
Secara etimologi atau bahasa qardh berasal dari kata qaradha ) قَرَضَ) yang sinonimnya adalah qatha’a ( قَطَعَ ) yang artinya terputus atau memotong. Diartika terputus karena harta yang
dihitungkan pada pihak lain dinamakan qardh karena harta tersebut terputus dari
pemiliknya. Sedangkan maksud dari memotong adalah karena orang yang memberikan
utang atau muqridh itu memotong sebagian
dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima utang atau muqtaridh.
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah Swt. yang paling mulia.
Manusia merupakan makhluk sosial yaitu makhluk yang membutuhkan bantuan orang
lain, makhluk yang saling bergantung antara satu dengan yang lain untuk
kelangsungan dan kesejahteraan hidupnya baik dalam bidang ekonomi maupun yang
lainnya.
Di dalam aspek
ekonomi, memang tidak dapat dipungkiri bahwa perekonomian seseorang itu
berbeda-beda. Ada yang termasuk ke dalam golongan yang memiliki perekonomian
yang rendah dan ada pula golongan yang perekonomiannya tinggi, tergantung
bagaimana mereka berusaha untuk mendapatkan dan meningkatkannya.
Salah satu
aktivitas yang dilakukan manusia dalam meningkatkan perekonomiannya itu adalah
dengan mereka melakukan aktivitas bermuamalah seperti mereka melakukan
aktivitas jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, pinjam-meminjam, bahkan
mereka melakukan kerjasama baik dalam bentuk syirkah, mudharabah, murabahah dan
lain sebagainya, yang tujuannya itu tidak lain adalah untuk meningkatkan
perekonomian mereka serta mengangkat derajat mereka dari yang tadinya termasuk
ke dalam golongan yang perekonomianya rendah menjadi golongan yang
perekonomiannya tinggi.
Seseorang yang termasuk ke dalam golongan yang perekonomiannya
rendah yang mendapatkan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Mereka akan berhutang kepada orang yang mampu atau orang yang
lebih kaya dari mereka atau bahkan mereka akan berhutang kepada suatu badan
atau lembaga keuangan untuk menyambung dan memenuhi kebutuhan hidupnya, dan hal
seperti itu dikenal dengan istilah qardh atau utang-piutang. Seorang muqtaridh
atau yang berhutang dan muqridh atau yang memberikan utang akan
melakukan suatu akad perjanjian atau kesepakatan baik itu dalam hal jumlah uang
yang dipinjam atau yang diutangkan maupun dalam waktu pengembalian atau
pelunasannya. Dan untuk kesempatan
kali ini, penulis akan membahas atau menjelaskan mengenai pandangan Imam
Syafi’i tentang qardh.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah pengertian Qardh menurut Imam Syafi’i
?
2. Apa
saja landasan syariah tentang qardh
?
3. Apa saja rukun dan syarat qardh menurut Imam Syafi’i ?
4. Bagaimana hukum qardh menurut Imam Syafi’i ?
5. Hal-hal apa saja yang diperbolehkan dan tidak
diiperbolehkan dalam qardh menurut Imam Syafi’i ?
6. Apakah pengertian utang bersyarat menurut Imam Syafi’i ?
7. Bagaimanakah berakhirnya qardh menurut Imam Syafi’i ?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian Qardh
menurut Imam Syafi’i.
2. Untuk
mengetahui landasan syariah
tentang qardh.
3. Untuk
mengetahui rukun dan syarat
qardh menurut Imam Syafi’i.
4. Untuk
mengetahui hukum qardh
menurut Imam Syafi’i.
5. Untuk
mengetahui Hal-hal apa saja
yang diperbolehkan dan tidak diiperbolehkan dalam qardh menurut Imam Syafi’i.
6. Untuk
mengetahui pengertian utang
bersyarat menurut Imam Syafi’i.
7. Untuk
mengetahui berakhirnya qardh
menurut Imam Syafi’i.
|
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengetian Qardh
Secara
etimologi atau bahasa qardh berasal dari kata qaradha ) قَرَضَ ) yang sinonimnya adalah qatha’a ( قَطَعَ ) yang artinya terputus atau memotong. Diartika terputus karena harta yang
dihitungkan pada pihak lain dinamakan qardh karena harta tersebut terputus dari
pemiliknya. Sedangkan maksud dari memotong adalah karena orang yang memberikan
utang atau muqridh itu memotong sebagian
dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima utang atau muqtaridh.[1]
Sedangkan Secara istilah, menurut Imam Syafi’i
qardh adalah sebagai berikut:[2]
الْقَرْضُ يُطْلَقُ شَرْعًا بِمَعْنَى الشَّيْءِ
الْمُقْرَضَ
Yang artinya adalah “qardh adalah sesuatu yang
diberikan kepada orang lain yang pada suatu saat harus dikembalikan”.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan
bahwa qardh merupakan suatu akad antara dua pihak, dimana pihak pertama
memberikan uang atau barang kepada pihak kedua untuk dimanfaatkan dengan
ketentuan bahwa uang atau barang tersebut harus dikembalikan persis seperti
yang ia terima dari pihak pertama.[3]
Utang piutang itu merupakan bentuk dari muamalah
yang bercorak ta’awwun atau pertolongan kepada pihak lain untuk memenuhi
kebutuhannya. Bahkan di dalam sumber ajaran islam yaitu Al-Qur’an da Hadits
sangat kuat dalam menyerukan prinsip hidup gotong-royong seperti yang telah
disebutkan tadi.[4]
B. Landasan Syariah
Transaksi
qardh diperbolehkan oleh para ulama berdasarkan pada Al-Qur’an, hadits riwayat
Ibnu Majjah dan Ijma’ para ulama. Karena sesungguhnya Alla Swt. telah
mengajarkan kita agar meminjamkan sesuatu bagi “agama Allah”.[5]
Salah satu ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang qardh yaitu QS.Al-Hadid ayat
11, yang berbunyi:[6]
مَنْ ذَا الَّذِى يُقْرِضُ اللهَ قَرْضً حَسَنًا
فَيُضَعِفَهُ لَهُ وَ لَهُ أَجْرٌ كَرِيُمُ (11)
Artinya: “ siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah
pinjaman yang baik, Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya
dan dia akan memperoleh pahala yang banyak”.
Yang menjadi
landasan dalil dalam ayat ini adalah kita itu diseru atau dianjurkan untuk “meminjamkan
kepada Allah”, dimana yang artinya itu adalah untuk membelanjakan harta di
jalan Allah. Selaras dengan meminjamkan kepada Allah, kita juga diseru atau
dianjurkan untuk “meminjamkan kepada sesama manusia”, sebagaimana bagian dari
kehidupan bermasyarakat (civil society).[7]
Selain dari Al-Qur’an, ada juga hadits yang menjelaskan mengenai qardh yaitu
hadits riwayat Ibnu Majjah, yang
berbunyi: [8]
عَنْ إِبْنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَا لَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قِرْضً
مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
Ibn Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda: “tidak
seorang muslim yang meminjamkan muslim lainnya dua kali kecuali yang satunya
senilai ibadah”.
Pada ayat dan hadits tersebut
dapat dipahami bahwa qardh atau utang-piutang merupakan perbuatan yang
dianjurkan oleh Allah Swt. dan akan mendapatkan imbalan yang berlipat ganda
oleh Allah Swt. karena perbutan tersebut merupakan perbuatan yang sangat tepuji
karena bisa meringankan beban orang lain.[9]
Dan mengenai
ijma’ Imam Syafi’i tentang qardh menyatakan bahwa ulama itu telah menyepakati
bahwa qardh itu boleh dilakukan. Hal itu didasari oleh tabi’at manusia yang
tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorangpun
yang memiliki segala barang yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam
sudah menjadi suatu bagian dari kehidupan di dunia ini. Dan islam adalah agama
yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.
C. Rukun dan Syarat Qardh
Menurut Imam
Syafi’i, rukun qardh ada tiga, yaitu sebagai berikut:[10]
1) ‘Aqid, yaitu muqridh dan muqtaridh
2) Ma’qud ‘Alaih yaitu uang atau barang
3) Sighat, yaitu ijab dan qabul
Sedangkan syarat qardh menurut Imam Syafi’i yaitu:[11]
1)
‘Aqid ialah dua orang orang yang berakad dalam arti pihak pertama adalah orang
yang menyediakan harta atau pemberi harta (yang meminjamkan), dengan pihak
kedua adalah orang yang membutuhkan harta atau orang yang menerima harta
(meminjam). Syafi’i memberikan persyaratan
untuk muqridh yaitu ahliyah atau kecakapan untuk melakukan tabarru’ dan mukhtar
atau memiliki pilihan. Sedangkan untuk muqtaridh disyaratkan harus memiliki
ahliyah atau kecakapan untuk melakukan muamalat, seperti baligh, berakal, dan
tidak mahjur ‘alaih.
2)
Ma’qud ‘Alaih menurut Imam Syafi’i yang menjadi objek akad qardh sama
dengan objek akad salam, baik berupa barang-barang yang ditakar (makilat),
ditimbang (mauzunat), maupun qimiyat (barang-barang yang tidak ada persamaannya
di pasaran) seperti hewan, barang-barang dagangan, dan barang yang dihitung.
Dengan kata lain, setiap barang yang boleh dijadikan objek jual-beli boleh pula
dijadikan objek akad qardh.
Maudhu’ al ‘aqd adalah
tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka berbeda tujuan pokok akad, dalam akad jual
beli tujuan pokoknya ialah memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi
ganti, dan dalam akad jual beli ini akan mendapatkan keuntungan. Berbeda dengan perikatan atau akad qardh, dalam akad qardh
tujuan pokok perikatannya adalah tolong menolong dalam arti meminjamkan harta
tanpa mengharapkan imbalan, uang yang di pinjamkan di kembalikan sesuai dengan
uang yang dipinjamkan, tidak ada tambahan dalam pengembalian
uangnya. Saratnya adalah ada itikad baik.
4)
Shighat ialah ijab dan qabul. Ijab adalah permulaan penjelasan
yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam
mengadakan akad, sedangkan qabul adalah perkataan yang keluar dari
pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian ijab qabul
dalam pengamalan dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga
penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan, seperti
dalam akad salam. Syaratnya adalah ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadinya
kabul. Maka bila orang yanh berijab menarin kembali ijabnya sebelum kabul, maka
batalah ijabnya. Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang
berijab sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.
D. Hukum Qardh
Menurut
Imam Syafi’i, kepemilikan dalam qardh berlaku apabila barang telah
diterima. Selanjutnya menurut Syafi’iyyah, muqtaridh mengembalikan barang yang
sama kalau barangnya mal mitsli. Apabila barangnya mal qimi, maka ia
mengembalikannya dengan barang yang nilainya sama dengan barang yang
dipinjamnya. [12]
Mazhab Syafi’i berpendapat, diperbolehkan
melakukan qardh atas semua harta yang bias dijualbelikan obyek salam, baik itu
ditakar, ditimbang, seperti emas, perak dan makanan atau dari harta yang
bernilai, seperti barang-barang dagangan, binatang dan sebagainya, seperti
harta-harta biji-bijian, karena pada riwayat Abu Rafi’ disebutkan bahwa
Rasulullah SAW berutang unta berusia masih muda, padahal untuk bukanlah harta
yang ditakar atau ditimbang, dan karena yang menjadi obyek salam dapat di
hakmiliki dengan jual beli dan ditentukan dengan pensifatan. Maka bisa menjadi obeyek qardh. Sebagaimana harta yang ditakar dan ditimbang.
F.
Utang Bersyarat
Dengan demikian utang piutang bersyarat dapat
dibenarkan dalam hukum islam, apabila syarat tersebut tidak mengambil manfaat
untuk kepentingan salah satu pihak, seperti mensyaratkan adanya barang jaminan
yang dapat di pegang apabila terjadi utang piutang.
Dari
pengkajian yang telah dilakukan diharapkan kita mau lebih memahami tentang
bagaimana pandangan Imam Syafi’i mengenai akad qardh. Selain itu, para
pembaca dan juga penulis mau melibatkan diri dalam melakukan praktek qardh
dalam lingkungan sekitar yang tentunyai sesuai dengan ajaran agama islam.
Menurut Imam Syafi’i, diperbolehkan melakukan qardh atas semua benda yang boleh
diperjualbelikan kecuali manusia, dan tidak dibenarkan melakukan qardh atas
manfaat/jasa, berbeda dengan pendapat Ibnu Taimiyah, seperti membantu memanen
sehari dengan imbalan ia akan dibantu memenen sehari, atau menempoati rumah
orang lain dengan imbalan orang tersebut menempati rumahnya.[13]
E. Hal-hal yang diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan dalam Qardh
Madzhab Syafi’i menurut riwayat yang paling
shahih berpebdapat, hak milik dalam qardh berlangsung dengan qabdh. Menurut
Syafi’i, muqtaridh mengembalikan harta yang semisal manakala harta yang
dihutang adalah harta yang sepadan, karena yang demikian itu lebih dekat dengan
kewajibannya dan jika yang dihutang adalah yang memiliki nilai, ia
mengembalikan dengan bentuk yang semisal karena Rasulullah telah berhutang unta
usia bikari lalu mengembalikan unta usia ruba’iyah seraya berkata: “sesungguhnya
sebaik-baik kamu adalah yang paling baik dalam membayar hutang”.[14]
Sedangkan hal
yang tidak boleh dilakukan dalam qardh menurut Syafi’iyah , dicontohkan jika A memberi hutang kepada B dengan syarat B
menjual rumahnya kepada A, atau dengan syarat B mengembalikan pinjaman dengan
jumlah lebih banyak, maka hal itu dilarang. Sebab, Nabi
Muhammad SAW penggabungan melarang jual beli dengan hutang. Akad qardh adalah
akad dalam rangka kebajikan, jika diisyaratkan ada manfaat maka ia keluar dari
dari substansinya.[15]
Utang bersyarat adalah suatu akad utang yang disertai
dengan syarat-syarat tertentu. Dan syarat-syarat itu ditentukan oleh orang yang
berpiutang, Sedangkan
orang yang berutang berkewajiban memenuhi syarat tersebut. Apabila orang yang
berutang merasa keberatan dengan syarat yang diberikan oleh orang yang
berpiutang, maka sebelum perjanjian itu disepakati, pihak yang berutang boleh
membatalkannya.[16]
Pada dasarnya pemberian syarat
dalam perjanjian utang piutang adalah boleh, selama syarat itu tidak melanggar
aturan-aturan yang ditetapkan oleh syariat islam, misalnya mensyaratkan untuk
mencatat utang tersebut atau memberikan barang jaminan. Sebagaimana dalam
firman Allah SWT dalam Surah al-Baqarah ayat 282 yang artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. Menurut ayat ini, dalam
utang piutang diperlukan surat utang sebagai bukti untuk menghindari hal-hal
yang mungkin timbul di kemudian hari.
Imam Syafi’i memberikan beberapa ketentuan dalam
hal utang piutang bersyarat ini, yaitu:[17]
1)
Apabila
syarat yang diberikan itu bertujuan untuk mengambil manfaat yang
digunakan untuk kepentingan orang yang berpiutang, maka dalam hal ini akad
utangnya rusak dan hukum utangnya tidak sah atau haram.
2) Apabila syarat yang diberikan itu bertujuan untuk mengambil manfaat untuk kepentingan orang yang berutang, maka dalam hal ini syaratnya rusak, sedang akadnya sah.
2) Apabila syarat yang diberikan itu bertujuan untuk mengambil manfaat untuk kepentingan orang yang berutang, maka dalam hal ini syaratnya rusak, sedang akadnya sah.
3)
Apabila syarat yang diberikan hanya digunakan untuk kepercayaan, seperti
disyaratkan bagi pihak yang berutang untuk memberikan sertifikat tanah sebagai
jaminan utangnya kepada orang yang berpiutang, maka yang demikian ini dapat
dibenarkan menurut hukum islam.
G. Berakhirnya Qardh
Utang piutang dinyatakan berakhir atau selesai apabila
waktu yang disepakati telah tiba dan orang yang berutang telah mampu melunasi
utangnya. [18]Dalam
keadaan yang demikian, maka seseorang yang berutang wajib menyegerahkan
melunasi utang tersebut. Sebagaimana dalam firman Allah SWT, dalam QS al-Isra’
ayat 34 yang
artinya: “Dan
penuhilah janji, Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”.
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa janji adalah suatu kewajiban yang yang harus disegerahkan untuk diwujudkan apabila telah mencapai waktunya, karena setiap janji akan dimintai pertanggungjawannya baik di dunia dan di akhirat.
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa janji adalah suatu kewajiban yang yang harus disegerahkan untuk diwujudkan apabila telah mencapai waktunya, karena setiap janji akan dimintai pertanggungjawannya baik di dunia dan di akhirat.
Mengenai masalah utang
piutang, maka ada beberapa hal yang harus dipenuhi menurut Imam Syafi’i antara
lain sebagai berikut:[19]
a) Pemberian perpanjangan waktu
pelunasan utang
Apabila kondisi orang yang telah berutang sedang berada dalam kesulitan dan ketidakmampuan, maka orang yang berpiutang dianjurkan memberinya kelonggaran dengan menunggu sampai orang yang berpiutang mampu untuk membayar utangnya.
Apabila kondisi orang yang telah berutang sedang berada dalam kesulitan dan ketidakmampuan, maka orang yang berpiutang dianjurkan memberinya kelonggaran dengan menunggu sampai orang yang berpiutang mampu untuk membayar utangnya.
b) Sesuatu
yang dikembalikan dalam utang piutang
menurut pendapat Syafi’iyah, kepemilikan dalam utang piutang berlaku apabila barang telah diterima. Selanjutnya menurut Syafi’iyah, muqtarid mengembalikan barang yang sama kalau barangnya mal misli. Apabila barangnya mal qimi maka ia mengembalikannya dengan barang yang nilainya sama dengan barang yang dipinjamnya.
menurut pendapat Syafi’iyah, kepemilikan dalam utang piutang berlaku apabila barang telah diterima. Selanjutnya menurut Syafi’iyah, muqtarid mengembalikan barang yang sama kalau barangnya mal misli. Apabila barangnya mal qimi maka ia mengembalikannya dengan barang yang nilainya sama dengan barang yang dipinjamnya.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan
bahwa Qardh adalah sesuatu
yang diberikan kepada orang lain yang pada suatu saat harus dikembalikan.
Menurut Imam Syafi’i, rukun qardh ada tiga, yaitu sebagai berikut:
1) ‘Aqid, yaitu muqridh dan muqtaridh
2) Ma’qud ‘Alaih yaitu uang atau barang
3) Sighat, yaitu ijab dan qabul
Imam Syafi’i berpendapat bahwa qardh yang mendatankan keuntungan tidak
diperbolehkan, seperti mengutangkan seribu dinar dengan syarat rumah orang
tersebut dijual kepadanya. Atau dengan syarat dikembalikan seribu dinar dar
mutu yang lebih baik atau dengan dikembalikan lebih banyak dari itu. Karena
Nabi Saw. melarang hutang bersama jual-beli.
Mazhab Syafi’i berpendapat, diperbolehkan melakukan qardh
atas semua harta yang bias dijualbelikan obyek salam, baik itu ditakar,
ditimbang, seperti emas, perak dan makanan atau dari harta yang bernilai,
seperti barang-barang dagangan, binatang dan sebagainya, seperti harta-harta
biji-bijian. Utang
piutang dinyatakan berakhir atau selesai apabila waktu yang disepakati telah
tiba dan orang yang berutang telah mampu melunasi utangnya.
B. Krtik & Saran
Berdasarkan
penjelesan mengenai pandangan Imam Syafi’i tentang akad qardh, saya setuju
dengan pandangan Imam Syafi’i tentang akad qardh tersebut. Karena menurut saya,
berbagai pandangan yang telah disampaikan Imam Syafi’i sudah sesuai dengan
ajaran agama Islam dan bisa memenuhi persyaratan yang ada dalam agama islam.
Selain itu juga,dari pandangan Imam Syafi’i tersebut mudah dipraktekkan oleh
kalangan kaum muslimin dan tidak memberatkan umat muslim.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Jaziri,
Abdurrahman. Fiqih Empat Madzhab Bagian Muamalat II. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta:
CV Pustaka Agung Harapan, 2001.
Mas’ud, Ibnu. Fiqh Madzhab Syafi’I (Edisi Lengkap) Buku 2:
Muamalat, Munakahat, Jinayat. Bandng: CV. Pustaka Setia, 2000.
Nur Diana, Ilfi.
Hadis-Hadis Ekonomi. Malang: UIN
Malang Press, 2008.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Bandung: PT. Alma’arif, 1987.
Sakinah, Fiqih Muamalah. CV Salsabila
Putra Pratama, 2013.
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Grafindo
Persada, 2010.
Syafi’i Antonio, Muhammad. Islamic Banking: Bank
Syari’ah Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani, 2001.
Wardi Muslich, Ahmad. Fiqh Muamalat. Jakarta:
AMZAH, 2013.
Zaini, Moh. Fiqih Muamalah. Surabaya:
CV.Salsabila Putra Pratama, 2013.
[2] Abdurrahman
Al-Jaziri, Fiqih Empat Madzhab Bagian Muamalat II
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 60.
[5] Muhammad Syafi’i Antonio, Islamic Banking:
Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm. 131.
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: CV
Pustaka Agung Harapan, 2001), hlm. 786.
[14] Ibnu Mas’ud, Fiqh Madzhab
Syafi’I (Edisi Lengkap) Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat ( Bandng: CV.
Pustaka Setia, 2000), hlm 102.
[17] Ibnu Mas’ud, Fiqh
Madzhab Syafi’I (Edisi Lengkap) Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat, hlm.
104.
[19] Ibnu Mas’ud , Fiqh
Madzhab Syafi’I (Edisi Lengkap) Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat, hlm.
106.