hai sahabat pembaca semua, post dibawah ini adalah tentang "Peran Penegak Hukum pada Masa Khulafa Al-Rasyidin". semoga dengan di terbitkannya makalah lengkap ini dapat membantu kalian semua. selamat membaca dan semoga bermanfaat.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Periode
kedua dari masa-masa perkembangan hukum islam bermula sejak wafatnya nabi
Muhammad saw. Pada tahun 11 H, dan berakhir ketika mu’awiyah bin abi sufyan
menjabat sebagai khalifah pada tahun 41 H. pada periode ini hiduplah
sahabat-sahabat nabi terkemuka yang mengibarkan bendera dakwah islam setelah
wafatnya nabi saw.
Sepeninggal
rasulullah, empat orang pengganti beliau adalah para pemimpin yang adil dan
benar. Mereka menyelamatkan dan mengembangkan dasar-dasar tradisi dari sang
guru agung bagi kemajuan islam dan ummatnya. Oleh karena itu, gelar al-khulafa
ar-rasyidin yang mendapat bimbingan di jalan lurus diberikan kepada mereka.
Para
sahabat, khususnya periode ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam
membela dan mempertahankan agama. Mereka tidak sekedar melestarikan tradisi
hidup nabi, tetapi juga melebarkan sayap dakwah islam hingga ke negeri Persia,
irak, syam dan mesir.
Para sahabat
dengan kapasitas pemahaman yang mampu menangkap (menerima) dengan baik, luas
dan lengkap terhadap islam karena lamanya bergaul dengan nabi dan menyaksikan
sendiri proses turunnya syariat menyikapi setiap persoalan yang muncul dengan
merujuk kepada al-quran dan sunnah nabi mereka menggali kandungan-kandungan
moral al-quran pada kalanya mereka menemukan nash al-quran atau petunjuk nabi
yang secara jelas menunjukan pada persoalan itu tetapi dalam banyak hal mereka
harus menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai tema-tema
dalam al-quran untuk diaplikasikan terhadap persoalan-persoalan baru yang tidak
dijumpai ketentuan nashnya perkembangan baru yang muncul mengiringi perluasan
wilayah islam.
B. Rumusan masalah
1.
Bagaimana peran penegak hukum Abu Bakar Ash-Shiddiq
?
2.
Bagaimana peran penegak hukum Umar Bin Khattab ?
3.
Bagaimana peran penegak hukum Ustman Bin Affan ?
4.
Bagaimana peran penegak hukum Ali Bin Abi Thalib ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peran Penegak Hukum Abu
Bakar Ash-Shiddiq
Selama dua
tahun masa kepemimpinan Abu Bakar, masyarakat Arab di bawah Islam mengalami
kemajuan pesat dalam bidang sosial, budaya dan penegakan hukum. Selama masa
kepemimpinannya pula, Abu bakar berhasil memperluas daerah kekuasaan islam ke
persia, sebagian jazirah arab hingga menaklukkan sebagian daerah
kekaisaran bizantium Abu Bakar meninggal saat berusia 61 tahun pada tahun 634 M
akibat sakit yang dialaminya.[1]
Abu Bakar
menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa
sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama
tantangan yang disebabkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi
kepada pemerintah Madinah sepeninggal Nabi Muhammad. Mereka menganggap bahwa
perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad, dengan sendirinya batal setelah
nabi wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala
dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu
Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang
melawan kemurtadan). Khalid bin Al-Walid adalah panglima yang banyak berjasa dalam
Perang Riddah ini. Nampaknya, kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu
Bakar, sebagaimana pada masa rasulullah, bersifat sentral; kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain
menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum yang telah
ditetapkan dalam Al-Qur’an dan as-sunnah. Meskipun demikian, seperti juga Nabi
Muhammad, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.[2]
Setelah
menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan
ke luar Arabia. Khalid bin Walid dikirim ke Iraq dan dapat menguasai wilayah
al-Hirah pada tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat
panglima yaitu Abu Ubaidah ibnul Jarrah, Amr ibnul 'Ash, Yazid bin Abi Sufyan
dan Syurahbil bin Hasanah. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah bin Zaid
yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid bin Walid
diperintahkan meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani,
ia sampai ke Syria.[3]
Adapun
kesuksesan yang diraih Khalifah Abu Bakar selama memimpin pemerintahan Islam
dapat dirinci sebagai berikut:
1. Perhatian Abu Bakar ditujukan untuk melaksanakan keinginan nabi, yang
hampir tidak terlaksana, yaitu mengirimkan suatu ekspedisi dibawah pimpinan
Usamah keperbatasan Syiria. Meskipun hal itu dikecam oleh sahabat-sahabat yang
lain, karena kondisi dalam negara pada saat itu masih labil. Akhirnya pasukan
itu diberangkatkan, dan dalam tempo
beberapa hari Usamah kembali dari Syiria dengan membawa kemenangan yang gemilang.
2. Keahlian Khalifah Abu Bakar dalam menghancurkan gerakan kaum riddat,
sehingga gerakan tersebut dapat dimusnahkan dan dalam waktu satu tahun
kekuasaan Islam pulih kembali. Setelah peristiwa tersebut solidaritas Islam
terpelihara dengan baik dan kemenangan atas suku yang memberontak memberi jalan
bagi perkembangan Islam. Keberhasilan tersebut juga memberi harapan dan
keberanian baru untuk menghadapi kekuatan Bizantium dan Sasania.
3.
Ketelitian Khalifah
Abu Bakar dalam menangani orang-orang yang menolak membayar zakat. Beliau
memutuskan untuk memberantas dan menundukkan kelompok tersebut dengan serangan
yang gencar sehingga sebagian mereka menyerah dan kembali pada ajaran Islam yang
sebenarnya. Dengan demikian Islam dapat diselamatkan dan zakat mulai mengalir
lagi dari dalam maupun dari luar negeri.[4]
Melakukan pengembangan wilayah Islam keluar
Arabia. Untuk itu, Abu Bakar membentuk kekuatan dibawah
komando Kholid bin Walid yang dikirim ke Irak dan Persia. Ekspedisi ini
membuahkan hasil yang gemilang. Selanjutnya memusatkan serangan ke Syiria yang
diduduki bangsa Romawi. Hal ini didasarkan secara ekonomis Syiria merupakan
wilayah yang penting bagi Arabia, karena eksistensi Arabia bergantung pada
perdagangan dengan Syiria. Sehingga penaklukan ke wilayah Syiria penting bagi
umat Islam. Tetapi kemenangan secara mutlak belum terwujud sampai Abu Bakar
meninggal Dunia pada hari Kamis, tanggal 22 Jumadil Akhir, 13 H atau 23 Agustus
634 M.[5]
B.
Peran Penegak Hukum
Umar Bin Khattab
Umar bin Khattab , menjadi khalifah 634 -
644 M adalah khalifah ke-2 dalam sejarah Islam. pengangkatan umar
bukan berdasarkan konsensus tetapi berdasarkan surat wasiat yang ditinggalkan
oleh Abu Bakar. Hal ini tidak menimbulkan pertentangan berarti di kalangan umat
islam saat itu karena umat Muslim sangat mengenal Umar sebagai orang yang
paling dekat dan paling setia membela ajaran Islam. Hanya segelintir kaum, yang
kelak menjadi golongan Syi'ah, yang tetap berpendapat bahwa seharusnya Ali yang
menjadi khalifah. Umar memerintah selama sepuluh tahun dari tahun 634 hingga
644.[6]
Ketika Abu
Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka
sahabat, kemudian mengangkat Umar bin Khatthab sebagai penggantinya dengan
maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di
kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima
masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya
Khalifah Rasulillah (pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah
Amir al-Mu'minin (petinggi orang-orang yang beriman).
Di zaman
Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota
Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara
Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah
kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke
Mesir di bawah pimpinan 'Amr bin 'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad bin
Abi Waqqash. Iskandariah (Alexandria), ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M.
Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah
kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan
dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada
tahun 641 M, Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan
Umar Radhiallahu ‘anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia,
Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir[7].
Karena
perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara
dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia.
Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah provinsi: Makkah,
Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa
departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan
ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam
rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga
keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan
pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan
membuat tahun hijiah.[8]
Umar
memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir
dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang budak persia yang bernama Abu
Lulu'ah yang beragama Majusi. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak
menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan
meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya menjadi
khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad bin Abi
Waqqash, Abdurrahman bin 'Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan
berhasil menunjuk Utsman sebagai khalifah, melalui proses yang agak ketat
dengan Ali bin Abi Thalib.[9]
C.
Peran Penegak Hukum
Ustman Bin Affan
Utsman bin Affan dilahirkan
pada tahun 573 M pada sebuah keluarga dari suku Quraisy bani Umayah. Dia lebih
muda 6 tahun dari Rasulullah SAW.Nenek moyangnya bersatu dengan nasab Nabi
Muhammad pada generasi ke-5. Sebelum masuk islam ia dx panggil degan sebutan
Abu Amr. Ia begelar Dzunnurain, karena menikahi dua putri nabi (menjadi
khalifah 644-655 M) adalah khalifah ke-3 dalam sejarah Islam. Umar
bin Khattab tidak dapat memutuskan bagaimana cara terbaik menentukan khalifah
penggantinya. Segera setelah peristiwa penikaman dirinya oleh Fairuz, seorang
majusi persia, Umar mempertimbangkan untuk tidak memilih pengganti sebagaimana
dilakukan rasulullah. Namun Umar juga berpikir untuk meninggalkan wasiat
seperti dilakukan Abu Bakar. Sebagai jalan keluar, Umar menunjuk enam orang
Sahabat sebagai Dewan Formatur yang bertugas memilih Khalifah baru. Keenam
Orang itu adalah Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Utsman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib.[10]
Pada masa
pemerintahan Utsman, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa
dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam
pertama berhenti sampai di sini.
Pemerintahan
Usman berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya
muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya.
Kepemimpinan Utsman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini karena
fitnah dan hasutan dari Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah seorang Yahudi yang
berpura-pura masuk islam. Ibnu Saba’ ini gemar berpindah-pindah dari suatu
tempat ke tempat lainnya untuk menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang baru
masa keislamannya. Akhirnya pada tahun 35 H/1655 M, Utsman dibunuh oleh kaum
pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang berhasil dihasut oleh Abdullah
bin Saba’ itu.[11]
Salah satu
faktor yang menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan
Utsman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang
terpenting di antaranya adalah Marwan bin Hakam Rahimahullah. Dialah pada
dasarnya yang dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan pemerintahan,
sedangkan Utsman hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota
keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di
hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah
terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta
kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Utsman
sendiri. Itu semua akibat fitnah yang ditebarkan oleh Abdullah bin Saba’,
meskipun Utsman tercatat paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus
banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun
jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid nabi di
Madinah.[12]
Pemerintahan
Utsman bin Affan pada dasarnya tidak jauh berbeda dari pendahulunya. Kekuasaan
tertinggi dan pelaksana kekuasaan eksekutif berada ditangan khalifah. Khalifah
Utsman bin Affan mempercayakannya kepada seorang gubernur untuk setiap
wilayah dan provinsi dalam melaksanakan administrasi pemerintahan. Kekuasaan
legislatif dipegang oleh Dewan Penasihat atau Majelis Syura, tempat khalifah
untuk mengadakan musyawarah atau konsultasi. Tugas Dewan penasehat adalah
memberikan saran, usul, dan nasehat kepada khalifah tentang berbagai
masalah penting yang dihadapi negara (Supriyadi, 2008: 91). Pada awal
pemerintahan Ustman bin Affan kondisi wilayah kekuasaan Islam mengalami kesusuhan
pasca terbunuhnya Umar bin Khattab. Wilayah-wilayah kekuasaan Islam mulai
melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Islam salah satunya Azerbaijan
pada tahun 24 H/645 M. Kondisi tersebut memperlihatkan bagaimana khalifah Ustman
bin Affan harus berusaha untuk meredam kekacauan yang terjadi pada awal
pemerintahannya. Ustman bin Affan mengutus para pejabat untuk menjalankan
pekerjaannya secara bersih dan tidak mencederai kepercayaan masyarakat. Keadaan
masyarakat pada masa khalifah Utsman bin Affan benar-benar menikmati
kehidupan yang tentram dan sejahtera. Perekonomian pada masa pemerintahan
Utsman bin Affan sangat baik dan maju, dengan bertambahnya jumlah kas negara
melalui pemasukan yang datang dari berbagai penjuru yang membuatnya dapat
menaikkan tunjangan bagi rakyat sampai 100 ribu dirham lebih tinggi dari masa
Umar bin Khattab. Keagungan agama Islam sangat dicerminkan oleh pemerintahan
Islam saat kepemimpinan dibawah Utsman bin Affan. Peristiwa yang sangat penting
adalah penyempurnaan bacaan Al-qur’an yang dilakukan oleh pemerintahannya.
Konflik antar umat Islam pada saat pemerintahan Utsman bin Affan dikarenakan
banyak pelencengan bacaan Al-qur’an. Peristiwa tersebut adalah salah satu
ancaman yang mampu menghancurkan persatuan umat Islam. kebijakan untuk
menyempurnakan bacaan Al-qur’an merupakan salah satu cara agar tidak ada
kesalahan makna dalam memahami bacaan Alqur’an. Pemerintahan Utsman bin Affan
merupakan salah satu bentuk kemajuan pemerintahan Islam. Kebijakan yang diambil
oleh pemerintahan Utsman bin Affan adalah langkah untuk menuju Islam yang lebih
besar.[13]
D.
Peran Penegak Hukum Ali
Bin Abi Thalib
Para
pemberontak terus mengepung rumah Utsman. Ali memerintahkan ketiga puteranya,
Hasan, Husain dan Muhammad bin Ali al-Hanafiyah mengawal Utsman dan mencegah
para pemberontak memasuki rumah. Namun kekuatan yang sangat besar dari
pemberontak akhirnya berhasil menerobos masuk dan membunuh Khalifah Utsman. Setelah
Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia
menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam
pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan
khalifah, Ali menon-aktifkan para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin
bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga
menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsmankepada penduduk dengan menyerahkan
hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak
tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.[14]
Tidak lama
setelah itu, Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan
Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman, dan mereka
menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zhalim. Ali
sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah
dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara
damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun
berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah
dalam pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan lawannya.
Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke
Madinah.[15]
Bersamaan
dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya
perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah, yang didukung oleh
sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan.
Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, serta Ali
bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya
bertemu dengan pasukan Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang
dikenal dengan nama Perang Shiffin. Perang ini
di akhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan
masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, kaum Khawarij,
orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan
Ali bin Abi Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu
Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-yahudu) yang menyusup pada
barisan tentara Ali, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan
Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij
menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah semakin kuat.
Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota
Khawarij yaitu Abdullah bin Mulja[16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
kekuasaan yang dijalankan pada masa
Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa rasulullah, bersifat sentral;
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah.
Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum yang
telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan as-sunnah. Meskipun demikian, seperti juga
Nabi Muhammad, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
2.
Karena perluasan daerah terjadi
dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh
administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi
pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah provinsi: Makkah, Madinah, Syria,
Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang
perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran
gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga
yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban,
jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga
mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun hijiah.
3.
Pemerintahan Utsman bin
Affan pada dasarnya tidak jauh berbeda dari pendahulunya. Kekuasaan tertinggi
dan pelaksana kekuasaan eksekutif berada ditangan khalifah. Khalifah Utsman
bin Affan mempercayakannya kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah dan
provinsi dalam melaksanakan administrasi pemerintahan. Kekuasaan legislatif
dipegang oleh Dewan Penasihat atau Majelis Syura, tempat khalifah untuk
mengadakan musyawarah atau konsultasi. Tugas Dewan penasehat adalah memberikan
saran, usul, dan nasehat kepada khalifah tentang berbagai masalah
penting yang dihadapi negara (Supriyadi, 2008: 91). Pada awal pemerintahan
Ustman bin Affan kondisi wilayah kekuasaan Islam mengalami kesusuhan pasca
terbunuhnya Umar bin Khattab. Wilayah-wilayah kekuasaan Islam mulai melakukan
pemberontakan terhadap pemerintahan Islam salah satunya
4.
Tidak ada masa sedikit pun dalam
pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan
khalifah, Ali menon-aktifkan para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin
bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga
menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsmankepada penduduk dengan menyerahkan
hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak
tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulah, Taufik,
2002, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam:
Pemikiran dan Peradaban, Penerbit Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.
Hanafi, Ahmad. 1970. Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam. Cet II, Bandung:
Malja.
Maulana Muhammad Sa’ad al
Kandhalawi, 2004, Muntakhab Ahadits: Tuntunan Sifat- sifat
Mulia Para Sahabat Nabi SAW, Pustaka Ramadhan: Jakarta.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
[1] Taufik abdullah, Ensiklopedi Tematik Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban,(jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm 23
[2] Ibid,
hlm 23
[3] Ibid,
hlm 24
[4] Ahmad Hanafi. Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam. (bandung: malja,
1970), Cet II, hlm 52
[5]Ibid, hlm 53
[6] Dedi
Supriyadi, Sejarah Peradaban
Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2008), Hlm 21
[7] Ibid,
hlm 21
[8] Taufik abdullah, Ensiklopedi Tematik
Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban,(jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2002), hlm 26
[9] Dedi
Supriyadi, Sejarah Peradaban
Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2008), Hlm 24
[10] Ibid,
hlm 26
[11] ibid
[12] Taufik abdullah, Ensiklopedi Tematik
Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban,(jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2002)
[13] Muhammad Maulana, Muntakhab
Ahadits: Tuntunan Sifat- sifat Mulia Para Sahabat Nabi SAW, (jakarta:
pustaka ramadhan, 2004),
[14] Ahmad
Hanafi. Pengantar Dan Sejarah Hukum
Islam. (bandung: malja, 1970), Cet II, hlm 57
[15] Ibid,
hlm 57
[16] Ibid,hlm
57
No comments:
Post a Comment