
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta
yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi
atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia.[1]
Dalam bahasa Inggris,
kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin
Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan.
Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture
juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Budaya merupakan salah satu unsur dasar dalam kehidupan social. Budaya
mempunyai peranan penting dalam membentuk pola berpikir dan pola pergaulan
dalam masyarakat, yang berarti juga membentuk kepribadian dan pola piker
masyarakat tertentu. Budaya mencakup perbuatan atau aktivitas sehari-hari yang
dilakukan oleh suatu individu maupun masyarakat, pola berpikir mereka,
kepercayaan, dan ideology yang mereka anut.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kebudayaan yang hidup pada suatu masyarakat, pada dasarnya merupakan
gambaran dari pola pikir, tingkah laku, dan nilai yang dianut oleh masyarakat.
Dari sudut pandang ini, agama disatu sisi memberikan kontribusi terhadap
nilai-nilai budaya yang ada, sehingga agama pun bisa berjalan atau bahkan
akomodatif dengan nilai-nilai budaya yang sedang dianutnya.
Pada sisi lain, karena agama sebagai wahyu dan memiliki kebenaran yang
mutlak, maka agama tidak bisa disejajarkan dengan nilai-nilai budaya setempat,
bahkan agama harus menjadi sumber nilai bagi kelangsungan nilai-nilai budaya
itu. Disinilah terjadi hubungan timbal balik antara agama dengan budaya.
Persoalanya adalah apakah agama lebih dominan mempengaruhi terhadap budaya,
atau sebaliknya apakah budaya lebih dominan mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku manusia dalam kehidupan
masyarakat. Dalam kajian sosiologi, baik agama maupun budaya merupakan bagian
dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu
sendiri. Sehingga hal semacam ini perlu adanya kajian yang memungkinkan adanya
gambaran terhadap pengaruh budaya terhadap jiwa setiap mnusia.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Pengertian budaya dan
kebudayaan
2.
Tradisi keagamaan dan
Kebudayaan
3.
Tradisi keagamaan dan
Sikap Keagamaan
4.
Kebudayaan dalam Era
Globalisasi dan Pengaruhnya terhadap Jiwa Keagamaan
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui relasi antara kebudayaan dan tradisi keagamaan
2.
Untuk mengetahui hubungan
antara tradisi keagamaan dan sikap keagamaan
3.
Untuk mengetahui pengaruh
kebudayaan dalam era global terhadap jiwa keagamaan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian budaya dan
kebudayaan
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta
yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi
atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia.[2]
Dalam bahasa Inggris,
kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin
Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan.
Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture
juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Budaya merupakan salah satu
unsur dasar dalam kehidupan social. Budaya mempunyai peranan penting dalam
membentuk pola berpikir dan pola pergaulan dalam masyarakat, yang berarti juga
membentuk kepribadian dan pola piker masyarakat tertentu. Budaya mencakup
perbuatan atau aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh suatu individu maupun
masyarakat, pola berpikir mereka, kepercayaan, dan ideology yang mereka anut.
Demikianlah “budaya” adalah daya dan budi yang berupa cipta, karsa,
dan rasa. Sedangkan dari kebudayaan adalah hasil dari cipta, karas dan rasa
itu.[3]
Sementara itu Corel R.E dan Melvin E. Seorang (ahli Antropologi-Buadaya)
memberikan konsep kebudayaan pada umumnya mencakup cara berpikir dan cara
berlaku yang telah merupakan ciri khas suatu bangsa dan masyarakat tertentu
(yang meliputi) hal-hal seperti bahasa, ilmu pengetahuan, hukum-hukum,
kepercayaan, agama, kegemaran makanan tertentu, musik, kebiasaan, pekerjaaan,
larangan-larangan dan sebagainya.[4]
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh
pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat
pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran
manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
B.
Tradisi keagamaan dan
Kebudayaan
Tradisi menurut Parsudi
Suparlan PhD dalam buku karangan Jalaluddin Merupakan unsur sosial budaya yang telah
mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah. Meredith Mc Guire
melihat bahwa dalam masyarakat pedesaan umumnya tradisi erat kaitannya dengan
mitos dan agama.[5]
Bagi setiap daerah
misalnya memiliki tradisi tertentu, sehingga masing-masing daerah memiliki adat
kebiasaan yang berbeda-beda. Yang dimaksud adat disini adalah amal perbuatan
yang dilakukan oleh sekelompok manusia disuatu daerah dengan dilakukan secara
berulang kali, sehingga perbuatan yang dilakukan oleh kelompok itu dalam melahirkan
hukum adat yang harus ditaati oleh segenap masyarakat itu.
Secara garis besarnya
tradisi sebagai kerangka acuan norma dalam masyarakat disebut pranata. Pranata
terdapat dua macam yaitu :
1.
Pranata Primer
Pranata ini merupakan kerangka acuan norma yang mendasar dan hakiki dalam
kehidupan manusia itu sendiri. Pranata ini berhubungan dengan kehormatan dan
harga diri, jati diri serta kelestarian masyarakat. Sehingga pranata ini tidak
mudah dapat berubah.[6]
2.
Pranata Sekunder
Pranata ini bercorak rasional, terbuka dan umum, kompetitif dan konflik
yang menekankan legalitas, seperti pranata politik, pranata pemerintahan,
ekonomi dan pasar, berbagai pranata hukum dan keterkaitan sosial dalam
masyarakat yang bersangkutan. Pranata ini dapat dengan mudah diubah struktur
dan peranan hubungan antar peranannya maupun norma-norma ang berkaitan dengan
hal itu. Pranata ini bersifat fleksibel, mudah berubah sesuai dengan situasi
yang diinginkan oleh pendukungnya.
Melihat dari peranan dan struktur serta fungsinya, peranan primer lebih
mengakar pada kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pranata primer bercorak
menekankan pada pentingnya keyakinan dan kebersamaanserta bersifat tertutup
atau pribadi, seperti pranata- pranata keluarga, kekerabatan, keagamaan,
pertemanan atau persahabatan.
Dari pernyataan tersebut sangatlah jelas bahwa tradisi keagamaan termasuk
pada pranata primer. Sehingga tradisi tersebut sangat sulit untuk berubah. Hal
tersebut menjadi nyata karena selian didukung oleh masyarakat juga memuat
sejumlah unsur-unsur yang memiliki nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan
keyakinan masyarakat. Diantara nilai – nilai yang sangan berkaitan dengan
masyarakat dalah nilai keagamaan. Menurut Thomas, Agama merupakan aspek sentral
dan fundamental dalam kebudayaan.
Agama yang terlihat sebagai pusat kebudayaan dan penyaji aspek kebudayaan
yang tertinggi dan suci, menunjukkan mode kesadaran manusia yang menyangkut
bentuk simbolik sendiri. Dengan demikian, hubungan antara tradisi keagamaan
dengan kebudayaan terjalin sebagai hubungan timbal balik.
C.
Tradisi keagamaan dan
Sikap Keagamaan
Tardisi keagamaan pada dasarnyamerupakan pranata keagamaan yang sudah
dianggap baku oleh masyarakat pendukungnya. Dengan demikian, tradisi merupakan
kerangka acuan norma dalam kehidupan dan perilakuk masyarakat.
Para ahli antropologi membagi kebudayaan dalam bentuk dan isi.[7] Menurut
bentuknya kenudayaan terdiri atas tiga, yaitu:
1) Sistem kebudayaan
2)
Sistem sosial
3)
Benda – benda budaya
Selanjutnya isi kebudayaan menurut Koentjaraningrat dalam
bukunya Jalaluddin terdiri atas tujuh unsur, yaitu :
1)
Bahasa
2)
Sistem teknologi
3)
Sistem ekonommi
4)
Organisasi sosial
5)
Sistem pengetahuan
6)
Religi
7)
Kesenian
Dengan demikian, dilihat dari bentuk dan isinya, kebudayaan merupakan suatu
tatanan yang mengatur kehidupan masyarakat. Dalam kaitannya dengan pembentukan
tradisi keagamaan, secra konkrit, pernyataan Koentjaraningrat tersebut dapat
digambarkan melalui proses penyiaran agama, hingga terbentuk suatu komunitas
keagamaan.
Menurut Robert C. Monk, memang pengalaman agam umumnya
bersifat indifidual. Akantetapi, karena pengalaman agama yang dimiliki umumnya
selalu menekankan pada pendekatan keagamaan bersfat pribadi, hal ini senantiasa
mendorong seseorang untuk mengembangkan dan menegaskan keyakinan itu dalam
sikap, tingkah laku, dan praktek- praktek keagamaan yang dianutnya. Inilah sisi
sosial yang menjadi unsur pemelihara dan pelestarian sikap para individu yang
menjadi anggota masyarakat tersebut.siakap keagamaan perorangan dalam
masyarakat yang menganut suatu keyakinan agama merupakan unsur penopong bagi
terbentuknya tradisi keagamaan.
Dengan demikian maka akan terjadilah penolakan dan peneriamaan tingkah
laku, sikap dan kepercayaan terhadap nilai-nilai penting sehingga melahirkan
bentuk tradisi keagamaan.
Tradisi keagamaan dan sikap keagaman saling mempengaruhi. Sikap keagamaan
mendukung terbentuknya tradisi keagamaan, sedangkan tradisi keagamaan sebagai
lingkungan kehidupan turut memberi nilai- nilai, norma-norma pola tingkah laku
keagamaan kepada seseorang. Sikap keagamaan yang terbentuk oleh tradisi
keagamaan merupakan bagian dari pernyataan jati diri seseorang dalam kaitan
dengan agama yang dianutnya.
Menurut Robert C. Monk yang dikuti dalam buku Psikologi Agama
karangan Jalaluddin bahwa tradisi keagamaan memilki dua fungsi utama yang
mempunyai peran ganda, yaitu bagi masyarakat ataupun individu.
1.
Sebagai kekuatan yang
mampu membuat kestabilan dan keterpaduan masyarakat maupun individu
2.
Sebagai agen perubahan
dalam masyarakat atau diri individu, bahkan dalam situasi terjadinya konflik
sekalipun.
Dalam konteks pendidikan, tradisi keagamaan merupakan isi pendidikan yang akan
diwariskan generasi tua kepada generasi muda. Sebab pendidikan menurut Hasan
Langgulung, dapay dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang individu
dan masyarakat.[8]
Dalam kaitan ini akan lebih jelas bagaimana hubungan dan pengaruh tradisi
keagamaan terhadap sikap keagamaan seseorang.
D.
Kebudayaan dalam Era
Globalisasi dan Pengaruhnya terhadap Jiwa Keagamaan
Era globalisasi umumnya digambarkan sebagai kehidupan masyarakat dunia yang
menyatu. Era globalisasi ditopang oleh kemajuan dan kecanggihan teknologi
menjadikan manusia seakan hidup dalam satu kota, kota dunia. Kehidupan manusia
di era globalisasi saling pengaruh- mempengaruhi.[9]
Tetapi menurut Dafid C. Korten yang dikutip oleh Jalaluddin dalam
buku Psikologi Agama ada tiga krisis yang bakal dihadapi manusia secara global,
yaitu : kemiskinan, penanganan lingkungan yang salah, serta kekerasan sosial.
Gejala yang serupa juga akan dihadapai oleh masyarakat sekitar. Kemajuan
teknologi menimbulkan beberapa kekhawatiran, meskipun juga menampilkan
nilai-nilai positif.
Dalam kaitannya dengan jiwa keagamaan, dampak global itu dapat dilihat
melalui hubungannya dengan perubahan sikap. Perubahan sikap ini menurut
pendekatan psikologi adalah berupa kecenderungan yang besar untuk menyenangi
sesuatu. Pada dasarnya, proses perubahan sikap tersebut dapat digambarkan
melalui dua jalur, yaitu proses rasional dan proses emosional.
Proses rasional diawali dengan adanya perhatian, pemahaman, penerimaan, dan
berakhir pada keyakinan. sedangkan proses emosional berawal dari perhatian,
simpati, menerima, dan berakhir pada minat. Mengacu pada kepada kedua proses
bagaimana seseorang atau masyarakat mengubah sikap dari tidak menerima menjadi
menerima sesuatu berawal dari tingkat perhatian, simpati, menerima dan berakhir
pada minat.
Dalam hal tersebutlah terlihat terdapat hubungan antara pengaruh kebudayaan
era globalisasi terhadap penbentukan jiwa keagamaan. Gejala- gejala tersebut
lebih mudah terjadi di kalangan generasi muda. Karena mereka lebih mudah
menerima perubahan dibandingkan dengan generasi tua. Contohnya saja nilai –
nilai kebudayaan yang bersumber kepada suatu ajaran agama beralih menjadi nlai-
nilai sosial, yaitu tahun baru pada tanggal 1 januari. Selain daari pada itu
nilai – nilai tradisional mengalami penggerusan.
Dari hal tersebut sudah jelas bahwasannya pengaruh kebudayaan terhadap jiwa
keagamaan ini sedikit demi sedikit akan berkurang.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kebudayaan adalah hasil
daya cipta manusia yang di dalamnya terdapat pengetahuan, keyakinan, seni,
moral, adat istiadat sebagai aspek dari kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan
cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat karena kebudayaan merupakan
sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh masyarakat.
Tradisi keagamaan memberi
pengaruh dalam membentuk pengalaman dan kesadaran agama sehingga terbentuk
dalam sikap keagamaan pada diri seseorang yang hidup dalam lingkungan tradisi
keagamaan tertentu.
Secara fenomina,
kebudayaan dalam era global mengarah kepada nilai-nilai sekuler yang besar
pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa keagamaan. Dalam kaitannya dengan jiwa
keagamaan dampak globalisasi dapat dilihat melalui hubungan dengan perubahan sikap,
seperti hilangnya pegangan hidup yang bersumber dari tradisi masyarakat dan
bersumber dari ajaran agama.
B.
KRITIK DAN SARAN
Dalam makalah ini tentunya
akan ada kekurangan-kekurangan argumentasi atau mugkin terdapat kekeliruan
dalam penulisan atau susunan kata-kata, oleh karena itu kritik dan saran kami
butuhkan guna perbaikan berikutnya. Untuk memperoleh pengetahuan yang lebih
mendalam, kami sarankan juga untuk membaca referensi-referensi lain yang
terkait dengan pengaruh kebudayaan terhadap jiwa keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Atiqullah, Psikologi Agama, Surabaya: Pena Salsabila, 2001.
Djaali, Psikologi
Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Djojodigoeno M.M. Azas-Azas Sosiologi. Yogyakarta: Yayasan Badan
Penerbit Gadjah Mada, 1958.
Jalaludin, Psikologi Agama, Jakarta: PT Rajawali Grafindo Persada,
2004.
Koentjaraningrat. Ilmu Antropologi. Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2009.
[1] Koentjaraningrat. Ilmu Antropologi. (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2009). Hlm. 144.
[2] Koentjaraningrat. Ilmu Antropologi. (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2009). Hlm. 144.
[3] M.M Djojodigoeno. Azas-Azas Sosiologi. (Yogyakarta: Yayasan Badan
Penerbit Gadjah Mada, 1958). Hlm. 24.
[4] Atiqullah, Psikologi Agama, (Surabaya: Pena Salsabila, 2001). Hlm.
47.
[5]Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Rajawali Grafindo Persada,
2004), hlm. 188.
[6] Jalaludin, Psikologi
Agama, hlm. 188
[7] Koentjaraningrat. Ilmu Antropologi. Hlm. 80-90.
[8] Djaali, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2009. Hlm.195.
[9] Ibid,... hlm. 196.