Definisi Eksistensialisme tidak mudah dirumuskan, bahkan kaum eksistensialis sendiri
tidak sepakat mengenai rumusan apa sebenarnya eksistensialisme itu.[1]
Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik filsafat eksistensi
maupun filsafat eksistensialisme sama-sama menempatkan cara wujud manusia
sebagai tema sentral Namun tidak ada salahnya, untuk memberikan sedikit
gambaran tentang eksistensialisme ini, berikut akan dipaparkan pengertiannya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Dalam filsafat dibedakan antaraesensia
daneksistensia. Esensia membuat benda, tumbuhan, binatang dan manusia. Oleh
esensia, sosok dari segala yang ada mendapatkan bentuknya. Oleh esensia, kursi
menjadi kursi. Pohon mangga menjadi pohon mangga. Harimau menjadi harimau.
Manusia menjadi manusia. Namun, dengan esensia saja, segala yang ada belum
tentu berada. Kita dapat membayangkan kursi, pohon mangga, harimau, atau
manusia. Namun, belum pasti apakah semua itu sungguh ada, sungguh tampil,
sungguh hadir. Di sinilah peran eksistensia.
Eksistensia membuat yang ada dan bersosok jelas
bentuknya, mampu berada, eksis. Oleh eksistensia kursi dapat berada di tempat.
Pohon mangga dapat tertanam, tumbuh, berkembang. Harimau dapat hidup dan
merajai hutan. Manusia dapat hidup, bekerja, berbakti, dan membentuk kelompok
bersama manusia lain. Selama masih bereksistensia, segala yang ada dapat ada,
hidup, tampil, hadir. Namun, ketika eksistensia meninggalkannya, segala yang
ada menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak tampil, tidak hadir. Kursi lenyap.
Pohon mangga menjadi kayu mangga. Harimau menjadi bangkai. Manusia mati.
Demikianlah penting peranan eksistensia. Olehnya, segalanya dapat nyata ada,
hidup, tampil, dan berperan.[2]
B. Rumusan masalah
1
Bagaimana
pengertian Eksistensialisme?
2
Bagaimana
Latar Belakang Lahirnya Eksistensialisme?
3
Bagaimana
pandangan tokoh Eksistensialisme?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Eksistensialisme
Definisi eksistensialisme tidak mudah dirumuskan, bahkan
kaum eksistensialis sendiri tidak sepakat mengenai rumusan apa sebenarnya
eksistensialisme itu.[3]
Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik filsafat eksistensi
maupun filsafat eksistensialisme sama-sama menempatkan cara wujud manusia
sebagai tema sentral Namun tidak ada salahnya, untuk memberikan sedikit
gambaran tentang eksistensialisme ini, berikut akan dipaparkan pengertiannya.
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal
dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri.
Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan
keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri
sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut
dasein (da artinya di sana, sein artinya berada).[4]
Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa cara
berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani,
ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi dirinya,
jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan
membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu.
Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat
eksistensialisme ini, perlu kiranya dibedakan dengan filsafat eksistensi. Yang
dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar seperti arti katanya,
yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.[5]
Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan
bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di
dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi cara beradanya tidak sama. Manusia
berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari
dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti
yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu di
antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa
manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar.
Barang-barang yang disadarinya disebut obyek.[6]
B. Latar Belakang Lahirnya Eksistensialisme
Filsafat eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat
yang mengguncangkan dunia walaupun filsafat ini tidak luar biasa dan
akar-akarnya ternyata tidak dapat bertahan dari berbagai kritik.
Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti
penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal
yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji.[7]
Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang
lain. Begitu juga filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau
merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi
dan kondisi dunia, yaitu:
1
Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.[8]
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.[8]
2
Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran; menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran; menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.
3
Situasi
dan Kondisi Dunia
Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan
kondisi di dunia Eropa Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu
itu keadaan dunia tidak menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa
muak atau mual. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan
hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi.
Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang mengalami krisis,
bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama di sana
dan di tempat lain dianggap tidak mampu memberikan makna pada kehidupan.
C. Tokoh-tokoh Eksistensialisme dan Ajarannya
Tokoh-tokoh eksistensialisme ini cukup banyak, di antaranya:
Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Karl Jaspers, Martin Heidegger, Gabriel
Marcel, dan Sartre. Namun dalam makalah ini penulis membatasi pada dua tokoh
ini yang dipandang mewakili tokoh-tokoh lainnya, yaitu Soren Aabye Kierkegaard
dan Jean Paul Sartre.
1
Soren
Aabye Kierkegaard
Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) lahir di Kopenhagen,
Denmark. Ia lahir ketika ayahnya berumur 56 tahun dan ibunya 44 tahun. Ia mulai
belajar teologi di Universitas Kopenhagen. Ia menentang keras pemikiran Hegel
yang mendominasi di Universitas tersebut. Dalam kurun waktu ini ia apatis
terhadap agama, ingin hidup bebas dari lingkungan aturan agama. Setelah
mengalami masa krisis religius, ia kembali menekuni ilmu pengetahuan dan
menjadi Pastor Lutheran.[9]
Pada tahun 1841 ia mempublikasikan buku pertamanya (disertasi MA) Om Begrebet Ironi (The Concept of Irony). Karya ini sangat orisinal dan memperlihatkan kecemerlangan pemikirannya. Ia mengecam keras asumsi-asumsi pemikiran Hegel yang bersifat umum. Karya agungnya terjelma dalam Afsluttende Uvidenskabelig Efterskriff (Consluding Unscientific Postcript) tahun 1846, mengungkapkan ajaran-ajarannya yang bermuara pada kebenaran subyek. Karya-karya lainnya adalah Enten Eller (1843) dan Philosophiske Smuler (1844). Sedangkan buku-buku yang bernada kristiani adalah Kjerlighedens Gjerninger (Work of Love) 1847, Christelige Taler (Christian Discourses) 1948, dan Sygdomen Til Doden (The Sickness into Death) tahun 1948).
Ide-ide pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:
a.
Tentang
Manusia.
Kierkegaard menekankan posisi
penting dalam diri seseorang yang "bereksistensi" bersama dengan
analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman, pilihan,
keputusasaan, dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918,
terutama di Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan
filsuf-filsuf eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan
Buber.
Alur pemikiran Kierkegaard
mengajukan persoalan pokok dalam hidup; apakah artinya menjadi seorang
Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan "wujud" secara umum, ia
memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia mengharapkan agar kita perlu
memahami agama Kristen yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh bagi agama
Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu.
Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat Descartes atau Hegel
akan menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita kepada kedangkalan
makna kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi, khususnya adat kebiasaan
jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak menghayati agamanya,
yang akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa artinya
menjadi seorang kristiani.
Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu "aku umum", tetapi sebagai "aku individual" yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.[10] Kierkegaard sangat tidak suka pada usaha-usaha untuk menjadikan agama Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasonable) dan tidak menyukai pembelaan terhadap agama Kristiani yang menggunakan alasan-alasan obyektif.[11]
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. Ia tidak menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
b.
Pandangan
tentang Eksistensi
Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan
mengajukan pernyataan ini; bagi manusia, yang terpenting dan utama adalah
keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis
tetapi senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan
kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka
besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan,
maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri.
Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebassannya. Kebebasan itu muncul
dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani mengambil
keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani
mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak bereksistensi
dalam arti sebenarnya.[12]
Kierkegaard
membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis, dan rligius.[13]
·
Eksistensi
estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan
masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia
sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang
dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak
mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.
·
Eksistensi
etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan
dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada
hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai
dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual
(estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).
·
Eksistensi
religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah
menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut,
yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan
pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman
religius.
c. Teodise
Menurut Kierkegaard, antara Tuhan
dengan alam, antara pencipta dan makhluk terdapat jurang yang tidak
terjembatani. Ia menjelaskan bahwa Tuhan itu berdiri di atas segala ukuran
sosial dan etika. Sedangkan manusia jauh berada di bawah-Nya. Keadaan seperti
ini menyebabkan manusia cemas akan eksistensinya. Tetapi dalam kecemasan ini,
seseorang itu dapat menghayati makna hidupnya. Jika seseorang itu berada dalam
kecemasan, maka akan membawa dirinya pada suatu keyakinan tertentu. Perilaku
ini memperlihatkan suatu loncatan yang dahsyat di mana manusia memeluk hal yang
tidak lagi masuk akal.[14]
Selanjutnya ia mengatakan bahwa
agama Kristen itu mengambil langkah yang dahsyat, langkah menuju yang tidak
masuk akal. Di sana agama Kristen mulai. Alangkah bodohnya orang yang ingin
mempertahankan agama Kristiani. Tetapi menurut Kierkegaard iman adalah
segala-galanya. Bila seseorang itu memihak agama Kristen atau memusuhinya atau
memihak kebenaran atau memusuhinya. Agama Kristen itu bisa benar secara mutlak
tetapi bisa juga salah secara mutlak.[15]
2. Jean Paul Sartre
Jean Paul Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di
Paris. Ia berasal dari keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang Perwira Besar
Angkatan Laut Prancis dan ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa
modern di Universitas Sorbone. Ketika ia masih kecil ayahnya meninggal,
terpaksa ia diasuh oleh ibunya dan dibesarkan oleh kakeknya. Di bawah pengaruh
kakeknya ini, Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu
pengetahuan dan bakat-bakatnya dikembangkan secara maksimal. Pengalaman masa
kecil ini memberi ia banyak inspirasi. Diantaranya buku Les Most (kata-kata)
berisi nada negatif terhadap hidup masa kanak-kanaknya.[16]
Meski Sartre berasal dari keluarga Kristen protestan dan ia sendiri dibaptiskan menjadi katolik, namun dalam perkembangan pemikirannya ia justru tidak menganut agama apapun. Ia atheis. Ia memngaku sama sekali tidak percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap ini muncul semenjak ia berusia 12 tahun. Bagi dia, dunia sastra adalah agama baru, karena itu ia menginginkan untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang.
Sartre tidak pernah kawin secara resmi, ia hidup bersama Simone de Beauvoir tanpa nikah. Mereka menolak menikah karena bagi mereka pernikahan itu dianggap suatu lembaga borjuis saja. Dalam perkembangan pemikirannya, ia berhaluan kiri. Sasaran kritiknya adalah kaum kapitalis dan tradisi masyarakat pada masa itu. Ia juga mengeritik idealisme dan para pemikir yang memuja idealisme.[17]
Pada tahun 1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Laon dan Paris. Pada periode ini ia bertemu dengan Husserl. Semenjak pertemuan itu ia mendalami fenomenologi dalam mengungkapkan filsafat eksistensialisme-nya. Ia menjadi mashur melalui karya-karya novel dan tulisan dramanya. Dalam bidang filsafat, karyanya yang sangat terkenal adalah Being ang Nithingness, buku ini membicarakan tentang alam dan bentuk eksistensinya. Eksistensialisme dan Humanism yang berisi tentang manusia. Ia juga termasuk tokoh yang membantu gerakan-gerakan haluan kiri dan pembela kebebasan manusia. Dengan lantang ia mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan atau tidak dapat mengendalikan pada kekuatan yang ada di luar dirinya, manusia harus mengandalkan kekuatan yang ada dalam dirinya. Karya-karya yang lain adalah Nausea, No Exit, The Files, dan The Wall.
Ide-ide
pokok Sartre adalah sebagai berikut:
a. Tentang
Manusia
Bagi Sartre, manusia itu memiliki
kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan
manusia itu mungkin tidak mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal.
Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran
budi, dan keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam
novel semi-otobiografi La Nausee (1938) dan essei L'Eksistensialisme est un
Humanism (1946), ia menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi
manusiawi dan kebebasan kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa
sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam
pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul beban tanggung jawab.[18]
Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu "tak ada watak manusia", oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada---seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi". Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia. Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.
3. Dua Tipe Ada: L'etre-pour-Soi dan L'etre-en-Soi
Pemikiran Sartre tentang 'ada' tertuang dalam karya
monumentalnya L'etre et Le neant (Keberadaan dan Ketiadaan). Menurut dia, ada
dua macam "etre" atau :'ada', yaitu L'etre-pour-Soi (ada-untuk
dirinya sendiri) dan L'etre-en-Soi (ada-dalam dirinya sendiri).
a. L'etre-en-Soi (being in itself/ada dalam dirinya sendiri)
L'etre-en-Soi sama sekali identik
dengan dirinya. L'etre-en-Soi tidak aktif, tidak juga paisf, tidak afirmatif
dan juga tidak negatif: kategori-kategori macam itu hanya mempunyai arti dalam
kaitan dengan amnesia. L'etre-en-Soi tidak mempunyai masa silam, masa depan:
tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. L'etre-en-Soi sama sekali
kontingen, yang berarti ia ada begitu saja, tanpa dasar, tanpa diciptakan,
tanpa diturunkan, dari sesuatu yang lain. Jadi ada dalam dirinya sendiri.
Istilah L'etre-en-Soi ini untuk menunjukkan eksistensi di dalamnya seseorang
bertindak sebagai sesuatu yang ada begitu saja, tanpa menyadari bahwa pilihan
otentik, bebas, terbuka bagi semua tindakan seseorang. Kualitas ada-dalam
dirinya sendiri adalah milik semua benda dan manusia sejauh mereka bertindak
sebagai obyek yang diam.
b. L'etre-pour-Soi
Konsep ini tidak mentaati prinsip
identitas seperti halnya dengan etre-en-soi. Diungkapkan di sini, bahwa manusia
mempunyai hubungan dengan keberadaannya. Ia bertanggung jawab atas fakta bahwa
ia ada dan bertanggung jawab atas fakta bahwa ia seorang pekerja. Kalau
benda-benda itu tidak menyadari dirinya ada, tetapi manusia sadar bahwa ia
berada. Di dalam kesadaran ini, yaitu di dalam kesadaran yang disebut
reflektif, ada yang menyadari dan ada yang disadari, ada subyek dan ada obyek.[19]
4. Mauvaise Foi
Konsep ini menjelaskan bahwa penyangkalan diri seseorang
terutama faal tidak mengakui dan tidak menerima bahwa seseorang mempunyai
kebebasan memilih. Sikap ini menghindar tanggung jawab dan takut membuat
keputusan. Konsep ini juga mengandung pengertian kurangnya penerimaan diri,
teristimewa tidak menerima atau menipu diri sendiri tentang apa yang benar
mengenai diri sendiri.
5. Kebebasan
Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep
kebebasan. Ia mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan
perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi mendahului esensi, maksudnya
setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri seseorang. Perumusan ini
menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan akan memberi
rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek.
Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan
saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan,
maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia
dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada
sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri.
Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan
masyarakat dan satu-satunya filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark
telah memberikan kesatuan konkrit dan dialektis antara ide-ide dengan kenyataan
pada masyarakat. Mark telah menekankan konsep keberadaan sosial ketimbang
kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah seorang pemikir yang berhasil
meletakkan makna yang sebenarnya tentang kehidupan dan sejarah. Meski demikian,
Sartre tidak menganggap pemikiran Mark sebagai akhir suatu pandangan filsafat,
karena setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka
persoalan filsafat bukan lagi soal kebutuhan manusia akan makan dan pakaian,
tetapi persoalan filsafat mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti
soal kualitas hidup manusia masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai
relevan untuk masa kini.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1
Meski bermacam-macam pandangan dan
metode dan sikap dalam gerakan eksistensialisme, para filsuf dari kelompok ini
senantiasa memperhatikan kedudukan manusia. Titik sentral pembicaraan mereka
adalah soal keterasingan manusia dengan dirinya dan dengan dunia.
2
Gerakan eksistensialisme ini muncul
sebagai protes atau reaksi dari aliran filsafat terdahulu, yaitu materialisme
dan idealisme serta situasi dan kondisi dunia pada umumnya yang tidak menentu.
Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil
persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi.
3
Kierkegaard dan Sartre merupakan tokoh
yang mewakili aliran eksistensialime ini. Dari latar belakang yang berbeda yang
satu agamawan dan lainnya atheis, mereka mengusung konsep tentang keberdaan
manusia sebagai subyek di dunia ini.
B. Saran
Dengan sangat menyadari bahwa makalah
kami masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu kami menyarankan kepada pembaca
untuk memberikan sumbang saran serta kritikan dalam memperbaiki makalah
kami untuk yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Fuad, Hasan, Kita dan Kami, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2,
Yogyakarta: Kanisius, 1980
M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme, Jakarta: Rineka Cipta,
1990
R.F. Beerling, Filsafat
Dewasa Ini.Terj. Hasan Amin, Jakarta: Balai Pustaka,1966
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya,1992
Titus,
Smith dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat Terj. H.M. Rasjidi, Jakarta:
Bulan Bintang, 1984
[1] Fuad
Hasan, Kita dan Kami (Jakarta:Bulan Bintang. 1974), hlm. 8.
[3] Fuad
Hasan, Kita dan Kami (Jakarta:Bulan Bintang. 1974), hlm. 8.
[4] Ahmad
Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James (Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya. 1992), hlm. 191.
[5] Hasan,
Kita dan Kami, hlm. 7.
[6] Tafsir,
Filsafat Umum, hlm192-193.
[7] R.F.
Beerling, Filsafat Dewasa Ini.Terj. Hasan Amin (Djakarta:Balai Pustaka.1966),
hlm. 11
[8] Tafsir,
Filsafat Umum, hlm. 192
[9] M.
Dagun, Filsafat Eksistensialisme (Jakarta:Rineka Cipta. 1990), hlm. 47
[10] Tafsir,
Filsafat Umum, hlm. 195
[11] Smith
Titus dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat Terj. H.M. Rasjidi (Jakarta:Bulan
Bintang. 1984), hlm. 388
[12] Dagun,
Filsafat Eksistensialisme, hlm. 50-51
[13] Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta:Kanisius. 1980), hlm.
125.
[14] Dagun,
Filsafat Eksistensialisme, hlm.52.
[15] Nolan,
Persoalan-persoalan, hlm. 388
[16] Dagun,
Filsafat Eksistensialisme, hlm.94.
[17] Ibid, hml. 95
[18] Ibid, hml.
95-96
[19]
Ibid, hml. 102