Selamat Datang di Blog Kami. Blog ini meyediakan berbagai macam informasi seputar Pendidikan, Karya Tulis Ilmiah,Dan lain-lain. Membangun Indonesia Melalui Pendidikan

Pemikiran Ekonomi Menurut Al-Mawardi

Untuk Mendapatkan File Makalah atau Artikel dibawah ini, Silahkan Klik Download! download
Al-Mawardi memandang bahwa, dalam islam, pemenuhan kebutuhan dasar setiap anggota masyarakat bukan saja merupakan kewajiban penguasa dari sudut pandang ekonomi, melainkan juga moral dan agama, Al-Gazali merupakan salah satu tokoh yang banyak membuat kitab-kitab dahulu seperti Tafsir al-Qur’an al-Karim dan sebagainya.


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
 Dalam kitab al-Hawi, disalah satu bagiannya, Al-Mawardi secara khusus membahas tentang mudharabah dalam pandangan berbagai mazhab. Dalam kitab al-Ahkam as-sulthaniyah, ia banyak menguraikan tentang system pemerintahan dan administrasi Negara islam, seperti hak dan kewajiban penguasa terhadap rakyatnya, berbagi lembaga negara serta institusi hisbah. salah satu tokoh besar mazhab syafi’I ini dipercaya memangku jabatan qadi (hakim) di berbagai negeri secara bergantian. Setelah itu, Al-Mawardi kembali ke kota Baghdad untuk beberapa waktu kemudian di angkat sebagai Hakim Agung pada masa pemerintahan Khalifah Al-Qaim bi Amrillah Al-Abbasi .
Al-Mawardi memandang bahwa, dalam islam, pemenuhan kebutuhan dasar setiap anggota masyarakat bukan saja merupakan kewajiban penguasa dari sudut pandang ekonomi, melainkan juga moral dan agama, Al-Gazali merupakan salah satu tokoh yang banyak membuat kitab-kitab dahulu seperti Tafsir al-Qur’an al-Karim dan sebagainya.
                                                                                               
BAB II
PEMBAHASAN

     A.    Riwayat Hidup
Abu AL-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Syafi’i lahir dikota Basrah pada tahun 364 H (974 M). mengawali pendidikannya di kota basrah dan Baghdad  selama dua tahun, ia berkelana ke berbagai negeri Islam untuk menuntut ilmu. Di antar guru-guru Al-Mawardi adalah Al-Hasan bin Ali bin Muhammad Al-Jabali, Muhammad bin adi bin zuhar Al-Manqiri, Jakfar bi Muhammad bin Al-fadlh  Al-baghdadi, Abu Al-Qasim Al-qusyairi, Muhammad bin Al-Ma’ali Al-Azdi, dan Ali Abu Al-Asyfarayini.
Berkat keluasan ilmunya, salah satu tokoh besar mazhab syafi’I ini dipercaya memangku jabatan qadi (hakim) di berbagai negeri secara bergantian. Setelah itu, Al-Mawardi kembali ke kota Baghdad untuk beberapa waktu kemudian di angkat sebagai Hakim Agung pada masa pemerintahan Khalifah Al-Qaim bin Amrillah Al-Abbasi.
Sekalipun telah menjadi hakim, Al-Mawardi tetap mengajar dan menulis. Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Kadasy merupakan dua orang dari sekian banyak murid Al-Mawardi. Sejumlah besar karya ilmiah yang meliputi berbagai bidang kajian dan bernilai tinggi telah di tulis oleh Al-Mawardi, seperti Tafsir al-Qur’an al-Karim,al-Amtsal wa al-Hakim, al-Hawi al-Kabir, al-Iqna, al-Adab, ad-Dnya wa ad-Din, Siyasah al-Maliki, Nasihat al-Muluk, al-Ahkam ash-Shulthaniyyah, An-Nukat wa al’Uyun, dan siyasah al-Wizarat wa as-Siyasah al-Maliki. Dengan mewariskan berbagai karya tulis yang sangat berharga tersebut, Al-Mawardi meninggal dunia pada bulan Rabiul Awwal tahun 450 H (1058 M) di kota Baghdad dalam usia 86 tahun. [1]
Penulis Al-Ahkam al-sulthaniyah adalah pakar dari kubu syari’ah yang menyatakan bahwa institusi negara dan pemerintahan bertujuan memelihara urusan dunia dan agama atau urusan spiritual dan temporal. Jika kita amati persyaratan-persyatan kepala negara dalam karyanya, akan segera tampak bahwa tugas dan fungsi pemerintah dan negara yang dibebankan diatas pundak kepala negara adalah untuk mensejahterakan rakyatnya, baik secara spiritual (ibadah), ekonomi, politik, dan hak-hak individual (privat:hak gadai) secara berimbang dengan hak Allah atau hak publik. Tentu saja termasuk di dalamnya adalah pengelolaan harta, lalu lintas hak dan kepemilikan atas harta, perniagaan, produksi barang dan jasa, distribusi, dan konsumsi. Sesuai itu adalah objek kajian utama ilmu ekonomi.[2]

      B.     Pemikiran Ekonomi
Pada dasarnya, pemikiran ekonomi Al-Mawardi tersebar paling tidak pada tiga buah karya tulisan, yaitu kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, al-Hawi dan al-Ahkam as-Sulthaniyah. Dalam kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, ia memaparkan tentang perilaku ekonomi seorang muslim serta empat jenis mata pencaharian utama, yaitu pertanian, peternakan,perdagangan, dan industry. Dalam kitab al-Hawi, disalah satu bagiannya, Al-Mawardi secara khusus membahas tentang mudharabah dalam pandangan berbagai mazhab. Dalam kitab al-Ahkam as-sulthaniyah, ia banyak menguraikan tentang system pemerintahan dan administrasi Negara islam, seperti hak dan kewajibaqn penguasa terhadap rakyatnya, berbagi lembaga negara serta institusi hisbah.
      Dari ketiga karya tulis tersebut, para peneliti ekonomi islam tampaknya sepakat menyatakan bahwa al-Ahkam as-Sulthaniyah merupakan kitab yang paling komprehensif dalam merepresentasikan pokok-pokok pemikiran ekonomi Al-Mawardi. Dalam kitabnya tersebut, Al-Mawardi menempatkan pembahasan ekonomi dan keuangan Negara secara khusus pada bab 11, 12, dan 13, yang masing-masing membahas tentang harta sedekah, harta fai dan ghanimah, serta harta jizyah dan kharaj.
      Analisis komprehensifatas kitab ini dengan karya-karya sebelumya yang sejenis enunjukkan bahwa Al-Mawardi membahas masalah-masalah keuangan dengan cara yang lebih sistematis dan runtut. Sumbangan utama Al-Mawardi terletak pada pendapat mereka tentang pembebahan pajak tambahan dan dibolehkannya peminjaman publik.

Negara dan Aktivitas Ekonomi
      Teori keuangan public selalu terkait dengan peran Negara dalam kehidupan ekonomi. Negara dibutuhkan karena berperan untuk memenuhi kebutuhan kolektif seluruh warga negaranya. Permasalahan ini pun tidak luput dari perhatian islam.Al mawardi berpendapat bahwa pelaksanaan imamah(kepemimpinan politik keagamaan) merupakan kekuasaan mutlak (absolut) dan pembentukannya merupakan suatu keharusan demi terpeliharanya agama dan pengelolaan dunia.
Dalam perspektif ekonomi, pernyataan Al-Mawardi ini berarti bahwa Negara memiliki peran aktif demi tereliasasinya tujuan material dan spiritual.Ia menjadi kewajiban moral bagi penguasa dalam membantu merelisasikan kebaikan bersama, yaitu memelihara kepentingan masyarakat serta mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, seperti para pemikir muslim sebelumnya, Al-Mawardi memandang bahwa, dalam islam, pemenuhan kebutuhan dasar setiap anggota masyarakat bukan saja merupakan kewajiban penguasa dari sudut pandang ekonomi, melainkan juga moral dan agama.
 Selanjutnya, Al-Mawardi berpendapat bahwa negara harus menyediakan infrastruktur yang di perlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum. Menurutnya,
“Jika hidup di kota menjadi tidak mungkin karena tidak berfungsinya fasilitas sumber air minuman ataurusaknya tembok kota, maka negara bertanggung jawab untuk  memperbaiki dan, jika tidak memiliki dana, negara harus menemukan jalan untuk memperolehnya.”

Al-Mawardi menegaskan bahwa negara wajib mengatur dan membiayai pembelaan yang dibutuhkan oleh layanan public karena setiap individu tidak mungkin membiayai jenis layanan semacam itu. Dengan demikian, layanan public merupakan kewajiban sosial.(fardh kifayah) dan harus berdasar kepada kepentingan umum. Pernyataan Al-Mawardi ini semakin mempertegas pendapat para pemikir muslim sebelumnya yang menyatakan bahwa untuk pengadaan proyek dalam kerangka pemenuhan kepentingan umum, negara dapat menggunakan dana Baitul Mal atau membebankan kepada individu-individu yang memiliki sumberkeuangan yang memadai. Lebih jauh, ia menyebutkan  tugas-tugas negara dalam dalam kerangka pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara sebagai berikut:
a.       Melindungi agama
b.      Menegakkan hukum dan stabilitas
c.       Memelihara batas negara islam
d.      Menyediakan iklim ekonomiyang kondusif
e.       Menyediakan adminstrasi publik, dan peradilan, dan pelaksanaan hukum islam
f.       Mengumpulkan pendapatan dari berbagai sumber yang tersedia serta menaikkannya dengan  menerapkan pajak baru jika situasi menuntutnya, dan
g.      Membelanjakan dana-dana Baitul Mal untuk berbagai tujuan yang telah menjadi kewajibannya.
      Seperti yang telah disebutkan, negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara serata merealisasikan kesejah teraan dan perkembangan ekonomi secara umum. Sebagai konsekuensinya, negara harus memiliki sumber-sumber keuangan yang dapat membiayai pelaksanaan tanggung jawab tersebut. Berikut dengan hal ini, Al-Mawardi menyatakan bahwa kebutuhan negara terhadap pendirian kantor lembaga keuangan nrgara secara permanen muncul pada saat terjadi transfer sejumlah besar dan negara dari berbagai daerah dan ke pusat.
Seperti halnya para pemikir Muslim di abad klasik, Al-Mawardi menyebutkan bahwa sumber-sumber pendapatan negara islam terdiri dari zakat, ghanimah, kharaj, jizyah, dan ushr.terkait dengan pengumpulan harta zakat, Al-Mawardi membedakan antara kekayaan yang tampak dan kekayaan yang tidak tampak. Pengumpulan zakat atas kekayaan yang tampak seperti hewan dan hasil pertanian,tampak, seperti perhiasan dan barang danganan, diserahkan kepada kebijakan kaum muslimin.
Menurut Al-Mawardi, pinjaman publik harus di kaitkan dengan kepentingan publik. Namun demikian, tidak semua kepentingan dapat di biayai dari dana pinjaman publik. Ia beprendapat bahwa ada dua jenis biaya untuk kepentingan publik, yaitu biaya untuk pelaksanaan fungsi-fungsi mandatory negara dan biaya untuk kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat. Dan pinjaman publik hanya dapat dilakukan untuk membiayai berbagai barang atau jasa yang disewa oleh negara dalam kerangka mandatoryfunctiona . Sebagai gambaran, Al-Mawardi menyatakan bahwa ada beberapa kewajiban negara yang timbul dari pembayaran berbasis sewa, seperti gaji para tentera dan biaya pengadaan senjata. Kewajiban seperti ini harus tetap dipenuhi terlepas dari apakah keuangan negara mencukupi atau tidak. Apabila dana yang ada tidak menukupi, negara dapat melakukan pinjaman kepada publik untuk memenuhi jenis kewajiban tersebut.
Dengan demikian, menurut Al-Mawardi, pinjaman publik hanya diperbolehkan untuk membiayai kewajiban negara yang bersifat mandatory function. Aapun terhadap jenis kewajiban yang bersifat lebih kepada peningkkatan kesejahteraan masyarakat, negara dapat memberikan pembiayaan yanh berasal dari dana-dana lain, seperti pajak.

Perpajakan
Sebagaiman trend pada masa klasik, masalah perpajakan jugak tidak luputdari perhatian Al-Mawardi. Menurutnya, penilaian atas kharaj harus bervariasi sesuai dengan faktor-faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam membayar pajak, yaitu kesubran tanah, jenis tanaman dan sistem irigasi.
Disamping ketiga faktor tersebutAl-Mawardi mengungkapkan faktor yang lain, yaitu jarak antara tanah yang menjadi objek kharaj dengan pasar. Faktor terakhir ini jugak sangat relevan karena tinggi rendahnya harga berbagai jenis barang tergantung pada jarak tanah dari pasar .dengan demikian dalam pandangan Al-Mawardi, keadilan baru akan terwujud terhadap para pembayar pajak jika para petugas pemungut pajak mempertimbangkan setidaknya empat faktor dalam melakukan penilaian suatun objek kharaj, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman, sistem irigasi, dan jarak tanah ke pasar.
Tentang metode penetapan kharaj, Al-Mawardi menyarankan untuk mnggunakan salah satu dari tiga metode yang pernah di terapkan dalam sejarah Islam, yaitu :
      a.       Metode misanah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah. Metode ini merupakan fixed-tax, terlepas dari apakah tanah tersebut ditanami atau tidak, selama tanah tersebut memang bisa ditanami.
      b.      Metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja. Dalam metode ini, tanah subur yang tidak di kelola tidak masuk dalam penilaian objek kharaj.
      c.       Metode musaqah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan presentase dari hasil produksi (proportional tax). Dalam metode ini, pajak di pungut setelah tanaman mengalami masa panen.
Secara krono logis metode pertama yang digunakan umat islam dalam penetapan kharaj adalah metode misahah. Metode ini diterapkan pertama kali pada masa khalifah Umar ibn Al-Khattab berdasarkan masukan dari para sahabat yang melakukan survey. [ada masa ini, pajak ditetapkan tahunan pada tingkat yang berbeda secara fixed atas setiap tanah yang berpotensi produktif dan memiliki akses ke air, sekalipun tidak ditanami, sehimgga pendapatan yang diterima oleh negara dari jenis pajak ini pun bersifat fixed. Melalui penggunaan metode ini, Khalifah Umar ingin menjami pendapatan negara pada setiap tahunnya demi kepentingan ekspansi,sekaligus memastikan para petani tidak mengelak membayar pajak dengan dalih hasil produksi rendah.
Metode ke dua jugak pernah diterapkan pada masa khalifah Uma. Pengenaan pajak dengan menggunakan metode ini dilakukan pada beberapa wilayah tertentu saja, terutama di Syria. Metode yang terakhir, muqasamah, pertama kali diterapkan pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun ar-Rasyid.

Baitul Mal 
Seperti yang telah  dikemukakan, Al-Mawardi menyatakan bahwa untuk membiayai belanja negara dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar setiap warganya, negara membutuhkan lembaga keuangan negara (Baitul Mal) yang didirikan secara permanen. Melalui lembaga ini, pendapatan negaradari berbagai sumber akan disimpan dalam pos yang terpisah dan dibelanjakan sesuai dengan alokasinya masing-masing.
Berkaitan dengan pembelanjaan harta Baitul Mal, Al-Mwardi menegaskan bahwa jika dana pada pos tertentu tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan yang di rencanakannya, Pemerintah dapat  meminjamkan uang belanja tersebut dari pos yang lain. Ia juga menyatakan bahawa pendapatan dari setiap baitul mal privinsi digunakan untuk memenuhi pembiayaian kebutuhan publiknya masing- masing. Jika terdapat surplus, gubernur mengirimkan sisa dana tresebut kepada pemerintah pusat. Sebaliknya pemerintah pusat atau provinsi yang memperoleh pendapatan surplus harus mengalihkan sebagian harta baitul mal kepada daerah daerah yang mengalami defisit.
Lebih jauh Al-Mawardi menegaskan adaah tanggu ng jawab baitul mal untuk memenuhi kebutuhan publik. Ian mengklasifikasikan berbagai tanggung jawab baitul mal kedalam dua hal yaitu:
a.          Benda yang di simpan di baitul mal sebaagai amanah Tanggung jawab yang timbul dari berbagai harta yang di simpan di baitul mal sebagai amanah untuk didistribusikan kepada mereka yang berhak
b.         Tanggung jawab yan timbul seiring dengan adanya pendapatan yang menjadi aset kekayaaan baitul mal itu sendari
Berdasarka kategori yang dibuat oleh Al-Mawardi tersebut kategori pertama dari tanggung jawab baitul mal terkait dengan pendapatan negara yang berasal dari sedekah. Karena pendapatan sedekah yang di peruntukkan bagi kelompok masyarakat tertentu tersebut telah di tentukan dan tidak dapat digunakan untuk tujuaan-tujuan umum, negara hanya diberi kewenangan untuk mengatur pendapatan itu sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh ajaran islam. Dengan demikian kategori tanggung jawa,b baitul mal yang pertama ini merupakan pembelanjaan publik yang bersifat tetap dan minimum.
Sementara itu kategori kedua dari tanggung jawab baitul mal terkait dengan pedapatan negara yang berasal dari fhai menurut al-mawardi selruh jenis kekayaan yang menjadi milik kaum muslimin secara umum dan bukan milik perorangan secara khusus merupakan bagian dari harta baitul mal. Oleh karena itu pendapatan fhai yng di peruntukkan bag seluruh kaum muslimi tersebut merupakan bagian dari harta baitul mal.
Lebih jauh al- mawardi mengklasifikasikan kategori tanggung jawab baitul mal yng ke dua ini kedalam dua hal. Pertama taanggung jawab yang timbul sebagai pengganti atass nilai yang diterima (badal), seperti untuk pembayaran gaaji para tentara dan biaya pengadaan senjata. Karena tanggung jawab ini ada seiring dengan nilai yang diterima, negara harus menetapkan tuntutannya. Pelaksanaan tanggung jawab ini menghasilkan biaya-biaya yang hrus dikeluarkan oleh pemerintah, berapapun besarannya.
Kedua tanggung jawab yang muncul melalui bantuan dan kepentingan umum. Al-mawardi menyatakan bahwa pelaksanaan jenis tanggung jawab ini berkaitn dengan keberadaan dana baitul mal. Jika terdapat dana yang cukup di baitul mal, tanggung jawab negara atsa kepentingan publik harus di penuhi. Akan tetapi dalam hal tidak ada dana yag cukup dibaitul mal, maka pelaksannn tanggung jawab tersebut menjdai tanggung jawab sosial (fardukifayah) seluruh kaum muslimin.
Disamping menetapkan tanggung jawab negara uraian Al-Mawardi tersebut jugak menunjukkan bahwa dasar pmbelanjaan publik dalam negara islam adalah maslahah atau kepentingan umum. Hal ini berarti bahwa negara hanya mempunyai wewenang untuk membelanjakan harta baitul mal selama berorientasi pada pemeliharaan maslahah dan kemajuannya.
Dalam hal pendistribusian pendapatan zakat Al-Mawardi menyatakan bahwa kewajiban negara untuk mrndistribusikn harta zakat kepada orang-orang faakir dan miskin hanya pada taraf sekedar untuk membebaskan mereka dari kemiskinan. Tidak ada batasan jumlah tertentu untuk mereka karena pemenuhan kebutuhan merupakan istilah yang relatif. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga terbebas dari kemiskinan seseorang bisa jadi hanya cukup membutuhkan 1dinar sementara yang lain mungkin membutuhkan 100 dinar.
Disamping itu al-mawardi berpendapat bahw zakat harus didisribusikan diwilayah tempat zakat iu diambil. Pengalihan zakat kewilayah  lain hanya diperbolehkan apabila seluruh golingan mustahik zakat di wilayah tersebut telah menerimanya secara memadai.kalu terdapt surplus maka wilayah yang paling berhak menerimanya adalah wilayah yang terdekat dengan wilayaah tempat zakat tersebut di ambil.
Lebih jauh al-mawardi menyatakan bahwa untuk menjamin pendistribusan harta baitl mal berjalan lancar dan tepat sasaran negara harus membrdayakan dewan hisbah semaksimal mungkin. Dalam hal ini salah satu fungi muhtasib adlah memperhatikan kebutuhan publik serta merekomendasikan pengadaan pruyek kesejahteraan bagi masyarakat umum. [3]

DAFTAR PUSTAKA
Karim, H. Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Rivai Veithzal dan Nizar Utsman Antoni, Islamic Economics And Finance, Jakarta: PT. Gramedia, 2012


[1]Ir.H. Adiwarman Azwarkarim, S.E., M.B.A.,M.A.E.P. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam(jakarta:PT Raja Grafindo persada 2012), hlm 300-301
[2] Veithzal Rivai dan Antoni Nizar Utsman, Islamic Economics And Finance, (Jakarta: PT. Gramedia, 2012) hlm.115
[3] ibid hlm. 301-312