Al-Mawardi memandang bahwa, dalam islam, pemenuhan
kebutuhan dasar setiap anggota masyarakat bukan saja merupakan kewajiban penguasa
dari sudut pandang ekonomi, melainkan juga moral dan agama, Al-Gazali merupakan salah satu tokoh yang banyak
membuat kitab-kitab dahulu seperti Tafsir al-Qur’an
al-Karim dan sebagainya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Dalam
kitab al-Hawi, disalah satu bagiannya, Al-Mawardi secara khusus membahas
tentang mudharabah dalam pandangan berbagai mazhab. Dalam kitab al-Ahkam
as-sulthaniyah, ia banyak menguraikan tentang system pemerintahan dan
administrasi Negara islam, seperti hak dan kewajiban penguasa terhadap
rakyatnya, berbagi lembaga negara serta institusi hisbah. salah satu tokoh besar mazhab syafi’I
ini dipercaya memangku jabatan qadi (hakim) di berbagai negeri secara
bergantian. Setelah itu, Al-Mawardi kembali ke kota Baghdad untuk beberapa
waktu kemudian di angkat sebagai Hakim Agung pada masa pemerintahan Khalifah
Al-Qaim bi Amrillah Al-Abbasi .
Al-Mawardi memandang bahwa, dalam islam, pemenuhan
kebutuhan dasar setiap anggota masyarakat bukan saja merupakan kewajiban penguasa
dari sudut pandang ekonomi, melainkan juga moral dan agama, Al-Gazali merupakan salah satu tokoh yang banyak
membuat kitab-kitab dahulu seperti Tafsir al-Qur’an
al-Karim dan sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat
Hidup
Abu AL-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi
Al-Syafi’i lahir dikota Basrah pada tahun 364 H (974 M). mengawali
pendidikannya di kota basrah dan Baghdad
selama dua tahun, ia berkelana ke berbagai negeri Islam untuk menuntut
ilmu. Di antar guru-guru Al-Mawardi adalah Al-Hasan bin Ali bin Muhammad
Al-Jabali, Muhammad bin adi bin zuhar Al-Manqiri, Jakfar bi Muhammad bin
Al-fadlh Al-baghdadi, Abu Al-Qasim
Al-qusyairi, Muhammad bin Al-Ma’ali Al-Azdi, dan Ali Abu Al-Asyfarayini.
Berkat keluasan ilmunya, salah satu tokoh besar
mazhab syafi’I ini dipercaya memangku jabatan qadi (hakim) di berbagai
negeri secara bergantian. Setelah itu, Al-Mawardi kembali ke kota Baghdad untuk
beberapa waktu kemudian di angkat sebagai Hakim Agung pada masa pemerintahan
Khalifah Al-Qaim bin Amrillah Al-Abbasi.
Sekalipun telah menjadi hakim, Al-Mawardi tetap
mengajar dan menulis. Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Kadasy merupakan dua orang
dari sekian banyak murid Al-Mawardi. Sejumlah besar karya ilmiah yang meliputi
berbagai bidang kajian dan bernilai tinggi telah di tulis oleh Al-Mawardi,
seperti Tafsir al-Qur’an al-Karim,al-Amtsal wa al-Hakim, al-Hawi al-Kabir,
al-Iqna, al-Adab, ad-Dnya wa ad-Din, Siyasah al-Maliki, Nasihat al-Muluk,
al-Ahkam ash-Shulthaniyyah, An-Nukat wa al’Uyun, dan siyasah al-Wizarat wa
as-Siyasah al-Maliki. Dengan mewariskan berbagai karya tulis yang sangat
berharga tersebut, Al-Mawardi meninggal dunia pada bulan Rabiul Awwal tahun 450
H (1058 M) di kota Baghdad dalam usia 86 tahun. [1]
Penulis Al-Ahkam al-sulthaniyah adalah pakar dari kubu
syari’ah yang menyatakan bahwa institusi negara dan pemerintahan bertujuan memelihara
urusan dunia dan agama atau urusan spiritual dan temporal. Jika kita amati persyaratan-persyatan
kepala negara dalam karyanya, akan segera tampak bahwa tugas dan fungsi pemerintah
dan negara yang dibebankan diatas pundak kepala negara adalah untuk mensejahterakan
rakyatnya, baik secara spiritual (ibadah), ekonomi, politik, dan hak-hak individual
(privat:hak gadai) secara berimbang dengan hak Allah atau hak publik. Tentu saja
termasuk di dalamnya adalah pengelolaan harta, lalu lintas hak dan kepemilikan atas
harta, perniagaan, produksi barang dan jasa, distribusi, dan konsumsi. Sesuai itu
adalah objek kajian utama ilmu ekonomi.[2]
B.
Pemikiran
Ekonomi
Pada dasarnya, pemikiran ekonomi Al-Mawardi tersebar
paling tidak pada tiga buah karya tulisan, yaitu kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din,
al-Hawi dan al-Ahkam as-Sulthaniyah. Dalam kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, ia
memaparkan tentang perilaku ekonomi seorang muslim serta empat jenis mata
pencaharian utama, yaitu pertanian, peternakan,perdagangan, dan industry. Dalam
kitab al-Hawi, disalah satu bagiannya, Al-Mawardi secara khusus membahas
tentang mudharabah dalam pandangan berbagai mazhab. Dalam kitab al-Ahkam
as-sulthaniyah, ia banyak menguraikan tentang system pemerintahan dan
administrasi Negara islam, seperti hak dan kewajibaqn penguasa terhadap
rakyatnya, berbagi lembaga negara serta institusi hisbah.
Dari ketiga karya tulis tersebut, para
peneliti ekonomi islam tampaknya sepakat menyatakan bahwa al-Ahkam
as-Sulthaniyah merupakan kitab yang paling komprehensif dalam merepresentasikan
pokok-pokok pemikiran ekonomi Al-Mawardi. Dalam kitabnya tersebut, Al-Mawardi
menempatkan pembahasan ekonomi dan keuangan Negara secara khusus pada bab 11,
12, dan 13, yang masing-masing membahas tentang harta sedekah, harta fai dan
ghanimah, serta harta jizyah dan kharaj.
Analisis komprehensifatas kitab ini dengan
karya-karya sebelumya yang sejenis enunjukkan bahwa Al-Mawardi membahas
masalah-masalah keuangan dengan cara yang lebih sistematis dan runtut.
Sumbangan utama Al-Mawardi terletak pada pendapat mereka tentang pembebahan
pajak tambahan dan dibolehkannya peminjaman publik.
Negara dan Aktivitas
Ekonomi
Teori keuangan public selalu terkait
dengan peran Negara dalam kehidupan ekonomi. Negara dibutuhkan karena berperan
untuk memenuhi kebutuhan kolektif seluruh warga negaranya. Permasalahan ini pun
tidak luput dari perhatian islam.Al mawardi berpendapat bahwa pelaksanaan imamah(kepemimpinan
politik keagamaan) merupakan kekuasaan mutlak (absolut) dan pembentukannya
merupakan suatu keharusan demi terpeliharanya agama dan pengelolaan dunia.
Dalam perspektif ekonomi, pernyataan Al-Mawardi ini
berarti bahwa Negara memiliki peran aktif demi tereliasasinya tujuan material
dan spiritual.Ia menjadi kewajiban moral bagi penguasa dalam membantu
merelisasikan kebaikan bersama, yaitu memelihara kepentingan masyarakat serta
mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, seperti
para pemikir muslim sebelumnya, Al-Mawardi memandang bahwa, dalam islam,
pemenuhan kebutuhan dasar setiap anggota masyarakat bukan saja merupakan
kewajiban penguasa dari sudut pandang ekonomi, melainkan juga moral dan agama.
Selanjutnya,
Al-Mawardi berpendapat bahwa negara harus menyediakan infrastruktur yang di
perlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum. Menurutnya,
“Jika
hidup di kota menjadi tidak mungkin karena tidak berfungsinya fasilitas sumber
air minuman ataurusaknya tembok kota, maka negara bertanggung jawab untuk memperbaiki dan, jika tidak memiliki dana,
negara harus menemukan jalan untuk memperolehnya.”
Al-Mawardi menegaskan bahwa negara wajib mengatur
dan membiayai pembelaan yang dibutuhkan oleh layanan public karena setiap
individu tidak mungkin membiayai jenis layanan semacam itu. Dengan demikian,
layanan public merupakan kewajiban sosial.(fardh kifayah) dan harus
berdasar kepada kepentingan umum. Pernyataan Al-Mawardi ini semakin mempertegas
pendapat para pemikir muslim sebelumnya yang menyatakan bahwa untuk pengadaan
proyek dalam kerangka pemenuhan kepentingan umum, negara dapat menggunakan dana
Baitul Mal atau membebankan kepada individu-individu yang memiliki
sumberkeuangan yang memadai. Lebih jauh, ia menyebutkan tugas-tugas negara dalam dalam kerangka
pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara sebagai berikut:
a. Melindungi
agama
b. Menegakkan
hukum dan stabilitas
c. Memelihara
batas negara islam
d. Menyediakan
iklim ekonomiyang kondusif
e. Menyediakan
adminstrasi publik, dan peradilan, dan pelaksanaan hukum islam
f. Mengumpulkan
pendapatan dari berbagai sumber yang tersedia serta menaikkannya dengan menerapkan pajak baru jika situasi
menuntutnya, dan
g. Membelanjakan
dana-dana Baitul Mal untuk berbagai tujuan yang telah menjadi kewajibannya.
Seperti
yang telah disebutkan, negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar
setiap warga negara serata merealisasikan kesejah teraan dan perkembangan
ekonomi secara umum. Sebagai konsekuensinya, negara harus memiliki
sumber-sumber keuangan yang dapat membiayai pelaksanaan tanggung jawab
tersebut. Berikut dengan hal ini, Al-Mawardi menyatakan bahwa kebutuhan negara
terhadap pendirian kantor lembaga keuangan nrgara secara permanen muncul pada
saat terjadi transfer sejumlah besar dan negara dari berbagai daerah dan ke
pusat.
Seperti
halnya para pemikir Muslim di abad klasik, Al-Mawardi menyebutkan bahwa
sumber-sumber pendapatan negara islam terdiri dari zakat, ghanimah, kharaj,
jizyah, dan ushr.terkait dengan pengumpulan harta zakat, Al-Mawardi membedakan
antara kekayaan yang tampak dan kekayaan yang tidak tampak. Pengumpulan zakat
atas kekayaan yang tampak seperti hewan dan hasil pertanian,tampak, seperti
perhiasan dan barang danganan, diserahkan kepada kebijakan kaum muslimin.
Menurut Al-Mawardi, pinjaman publik harus di kaitkan
dengan kepentingan publik. Namun demikian, tidak semua kepentingan dapat di
biayai dari dana pinjaman publik. Ia beprendapat bahwa ada dua jenis biaya
untuk kepentingan publik, yaitu biaya untuk pelaksanaan fungsi-fungsi mandatory
negara dan biaya untuk kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat. Dan
pinjaman publik hanya dapat dilakukan untuk membiayai berbagai barang atau jasa
yang disewa oleh negara dalam kerangka mandatoryfunctiona . Sebagai
gambaran, Al-Mawardi menyatakan bahwa ada beberapa kewajiban negara yang timbul
dari pembayaran berbasis sewa, seperti gaji para tentera dan biaya pengadaan
senjata. Kewajiban seperti ini harus tetap dipenuhi terlepas dari apakah
keuangan negara mencukupi atau tidak. Apabila dana yang ada tidak menukupi,
negara dapat melakukan pinjaman kepada publik untuk memenuhi jenis kewajiban
tersebut.
Dengan demikian, menurut Al-Mawardi, pinjaman publik
hanya diperbolehkan untuk membiayai kewajiban negara yang bersifat mandatory
function. Aapun terhadap jenis kewajiban yang bersifat lebih kepada
peningkkatan kesejahteraan masyarakat, negara dapat memberikan pembiayaan yanh
berasal dari dana-dana lain, seperti pajak.
Perpajakan
Sebagaiman trend pada masa klasik, masalah
perpajakan jugak tidak luputdari perhatian Al-Mawardi. Menurutnya, penilaian
atas kharaj harus bervariasi sesuai dengan faktor-faktor yang menentukan
kemampuan tanah dalam membayar pajak, yaitu kesubran tanah, jenis tanaman dan
sistem irigasi.
Disamping ketiga faktor tersebutAl-Mawardi
mengungkapkan faktor yang lain, yaitu jarak antara tanah yang menjadi objek
kharaj dengan pasar. Faktor terakhir ini jugak sangat relevan karena tinggi
rendahnya harga berbagai jenis barang tergantung pada jarak tanah dari pasar
.dengan demikian dalam pandangan Al-Mawardi, keadilan baru akan terwujud
terhadap para pembayar pajak jika para petugas pemungut pajak mempertimbangkan
setidaknya empat faktor dalam melakukan penilaian suatun objek kharaj, yaitu
kesuburan tanah, jenis tanaman, sistem irigasi, dan jarak tanah ke pasar.
Tentang metode penetapan kharaj, Al-Mawardi
menyarankan untuk mnggunakan salah satu dari tiga metode yang pernah di
terapkan dalam sejarah Islam, yaitu :
a. Metode
misanah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah. Metode
ini merupakan fixed-tax, terlepas dari apakah tanah tersebut ditanami
atau tidak, selama tanah tersebut memang bisa ditanami.
b. Metode
penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja. Dalam
metode ini, tanah subur yang tidak di kelola tidak masuk dalam penilaian objek kharaj.
c. Metode
musaqah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan presentase dari hasil
produksi (proportional tax). Dalam metode ini, pajak di pungut setelah tanaman
mengalami masa panen.
Secara
krono logis metode pertama yang digunakan umat islam dalam penetapan kharaj
adalah metode misahah. Metode ini diterapkan pertama kali pada masa
khalifah Umar ibn Al-Khattab berdasarkan masukan dari para sahabat yang
melakukan survey. [ada masa ini, pajak ditetapkan tahunan pada tingkat yang
berbeda secara fixed atas setiap tanah yang berpotensi produktif dan
memiliki akses ke air, sekalipun tidak ditanami, sehimgga pendapatan yang
diterima oleh negara dari jenis pajak ini pun bersifat fixed. Melalui
penggunaan metode ini, Khalifah Umar ingin menjami pendapatan negara pada
setiap tahunnya demi kepentingan ekspansi,sekaligus memastikan para petani
tidak mengelak membayar pajak dengan dalih hasil produksi rendah.
Metode
ke dua jugak pernah diterapkan pada masa khalifah Uma. Pengenaan pajak dengan
menggunakan metode ini dilakukan pada beberapa wilayah tertentu saja, terutama
di Syria. Metode yang terakhir, muqasamah, pertama kali diterapkan pada masa
Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun
ar-Rasyid.
Baitul Mal
Seperti yang telah
dikemukakan, Al-Mawardi menyatakan bahwa untuk membiayai belanja negara
dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar setiap warganya, negara membutuhkan
lembaga keuangan negara (Baitul Mal) yang didirikan secara permanen. Melalui
lembaga ini, pendapatan negaradari berbagai sumber akan disimpan dalam pos yang
terpisah dan dibelanjakan sesuai dengan alokasinya masing-masing.
Berkaitan dengan pembelanjaan harta Baitul Mal,
Al-Mwardi menegaskan bahwa jika dana pada pos tertentu tidak mencukupi untuk
membiayai kebutuhan yang di rencanakannya, Pemerintah dapat meminjamkan uang belanja tersebut dari pos yang
lain. Ia juga menyatakan bahawa pendapatan dari setiap baitul mal privinsi digunakan
untuk memenuhi pembiayaian kebutuhan publiknya masing- masing. Jika terdapat
surplus, gubernur mengirimkan sisa dana tresebut kepada pemerintah pusat. Sebaliknya
pemerintah pusat atau provinsi yang memperoleh pendapatan surplus harus mengalihkan
sebagian harta baitul mal kepada daerah daerah yang mengalami defisit.
Lebih jauh Al-Mawardi menegaskan adaah tanggu ng jawab
baitul mal untuk memenuhi kebutuhan publik. Ian mengklasifikasikan berbagai
tanggung jawab baitul mal kedalam dua hal yaitu:
a.
Benda yang di simpan di baitul mal sebaagai
amanah Tanggung jawab yang timbul dari berbagai harta yang di simpan di baitul
mal sebagai amanah untuk didistribusikan kepada mereka yang berhak
b.
Tanggung
jawab yan timbul seiring dengan adanya pendapatan yang menjadi aset kekayaaan
baitul mal itu sendari
Berdasarka
kategori yang dibuat oleh Al-Mawardi tersebut kategori pertama dari tanggung
jawab baitul mal terkait dengan pendapatan negara yang berasal dari sedekah.
Karena pendapatan sedekah yang di peruntukkan bagi kelompok masyarakat tertentu
tersebut telah di tentukan dan tidak dapat digunakan untuk tujuaan-tujuan umum,
negara hanya diberi kewenangan untuk mengatur pendapatan itu sesuai dengan apa
yang telah digariskan oleh ajaran islam. Dengan demikian kategori tanggung jawa,b
baitul mal yang pertama ini merupakan pembelanjaan publik yang bersifat tetap
dan minimum.
Sementara itu
kategori kedua dari tanggung jawab baitul mal terkait dengan pedapatan negara
yang berasal dari fhai menurut al-mawardi selruh jenis kekayaan yang menjadi
milik kaum muslimin secara umum dan bukan milik perorangan secara khusus
merupakan bagian dari harta baitul mal. Oleh karena itu pendapatan fhai yng di
peruntukkan bag seluruh kaum muslimi tersebut merupakan bagian dari harta
baitul mal.
Lebih jauh al-
mawardi mengklasifikasikan kategori tanggung jawab baitul mal yng ke dua ini
kedalam dua hal. Pertama taanggung jawab yang timbul sebagai pengganti atass
nilai yang diterima (badal), seperti untuk pembayaran gaaji para tentara dan
biaya pengadaan senjata. Karena tanggung jawab ini ada seiring dengan nilai
yang diterima, negara harus menetapkan tuntutannya. Pelaksanaan tanggung jawab
ini menghasilkan biaya-biaya yang hrus dikeluarkan oleh pemerintah, berapapun
besarannya.
Kedua tanggung
jawab yang muncul melalui bantuan dan kepentingan umum. Al-mawardi menyatakan
bahwa pelaksanaan jenis tanggung jawab ini berkaitn dengan keberadaan dana
baitul mal. Jika terdapat dana yang cukup di baitul mal, tanggung jawab negara
atsa kepentingan publik harus di penuhi. Akan tetapi dalam hal tidak ada dana
yag cukup dibaitul mal, maka pelaksannn tanggung jawab tersebut menjdai
tanggung jawab sosial (fardukifayah) seluruh kaum muslimin.
Disamping
menetapkan tanggung jawab negara uraian Al-Mawardi tersebut jugak menunjukkan
bahwa dasar pmbelanjaan publik dalam negara islam adalah maslahah atau
kepentingan umum. Hal ini berarti bahwa negara hanya mempunyai wewenang untuk
membelanjakan harta baitul mal selama berorientasi pada pemeliharaan maslahah
dan kemajuannya.
Dalam hal
pendistribusian pendapatan zakat Al-Mawardi menyatakan bahwa kewajiban negara
untuk mrndistribusikn harta zakat kepada orang-orang faakir dan miskin hanya
pada taraf sekedar untuk membebaskan mereka dari kemiskinan. Tidak ada batasan
jumlah tertentu untuk mereka karena pemenuhan kebutuhan merupakan istilah yang
relatif. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga terbebas dari kemiskinan
seseorang bisa jadi hanya cukup membutuhkan 1dinar sementara yang lain mungkin
membutuhkan 100 dinar.
Disamping itu
al-mawardi berpendapat bahw zakat harus didisribusikan diwilayah tempat zakat
iu diambil. Pengalihan zakat kewilayah
lain hanya diperbolehkan apabila seluruh golingan mustahik zakat di
wilayah tersebut telah menerimanya secara memadai.kalu terdapt surplus maka
wilayah yang paling berhak menerimanya adalah wilayah yang terdekat dengan
wilayaah tempat zakat tersebut di ambil.
Lebih jauh
al-mawardi menyatakan bahwa untuk menjamin pendistribusan harta baitl mal
berjalan lancar dan tepat sasaran negara harus membrdayakan dewan hisbah
semaksimal mungkin. Dalam hal ini salah satu fungi muhtasib adlah memperhatikan
kebutuhan publik serta merekomendasikan pengadaan pruyek kesejahteraan bagi
masyarakat umum. [3]
DAFTAR PUSTAKA
Karim,
H. Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Rivai Veithzal dan
Nizar Utsman Antoni, Islamic Economics
And Finance, Jakarta: PT. Gramedia, 2012