BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setelah kita ketahui jenis makna, relasi makna, teori konteks,
medan makna, dan perubahan makna dan tentunya kita sudah paham entah dari
pengertian maupun pembagian maknanya maka, tibalah kita akan membahas dan
mengkaji pembelajaran semantik yang terakhir yaitu Semantik Kondisi Kebenaran
dan Semantik Tindak Tutur.
Dalam pembahsan kali ini kita akan di kaitkan dengan dua kubu yang
digunakan dalam sebuah pendekatan dalam memaknai sebuah wacana. Kedua kubu itu
kontroversial dalam memaknai sebuah wacana dan berbeda pendapatnya. Dua kubu
tersebut adalah kubu Semantik Kondisi kebenaran dan kubu Semantik Tindak Tutur.
Perbedaan dari kedua kubu tersebut disebabkan oleh perbedaan pendekatan dalam
memaknai sebuah wacana.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian dari Semantik Kondisi Kebenaran dan Semantik Tindak Tutur?
2.
Apa
saja perbedaan antara Semantik Kondisi Kebenaran dan Semantik Tindak Tutur?
3.
Apa
pengertian dari prinsip kerjasama model Grice?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
apa pengertian dari Semantik Kondisi Kebenaran dan Semantik Tindak Tutur.
2.
Mengetahui
perbedaan antara Semantik Kondisi Kebenaran dan Semantik Tindak Tutur.
3.
Mengetahui
prinsip kerjasama model Grice.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pemaknaan
Wacana
Kontroversi pendapat, gagasan atau ide antarpakar dalam memaknai
suatu fenomena, khususnya dalam fenomena kebahasaan, merupakan hal yang wajar,
bahkan tampaknya sudah merupakan suatu kodrat alam. Dari adanya kontroversi ini
sangat menguntungkan bagi para pakar untuk selalu kompetitif dalam mengkaji dan
menemukan teori-teori yang dua kubu yang baru. Kontroversi inilah yang menurut
bahasa agama disebut kontroversi yang membawa rahmat.
Dibidang semantik didapatkan dua kubu yang berbeda pendapat dalam
memaknai wacana. Dua kubu yang kontroversial ini adalah kubu Semantik Kondisi
kebenaran dan Semantik Tutur Kata. Perbedaan yang terjadi diantara keduanya
disebabkan adanya perbedaan pendekatan dalam memaknai wacana. Secara global,
kubu pertama dalam mendekati makna wacana lebih menekankan pada fakta konkret
sedangkan kubu yang kedua lebih menekankan pada aspek-aspek sosio-psikologis.
1)
Semantik
Kondisi Kebenaran (SKK)
Teori SKK ini diperkenalkan oleh seorang ahli logika bernama
Traski. Sampai sekarang teori ini dipelajari oleh para filsuf. Dalam teori ini,
Traski mengemukakan sebuah postulat, bahwa makna suatu pernyataan dapat
diperikan dengan kondisi kebenaran. Dalam melogikan teorinya, Traski
menggunakan rumus sebagai berikut:
a.
S
benar, jika dan hanya jika P
Dimana S adalah makna kalimat dan P merupakan kondisi yang dapat
menjamin kebenaran kalimat itu (Kempson, 1997).
b.
Snow
is white benar, jika dan hanya jika salju itu putih
Kalimat tersebut memiliki kondisi kebenaran makna (truth codition),
karena memang salju tersebut hanya berwarna putih, tidak ada salju yang berwarna selain putih.
c.
Kuning
itu warna pelangi
Kalimat (3) tersebut bila dilihat dari ‘kaca mata’ Traski, jelas
tidak memiliki kebenaran makna. Hal ini karena kalimat (3) tersebut tidak
memiliki kondisi yang menjamin kebenaran pernyataan tersebut.
Formula atau postulat yang dikemukakan oleh Traski tersebut
dianggap masih memiliki kelemahan. Kelemahan pertama berkaitan dengan kondisi
yang dipakai untuk menjamin kebenaran suatu pernyataan. Kelemahan kedua
terletak pada pendekatan filosofisnya. Dalam kaitannya dengan kelemahan
pertama, postulat Traski ini tampaknya berputar-putar dan membingungkan, sebab
pernyataan aslinya dipakai lagi sebagai kondisi yang menjamin kebenaran
pernyataan itu sendiri.
Berkaitan dengan kelemahan formula atau postulat kebenaran makna
yang dikemukakan oleh Traski tersebut, Kempson (1997) menyempurnakan formula
tersebut dengan model formula baru dengan memasukkan batas-batas kondisi wajib
sehingga kebenaran suatu pernyataan tidaklah harus berupa pengulangan
pernyataan itu sendiri.
2)
Semantik
Tindak Tutur (STT)
Teori STT pertama kali diperkenalkan oleh Austin, seorang filusuf
berkebangsaan inggris pada tahun 1962. Menurut Austin, kalimat dapat digunakan
untuk mengungkapkan berbagai hal, dan setiap ujaran dari suatu kalimat
dipengaruhi oleh konteks.
Selanjutnya Austin menegaskan bahwa terdapat banyak hal yang
berbeda yang bisa dilakukan dengan kata-kata. Dalam teori ini juga dikemukakan,
bahwa meskipun kalimat sering digunakan untuk memberitahukan perihal keadaan,
tertentu, harus dianggap sebagai suatu pelaksanaan tindakan.
Dalam kaitannya dengan teori tindak tutur ini, Austin membedakan
tindak tutur menjadi tiga bagian, yaitu: tindak lokusi, tindak ilokusi, dan
tindak perlokusi. Tindak lokusi adalah makna dasar dan referensi dari suatu
ujaran, tindak ilokusi berarti daya yang ditimbulkan oleh pemakaiannya sebagai
suatu perintah, ejekan, keluhan, pujian, dan sebagainya. Sementara itu, tindak
perlokusi berarti dampak terhadap pendengarnya.
Selanjutnya, Searle membuat kategori tindak ilokusi menjadi lima
bentuk tuturan. (a.) Asertif, yaitu keterikatan penutur pada proposisi yang
diungkapkan, misalnya: menyatakan, menyarankan, membual, mengeluh, mengemukakan
pendapat dan melaporkan. (b.) Direktif, yaitu bentuk tuturan yang bertujuan
menghasilkan suatu pengaruh di dalam melakukan suatu tindakan. (c.) Komusif
yaitu bentuk tuturan yang terikat pada suatu tindakan di masa mendatang. (d.)
Ekxpresif, yaitu bentuk tuturan ini berkaitan dengan pengungkapan sifat
kejiwaan terhadap suatu keadaan. (e.) Deklarasi, yaitu suatu bentuk tuturan
yang menghubungkan isi proposisi dengan realita.
Teori tindak tutur juga dapat di gunakan sebagai pendekatan dalam
memaknai teks suci yakni al-Quran, perhatikan contoh berikut ini di kutip dalam
surat al Baqorah ayat 219:
يَسْأَلُونَكَعَنِالْخَمْرِوَالْمَيْسِرِ
ۖ قُلْفِيهِمَاإِثْمٌكَبِيرٌوَمَنَافِعُلِلنَّاسِوَإِثْمُهُمَاأَكْبَرُمِنْنَفْعِهِمَا
ۗ وَيَسْأَلُونَكَمَاذَايُنْفِقُونَقُلِالْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَيُبَيِّنُاللَّهُلَكُمُالْآيَاتِلَعَلَّكُمْتَتَفَكَّرُونَ
Menurut
ash- shobuni latar belakng di tulurkan ayat di atas adalah ketika para sahabat
anshor bersama Umar bin khattab mendatangi Rasulullah. Mereka meminta nasehat
kepada beliau tentang khamar dan judi yang benar-benar telah merusak akal dan
bisa menghabiskan harta benda. Dari aspek formalnya ayat tersebut berbentuk
dekralatif. Tetapi, maksud yang tersimpan dari ayat ini adalah sebuah larangan.
Wujud
perlokusinya yaitu memberikan dampak kepada manusia agar meninggalkan minuman
keras dan berjudi.Larangan minuman keras dan judi juga dipertegas dalam surat
al maidah ayat 90:
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواإِنَّمَاالْخَمْرُوَالْمَيْسِرُوَالْأَنْصَابُوَالْأَزْلَامُرِجْسٌمِنْعَمَلِالشَّيْطَانِفَاجْتَنِبُوهُلَعَلَّكُمْتُفْلِحُونَ
Contoh
lain yang terkait dengan teori tindak tutur terdapat pada contoh berikut ini al
Baqarah ayat 75:
أَفَتَطْمَعُونَأَنْيُؤْمِنُوالَكُمْوَقَدْكَانَفَرِيقٌمِنْهُمْيَسْمَعُونَكَلَامَاللَّهِثُمَّيُحَرِّفُونَهُمِنْبَعْدِمَاعَقَلُوهُوَهُمْيَعْلَمُونَ
Secara
fungsional ayat tersebut tidak di maksudkan untuk meminta informasi, melainkan
sebuah larangan. Makna yang mendasari fungsi tersebut adalah sebuah larangan
yang di latar belakangi oleh harapan yang besar dari rasulullah dan para
sahabat nya kepada orang yahudi untuk memeluk agama islam.
Selanjut
hamka menegaskan bahwa ayat ini merupakan peringatan Allah kepada nabi Muhammad
dan umatnya yang tidak mengharapkan orang yahudi masuk islam. Pendapat yang
sama juga di tegaskan oleh al mahalli dan as suyuti bahwa pernyataan tersebut lil
ingkar yakni la tathmaa’uu
(kamu jangan terlalu berharap).
Kondisi
kesesuayan yang memperkuat pernyataan contoh di atas berfungsi untuk melarang
dan dapat di lacak dari N, Tdan
pesan tutur atau P,S.
Sebagai
perbandingan contoh diatas perhatikan contoh berikut ini yang di ambil dari
surat hud ayat 62:
قَالُوايَاصَالِحُقَدْكُنْتَفِينَامَرْجُوًّاقَبْلَهَٰذَا
ۖ أَتَنْهَانَاأَنْنَعْبُدَمَايَعْبُدُآبَاؤُنَاوَإِنَّنَالَفِيشَكٍّمِمَّاتَدْعُونَاإِلَيْهِمُرِيبٍ
Ajakan
yang di sampaikan ayat tersebut mendapat negatif dari kaum nabi sholeh dan
mereka menolak ajakan nabinya untuk menyembah tuhan. Penolakan yang di
sampaikan oleh kaum ini nabi sholeh, yang berupa seruan yang benar yang di
sertai dengan bukti bukti yang nyata dari tuhannya dan nabi sholeh di beri
rahmat. Reaksi nabi sholeh terhadap pertanyaan kaumnya merupakan tindak
perlokusi dari tindak ilokusiyang di sampaikan oleh kaumnya.
Ayat
lain yang bermakna sama dapat di dekati dari sisi semantik tindaktutur adalah
surah al A’raf ayat 22:
فَدَلَّاهُمَابِغُرُورٍ
ۚ فَلَمَّاذَاقَاالشَّجَرَةَبَدَتْلَهُمَاسَوْآتُهُمَاوَطَفِقَايَخْصِفَانِعَلَيْهِمَامِنْوَرَقِالْجَنَّةِ
ۖ وَنَادَاهُمَارَبُّهُمَاأَلَمْأَنْهَكُمَاعَنْتِلْكُمَاالشَّجَرَةِوَأَقُلْلَكُمَاإِنَّالشَّيْطَانَلَكُمَاعَدُوٌّمُبِينٌ
Dalam
ayat tersebut Allah berpesan kepada adam dan hawa untuk tinggal di syurga dan
memakan buah buahan kecuali buah khaldi karena mereka mendapat bujukan dari
syaitan akhirnya mereka memakan buah yang di larang tersebut. Sehubungan dari
peristiwa adam dan hawa tersebut, Allah mencari sebab atau mengapa peristiwa
itu bisa terjadi.
Dari
uraian di atas ada satu hal mendasar yang perlu di catat dari penggolongan
tindak tutur kedalam bentuk tuturan menurut tokoh prakmatik, yaitu bahwa
berbagai tuturan tersebut dapat di gunakan untuk menyatakan maksud yang sama.
Sebaliknya, berbagai maksud dapat di sampaikan dengan bentuk tuturan yang sama
(leech dan levinson). Sependapat dari hal
tersebut, rahaerdi menyatakan bahwa satu tindak tutur dapat memiliki
maksud dan fungsi yang bermacam-macam. Dengan demikian, satu tindaktutur berupa
pertanyaan tidak selalu meminta informasi melainkan, ada tujuan dan fungsi
sesuai dengan konteks yang menyertai tuturan tersebut.
3)
Semantik
Kondisi Kebenaran Versus Semantik TindakTutur
Dalam memaknai wacana dan memaknai bahasa yang benar terdapat
perbedaan antara SKK dan STT. Teori SKK
dalam memaknai suatu wacana pada pola yg bersifat logis, faktual dan lebih
didasarkan pada pendekatan dikotomis. SKK sebagai sebuah teori yang memberikan
makna yang benar ternyata memiliki kelemahan. Banyak kalimat yang tidak bisa
dilihat dari sisi teori SKK seperti: kalimat tanya, kalimat perintah, maupun
ungkapan-ungkapan performatif.
Bagaimana halnya dengan teori STT? Teori ini tampaknya bisa
menjelaskan makna wacana yang tidak bisa dijelaskan oleh teori SKK. Dari
beberapa contoh yang sudah ada tampaknya lebih akurat apabila di dekati dengan
teori STT daripada SKK. Tetapi, teori STT ini juga mempunyai kelemahan yaitu
teori ini tidak boleh terbentur dengan masalah ketaksaan.
Kelemahan berikutnya yaitu bahwa teori SKK ini bertentangan dengan
pendapat yang di kemukakan sendiri karena teori ini mengandung unsur lokusi.
Selain itu, teori STT ini merupakan bebas makna yang bertentangan dengan dunia
realita.
4)
Prinsip Kerjasama Model Grice
Sehubungan dengan adanya perbedaan antara teori SKK dan teori STT
dalam memaknai wacana memiliki kekurangan dan kelebihan, H. Paul Grice
mengusulkan kaidah mengenai penggunaan bahasa. Kaidah ini mencakup peraturan
tentang efektifitas dan efisiensi suatu percakapan.
Kaidah tersebut terdiri atas dua pokok kaidah, yaitu (a) prinsip
kerjasama dan (b) prinsip sopan santun percakapan. Kaidah grace ini muncul dan
dipertegas bahwa dalam suatu komunikasi ada suatu persetujuan antara penutur
dan pendengar yang disebut dengan prinsip kerjasama.
Empat maksim sebagai kaidah untuk mengefektifkan dan
mengefisiensikan komunikasi yang dikemukakan oleh Grice adalah sebagai berikut:
1.
Maksim
kuantitas yaitu: Memberikan informasi yang tepat.
2.
Maksim
kualitas yaitu: Usahakan agar informasinya benar.
3.
Maksim
hubungan yaitu: Usahakan perkataannya harus relevansi.
4.
Maksim
cara yaitu: usahakan agar mudah dimengerti.
Prinsip sopan santun terdiri atas enam maksim yaitu:
1.
Maksim
kearifan/kebijaksanaan
2.
Maksim
kedermawanan
3.
Maksim
pujian/penghargaan
4.
Maksim
kerendahan hati/kesederhanaan
5.
Maksim
kesepakatan
6.
Maksim
simpati
Menurut leech dan Grundy prinsip sopan santun mempunyai dua kutub,
yaitu kutub negatif dan kutub positif. Dengan apa yang bsudah terjadi , penutur
(pendengar atau pembaca)akan berpedoman bahwa seorang penutur dalam
berkomunikasi tentu menggunakan maksin-maksin itu.
Berkaitan dengan perlunya suatu prinsip kerjasama para filusuf
mengambil contoh kasus grace yang berupa seorang mahsiswa yang meminta
referensi terhadap tutornya padahal itu tidak boleh karena telah melanggar
maksin kuantitas. Dengan menggunakan prinsip kerjasama antara penutur
(pembicara atau penulis) dan penutur (pendengar atau pembaca maka wacana dapat
dimaknai dengan benar.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan apa yang sudah dijelaskan diatas maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1.
Gagasan
atau ide diantara para pakar dalam memaknai fenomena kebebasan sudah merupakan hal
yang wajar.
2.
Adanya
suatu kontroversi yang sehat, kerena
dari masing-masing kubu yang berbeda agar bisa saling melengkapi dan
menyempurnakan kekurangan yang ada pada setiap paradigma.
3.
Terdapat
perbedaan dalam teori SKK dan STT dalam memaknai suatu wacana.
4.
Teori
SKK dan teori STT memiliki kelemahan.
5.
Berhubungan
dengan kelemahan teori SKK dan STT, Grace mengusulkan kaidah komunikasi yang
efektif dan efisien yang disebut kerjasama.
No comments:
Post a Comment