Ibid.
hlm. 1
[9] Siswanto, Filsafat
Dan Pemikiran Pendidikan Islam (Surabaya: CV. Salsabila Putra Pratama, 2015),
hlm. 188
[10] Ibid, hlm. 254
[11] Nata, Tokoh-tokoh
Pembaharuan, hlm. 105
[12] Abudin Nata, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hlm 218
No comments:
Post a Comment