BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Lembaga pendidikan Islam yang paling variatif adalah pesantren,
mengingat adanya kebebasan pada kyai pendirinya untuk mewarnai pesantrennya itu
dengan penekanan pada kajian tertentu. Misalnya, ada pesantren ilmu alat,
pesantren fiqih, pesantren al-qur’an, pesantren hadis, atau pesantren tasawuf. [1]
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan islam yang tertua dan
mayoritas masih mengggunakan tradisi dalam melaksanakan sistem pembelajarannya,
bukan berdasarkan profesionalisme baik dari segi skill, conceptual
skill maupun technical skill secara terpadu. Akibatnya tidak ada
perencanaan yang matang, distribusi kekuasaan atau kewenangan yang baik dan
sebagainya. Namun mengalami kemajuan seiring dengan berkembangnya budaya, yakni
telah didirikan sekolah baik formal maupun nonformal.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran di pondok
pesantren?
2.
Bagaimana perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran di pondok
pesantren?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran di pondok pesantren.
2.
Untuk mengetahui perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran di pondok
pesantren.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Perencanan dan Pelaksanaan Pembelajaran Di Pondok
Pesantren
Sebelum kami memasuki pada perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
di pondok pesantren, kami akan mendeskripsikan terlebih dahulu apa itu
perencanaan, pelaksanaan, pembelajaran. Yang mana perencanaan dan pelaksanaan
termasuk ke dalam fungsi-fungsi manajemen.
Dalam ilmu manajemen perencanaan sering disebut dengan istilah planning
yaitu persiapan menyusun suatu keputusan berupa langkah-langkah penyelesaian
suatu masalah atau pelaksanaan suatu pekerjaan yang terarah pada tujuan
tertentu.
Menurut William H. Newman menjelaskan bahwa perencanaan adalah
menentukan apa yang dilakukan.[2]
Sementara menurut Albert Silalahi menyatakan bahwa perencanaan merupakan
kegiatan menetapkan tujuan serta merumuskan dan mengatur pemberdayaan manusia,
informasi, finansial, metode dan waktu untuk memaksimalkan efisiensi dan
efektifitas pencapaian tujuan.[3]
Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
perencanaan adalah suatu cara yang dilakukan seseorang secara sistematik untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.[4]
Adapun
pengertian pelaksanaan menurut Westra adalah sebagai usaha-usaha
yang dilakukan untuk melaksanakan semua rencana dan kebijaksanaan yang telah
dirumuskan dan ditetapkan dengan melengkapi segala kebutuhan alat-alat yang
diperlukan, siapa yang akan melaksanakan, dimana tempat pelaksanaannya dan
kapan waktu dimulainya.[5]
Sedangkan
menurut Bintoro Tjokroadmudjoyo, Pengertian
Pelaksanaan ialah sebagai proses dalam bentuk rangkaian kegiatan,
yaitu berawal dari kebijakan guna mencapai suatu tujuan maka kebijakan itu
diturunkan dalam suatu program dan proyek.[6]
Dari kedua
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan merupakan suatu aplikasi
nyata untuk mewujudkan suatu perencanaan yang telah ditentukan oleh sekelompok
orang dalam sebuah organisasi atau lembaga pendidikan.
Adapun pengertian pembelajaran menurut Johnson adalah sebagai
interaksi antara pengajar dengan satu/lebih individu untuk belajar,
direncanakan sebelumnya dalam rangka untuk menumbuh kembangkan pengetahuan,
keterampilan, dan pengalaman belajar kepada peserta didik.[7]
Sedangkan Hamalik mengatakan bahwa makna dari pembelajaran adalah
sebagai suatu kombinasi yang tersusun meliputi nsur-unsur manusiawi, fasilitas,
perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan
pembelajaran.[8]
Sedangkan pembelajaran menurut KBBI berasal dari kata belajar yang
artinya berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, atau berubah tingkah laku
atau tanggapan yang diperoleh melalui pengalaman.[9]
Jadi dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan suatu aktifitas
mempengaruhi peserta didik untuk menumbuh kembangkan potensi masing-masing
sehingga mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.
Sedangkan pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan Islam yang di
dalamnya terdapat Kyai atau pendidik yang mengajar dan mendidik para santri
atau anak didik dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan
pendidikan, serta didukung dengan adanya pondok sebagai tempat tinggal para
santri.[10]
Kehadiran kerajaan Bani Umayyah merupakan latar belakang pesatnya
ilmu pengetahuan sehingga anak-anak masyarakat Islam tidak hanya belajar di
masjid tetapi juga pada lembaga-lembaga yang ketiga, yaitu kuttab (pondok
pesantren). Kuttab ini dengan karakteristik khasnya, merupakan wahana
dan lembaga pendidikan Islam yang semula sebagai lembaga baca dan tulis.
Pada tahap berikutnya kuttab mengalami perkembangan pesat,
karena di dukung oleh dana dari iuran pendidikan dari masyarakat, serta adanya
rencana-rencana yang harus dipatuhi oleh pendidik dan anak didik. Adapun di Indonesia
istilah kuttab lebih dikenal dengan istilah “pondok pesantren” .
Adapun tujuan terbentuknya pondok pesantren adalah:
1. Tujuan umum
Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian
Islam yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi mubaligh Islam dalam
masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
2.
Tujuan khusus
Mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama
yang diajarkan oleh Kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam
masyarakat.[11]
Jadi pengertian perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran di pondok
pesantren adalah suatu kegiatan menetapkan tujuan dan merumuskan serta mengatur
pemberdayaan manusia serta sumber-sumber daya yang lainnya dan menerapkan dalam
dunia nyata untuk mengembangkan potensi peserta didik atau santri di pondok
pesantren.
B.
Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran Di Pondok Pesantren
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di
Indonesia, oleh karena itu pondok
pesantren mayoritas masih mengggunakan tradisi dalam melaksanakan sistem
pembelajarannya bukan berdasarkan profesionalisme baik dari segi skill, conceptual
skill maupun technical skill secara terpadu. Akibatnya tidak ada
perencanaan yang matang, distribusi kekuasaan atau kewenangan yang baik dan
sebagainya.
Tradisi ini merupakan salah satu kelemahan pesantren meskipun dalam
batas-batas tertentu dapat menumbuhkan kelebihan. Dalam perspektif manajerial
landasan tradisi dalam mengelola suatu lembaga termasuk pesantren, menyebabkan
produk pengelolaan itu asal jadi tidak memiliki fokus strategi yang terarah,
dominasi personal terlalu besar dan cenderung eksklusif dalam pengembanganya.
Mayoritas pesantren menganut pola “serba mono”, mono manajemen dan
mono administrasi sehingga tidak ada delegasi kewenangan ke unit-unit kerja
lain yang ada adalam organisasi. Di samping itu masih ada kebiasaan sistem
pendidikan pesantren yang menerapkan manajemen “serba informal”.
Pola serba mono dan serba informal itu ternyata memiliki hubungan
yang sangat erat sekali. Kebiasaan pengelolaan yang serba mono dengan kebijakan
yang terpusat hanya pada Kyai mengakibatkan mekanisme formal tidak berlaku
lagi, sementara keputusan-keputusan Kyai bersifat deterministik dan keharusan
untuk dijalankan. [12]
Sebagai lembaga yang tertua pondok pesantren memiliki model-model
pembelajaran yang bersifat nonklasikal,yaitu model sistem pendidikan dengan
metode pembelajaran wetonan, dan sorogan.
Metode wetonan merupakan metode yang di dalamnya terdapat seorang
Kyai yang membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa
kitab yang sama lalu santri mendengar dan menyimak bacaan Kyai. Metode ini
dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif. Metode sorogan
merupakan metode yang santrinya cukup pandai men-sorog-kan (mengajukan)
sebuah kitab kepada Kyai untuk dibaca dihadapannya, kesalahan dalam bacaannya
itu langsung dibenarkan oleh Kyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses
belajar mengajar individual.
Ciri-ciri khusus dalam pondok pesantren adalah isi kurikulum yang
difokuskan pada ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu sintaksis arab, morfologi arab,
hukum islam, sistem yurispondensi islam, hadis, tafsir al-qur’an, teologi islam,
tasawuf, tarikh, dan retorika. Literatur ilmu-ilmu tersebut memakai kitab-kitab
klasik yang disebut dengan istilah “kitab kuning” dengan ciri-ciri sebagai
berikut:
1.
Kitab-kitabnya berbahasa arab
2.
Umumnya tidak memakai syakal bahkan tanpa titik dan koma
3.
Berisi keilmuan yang cukup berbobot
4.
Metode penulisannya diamggap kuno dan relefansinya terhadap ilmu kontemporer
kerap kali tampak menipis
5.
Lazimnya dikaji dan dipelajari di pondok pesantren
6.
Banyak diantara kertasnya berwarna kuning.[13]
Sistem yang diguanakan
pesantren juga mempunyai keunikan dibandingkan dengan sistem yang diterapkan
dalam pendidikan pada umumnya diantaranya adalah:
1.
Memakai sistem tradisional yang mempunyai kebebasan penuh
dibandingkan sekolah modern, sehingga terjadi hubungan dua arah antara santri
dengan Kyai.
2.
Kehidupan di pesantren menampakkan semangat demokrasi karena mereka
praktis bekerja sama mengatasi problema non-kurikuler mereka (santri).
3.
Para santri tidak mengidap penyakit “simbolis” yaitu perolehan
gelar dan ijazah, karena sebagian besar pesantren tidak mengeluarkan ijazah,
sedangkan santri dengan ketulusan hatinya masuk pesantren tanpa adanya ijazah
tersebut. Hal itu karena tujuan mereka hanya ingin mencari keridhaan Allah.
4.
Sistem pondok pesantren menggunakan kesederhanaan, idealisme.
Persaudaraan, rasa percaya diri, dan keberanian hidup.
5.
Alumni pondok pesantren tidak ingin menduduki jabatan pemerintahan.
Sehingga mereka hampir tidak dapat dikuasai oleh pemerintah. [14]
Pada tahap selanjutnya, pondok pesantren mulai menampakkan
eksistensinya sebagai lembaga pendidikan islam yang mumpuni, yaitu di dalamnya
didirikan sekolah baik formal maupun nonformal. Akhir-akhir ini pondok
pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi
terhadap sistem yang selama ini dipergunakan yaitu:
1.
Mulai akrab dengan metodologi ilmiyah modern.Modernisasi pendidikan
Islam jika dilihat dari perspektif perkembangan dan peradaban dunia tampaknya
memang merupakan hal yang tidak dapat
dielakkan dari pesantrean. Akan tetapi hampir seluruh pemikir islam modern
sepakat bahwa pada dasarnya tidak ada pertentangan antara islam dengan
modernisasi.[15]
2.
Semakin berorientasi pad pendidikan dan fungsional, artinya terbuka
atas perkembangan di luar dirinya.
3.
Diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan
ketergantungannya pun absolut dengan Kyai, dan sekaligus dapat membekali para
santri dengan berbagai pengetahuan di luar maat pelajaran agama maupun
keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja.
4.
Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.[16]
Kecenderungan-kecenderungan tersebut bukan berarti pondok pesantren
telah menduduki posisi sebagai lembaga yang paling elit, tetapi di
tengah-tengah arus perubahan arus sosial budaya justru kecenderungan tersebut
menjadi masalah baru yang perlu dipecahkan yaitu:
1.
Masalah integrasi pondok pesantren ke dalam sistem pendidikan
nasional.
2.
Masalah pengembangan wawasan sosial, budaya, dan masalah ekonomi.
3.
Masalah pengalaman kekuatan dengan pihak-pihak lain untuk mencari
tujuan membentuk masyarakat yang diinginkan.
4.
Masalah berhubungan dengan keimanan dan keilmuan sepanjang yang
dihayati pondok pesantren.[17]
Di pihak lain, pondok pesantren kini mengalami transformasi kultur,
sistem dan nilainya. Pondok pesantren yang dikenal dengan “salafiah” kini telah
berubah menjadi dengan “khalafiah”. Transformasi tersebut sebagai jawaban atas
kritik-kritik yang diberikan pada pesantren dalam arus transformasi masa ini,
sehingga dalam sistem sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi
perubahan yang drastis, misalnya:
1.
Perubahan sistem pembelajaran dari perseorangan atau sorogan
menjadi sistem klasikal yang kemudian kita kenal dengan istilah madrasah atau
sekolah
2.
Pemberian pengetahuan umum disamping masih mempertahankan
pengetahuan agama dan bahasa arab
3.
Bertambahnya komponen pendidikan pondok pesantren misalnya
keterampilan sesuai dengan kemamopuan dan kebutuhan masyarakat sekitar,
kepramukaan untuk melatih kedisiplinan dan pendidikan agama, kesehatan dan
olahraga serta kesenian yang islami.
4.
Lulusan pondok pesantren diberikan syahadah atau ijazah sebagai
tanda tamat dari pesantren tersebut dan ada sebagian syahadah tertentu yang
nilainya sama dengan ijazah negeri.[18]
Adapun
kelebihan pesantren terletak pada kemampuan menciptakan sebuah sikap hidup
universal yang merata, yang di ikuti oleh semua santri, sehingga santri lebih
bersikap hidup dan tidak menggantungkan diri kepada dan lembaga masyarakat
apapun. Di samping itu, pesantren juga dapat memelihara sub-kultural sendiri.
Hal ini terlihat dari gaya hidupnya yang berbeda dengan masyarakat umumnya, dan
ukuran-ukuran serta pandangan hidupnya bersifat ukhrawi dan menolah pandangan
hidup yang materialistik.
Adapun visi
kekurangan pesantren adalah kurang adanya perencanaan yang terperinci dan
rasional atas jalannya pendidikan dan pembelajaran yang dilaksanakan. Tidak
adanya keharusan membuat kurikulum dalam susunan yang lebih mudah dicerna dan
dikuasai oleh para santri. Di samping itu, sistem pemberian materi masih
tradisional, dan visi lain, hampir tidak ada prioritas antara materi yang satu
dengan yang lainnya, serta kegiatan yang satu dengan yang lainnya. Bahkan
pedoman yang digunakan pun tidak mempunyai nilai-nilai edukatif sehingga
lembaga tersebut (pesantren) tidak memiliki landasan filsafat pendidikan yang
utuh.
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pondok pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam adalah:
1.
Lembaga pendidikan pesantren melaksanakan pendidikan tepadu yaitu
untuk kematangan teoritis-intuitif. Sikap yang merupakan keterampilan khusus
dan merupakan aplikasi dari teori tersebut.
2.
Tujuan pendidikan pesantren sekarang tidak hanya duniawi akan tetapi
sampai pada ukhrawi untuk mencapai keridhaan Allah.
3.
Lembaga pendidikan pesantren merupakan pusat pertemuan antara ulama
dan umat, antara ilmuwan (expert) dan masyarakat awam (layman),
antara individu dan masyarakat, antara pemimpin dan rakyat, dan antara klien
dan konsultan, dan sebagainya.
4.
Di samping itu, pesantren merupakan agen konservasi (pengawetan),
pendalaman, pemurnian nilai adabi dan buadaya serta pusat pelaksanaan proses
akulturasi. Yang menggunakan pola dan sistem sendiri.[19]
Jadi dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren sebagai lembaga
pendidikan tertua di Indonesia lumayan diminati oleh sebagian masyarakat karena
kelebihan pesantren yang terletak pada kemampuan menciptakan sebuah sikap hidup
universal yang merata, yang di ikuti oleh semua santri, sehingga santri lebih bersikap
hidup dan tidak menggantungkan diri kepada dan lembaga masyarakat apapun. Di
samping itu, pesantren juga dapat memelihara sub-kultural sendiri. Hal ini
terlihat dari gaya hidupnya yang berbeda dengan masyarakat umumnya, dan
ukuran-ukuran serta pandangan hidupnya bersifat ukhrawi dan menolah
pandangan hidup yang materialistik.
Sehingga dengan adanya minta juga perkembangan gaya hidup
masyarakat pondok pesantren mengalami transformasi kultural, nilai dan lain
sebagainya. Yang mengikuti perkembangan zaman.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran di
pondok pesantren adalah suatu kegiatan menetapkan tujuan serta merumuskan dan
mengatur pemberdayaan manusia serta sumber-sumber daya yang lainnya dan
menerapkan dalam dunia nyata untuk mengembangkan potensi peserta didik atau
santri di pondok pesantren.
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di
Indonesia, oleh karena itu pondok
pesantren mayoritas masih mengggunakan tradisi dalam melaksanakan sistem
pembelajarannya bukan berdasarkan profesionalisme baik dari segi skill, conceptual
skill maupun technical skill secara terpadu. Akibatnya tidak ada
perencanaan yang matang, distribusi kekuasaan atau kewenangan yang baik dan
sebagainya.Ciri-ciri khusus dalam pondok pesantren adalah isi kurikulum yang
difokuskan pada ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu sintaksis arab, morfologi arab,
hukum Islam, sistem yurispondensi Islam, hadis, tafsir al-qur’an, teologi
islam, tasawuf, tarikh, dan retorika. Literatur ilmu-ilmu tersebut memakai
kitab-kitab klasik yang disebut dengan istilah “kitab kuning”.
B.
Saran
Kami sebagai penulis makalah mengharapkan kepada Kiai untuk lebih
menngkatkan mutu pondok pesantren dengan metode-metode dan strategi-strategi
pembelajaran di pondok pesantren yang dipimpinnya agar para santri (output)
sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Yakni para santri bisa
mengaplikasikan ilmu dan amalnya dalam masyarakat sehiingga bisa menjadi uswah
hasanah bagi masyarakat sekitar. Mampu menjadikan santri kompeten dalam bidang
imu agama.
Untuk para santri diharapakan bisa mendukung dengan penuh semangat
proses pembelajaran di pondok pesantren dengan cara mengikuti sungguh-sungguh
kegiatan apapun di pondok pesantren serta mematuhi segala tata tertib yang
telah ditetapkan oleh Kiai.
Untuk wali santri diharapkan juga bisa membantu membimbing anaknya
agar tidak berupaya melakukan hal-hal yang menyimpang dari aturan pesantren.
DAFTAR RUJUKAN
Azra, Azyumardi.
Esei-esi Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1998.
Buna’i. Perencanaan
Pembelajaran PAI .Surabaya: CV Salsabila Putra Pratama, 2013.
http://www.pengertianpakar.com/2014/12/pengertian-pengelolaan-perencanaan-dan.html.
M, Amien Rais.cakrawala
Islam Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan, 1989.
Mujib, Abdul. Ilmu
Pendidikan islam. Jakarta: Kencana Prenada Media group. 2014.
Muhaimin, Abdul
Mujid. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda Karya, 1993.
Qomar, Mujamil.
Manajemen Pendidikan Islam. Jakarta: erlangga, 2007.
[1]Mujamil Qomar, Manajemen
Pendidikan Islam. (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 58.
[2]Buna’i, Perencanaan
Pembelajaran PAI (Surabaya: CV Salsabila Putra Pratama, 2013), hlm. 02.
[3]Ibid.
[4]Ibid.
[5]http://www.pengertianpakar.com/2014/12/pengertian-pengelolaan-perencanaan-dan.html
[6]Ibid.
[7]Buna’i. Op.
Cit. hlm. 03.
[8]Buna’i, hlm.
03.
[9]Buna’i, hlm. 03.
[10] Muhaimin, Pemikiran
Pendidikan Islam (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 299.
[11]Ibid, hlm. 298.
[12]Mujamil
Qomar,hlm. 59-60.
[13]Abdul Mujib, Ilmu
Pendidikan islam (Jakarta: Kencana Prenada Media group, 2014), hlm. 236.
[14]Amien Rais, M, cakrawala
Islam Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1989), hlm. 162.
[15]Azyumardi Azra,
Esei-esi Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1998), hlm.93.
[16]Muhaimin, Pemikiran
Pendidikan Islam (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 300.
[17]Ibid. hlm. 301
[18]Ibid.
[19]Ibid. hlm.
300-304.
No comments:
Post a Comment