Hak-hak yang
berkaitan dengan at tarikah (warisan) ada empat. Keempat hak ini tidak berada
pada kedudukan yang sama, akan tetapi hak yang satu lebih kuat dari yang
lainnya, sehingga harus lebih didahulukan dari hak-hak lainnya. Urutan empat
hak yang berkaitan dengan at tarikah tersebut sebagai berikut:
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadiran allah SWT, yang telah memberikan kemudahan
kepada saya untuk memenuhi tugas makalah “Hukum Perdata Islam Indonesia”.
Dan tidak lupa shalawat dan salam kita curahkan kepada junjungan nabi besar
kita muhammad SAW, yang telah membawa kita dari alam kegegelapan menuju ke alam
yang benderang seperti saat ini.
Terima kasih kepada Bapak dosen pengampu, orang tua dan teman-teman
yang saya cintai karena berkat do’a dan bimbingannya, saya mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya.
Semoga
makalah yang saya buat sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh dosen
pengampu, apabila ada kesalahan dalam memenuhi tugas ini saya dengan hormat
meminta maaf yang sebesar-besarnya saya manusia biasa yang tidak luput dari
kesalahan dan kebenaran semata-mata hanya milik Allah SWT.
......................., ......., .........
Tertanda,
Penyusun Makalah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam kehidupan modern saat ini, yang mana semakin
berkembangnya pola pikir manusia sehingga mempengaruhi segala bidang kehidupan.
Namun, pada kali ini akan dibahas lebih khusus mengenai aspek social dan
individu manusia itu sendiri, yaitu masalah warisan dan wasiat yang mana hal
ini sangat rentan akan kericuhan jika pelaksaan dan pemahamannya tidak benar.
Kehadiran sistem wasiat dalam hukum Islam sangat
penting artinya sebagai penangkal kericuhan dalam keluarga. Karena ada di
antara anggota keluarga yang tidak berhak menerima harta peninggalan dengan
jalan warisan. Namun, pada kali ini akan di bahas mengenai warisan dan wasiat
meurut tafsir Alqur’an, karena tidak ada manusia yang tahu akan umurnya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian wasiat dan warisan?
2.
Apa
saja hak anak terhadap orang tuanya?
3.
Apa
saja status anak dan akibat hukumnya?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian wasiat dan warisan
2.
Untu
mengetahui hak anak terhadap orang tuanya
3.
Untuk
mengetahui status anak dan akibat hukumnya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Warisan
Warisan
dalam bahasa Arab disebut at tarikah (التَّرِكَة).
Definisinya menurut istilah syariat ialah, seluruh harta seseorang yang
ditinggalkannya disebabkan dia meninggal dunia.
Hak-hak yang
berkaitan dengan at tarikah (warisan) ada empat. Keempat hak ini tidak berada
pada kedudukan yang sama, akan tetapi hak yang satu lebih kuat dari yang
lainnya, sehingga harus lebih didahulukan dari hak-hak lainnya. Urutan empat
hak yang berkaitan dengan at tarikah tersebut sebagai berikut:
1.
Hak yang
pertama, dimulai dari pengambilan sebagian at tarikah tersebut untuk biaya-biaya
pengurusan jenazah si mayit (mulai dari dimandikannya mayit sampai dikuburkan).
2.
Hak yang ke
dua, pelunasan utang-utang si mayit (jika memiliki utang).
3.
Hak yang ke
tiga, melaksanakan wasiatnya dari sepertiga tarikahnya setelah dikurangi biaya
pelunasan utang-utangnya.
4.
Hak yang ke
empat, pembagian tarikah (harta warisannya) kepada seluruh ahli warisnya dari
sisa pengurangan (dari ke tiga hak di atas).[1]
B.
Tujuan mempelajari hukum
kewarisan
Para ulama
menetapkan bahwa mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah, artinya kalau
dalam suatu masyarakat atau perkampungan tidak ada yang mempelajari ilmu
faraidh maka berdosalah orang-orang di kampung itu. Akan tetapi jika ada yang
mempelajari, walau hanya satu atau dua orang saja, maka terlepaslah semuanya
dari dosa.
Adapun
tujuan mempelajari ilmu faraidh atau hukum waris ialah agar kita dapat
menyelesaikan masalah harta peninggalan sesuai dengan ketentuan agama, jangan
sampai ada yang dirugikan dan termakannya bagiannya oleh ahli waris yang lain.
C.
Sebab- sebab Mewarisi dan Rukun
Mewarisi
Menurut
sayid sabiq, seseorang dapat mewarisi harta peninggalan karena 3 hal, yaitu
sebab hubungan kerabat/nasab, perkawinan dan walak. Adapun ada literatur hukum
islam lainnya disebutkan ada 4 sebab hubungan seseorang dapat menerima harta
warisan dari seseorang yang telah meninggal dunia, yaitu
·
Perkawinan
·
Kekerabatan/nasab
·
Wala’
·
Hubungan sesama islam.
Ada tiga unsur yang perlu diperhatikan dalam waris
mewarisi, tiap-tiap unsur tersebut harus memenuhi berbagai persyaratan.
Unsur-unsur ini dalam kitab fiqh dinamaka rukun, dan persyaratan itu dinamakan
syarat untuk tiap-tiap rukun.
Yang menjadi
rukun waris-mewarisi ada tiga(3), yaitu sebagai berikut :
·
Harta peninggalan (Mauruts)
·
Pewaris atau orang yang meninggalkan
harta waris (Muwarrits)
·
Ahli waris (waarist).
D.
Syarat-syarat mewarisi
Waris-mewarisi berfungsi sebagai pergantian kedudukan dalam memiliki harta
benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang masih hidup yang
ditinggalkannya (ahli waris). Oleh karena itu, waris-mewarisimemerlukan
syarat-syarat tertentu, yakni meninggalnya muwarris (orang yang mewariskan).
Kematian seorang muwarris itu menurut ulama dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu sebagai berikut:
·
Mati haqiqi (mati sejati), yaitu hilangnya nyawa seseorang yang semula
nyawa itu sudah berujud padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh pancaindra
dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.
·
Mati hukmy (mati menurut putusan hakim), yaitu suatu kematian disebabkan
adanya putusan hakim, baik pada hakikatnya orang yang bersangkutan masih hidup
maupun dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati.
·
Mati taqdiry (mati menurut dugaan), yaitu suatu kematian yang bukan haqyqy
dan bukan hukmy, tetapi semata-mata berdasarkan dugaan yang kuat.[2]
E.
Penggolongan Ahli Waris
Ahli waris dapat dikelompokkan menjadi 3(tiga) bagian, yakni Ashabul
furudh, Ashabah, dan Dzawil arham.
1. Ashabul furudh adalah orang yang mempunyai bagian
harta peninggalan yang sudah ditentukan oleh al-quran, as-sunnah dan ijmak.
Adapun bagian yang diterima sudah ditentukan adalah ½, ¼, 1/8, 1/3, 2/3, dan
1/6.
2. Ashabah secara bahasa adalah pembela, penolong,
pelindung, atau kerabat dari jurusan ayah. Menurut istilah faradhiyun adalah
ahli waris yang dalam penerimaannya tidak ada ketentuan bagian yang pasti, bisa
menerima seluruhnya atau menerima sisa atau tidak mendapat sama sekali.dengan
kata lain, ahli waris ashabah adalah ahli waris yang bagiannya tidak ditetapkan
tetapi bisa mendapat semua harta atau sisa harta setelah dibagi kepada ahli
waris.
3. Dzawil arham adalah setiap kerabat yang bukan dzawil
furudh dan bukan pula ashabah. Atau dzawil arham, ahli waris yang
tidak termasuk ashabul furudh dan tidak pula ashabah, mereka dianggap kerabat
yang jauh pertalian nasabnya.
Ada sebagian fuqaha yang tidak menjadikan dzawil
arham sebagai ahli waris, meskipun dalam keadaan tidak ada orang lain yang
akan mewarisi harta peninggalan si mayit. Namun ada sebagian ulama lain
menyatakan bahwa dzawil arham juga ahli waris yang berhak menerima
bagian harta warisan sekalipun ada dzawil furudh dan ashabah.[3]
F.
Pengertian Wasiat
Secara garis besar wasiat merupakan penghibahan harta dari seseorang kepada
orang lain atau kepada beberapa orang sesudah meninggalnya orang tersebut.
Wasiat ialah suatu tasharruf(pelepasan) terhadap harta peninggalan yang
dilaksanakan sesudah meninggal dunia seseorang. Menurut asal hukum, wasiat
adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan kemauan hati dalam keadaan apapun.
Karenanya, tidak ada dalam syariat islam suatu wasiat yang wajib dilakkan
dengan jalan putusan hakim.
Dasar hukum wasiat dalam hukum kewarisan islam, yakni al-quran surah
Al-Baqarah ayat 180 yang artinya berbunyi : “ diwajibkan atas kamu, apabila
seorang di antara kamu kedatangannya (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
G.
Kadar wasiat
Para ulama’ sepakat bahwa orang yang
meninggalkan ahli waris tidak boleh memberikan wasiat lebih dari 1/3 hartanya.
Hal ini sesuai dengan hadist rasulullah yang artinya “Bahwa suatu ketika
rasulullah saw datang mengunjungi saya (sa’ad bin abi waqas) pada tahun haji
wada’, kemudian saya bertanya kepada rasulullah saw: wahai rasulullah! Sakitku
telah demikian parah, sebagaiman engkau lihat, sedang saya ini orang berada,
tetapi tidak ada yang dapat mewarisi hartaku selain seorang anak perempuan.
Bolehkah aku bersedekah (berwasiat) dengan dua pertiga hartaku (untuk beramal)?
Maka berkatalah rasulullah saw. kepadaku, “jangan” kemudian rasulullah berkata
pula, “sepertiga” dan sepertiga itu banyak besar. Sesungguhnya apabila engkau
meninggalkan harta warismu sebagai orang-orang kaya adalah lebih baik daripada
meninggalkan mereka sebagai orang-orang miskin yang meminta-minta kepada orang
banyak. ( HR.Bukhari dan Muslim).
H. Wasiat Wajibah
Wasiat
wajibah adalah wasiat yang diwajibkan atas kerabat-kerabat terdekat yang tidak
mendapat bagian pusaka (harta warisan)
Al-jashshash
dalam kitabnya yaitu Ahkamul Qur’an menjelaskan bahwa ayat tersebut telah jelas
menunjukkan akan wajibnya wasiat untuk para keluarga yang tidak mendapat bagian
harta warisan.
Di
kalangan para ulama masih terdapat pro dan kontra mengenai wasiat wajibah ini.
Mayoritas ahli tafsir dan jumhur ahli fiqh menjelaskan bahwa ayat mengenai
wasiat wajibah tersebut telah di naskh dengan ayat-ayat mawarits. Namun
sebagian lagi berpendapat bahwa hukum wasiat wajibah tersebut masih berlaku
meskipun telah di mansukh oleh ayat-ayat waris Ibnu Hazm berpendapat bahwa
apabila tidak diadakan wasiat untuk para kerabat yang tidak mendapat bagian
waris, maka hakim harus bertindak sebagai muwarits yaitu memberi sebagian dari
harta peninggalan kepada kerabat-kerabat yang tidak mendapatkan bagian harta
warisan.
Wasiat
wajibah pun secara eksplisit tercantum dalam KHI Pasal 209 ayat (1) yaitu
harta peninggalan
anak angkat
dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193 yang tersebut di atas
sedangkan terhadapn orang tua yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan anak angkatnya.[4]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembagian hak waris berdasarkan
kondisi para pewaris. Wanita mendapat separuh pria hanya dalam kondisi
tertentu. Sebab itu, tidak berarti hukum waris itu tidak adail.
Bahkan sangat adil. Di antara sebabnya, semua harta wanita murni
untuk diri mereka. Sedangkan kewajiban ekonomi keluarga terletak atas
laki-laki. Inilah salah satu cara penghormatan Allah terhadap
wanita yang tidak ditemukan dalam sistem mana pun selain sistem
Islam.
Allah s.w.t menjelaskan hal ini agar
manusia tidak salah dalam pembagian warisan. Atau, agar tidak terjadi kezaliman
pada salah satu atau sebagian ahli waris, terutama bila didalamnya terdapat
anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan wanita. Selain itu, adalah agar para
hamba senantiasa ingat dengan hak-hak mereka yang harus dijaga, dihormati, dan
diserahkan kepada mereka dengan sempurna.
Diwajibkan mewasiatkan sebagian
harta warisannya apabila salah merasakan tanda-tanda akan datangnya kematian
pada dirinya. Barang siapa mengubah wasiat si mayit, atau mengubah isinya saat
menyampaikannya, atau menyembunyikanya sebagai saksi maka dosa dan kecelakaan
hanya akan ditimpakan. Seseorang diperbolehkan untuk meminta kepada orang yang
berwasiat untuk mengubah wasiatnya dengan wasiat yang tidak merugikan ahli waris,
tetapi baik untuk sipenerima wasiat.
B. Saran
Kami sebagai
pembuat makalah akan mempelajari materi ini dengan sebaik mungkin dan akan
memperbaiki jika ada yang belom sempurna. Untuk teman-teman semua mohon
dicermati materi kami dengan baik. Semoga bermanfaat bagi semua., (amin)
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Arief dan Abu
Abdillah, Sekilas Hibah, Wasiat dan Warisa, http://almanhaj.or.id/content/2660/slash/0/sekilas-hibah-wasiat-dan-warisan/, diakses pada tanggal 18 Februari 2010.
Abdul wahid Hukum
kewarisan islam sebagai pembaruan hukum positif di indonesia (Jakarta,
Sinar Grafika 2009).
Hasbi
Ash-Shiddieqy,Fiqhul Mawaris Hukum Waris Dalam Syariat Islam,(Jakarta:Bulan
Bintang) hlm. 291
[1] Abu Abdillah
Arief Budiman, Sekilas Hibah, Wasiat dan Warisa, http://almanhaj.or.id/content/2660/slash/0/sekilas-hibah-wasiat-dan-warisan/, diakses
pada tanggal 18 Februari 2010.
[2] Abdul wahid Hukum kewarisan islam sebagai pembaruan hukum
positif di indonesia (Jakarta, Sinar Grafika 2009) hlm. 62-63
[3] Ibid hal, 63
[4] Hasbi Ash-Shiddieqy,Fiqhul Mawaris Hukum Waris
Dalam Syariat Islam,(Jakarta:Bulan Bintang) hlm. 291