Secara etimologi agama berasal dari Sansekerta “agama” yang
berarti sebagai tradisi dalam bahasa indonesianya berarti “tidak kacau”,dengan
kata lain terdapat ketentraman dalam berfikir sesuai dengan pengetahuan dan
kepercayaan yang mendasari kelakuan”tidak kacau”itu. Pngetahuan dan kepercayaan
tersebut menyangkut hal-hal keilahian dan kekudusan. Kata agama disini
konotasinya lebih dekat kepada agama Hindu dan Budha.Akan tetapi setelah
digunakan dalam bahasa Indonesia pengertiannya mencakup semua agama. Dalam
bahasa inggris disebut religion atau religi,berasal dari bahasa latin religio
atau relegere yang berarti “mengumpulkan”atau “membaca”.[1]Dalam
hal ini,religion hanya menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan dan tidak
berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan manusia.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama merupakan hal yang sangat menarik untuk diperdebatkan.
Bahkan suatu hal jika tanpa membawa-bawa agama terkesan biasa saja, namun
setelah membawa agama maka akan menarik berbagai orang untuk memperdebatkannya.
Demikian juga dalam bidang politik.Betapa Politik yang melibatkan agama sangat
ramai dalam pro kontranya dibandingakan politik yang tidak melibatkan agama.
Menilik agama yang berhubungan dengan politik. Bagaimana
bisa agama dan politik bersatu. sebab seringkali orang mengartikan yang namanya
agama itu hanyalah semata-mata satu sistem peribadatan antara makhluk dengan
Tuhan Yang Maha Kuasa saja. Definisi ini mungkin tepat bagi bermacam-macam
agama. agama berperan mengoreksi politik yang menyimpang dari tujuan mulianya
menyejahterakan rakyat dan politik mesti pula membangkitkan kesadaran agama
untuk tidak terbuai dalam permainan politik lalu melupakan fungsi kritis agama
dan sikap membisu agama terhadap aktivitas politik.Kiranya perlu pada
kesempatan ini penulis akan membahas tentang bagaimana pengertian agama dan
politik serta bagaimana hubungan agama dengan politik.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian agama dan politik?
2. Bagaimana hubungan antara agama
dengan politik di Indonesia?
C. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian agama dan
politik
2. Menjelaskan hubungan antara agama
dengan politik di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Agama dan Politik
1. Pengertian
Agama
Secara etimologi agama berasal dari Sansekerta “agama” yang
berarti sebagai tradisi dalam bahasa indonesianya berarti “tidak kacau”,dengan
kata lain terdapat ketentraman dalam berfikir sesuai dengan pengetahuan dan
kepercayaan yang mendasari kelakuan”tidak kacau”itu.[2]Pengetahuan
dan kepercayaan tersebut menyangkut hal-hal keilahian dan kekudusan. Kata agama
disini konotasinya lebih dekat kepada agama Hindu dan Budha.Akan tetapi setelah
digunakan dalam bahasa Indonesia pengertiannya mencakup semua agama. Dalam
bahasa inggris disebut religion atau religi,berasal dari bahasa latin religio
atau relegere yang berarti “mengumpulkan”atau “membaca”.[3]Dalam
hal ini,religion hanya menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan dan tidak
berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan manusia.[4]
Dalam Kamus Ilmiah Popular kata Agama berarti keyakinan dan
kepercayaan kepada Tuhan.Sedangkan dalam Bahasa Arab disebut Din (دين) yang
artinya ajaran atau kepercayaan yang mempercayai satu atau beberapa kekuatan
ghaib yang mengatur dan menguasai alam,manusia dan jalan hidupnya.[5]
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia agama adalah
sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan
Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia
dengan manusia serta lingkungannya.
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang
universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan
pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious).
Banyak dari apa yang berjudul agama termasuk dalam suprastruktur: agama terdiri
dari tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dengan mana
makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka.[6]
Dalam kehidupan, agama merupakan identitas individu sehingga
dapat membedakannya dari orang lain. Ada banyak sekali pendapat-pendapat
mengenai makna agama. R. H. Thouless mengambil 3 definisi dimana masing-masing
definisi itu merupakan suatu segi dari segi-segi agama pribadi, definisi
tersebut adalah,
a.
Definisi Frazer
Agama
adalah mencari keredaan atau kekuatan yang tinggi dari pada manusia, yaitu
kekuasaan yang disangka oleh manusia dapat mengendalikan, menahan/menekan
kelancaran alam dan kehidupan manusia.
b. Definisi James Martineau
Agama
adalah kepercayaan kepada yang hidup abadi, dimana diakui bahwa dengan pikiran
dan kemauan Tuhan, alam ini diatur dan kelakuan manusia diperkuat.
c. Definisi Mattegart
Agama
adalah suatu keadaan jiwa, atau lebih tepat keadaan emosi yang didasarkan
kepercayaan keserasian diri kita dengan alam semesta.
Thouless memandang, bahwa ketiga definisi tersebut adalah
dalam pandangan ilmu jiwa umum, karena perasaan itu dapat dibagi atas 3 segi
yakni tanggapan, emosi, dan dorongan. Ketiga macam itu dipilih oleh Thouless,
karena menurut pendapatnya bahwa ketiga-tiganya merupakan tiga segi dari agama,
yaitu:
a. Yang pertama melukiskan cara/kelakuan.
b. Yang kedua adalah keyakinan/pendapat
akal.
c. Yang ketiga adalah alat-alat,
perasaan dan emosi.
Maka dari setiap definisi tentang agama, harus mengandung
unsur-unsur tersebut dan definisi yang dipandangnya lebih cocok ialah sebagai
berikut: “Agama adalah proses hubungan manusia yang dirasakan terhadap sesuatu
yang diyakininya, bahwa sesuatu itu lebih tinggi dari pada manusia”[7]
Sedangkan menurut pandangan sosiolog, Emile Durkheim
mengemukakan makna agama, bahwa adanya perbedaan yang –sakral dan yang –profan
serta terangkatnya beberapa aspek kehidupan sosial ke level yang –sakral memang
merupakan syarat mutlak bagi keberadaan agama. Yang –sakral tercipta melalui
ritual-ritual yang mengubah kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol
religius yang mengikat individu dalam suatu kelompok. Syarat-syarat lain dari agama adalah
kepercayaan, ritual agama dan gereja (tempat ibadah). Sedangkan definisi agama
menurutnya adalah: “kesatuan sistem kepercayaan dan praktik yang menyatu dalam
sebuah komunitas moral tunggal yang dinamai Gereja, semua melekat padanya”[8]
Definisi agama menurut sosiologi adalah definisi empiris.
Agama dipandang sebagai suatu institusi yang lain yang mengemban tugas atau
fungsi agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup local,
regional, nasional, maupun mondia maka dalam tinjauannya, yang dipentingkan
ialah daya guna, dan pengaruh agama terhadap masyarakat, sehingga berkat
eksistensi dan fungsi agama cita-cita masyarakat (akan keadilan dan kedamaian,
dan akan kesejahteraan jasmani dan rohani).
Dilihat dari sudut kategori pemahaman manusia, agama
memiliki dua segi yang membedakan dalam perwujudannya, yaitu:
a. Segi kejiwaan (psychological state), yaitu suatu kondisi subjek atau kondisi dalam
jiwa manusia, berkenaan dengan apa yang dirasakan oleh penganut agama. Kondisi
inilah yang disebut dengan kondisi agama, yaitu kondisi patuh dan taat kepada
yang disembah. Kondisi itu hampir sama dengan konsep religious emotion dari
Emile Durhkeim. Emosi keagamaan seperti itu merupakan gejala individual yang
dimiliki oleh setiap penganut agama yang membuat dirinya merasa sebagai “mahluk
Tuhan”.
b. Segi objektif (objective state), segi luar yang disebut juga kejadian objektif,
dimensi empiris dari agama. Keadaan ini muncul ketika agama dinyatakan oleh
penganutnya dalam berbagai ekspresi, baik ekspresi teologis, ritual, maupun
persekutuan. Segi objektif ini lah yang bisa dipelajari apa adanya, dan dengan
demikian bisa dipelajari dengan metode ilmu sosial. Segi kedua ini mencakup
adat istiadat, upacara keagamaan, bangunan, tempat-tempat peribadatan, cerita
yang dikisahkan, kepercayaan, dan prinsip-prinsip yang dianut oleh suatu
masyarakat.[9]
Meskipun agama berkaitan dengan berbagai keharusan,
ketundukan, dan kepatuhan tetapi tidak setiap ketaatan itu bisa disebut dengan
agama; bergantung pada siapa ketaatan itu diperuntukkan dan atas dasar motivasi
apa ketaatan itu dilaksanakan. Berdasarkan hasil studi para ahli sosiologi
dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan
dalam kehidupan individu maupun kelompok.
2.
Pengertian
Politik
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan
keputusan,
khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara
berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.[10]Politik
adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat
ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
a. politik adalah usaha yang ditempuh
warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
b. politik adalah hal yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pemerintahan dan Negara
c. politik merupakan kegiatan yang
diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
Pada umumnya apa yang disebutkan diatas berkaitan dengan
bermacam-macam kegiatan dalam suatu negara, yang menyangkut proses penentuan dan
pelaksanaan tujuan-tujuan. Untuk melaksanakan tujuan, perlu ditentukan
kebijaksanaan umum yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi
sumber-sumber dan berbagai sumber daya yang ada. Untuk itu diperlukan kekuatan
dan kewenangan. Politik selalu menyangkut tujuan publik, tujuan masyarakat
sebagai keseluruhan dan bukan tujuan pribadi seseorang.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa
kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku
politik, partisipasi politik, proses
politik, dan juga
tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik. Politik itu menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk
kegiatan partai politik dan kegiatan individu demi kepentingan bersama.
B.
Hubungan Agama dan Politik
Dalam konsepsi sebagian besar masyarakat Indonesia,
kehidupan politik juga seharusnya dilandasi oleh nilai-nilai agama.Konsepsi ini
agak berbeda dengan politik di negara Barat yang memisahkan secara tegas antara
politik dan agama.Politik dan posisi-posisi politik harus dipisahkan secara
tegas dengan agama.Konsepsi ini menghendaki agar pemimpin agama tidak terlibat
dalam politik praktis.
Mengkaji masyarakat Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan
dari faktor negara atau politik. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam
merupakan faktor berpengaruh terhadap politik. Ada dua alasan mengapa hal ini
terjadi. Pertama, karena secara kuantitas umat Islam di Indonesia
merupakan mayoritas. Kedua, karena adanya pemikiran dalam umat Islam
sendiri bahwa memang Islam dan politik tidak dapat dipisahkan. Deliar Noer
termasuk orang yang berpandangan bahwa Islam mempunyai konsep negara dan Islam
dengan politik tidak dapat dipisahkan. Menurut Deliar Noer, sebagai sebuah
konsep (bukan nama) negara Islam dilandasi oleh:[12]
1.
Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai pegangan hidup bernegara,
2.
Hukum harus dijalankan,
3.
Prinsip Syura (Musyawarah) dijalankan,
4.
Kebebasan diberikan tempat,
5.
Toleransi antar agama.
Kebijakan keagamaan di Indonesia telah menempuh jalan yang
panjang. Hingga tahun 1960-an, persoalan keagamaan yang beraneka ragam di tanah
air belum banyak tersentuh. Pemerintah sejak lama memandang keanekaragaman
agama ini sebagai potensi penghambat pembangunan Indonesia yang satu dan kuat.
Kementerian agama yang di bentuk pada tahun 1946 memiliki tugas yang eksplisit
antara lain mengawasi kegiatan keagamaan dan aliran-aliran/paham-paham,
melakukan bimbingan dan pembinaan terhadap gerakan mistik agar kembali ke agama
induk dan mengharuskan mereka untuk menegakkan hukum dan peribadatan agama
khususnya Islam.
Tugas-tugas ini menunjukan bahwa negara mulai menerapkan
pemikiran sistemik secara lebih tegas. Selain itu, tugas pokok lain adalah
membimbing dan membina masyarakat penganut agama resmi seperti Islam, Kristen
Prostetan, Katolik, Hindu dan Budha.[13]
Pemerintah sendiri membuat definisi agama resmi yang diakui
pemerintah sebagai sistem keyakinan kepada Tuhan yang memiliki kitab suci,
nabi-nabi dan ajaran-ajaran. Dalam hal kebijakan keagamaan ini paling tidak
pemerintah melakukan tiga hal. Pertama, membina umat yang sudah beragama
di seluruh pelosok; Kedua, Memberagamakan warga masyarakat yang dianggap
belum beragama; Ketiga, Pemerintah memerankan diri sebagai wasit
sekaligus pemain dalam hubungan antarumat beragama.
Dari sudut pandang intrinsik, maka secara sederhana agama
adalah keyakinan akan entitas spiritual. Jika kita menggunakan definisi yang
lebih kompleks. maka agama adalah suatu
sistem simbol yang bekerja memantapkan suasana jiwa dan motivasi yang kuat,
mendalam dan bertahan lama pada diri manusia dengan memformulasikan
konsepsi-konsepsi keteraturan umum mengenai keberadaan dan menyelimuti
konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas sehingga suasana jiwa dan
motivasi tersebut seolah-olah secara unik nyata ada.
Dinamika hubungan antara agama dan negara berlangsung dalam
konteks instrumentalisasi yang kerap kali ditempeli oleh muatan potensi
integratif maupun disintegratif. Dengan konkretisasi, interpretasi dan
formalisasi agama dalam kehidupan yang nyata, manusia memiliki legitimasi untuk
menjadikannya sebagai instrument kekuasaan.
Ada tiga kemungkinan skenario politik keagamaan.:[14]Pertama,
agama dan negara terpisah satu sama lain. Doktrin agama hanya menjadi pedoman
hidup manusia sebatas dalam keluarga dan masyarakat yang berwadahkan
keorganisasian dalam masjid, gereja, kuil, dan lain-lain. Segala sesuatu yang
berurusan dengan agama diselesaikan dalam institusi kegamaan tersebut. Prinsip
utamanya adalah “Agama adalah Agama”. Dalam kenyataan, sukar menemukan pada
abad global ini suatu institusi agama yang tidak tercemar sama sekali dengan
pergumulan duniawi di luar dari agama.
Kedua, Agama dan Negara terikat satu sama
lain (Integralistik) dalam pengertian agama memberi corak dominan atas negara.
Dalam konteks ini agama bermain penuh sebagai instrumen, yakni aktualisasi
agama di dalam sebagian besar institusi negara seperti institusi politik,
ekonomi, hukum dan lainnya.
Ketiga, Agama ditempatkan dalam suatu sistem
negara yang mengutamakan harmoni dan keseimbangan. Agama direduksi menjadi
salah satu unsure saja dari sistem yang dipandang saling tergantung dengan
unsur-unsur lain. Kebijakan kebijakan yang merupakan konkretisasi pendekatan
sistemik ini jelas sekali menekankan kontrol yang tegas terhadap
unsur-unsurnya, termasuk unsur agama agar selalu terwujud keteraturan yang
harmonis tanpa guncangan.Setiap kali ada gejolak sekecil apapun, langsung
diredam oleh negara (pemerintah) sehingga keseimbangan tercapai kembali.
Pendekatan ini langsung menempatkan negara (pemerintah)
dalam kedudukan sentral yang lambat laun seolah melepaskan diri dari sistem dan
bahkan mengontrol sistem.Keadaan ini membuat negara (pemerintah) semakin kuat
karena sistem posisinya merosot menjadi subordinat, kehilangan kekuatan untuk
mengontrol negara.Negara cenderung otoriter karena akumulasi kekuasaan berada
di tangannya. Bagi KH Sahal, kepolitikan merupakan realitas historis atau
Sunatullah yang tidak bisa terelakkan, menurutnya bahwa dalam proses hidupnya
manusia tidak lepas dari pengaruh watak politik.[15]
Telah menjadi sunatullah barangkali setiap kelompok ada yang
dikuasai dan ada yang menguasai, ada yang memerintah dan yang diperintah serta
ada yang dipengaruhi dan mempengaruhi, itulah konteks politik.Politik merupakan
kebutuhan hidup menurut naluri manusiawi.Artinya bahwa Agama dan Negara tidak
dapat dipisahkan. Kata din wasiyasah sesungguhnya menggambarkan bentuk
integrasi agama dan negara. Meskipun negara (politik) dan agama tidak dapat
dipisahkan, namun bukan berarti negara beserta produk-prosuknya harus berlabel
Islam.
Relasi agama bagi K.H Sahal mengacu pada “simbiosis
mutualisme” keduanya saling mempengaruhi dan membutuhkan untuk kemaslahatan
umat. Negara harus di beri keleluasaan untuk mengatur aspek ideologis, karena
bagaimanapun juga bagi bangsa Indonesia yang memiliki bermacam-macam agama,
agama akan lebih berfungsi positif bila dilepaskan dari permasalahan ideologis.
Dalam konteks hubungan agama dan negara (ulama dan penguasa)
dapat dijelaskan dengan prinsip “akomodasi kritis”, yaitu prinsip yang menuntut
kemampuan para ulama untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan yang integratif
terhadap agama. Islam harus di pandang sebagai faktor komplementer bagi
komponen-komponen lain, Islam dalam hal ini difungsikan sebagai faktor
integratif yang mendorong timbulnya partisipasi penuh dalam rangka membentuk
Indonesia yang kuat, demokratis dan berkeadilan.[16]
Agama secara hakiki berhungan dengan politik. Kepercayaan
agama dapat mempengaruhi hukum, perbuatan yang oleh rakyat dianggap dosa,
seperti sodomi dan incest, sering tidak legal. Seringakali agamalah yang
memberi legitimasi kepada pemerintahan. Agama sangat melekat dalam kehidupan
rakyat dalam masyarakat industri maupun nonindustri, sehingga kehadirannya
tidak mungkin tidak terasa di bidang politik. Sedikit atau banyak, sejumlah
pemerintahan di seluruh dunia menggunakan agama untuk memberi legitimasi pada
kekuasaan politik.
Hubungan politik dengan agama tidak dapat dipisahkan. Dapat
dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran agama agar tercipta
kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini disebabkan, pertama, oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas
manusia, tidak terkecuali politik, harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama;
kedua, disebabkan oleh fakta bahwa kegiatan manusia yang paling banyak
membutuhkan legitimasi adalah bidang politik, dan hanya agamalah yang
dipercayai mampu memberikan legitimasi yang paling meyakinkan karena sifat dan
sumbernya yang transcendent.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari hasil
pembahasan tentang agama dan politik pada mata luiah sosiologi pendidikan maka
dapat disimpulkan:
1. Agama adalah suatu ciri kehidupan
sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai
cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut
“agama” (religious). Banyak dari apa yang berjudul agama termasuk dalam
suprastruktur: agama terdiri dari tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan, dan
nilai-nilai spesifik dengan mana makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi
mereka.
2. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan
keputusan,
khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara
berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
3. Hubungan politik dengan agama tidak
dapat dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran
agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan, pertama, oleh sikap dan keyakinan
bahwa seluruh aktifitas manusia, tidak terkecuali politik, harus dijiwai oleh
ajaran-ajaran agama; kedua, disebabkan oleh fakta bahwa kegiatan manusia yang
paling banyak membutuhkan legitimasi adalah bidang politik, dan hanya agamalah
yang dipercayai mampu memberikan legitimasi yang paling meyakinkan karena sifat
dan sumbernya yang transcendent.
B.
Saran
Penulis sangat
menyadari, terdapat banyak kekurangan pada makalah yang kami tulis, maka dari
itu perlu adanya kritik serta saran yang membangun dari pembaca, untuk
memberikan bimbingan kepada penulis agar penulisan kami lebih baik dari
sebelumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Dadang Kahmad. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000.
Ishomuddin.Pengantar
Sosiologi Agama.Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia-UMM Press, 2002.
Maran, Rafael Raga.Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2007.
M.EcholJohn. Kamus
Indonesia Inggris.Jakarta: PT.Gramedia, 2005.
Smith, Donald Eugene. Agama Dan Modernisasi Politik Suatu Kajian
Analitis (ter.) Jakarta: CV. Rajawali, 1985.
Puspito Hendro. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius,
1990.
Tim Gama press. Kamus
Ilmiaah Populer. Jakarta: Gama Press, 2010.
WahyudiAndi, Muhammadiyah dalam
Gonjang-ganjing Politik. Yogyakarta: Media Pressindo, 1999.
[1]John M.Echol,Kamus Indonesia
Inggris(Jakarta:PT.Gramedia, 2005), hlm. 87
[2]Ishomuddin,Pengantar Sosiologi
Agama (Jakarta:Penerbit Ghalia Indonesia-UMM Press,2002), hlm. 78
[3]John M.Echol,Kamus Indonesia
Inggris(Jakarta:PT.Gramedia, 2005), hlm. 87
[5]Tim Gama press,Kamus
Ilmiaah Populer(Jakarta:Gama Press,2010), hlm. 34
[6]Kahmad Dadang, Sosiologi Agama (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000), hlm. 125
[7]HendroPuspito, Sosiologi Agama. (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1990), hlm. 95
[10]Rafael Raga Maran., Pengantar Sosiologi Politik(Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2007), hlm. 65
[12]Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru
(Jakarta: Gema Insani Prees, 1996), hlm. 69
[13]Andi
Wahyudi, Muhammadiyah dalam Gonjang-ganjing Politik. (Yogyakarta:
Media Pressindo, 1999), hlm. 53
[14]Donald
Eugene Smith. Agama Dan Modernisasi Politik Suatu Kajian Analitis
(ter.), (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), hlm. 264.
[15]Ibid. hlm, 264
[16]Ibid. Abdul
Aziz Thaba, hlm. 80