
Pada zaman turunnya risalah, Al-Quran sudah selesai ditulis dan disusun surah dan
ayatnya serta dihafal oleh para sahabat dan setelah terjadi peristiwa
terbunuhnya sebagian sahabat penghafal Al-Quran dalam sebuah peperangan yang
terjadi setelah Abu Bakar menjadi khalifah, kaum muslimin menyadari betapa
pentingnya menghafal Al-Quran dan menjaganya dari kesirnaan. Pada zaman inilah
Al-Quran pertama kali dibukukan, kemudian dilanjutkan pada zaman Utsman bin
Affan untuk yang kedua kalinya disebabkan oleh perbedaan para penghafal
Al-Quran terhadap sebagian bacaan sesuai dengan perbedaan logat,
kemudian Utsman ingin menyatukan mereka dengan satu mushaf lalu ditulislah enam
naskah dan salah satunya disimpan oleh beliau dan sisinya dibagikan ke seluruh
negeri.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tarikh tasyri’
Islam seperti dikemukakan Ali Al-Ayafi’i adalah ilmu yang membahas keadaan
hukum-hukum pada masa nabi dan sesudahnya termasuk penjelasan dan
periodesasinya. Yang pada perkembangannya hukum itu menjelaskan karakteristiknya.
Menurut batasan
di atas tampak bahwa tarikh tasyri’ Islam merupakan pembahasan tentang segala
aktifitas manusia dalam pembentukan perundang-undangan Islam dimasa lampau,
baik masa nabi, sahabat maupun tabi’in.
Pada periode
ini Islam tumbuh dan berkembang menjadi pesat serta membuahkan khazanah hukum
Islam. Sehingga periode ini dikenal dengan periode keemasan bagi
perundang-undangan hukum Islam. Para ulama mempunyai ilmu pengetahuan dan
semangat yang tinggi, juga kemantapan iman yang kuat dengan dibantu oleh para
tokoh masyarakat atau disebut juga para Imam madzhab dan sahabat-sahabatnya.
Dinamakan
periode pembukuan karena usaha atau gerakan untuk membukukan serta menulis
terhadap hukum Islam ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Yang sempat
dibukukan pada kesempatan ini adalah fatwa-fatwa dari kalangan para sahabat,
tabi’in, as-Sunnah serta berbagai komentar secara mendalam tentang tafsir
al-Quran dan lainnya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
faktor-faktor perkembangan tasyri’ pada masa Khulafaurrasyidin?
2.
Apa
sajakah sumber hukum Islam pada masa Khulafaurrasyidin?
3.
Apa
sajakah sumber-sumber hukum Islam pada masa tabi’in?
4.
Apa sebab
terjadinya perbedaan di kalangan sahabat?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui faktor-faktor penyebab perkembangan tasyri’ pada masa
Khulafaurrasyidin
2.
Untuk
mengetahui sumber-sumber hukum Islam pada masa Khulafaurrasyidin
3.
Untuk
mengetahui sumber-sumber hukum Islam pada masa tabi’in
4.
Untuk
mengetahui sebab terjadinya perbedaan di kalangan sahabat
D.
Manfaat
Penulisan
1.
Mengetahui
faktor penyebab perkembangan tasyri’ pada masa Khulafaurrasyidin
2.
Mengetahui
sumber-sumber hukum Islam pada masa Khulafaurrasyidin
3.
Mengetahui
sumber-sumber hukum Islam pada masa tabi’in
4.
Sebab-sebab
Terjadinya Perbedaan di Kalangan Sahabat
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Tasyri’
pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
Periode ini dianggap sebagai periode
pertama dalam pembentukan fiqh Islam. Periode ini berawal dari zaman wafatnya
Rasulullah saw. dan menghadap Allah pada tahun 11 hujriah sampai akhir zaman
khulafaurrasyidin pada tahun 40 hijriah dengan gaya dan corak tersendiri.
Setelah hukum-hukum syariat yang ada agar dapat menjawab segaka perkembangan
dan kejadian yang terus berlangsung dan tidak ada nash-nya dalam
al-Quran atau sunnah.
Menghadapi
kenyataan ini, para sahabat dengan kelebihan intelektualitas, kedalaman tingkat
pemahaman dan keluasan analisis terhadap sasaran dan maqashid syariat
dalam menghadapi setiap masalah, mereka adalah orang yang sangat mampu untuk
menjalankan mandat fiqh ini apalagi mereka memiliki keuddukan yang mulia dalam
jiwa kaum muslimin yang belum tentu dimiliki oleh orang-orang selain mereka
seperti para tabi’in walaupun mereka juga memiliki kemampuan untuk menyelam
seperti para sahabat.
Di bawah ini
akan kami jelaskan tentang aspek-aspek terpenting yang menghubungkan semua fase
ini.
a.
Definisi
Sahabat
Adapun yang
dimaksud sahabat menurut terminologi para ulama fiqh dan ushul fiqh adalah
setiap orang yang pernah bertemu dengan Nabi saw. dalam status iman kepadanya,
dan meninggal dunia dalam keadaan beriman pula.
Menurut
pendapat yang kedua, jumlah para sahabat sangat banyak. Abu Zur’ah menuturkan
bahwa ketika wafat, Rasulullah saw. meninggalkan 114.000 orang sahabat yang
pernah meriwayatkan hadits Nabi saw. dalam riwayat lain termasuk orang yang
pernah melihat dan mendengar dari Rasulullah saw. Abu Zur’ah ditanya. “Di mana
mereka dan di mana mereka mendengar hadits Nabi?” ia menjawab. “Dia terlihat
oleh penduduk Madinah, penduduk Mekah dan di antara keduanya, orang-orang Arab
Badui, orang yang bersama Nabi saw. pada waktu haji wada’, dan setiap orang
yang melihayt dan mendengar dari Nabi saw. di Arafah.”
b.
Kelebihan
Para Sahabat dalam Memahami Syariat
Para sahabat
memiliki keistimewaan tersendiri dalam memahami syariat Islam dibandingkan orang
lain, disebabkan beberapa faktor sebagai berikut:
· Mereka sangat dekat dan bertemu langsung dengan Nabi saw. sehingga
memudahkan mereka untuk mengetahui asbabun nuzul ayat dan hadits.
· Mereka memiliki tingkat pemahaman yang tinggi terhadap bahasa Arab yang
merupakan bahasa Al-Quran sehingga mudah untuk memahami makna Al-Quran sebab
diturunkan dengan bahasa Arab.
· Mereka menghafal Al-Quran dan sunnah Rasulullah saw. menjadi orang
yang pertama mempelajari ilmu syariat dan hukumnya.
c.
Perbedaan
dalam Memahami Syariat di Kalangan Sahabat
Walaupun para
sahabat memiliki kemampuan khusus dan tingkat pemahaman istimewa dalam memahami
syariat dan meng-istinbat hukum, namun bukan berarti ini berlaku untuk
semua. Akan tetapi, mereka juga berbeda-beda dalam hal tingkat pemahaman, sebab
mereka juga manusia biasa yang memiliki perbedaan dan kelebihan masing-masing.
Perbedaan ini
disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya sebagai berikut:
· Perbedaan tingkat pemahaman terhadap bahasa. Ada orang yang paham
dengan bahasanya sendiri, istilah-istilah asing yang ada dan cara pemakaiannya.
· Perbedaan dalam hal pergaulan dengan Rasulullah saw., sebab bergaul
dengan baginda Rasulullah berpengaruh
terhadap tingkat pemahaman tentang asbab nuzul ayat dan sunah.
· Kemampuan dan kapasitas individu yang berbeda, diantaranya
perbedaan dalam hal tingkat pemahaman, hafalan, mengeluarkan hukum (istinbat),
dan kemampuan menerjemahkan isyarat dari nash-nash syariat.
2.
Sumber
Hukum Islam pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
1.
Al-Quran
Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan
kepada Rasulullah saw. dengan lafal dan maknanya. Para sahabat sama sekali
tidak pernah mendahului Al-Quran, karena ia adalah sumber pertama bagi
pembentukan akidah Islam, akhlak yang mulia, dan hukum-hukum amal perbuatan
termasuk juga bahasa.
Pada zaman turunnya risalah, Al-Quran sudah
selesai ditulis dan disusun surah dan ayatnya serta dihafal oleh para sahabat
dan setelah terjadi peristiwa terbunuhnya sebagian sahabat penghafal Al-Quran
dalam sebuah peperangan yang terjadi setelah Abu Bakar menjadi khalifah, kaum
muslimin menyadari betapa pentingnya menghafal Al-Quran dan menjaganya dari
kesirnaan. Pada zaman inilah Al-Quran pertama kali dibukukan, kemudian
dilanjutkan pada zaman Utsman bin Affan untuk yang kedua kalinya disebabkan
oleh perbedaan para penghafal Al-Quran terhadap sebagian bacaan sesuai dengan
perbedaan logat, kemudian Utsman ingin menyatukan mereka dengan satu
mushaf lalu ditulislah enam naskah dan salah satunya disimpan oleh beliau dan
sisinya dibagikan ke seluruh negeri.
Adapun manhaj para sahabar dalam
meng-istinbat hukum dari Al-Quran adalah sebagai berikut:
Jika ada masalah yang muncul dan memang
sudah ada hukumnya serta kandungan dalilnya tepat maka mereka akan mengambil
ayat ini tanpa bermusyawarah dengan siapa pun dan tidak ada perbedaan sama
sekali diantara mereka dalam hal ini. Perbedaan terkadang muncul dalam beberapa
hukum yang diambil dari Al-Quran walaupun tidak ada dalil yang menentangnya.
Hal tersebut disebabkan oleh adanya nash yang memiliki makna lebih dari
satu, seperti adanya kata musytarak (beragam makna), yaitu kata yang
mengandung dua makna atau lebih, maupun kata yang bermakna majaz (kiasan).
Contoh
kata quru’ dalam firman Allah:
228. wanita-wanita yang ditalak handaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru'[142].
[142]
Quru' dapat diartikan suci atau haidh. (QS. Al-Baqarah (2): 228)
Kata tersebut adalahj bentuk jamak dari
kata tunggal qar’un yang bisa diartikan haidh dan bisa pula diartikan
suci. Penyebab lainnya adalah karena adanya kata yang mengandung bias
pengertian antara hakikat syar’i dan kiasan bahasa, sebagaimana pada kasus
pernamaan kakek dengan kata ayah dalam firmah Allah:
38. Dan
aku pengikut agama bapak-bapakku Yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya'qub. (QS.
Yusuf (12): 38)
Termasuk juga dalam hal ini ada dua nash
yang membahas satu masalah tanpa diketahui secara pasti mana yang pertama
dari keduanya, sebagaimana firman Allah dalm Surah Al-Baqarah ketika
menjelaskan masa iddah wanita yang ditanggal mati suaminya.
234. Orang-orang yang meninggal dunia di
antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah (2): 234)
Dan firmah Allah dalam surah Ath-Thalaq
ketika menjelaskan masa iddah wanita hamil:
4. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (QS. Ath-Thalaq (65): 4)
Kedua ayat ini menjelaskan tentang masa
iddah wanita hamil yang ditinggal oleh suaminya.
2.
As-Sunnah
Para sahabat selalu kembali dan mengacu kepada
As-Sunnah dalam meng-istinbat hukum manakala tiodak menemukan nash
dalam kitab Allah, karena A-Sunnah adalah sumber yang kedua bagi
perundang-undangan Islam setelah Al-Quran.
Mengingat As-Sunnah pada saat itu belum
dibukukan, maka yang menjadi rujukan mereka adalah hafalan para sahabat. Namun
para sahabat juga memiliki tingkat kekuatan hafalan, pemahaman, dan keadilan
yang berbeda-beda. Oleh karena itu, mereka sangat berhati-hati dalam
periwayatan As-Sunnah karena takut manusia meninggalkan Al-Quran dan takut
terjatuh dalam dusta kepada Rasulullah saw. Mereka tidak menerima suatu hadits
kecuali jika ada yang bersaksi selain yang meriwayatkannya. Selain itu, mereka
juga meminta sumpah dari perawi hadits dan mereka tidak suka memperbanyak
periwayatan hadits.
Adapun cara sahabat dalam mengamalkan
sunnah pada zaman ini adalah jika ada hadits dan perawinya yakin karena ia
memang mengetahuinya, atau karena perawinya bisa dipercaya (tsiqah),
atau ada yang memberi persaksian dan tidak diketahui bahwa ia sudah meninggal
sebelum periwayatan, atau tidak ada yang menentangnya maka dalam keadaan ini
mereka tidak akan ragu-ragu untuk menerima dan mengamalkan dan berfatwa
dengannya.
3.
Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para mujtyahid
dari umat Nabi Muhammad saw. dalam satu zaman tentang satu masalah syariat.
Kata mujtahid mengecualikan kesepakatan yang dilakukan oleh selain mereka,
misalnya kesepakatan orang awam atau muqallid (yang hanya ikut-ikutan)
yang ini tidak dianggap. Ijma’ juga harus berasal dari semua mujtahid, sehingga
kesepakatan sebagian ulama saja tidak dianggap ijma’. Selain itu, kata zaman
berarti bahwa kesepakatan yang melahirkan ijma’ adalah kesepakatan setiap
mujtahid yang ada pada suatu zaman tertentu dan tidak disyaratkan harus
kesepakatan semua mujtahid sepanjang zaman sebab hal ini tidak mungkin terjadi.
Para ulama berdalil atas keabsahan ijma’
sebagai sumber hukum, antara lain dengan firman Allah swt.:
“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya
itu[348] dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali”.
[348]
Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.
4.
Ra’yi
(Pendapat Pribadi)
Yang dimaksud dengan ra’yi (ijtihad) adalah
mencurahkan segala upaya dalam rangka mencari hukum dan mengeluarkannya dari
dalil yang sudah terperinci, baik dalil berupa nash dari Al-Quran atau
sunnah atau berupa hal yang darurat.
Adapun sikap para sahabat terhadap ra’yi
(pendapat pribadi), mereka bukan termasuk orang yang terbiasa dengan cara
seperti ini, walaupun banyak masalah yang mereka hadapi yang tidak ada nash
yang pasti, baik dari Al-Quran atau sunah. Pada mulanya mereka ragu untuk
menggunakan cara ini, namun keraguan itu sedikit demi sedikit hilang terutama
ketika mereka bermusyawarah untuk mengumpulkan Al-Quran. Dan setelah itu
barulah mereka mulai leluasa menggunakan cara ini, termasuk ketika mereka
menghadapi berbagai permasalahan besar terutama dalam bab fiqh selain bab
ibadah dan cara mereka dengan ra’yi juga beragam dan masing-masing
mempunyai nama khusus setelah itu
–seperti yang akan dijelaskan ketika membahas tentang fase kedua dari fase ini
–berupa qiyas, istihsan, maslahat mursalah dan adat, walaupun sebagian besar
pendapat yang mereka gunakan pada dasarnya berlandaskan pada kemaslahatan.
3.
Sumber
Hukum Islam pada Masa Tabi’in
Abu Bakar As-Shiddiq R.a
Setelah Nabi saw. berpulang
kehadirat Allah, permasalahan politik muncul. Umat Islam mulai kebingungan
mencari pengganti Nabi dan terjadi perselisihan antara Kaum Muhajirin dan Kaum
Anshar. Ditambah lagi dalam kelompok “pembela keluarga Nabi” yang menjadi
embrio dari madhab Syi’ah dan Hawarij. Perpecahanpun hampir terjadi ditubuh
kaum muslimin. Dan akhirnya terselamatkan dengan diangkatnya Abu Bakar sebagai
Khalifah pertama atas dasar kesepakatan Kaum Anshar dan Kaum Muhajirin dan
menjadi dasar hukum pengangkatan pemimpin dalam pemerintahan pasca Nabi.
Pada masa Abu Bakar, masalah
keberagamaan umat Islam timbul dengan adanya sebagian kecil kaum muslimin
pindah keyakinan “murtad”. Merekapun langsung diperangi oleh Abu Bakar dengan
mendapat legitimasi dari hadits. Kemudian persoalan lainnya adalah kelompok
orang yang engan membayar zakat. Dengan sikap keras beliau memerangi mereka
agar menunaikan kewajiban membayarnya. Beliau berpikir bahwa dengan
kekerasanlah mereka akan menunaikan kewajiban membayar zakat. Disamping itu,
persoalan itu yang muncul adalah permasalahan hukum yang menyangkut pranata sosial
seperti kasus hukum waris dan lain sebagainya.
Persoalan lain yang tidak kalah
penting adalah pembukuan Al-Quran pada masa Abu Bakar yang menguras banyak
energi dalam menyelasaikannya. Berawal dari banyaknya khuffadz Al-Quran yang
meninggal pada peperangan Yamamah mereka mulai memikirkan keberadaan Al-Quran
jika tidak dibukukan. Atas dasar dorongan Umar Ibn Khatab, khalifah pertama ini
mengumpulkan Al-Quran dengan berdasarkan pada kemaslahatan umat muslim dalam
menjaga agamanya.
Umar Bin Khattab
Setelah Umar bin Khattab mengantikan
Abu Bakar sebagai khalifah, beliau melanjutkan apa yang dicita-citakan Abu
Bakar untuk menyebarkan islam ke berbagai wilayah. Umar pun mampu
melaksanakannya dengan menguasai beberapa daerah seperti persia, syiria, kuffah,
basrah, mesir dan armenia. Islam pun menyebar sehingga banyak orang mawalli
(bukan orang arab) bnyak yang masuk islam dengan beraneka latar belakang
kehidupan sosial budaya.
Disamping itu, berbagai persoalan banyak bermunculan setelah
terjadinya penyebaran islam ke berbagai daerah yang memiliki sosio historis
berbeda dengan bangsa arab. Ditambah lagi dengan munculnya persoalan sunnah
nabi yang datang dari umat islam sendiri dan dari kelompok lain (munafiq). Dari
dalam umat islam sendiri banyak hadist yang berubah karena faktor lupa dan
keliru dalam menerima dan menyampaikannya. Sedangkan dari kelompok munafik,
mereka sengaja melakukan pendustaan dan kebathilan dalam sunnah dengan maksud
merusak agama islam. Oleh karena itu pada masa Umar, para sahabat dilarang
keluar dari madinah agar tidak menyebarkan hadist secara sembarangan dan dapat
melakukan musyawarah dalam menghadapi persoalan hukum yang penting
Faktor-Faktor
Perkembangan Tasyri’ Pada Periode Ini Adalah :
1)
Kebanyakan umat Islam adalah orang awam yang belum mampu
memahami nas-nas Al-quran dan hadist kecuali dengan bantuan orang-orang yang
mengajarkan kepadanya.
2)
Materi undang-undang tersebut belum tersebar luas dikalangan
umat Islam sehingga setiap individu belum dapat mempelajarinya, sebab teks
Al-Qur'an pada awal periode ini baru dihimpun dalam lembaran-lembaran khusus
yang disimpan di rumah kediaman Rasulullah saw dan di rumah sebagian
sahabat-sahabatnya, dan sunnah pun belum dikodifikasikan sama sekali.
3)
Materi undang-undang hanya mensyariatkan hukum-hukum tentang
berbagai peristiwa dan urusan-urusan peradilan yang terjadi itu dan belum
mensyariatkan hukum-hukum tentang peristiwa yang belum dan yang mungkin akan
terjadi. Sementara umat Islam terus menerus akan dihadapkan oleh sejumlah
kebutuhan hukum tentang kejadian baru serta urusan peradilan yang belum pernah
terjadi pada masa Nabi saw, dan ketetapan hukumnya pun belum ada dirumuskan
dalam nash-nash.
Sehubungan dengan hal tersebut
diatas, maka para ulama dari kalangan sahabat dan tokoh-tokoh pada periode ini
berkewajiban menegakkan Tasyri’ itu. Kewajiban tersebut berupa:
1. Menjelaskan kepada umat Islam tentang
persoalan-persoalan yang membutuhkan penjelasan dan interpretasi dari teks-teks
hukum dalam Al-Qur'an dan sunnah.
2. Menyebarluaskan di kalangan umat Islam tentang
hal-hal yang mereka hafal dari ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah
saw.
3. Menfatwakan kepada
masyarakat tentang peristiwa-peristiwa hukum dan urusan-urusan peradilan yang
belum ada ketetapan hukumnya.
Sumber-Sumber Tasyri Pada Masa
Khalifah Umar Bin Khattab
o
Al-Quran
Ini adalah sumber pertama bagi
penentuan aqidah Islam, akhlak yang mulia, dan hukum- hukum amal perbuatan
termasuk juga bahasa.
o
Al-Hadits
Para sahabat selalu kembali dan
mengacu kepada Hadist dalam mengishtinbatkan hukum ketika tidak menemukan nash
dalam Al- Qur’an, karena Hadist adalah sumber hukum kedua setelah
Al-Qur’an.
o
Ijtihad Sahabat
Jika dalam suatu permasalahan yang
muncul itu tidak ditemukan hukumnya dalam Al-Quran maupun Hadits, maka para
sahabat pun berijtihad dengan menggunakan Ra’yu / buah pemikiran mereka.
ijtihad adalah mencurahkan segenap kesungguhan dalam penggalian hukum syar’i
yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits yang telah ditetapkan sebagai dalil
hukum.
Kemajuan-Kemajuan
Yang Dicapai Khalifah Umar Bin Khattab
Selama pemerintahan Umar, kekuasaan
Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian
Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa
kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara
dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium). Saat itu ada dua negara adi
daya yaitu Persia dan Romawi. Namun keduanya telah ditaklukkan islam pada jaman
Umar. Sejarah mencatat banyak pertempuran besar yang menjadi awal penaklukan
ini. Pada pertempuran Yarmuk, yang terjadi di dekat Damaskus. 20 ribu pasukan
Islam mengalahkan pasukan Romawi yang mencapai 70 ribu dan mengakhiri kekuasaan
Romawi di Asia Kecil bagian selatan.
Ada beberapa perkembangan peradaban
Islam pada masa khalifah Umar bin Khathab, yang meliputi Sistem pemerintahan
(politik), ilmu pengetahuan, sosial, seni, dan agama.
1. Perkembangan Politik
Pada masa khalifah Umar bin khatab,
kondisi politik islam dalam keadaan stabil, usaha perluasan wilayah Islam
memperoleh hasil yang gemilang. Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat,
Umar Radhiallahu ‘anhu segera mengatur administrasi negara dengan
mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Perluasan
penyiaran Islam ke Persia sudah dimulai oleh Khalid bin Walid pada masa
Khalifah Abu Bakar, kemudian dilanjutkan oleh Umar.
2.
Perkembangan Ekonomi
Karena
perluasan daerah terjadi dengan cepat, dan setelah Khalifah Umar mengatur
administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang
terutama di Persia. Pada masa ini juga mulai diatur dan ditertibkan sistem
pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan
lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan
ketertiban,
3.
Perkembangan Pengetahuan
Pada masa khalifah Umar bin Khatab,
sahabat-sahabat yang sangat berpengaruh tidak diperbolehkan untuk keluar daerah
kecuali atas izin dari khalifah dan dalam waktu yang terbatas. Jadi kalau ada
diantaa umat Islam yang ingin belajar hadis harus perdi ke Madinah, ini berarti
bahwa penyebaran ilmu dan pengetahuan para sahabat dan tempat pendidikan adalah
terpusat di Madinah.
4.
Perkembangan Sosial
Pada
masa Khalifah Umar ibn Khatthab ahli al-dzimmah yaitu penduduk yang memeluk
agama selain Islam dan berdiam diwilayah kekuasaan Islam. Al-dzimmah terdiri
dari pemeluk Yahudi, Nasrani dan Majusi. Mereka mendapat perhatian, pelayanan
serta perlindungan pada masa Umar. Dengan membuat perjanjian, yang antara lain
berbunyi ;
Keharusan
orang-orang Nasrani menyiapkan akomodasi dan konsumsi bagi para tentara Muslim
yang memasuki kota mereka, selama tiga hari berturut-turut.
5.
Perkembangan Agama
keadaan agama Islam pada masa Umar
bin Khatthab sudah mulai kondusif, dikarenakan karena kepemimpinannya yang
loyal, adil, dan bijaksana. Pada masa ini Islam mulai merambah ke dunia luar,
yaitu dengan menaklukan negara-negara yang kuat, agar islam dapat tersebar
kepenjuru dunia.
Utsman bin Affan
Pada khalifah Utsman bin Affan Al-Quran sudah dibukukan, setelah
dipertimbangkan akan kemaslahatannya yang lebih besar. Adapun sumber hukum
Islam yang kedua adalah hadits yang ketika itu belum dibukukan, sebab
dikhawatirkan akan bercampur dengan Al-Quran. Meski demikian upaya untuk
pemeliharaan tetap dilakukan sehingga kebenaran riwayatnya dapat dijamin.
Utsman bin Affan hanya dipanggil
“khalifah” saja karena akan terlalu panjang gelar yang akan disematkan
kepadanya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fiqh
periode ini
o Tragedi
pembunuhan Utsman pada awal masa kekhalifahan Utsman. Espedisi militer terus
digalakkan sehinggal wilayah Islam terus meluas dari ujung barat hingga timur
Arabi. Namun, pada pertengahan kepemimpinannya, Utsman ditunjuk sebagai
khalifah pada usia 70 mulai mengalami kelemahan fisik. Hal ini berimbas pula
pada kelemahan kepemimpinan. Kebijakan-kebijakannya terkesan nepotis dengan
banyak mengangkat keluarganya sendiri sebagai pejabat pemerintahan, posisi
penting dalam pemerintahannya diserahkan kepada keluarga Bani Umayyah. Sikap
politik Utsman ini menuai reaksi keras dari beberapa pihak yang paling
kontroversial adalah pengangkatan Marwan Ibn Al-Hakam sebagai sekretaris
negara. Beberapa tokoh mendesak Utsman untuk mundur, namun Utsman menolak. Ali
mengingatkan Utsman untuk kembali pada kebijakan Abu Bakar dan Umar. Namun
Utsman merasa ada yang keliru dalam langkahnya, situasi semakin memanas pada tahun
35 H/ 656 M. Pasukan dari Mesir, Bashrah, Kufah bergerak mereka berdalih hendak
menunaikan ibadah haji namun ternyata mengepung Madinah kemudia para tentara
tersebut berkualisi mendesak untuk mundur dari jabatannya. Para perajurit
mengepung Madinah terutama kediaman Utsman selama 40 hari. Ditengah suasana
tidak menentu, Muhammad Ibn Abi Bakar menerobos masuk kerumah Utsman dan
memukulnya. Setelah itu, para penyerbu lainnya masuk dan membantai Utsman dan
keluarganya. Pada tanggal 8 Dzulhijjah 35 Hijriah, Utsman seorang diantara
sepuluh orang yang dijanjikan sebagai penghuni surga oleh Rasulullah
menghembuskan nafas terakhirnya diatas mushaf yang sedang dibacanya.
Ali
bin Abi Thalib
Setelah Utsman bin Affan wafat, warga
Madinah dan tiga pasukan dari Mesir, Bashrah dan Kufah bersepakat memilih Ali
Ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Namun Muawiyah menolak. Ia bersikeras tidak
mau membai’at Ali sebelum pembunuh Utsman dihukum. Mendapati penolakan ini, Ali
berencana menggempur muawiyah. Rancana ini ternyata menuai protes dari sejumlah
sahabat penting, mereka menyarankan agar Ali menunda rencananya menyerang
Muawiyah tapi Ali bersikeras. Maka, terjadilah peristiwa menyedihkan itu,
perangn antara umat Islam yang anyir darahnya tidak bisa dibasuh dengan apapun
juga. Sekitar 1000 orang tewas dalam peperangan ini.
Semasa pemerintahannya, sayyidina Ali
tidak dapat berbuat untuk mengembangkan hukum Islam. Karena keadaan negara
tidak stabil, banyak perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam yang
bermuara pada perang saudara sehingga menimbulkan beberapa kelompok diantaranya
ASWAJA (Sunni) yaitu kelompok umat Islam
yang berpegang teguh pada sunah nabi Muhammad dan Syi’ah yaitu pengikut Ali bin
Abi Thalib. Perpecahan antara dua kelompok ini dimulai dengan perbedaan pendapat
mengenai masalah politik yakni siapakah yang berhak menjadi khalifah, kemudian
disusul dengan masalah pemahaman akidah, pelaksanaan ibadah, sistem hukum dan
kekeluargaan, sumber hukum Islam dimasa khulafaurrasyidin ini adalah Al-Quran,
sunah, ijma’, sahabat dan qiyas.
Kedudukan
Ijtihad dan Ruang Ijtihad Sahabat
Diantara
pendapat Ali bin Abi Thalib adalah pertama, dalam Al-Quran tedapat larangan meminum
khamar yang keharamannya ditetapkan secara berangsur-angsur. Akan tetapi, dalam
tiga ayat tersebut tidak terdapat sanksi bagi yang melanggar keharaman
tersebut. Sanksi bagi peminum khamar adalah delapan puluh kali jilid karena
pelanggaran atau tindakana meminum khamar diqiyaskan kepada penuduh zina
(qadzt).
4.
Sebab-sebab
Terjadinya Perbedaan di Kalangan Sahabat
Perbedaan yang terjadinya di antara
para sahabat dalam masalah hukum syariat bukan disebabkan oleh hawa nafsu
pribadi atau karena intrik pribadi. Namun, karena membahas urusan agama
berdasarkan ilmu dan ijtihad yang ditopang oleh dalil sehingga tidak ada cela
bagi mereka karena semuanya kembali kepada faktor yang memang tidak dapat
dihindari, dan mereka tidak ada kemampuan untuk memenuhi semuanya.
Semua sebab ini
dapat diringkas sebagai berikut:
o Nash yang ada
bersifat zhanni ad-dalalah (kandungan dalil yang masih belum pasti)
o Sunnah belum dibukukan
Perbedaan Sahabat dalam Berijtihad
Perbedaan ini terjadi
disebabkan faktor domisili terutama setelah penaklukan kota Mekah. Jika seorang
sahabat tidak menemukan nash, baik dalam Al-Quran atau sunnah dalam satu
masalah, ia akan berijtihad untuk menetukan hukum syariatnya dengan tetap
mempertahankan aspek kemaslahatan orang banyak, membawa manfaat dan menolak
mudarat, dan memenuhi segala hajat serta kemaslahatan umum yang sedikit
banyaknya berbeda dari satu negeri dengan negeri yang lain. Apa yang dihadapi
oleh Abdullah bin Mas’ud di Kufah, belum tentu dihadapi oleh Abdullah bin Umar
di Madinah, sama dengan Muawiyah yang berada di negeri Syam. Jadi, perbedaan
lingkungan dapat menyebabkan terjadinya perbedaan cara berpikir bagi menentukan
satu maslahat, termasuk motivasi seorang mujtahid ketika menentukan hukum
syar’i bagi masalah tertentu.
Karakteristik Tasyri’ pada Zaman Sahabat
Tasyri
(perundang-undangan) pada masa sahabat mnemiliki karakteristik dan keistimewaan
sebagai berikut:
o Fiqh pada zaman ini sangat sejalan dan serasi dengan segala
permasalahan yang muncul, tidak hanya terbatas pada apa yang pernah ada pada
masa kerasulan.
o Pada zaman ini Al-Quran telah dibukukan dan mushaf
disentralisasikan yang dengannya kaum muslimin terhindar dari pertikaian
tentang sumber utama bagi syariat Islam yang sebelumnya mereka terpecah kepada
beberapa kelompok
o Pada zaman ini hadits belum diriwayatkan seperti sekarang, kecuali
jika ada keperluan mendesak seperti ingin mengetahui tentang hukum satu
masalah, periwayatan tidak begitu digemari kecuali pda akhir-akhir zaman ini
ketika para sahabat berpencar di berbagai pelosok negeri yang baru ditaklukkan.
o Pada zaman ini muncul satu sumber baru bagi perundang-undangan
Islam, yaitu Ijma’ dan itu sering terjadi karena memang mudah untuk dilakukan
dan semua asbabnya memadai seperti yang sudah kamu jelaskan.
o Pada zaman ini banyak terjadi ijtihad yang berlandaskan kepada
pemahaman tentang illat hukum baik atau tidaknya.
o Para sahabat tidak mewariskan fiqh yang tertulis yang dapat dirujuk
namun mereka hanya mewariskan fatwa dan hukum yang tersimpan dalam dada para
sahabat dan disampaikan kepada kita dengan cara periwayatan.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Periode ini dianggap sebagai periode pertama dalam pembentukan fiqh
Islam. Periode ini berawal dari zaman wafatnya Rasulullah saw. dan menghadap
Allah pada tahun 11 hujriah sampai akhir zaman khulafaurrasyidin pada tahun 40
hijriah dengan gaya dan corak tersendiri. Setelah hukum-hukum syariat yang ada
agar dapat menjawab segaka perkembangan dan kejadian yang terus berlangsung dan
tidak ada nash-nya dalam al-Quran atau sunnah.
Sumber hukum Islam pada masa khulafaurrasyidin yaitu Al-Quran,
As-Sunnah, Ijma’, Ra’yi (pendapat pribadi).
Perbedaan yang
terjadinya di antara para sahabat dalam masalah hukum syariat bukan disebabkan
oleh hawa nafsu pribadi atau karena intrik pribadi. Namun, karena membahas
urusan agama berdasarkan ilmu dan ijtihad yang ditopang oleh dalil sehingga
tidak ada cela bagi mereka karena semuanya kembali kepada faktor yang memang
tidak dapat dihindari, dan mereka tidak ada kemampuan untuk memenuhi semuanya.
Semua sebab ini
dapat diringkas sebagai berikut:
o Nash yang ada
bersifat zhanni ad-dalalah (kandungan dalil yang masih belum pasti)
o Sunnah belum dibukukan
2.
Saran
Dengan selesainya makalah ini, penulis berharap kepada semua pihak
terutama dosen pengampu mata kuliah Tarikh Tasyri’ agar memberikan respon
positif terhadap makalah ini. Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari
kategori sempurna. Maka dari itu, masukan dan kritikan yang membangun atas
kesempurnaan makalah ini sangat penulis harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Khalil,
Rasyad Hasan. 2009. Tarikh Tasyri’. Jakarta: AMZAH
Bik,
Hudhari. 1980. Tarjamah Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami. Semarang: DAARUL
IHYA