BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara umum ketentuan-ketentuan yang
di atur dalam KHI dalam bidang Hukum Perkawinan pada pokoknya merupakan
penegasan ulang dalam Unda-Undang Nomor1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
peraturan Pemerintah Nomor9 Tahun 1975 disertai dengan penjabaran lanjut.
B.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana Landasan Filosofi Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam?
b.
Bagaimana Landasan Idiil Perkawinan ?
c.
Bagaimana Landasan Yuridis ?
d.
Bagaimana Aturan Peminangan dalam Kompilasi Hukum Islam ?
e.
Bagaimana Persetujuan Calon Mempelai dalam kompilasi hukum islam ?
f.
Bagaimana penetapan batas umur calon mempelai dalam kompilasi hukum
islam ?
g.
Bagaimana Pencatatan perkawinan dalam kompilasi hukum islam ?
C.
Tujuan Masalah
a.
Untuk mengetahui landasan filosofi perkawinan dalam kompilasi hukum
islam.
b.
Untuk mengetahui landasan idiil perkawinan.
c.
Untuk mengetahui landasan yuridis.
d.
Untuk mengetahui Aturan Peminangan dalam Kompilasi Hukum Islam.
e.
Untuk mengetahui Persetujuan Calon Mempelai dalam kompilasi hukum
islam.
f.
Untuk mengetahui penetapan batas umur calon mempelai dalam
kompilasi hukum islam.
g.
Untuk mengetahui Pencatatan perkawinan dalam kompilasi hukum islam.
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 Bab I Pasal 1 yang dimaksud perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa berlaku untuk semua agama.
Rukun dan syarat perkawinan:
a.
Adanya calon
suami
b.
Adanya calon
istri
c.
Harus adanya
wali nikah calon istri
d.
Harus ada dua
orang saksi laki-laki
e.
Harus ada
mahar
Adapun syarat-syarat Mahar yaitu:
a.
Sesuatu benda
yang diserahkan oleh calon suami
b.
Halal artinya
baik bendanya maupun cara perolehan benda yang akan dijadikan mahar adalah
halal
c.
Adanya Ijab
Qobul
Menurut Undang – undang No.1 Tahun 1974 tentang syarat sahnya
perkawinan:
1. Pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua belah pihak sehingga perkawinan tidak boleh didasarkan atas dasar paksaan.
1. Pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua belah pihak sehingga perkawinan tidak boleh didasarkan atas dasar paksaan.
2. Pasal 7 Ayat 1
disebutkan bahwa calon mempelai laki – laki harus sudah berumur 19 tahun dan
untuk mempelai perempuan adalah 16 tahun.
3. Pasal 6 Ayat 2
disebutkan apabila calon suami atau calon istri belum berumur seperti
disebutkan pada pasal 7 Ayat 1 maka calon pengantin tersebut harus mendapat
izin terlebih dahulu dari orang tuanya atau walinya karena mereka dianggap
belum dewasa secara hukum. Apabila izin dari orang tuanya tidak didapat maka
calon pengantin tersebut dapat meminta izin.
A.
Landasan Filosofi Perkawinan
Pada Pasal 2 KHI dicantumkan
landasanfilosofi perkawinan sesuai dengan ajaran islam tanpa mengurangi
landasan filosofi perkawinan berdasar Pancasila yang diatur dalam pasal 1 UU
No.1 Tahun 1974.
Landasan Filosofi Perkawinan
nasional yang berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa dipertegas dan di perluas
dengan ketentuan:
1.
Perkawinan semata-mata”Mentaati Perintah Allah”
2.
Melaksanakan Perkawinan adalah”Ibadah”
3.
Ikatan perkawinan bersifat”mitsaqon Gholidlon”
Dalam penegasan landasan filosofis
tersebut dirangkum secara terpadu antara aqidah,ubudyah dan mu’amalah yang
berkaitan secara langsung antara”huququllah” dan “huququl’ibad”.Selain itu juga
dinyatakan bahwa ikatan perkawinan sebagai “mitsaqon gholidzon” atau “ikatan
yang kokoh” denngan harapan dapat memberi kessadaran dan pengertian kepada
masyarakat bahwa perkawinan adalah mentaati perintah Allah dan sekaligus merupakan
ibadah yang harus dipertahankan kelangsungan dan kelestariannya.
B.
Landasan Idiil Perkawinan
Tanpa mengurangi Landasan Perkawinan
yang diatur dalam pasal UU No.1 Tahun 1974 yaitu untuk membentuk’’Keluarga
bahagia dan kekal’’pasal 3 KHI mempertegas dan memperluasnya ke arah
nilai-nilai yang mengandung ruh Islam seperti yang di atur dalam surat Ar-Ruum;21
Yaitu:”Sakinah,mawaddah dan rahmah” dan sekaligus terkait dengan nilai-nilai
operasional yang diatur dalam surat Al-Baqoroh:187”hunna libasun lakum wa antum
libasun lahunna”Surat An-Nisa’:19”Wa ‘asyruhunna bi al ma’ruf” dan sabda Nabi
“Hendaklah saling nasihat menasihati dengan baik dalam kehidupan rumah
tangga(kaum wanita) dengan baik”.
C.
Landasan Yuridis
Pasal2 UU No.1 Tahun 1974 telah menetapkan landasan yuridis
perkawinan nasional, yaitu dilakukan menurut hukum agama dan di catatkan
menurut perundang-undangan yang berlaku
Landasan Yuridis tersebut diperjelas
dalam pasal 4,5,6 dan 7 KHI sekaligus diaktualkan ketertiban peerkawinan
masyarakat islam serta dianulir “Kebolehan” Yang dirumuskan dalam S.
Al-Maidah:5 menjadi “Larangan” seperti rumussan pada pasal 40 KHI alasan
kondisi,situasi dan maslahah.Dengan demikian KHI memuat aturan:
1.
Sahnya perkawinan jika dilaksanakan menurut hukum islam
2.
Pria islam dilarang kawin dengan wanita non islam
3.
Setiap perkawinan harus dicatat
4.
Perkawinan dianggap sah jika dilaksanakan di hadapan PPN
5.
Perkawinan di luar PPN adalah “Perkawinan Liar”
6.
Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat
oleh PPN
Pokok-pokok aturan tersebut
menunjukkan bahwa KHI telah mengakui sepenuhnya campur tangan penguasa dalam
praktik perkawinan.
D.
Aturan Peminangan
Demi tertibnya cara-cara peminangan
berdasar moral dan yuridis,KHI menentukan aturan-aturan:
1.
Pada prinsipnya semua ketentuan peminangan berdasar pada Al-Qur’an
ditambah dengan fiqh standar yang telah dimodifikasi secara praktis,rasional
dan aktual.
2.
Nilai-nilai etika dan yuridis Adat tidak dihalangi penerapannya.
E.
Persetujuan Calon Mempelai
UU No.1 Tahun 1974 dan KHI
menentukan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah adanya persetujuan calon
mempelai (pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasasl 16 ayat
(1) KHI).Persetujuan itu penting agar masing-masing suami istri memasuki
lembaga perkawinan dan rumah tangga benar-benar dapat dengan senang hati
membagi tugas,hak dan kewajiban secara proporsional.
Menurut Ahmad Rofiq, bahwa persetujuan calon mempelai merupakan
hasil dari peminangan (khitbah)[1]karena
persetujuan tidak mungkin atau setidaknya sulit dilakukan apabila masing-masing
calon tidak saling mengenal atau mengetahui.
Kompilasi merumuskan materi
persetujuan pada pasal 16 ayat (2):”Bentuk persetujuan calon mempelai wanita
dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan,lisan atau
isyarat,tetapi dapat juga berupa diam dalam arti tidak ada penolakan yang
tegas”.
Sebagai pengukuhan adanya
persetujuan calon mempelai,pegawai pencatat Nikah menanyakan kepada mereka
sebagaimana yang diatur dalam pasal 17 KHI:
a.
Sebelum berlangsungnya perkawinan,pegawai pencatat nikah menanyakan
lebih dahulu persetujuan calon mempelai dihadapan dua orang saksi.
b.
Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah satu calon
mempelai,maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.
c.
Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu
persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisa atau isyarat yang dapat dimengerti.
Ketentuan tersebut dapat difahami
sebagai antitesis terhadap anggapan sementara masyarakat ,bahwa kawin
paksa-wali memaksa anak perempuannya untuk dikawinkan dengan laki-laki
pilihannya masih dikawinkan.
F.
Penetapan Batas Umur Calon Mempelai
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 ayat (1) menyatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah berumur 16
(enam belas) tahun”.Ketentuan batas umur ini juga disebutkan dalam Kompilasi
pasal 15 Ayat (1) didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan
rumah tangga perkawinan.Ini sejalan dengan prinsip yang ditetapkan pada
Undang-Undang Perkawinan,bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa raganya
agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan dengan baik tanpa berakhir pada
perceraian,mendapat keturunan yang baik dan sehat.Untuk itu,harus dicegah adanya
perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur.
Rendahnya usia kawin,lebih banyak
menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan tujuan perkawinan,yaitu
terwujudnya ketentraman dalam rumah tangga berdasarkan kasih sayang.Tujuan ini
tentu akan sulit terwujud apabila masing-masing mempelai belum masak jiwa dan
raganya.Kematangan dan integritas pribadi yang stabil akan sangat berpengaruh
dalam menyelesaikan setiap problem yang muncul dalam menghadapi liku-liku dan
badai rumah tangga.
Khusus bagi pihak calon mempelai
calon wanita,penetapan batas umur perkawinan sangat menguntungkan karena akan
terhindar dari resiko kesehatan,terutama kesehatan reproduksinya.
G.
Pencatatan Perkawinan
Pada mulanya Hukum Islam tidak
mengatur secara konkrit tentang adanya ketentuan pencatatan perkawinan.Akan
tetapi, karena tuntutan perkembangan dan dengan berbagai pertimbangan
kemaslahatan,hukum islam di Indonesia mengatur lembaga pencatatan untuk tujuan
mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat.
Lembaga Pencatatan perkawinan
menurut Ahmad Rofiq merupakan salah satu upaya perundang-undangan untuk
melindungi martabat dan kesucian perkawina,dan lebih khusus lagi untuk
melindungi perempuan dalam kehidupan rumah tangganya.Melalui pencatatan
perkawinan yang dibuktikan dengan Akta Nikah yang masing-masing suami istri
mendapat salinannya,maka apabila terjadi perselisihan atau percekcokan diantra
mereka,atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab dan mengingkari
kesepakatan perkawinan,maka pihak yang lain dapat melakukan upaya hukum guna
memperthankan dan memperoleh hak masing-masing.Jadi,Akta Perkawinan berfungsi
sebagai bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.
Pasal 5 KHI menjelaskan:
(1)
Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam,setiap
perkawinan harus dicatat.
(2)
Pencatatan perkawinan tersebut pada Ayat (1) dilakukan oleh pegawai
pencatat nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946
Jo.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.
Teknis pelaksanaannya dijelaskan
dalam pasal 6 KHI:
(1)
Untuk memenuhi ketentuan pada pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2)
Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
tidak mempunyai kekuatan bhukum.
Memperhatikan ketentuan hukum yang
mengatur tentang pencatatan perkawinan,dapat di fahami bahwa pencatatan
tersebut adalah syarat administratif.Artinya perkawinan tetap sah,karena ukuran
sah tidaknya perkawinan ditentukan oleh norma agama dari pihak yang melaksanakan
perkawinan.Pencatatan perkawinan diatur karena tanpa dicatatkan,perkawinan
tidak mempunyai kekuatan hukum.Akibatnya,apabila salah satu pihak melalaikan
kewajiban,maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum karena tidak adanya
bukti otentik dari perkawinan yang telah dilaksanakan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 Bab I Pasal 1 yang
dimaksud perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa berlaku untuk semua agama.
Menurut Undang – undang No.1 Tahun 1974 tentang syarat
sahnya perkawinan:
1. Pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua belah pihak sehingga perkawinan tidak boleh didasarkan atas dasar paksaan.
1. Pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua belah pihak sehingga perkawinan tidak boleh didasarkan atas dasar paksaan.
2. Pasal 7 Ayat 1 disebutkan bahwa calon mempelai laki – laki harus
sudah berumur 19 tahun dan untuk mempelai perempuan adalah 16 tahun.
3. Pasal 6 Ayat 2 disebutkan apabila calon
suami atau calon istri belum berumur seperti disebutkan pada pasal 7 Ayat 1
maka calon pengantin tersebut harus mendapat izin terlebih dahulu dari orang
tuanya atau walinya karena mereka dianggap belum dewasa secara hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Musawwamah, BUKU AJAR Hukum
Perdata Islam di Indonesia,Stain Pamekasan Press, Pamekasan, 2006.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cetIII, PT
Rajawali Grafindo Persada, Jakarta,1998.
[1]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cetIII, PT
Rajawali Grafindo Persada, Jakarta,1998, hlm
74.
No comments:
Post a Comment