Dalam pendidikan islam, peserta
didik “anak" yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik, maupun
psikologis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga pendidikan.
Definisi ini member arti bahwa peserta didik belum dewasa yang memerlukan orang
lain untuk menjadi dewasa. Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga,
murid adalah peserta didik di sekolah, anak-anak penduduk adalah peserta didik
masyarakat sekitarnya, dan anak-anak umat beragama menjadi peserta didik
ruhaniawan agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam
Dalam masyarakat, ada beberapa
istilah yang digunakan untuk menyebut peserta didik, seperti siswa, murid,
santri, pelajar, mahasiswa (thalib), dan sebagainya. Istilah siswa, murid,
dan pelajar, umumnya digunakan untuk menyatakan peserta didik pada jenjang
pendidikan dasar sampai sekolah menengah. Sementara bagi peserta didik pada
tingkat pendidikan tinggi atau akademi, disebut mahasiswa (thalib). Sementara
istilah santri digunakan untuk mengatakan peserta didik yang menuntut
ilmu di pondok pesantren.[1]
Dalam istilah tasawuf, peserta
didik sering kali disebut dengan “murid” atau thalib. Secara etimologi,
murid berarti “orang yang menghendaki”. Sedangkan menurut terminology, murid
adalah “pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing
spiritual (mursyid)”. Dan juga mengandung pengertian orang yang sedang
belajar, menyucikan diri, dan sedang berjalan menuju Tuhan. Yang paling
menonjol dalam istilah itu ialah kepatuhan murid kepada gurunya. Patuh disini
adalah dalam arti tidak membantah sama sekali. Hubungan guru dan murid adalah
hubungan searah. Pengajaran berlangsung dari subjek atau mursyid ke objek atau
murid. Dalam ilmu pendidikan hal seperti ini disebut pengajaran berpusat pada
guru.[2] Sedangkan
thalib secara bahasa berarti “orang yang mencari”, sedangkan menurut
istilah tasawuf adalah “penempuh jalan spiritual, di mana ia berusaha keras
menempuh dirinya untuk mencapai derajat sufi”. Penyebutan murid ini juga
dipakai untuk menyebut peserta didik pada sekolah tingkat dasar dan menengah,
sementara untuk perguruan tinggi lezimnya disebut dengan mahasiswa (thalib).
Kata thalib berasal dari akar kata thalaba-yathlubu “mencari atau
menuntut”.[3]
Dalam pengertian umum, peserta didik
“tiap orang atau sekelompok orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau
sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Dalam Undang-Undang
No.20 tahun 2003 (sistem pendidikan nasional) bab 1 pasal 1 ayat 4, peserta
didik, yaitu anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui
proses pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Dalam pendidikan islam, peserta
didik “anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik, maupun
psikologis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga pendidikan.
Definisi ini member arti bahwa peserta didik belum dewasa yang memerlukan orang
lain untuk menjadi dewasa. Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga,
murid adalah peserta didik di sekolah, anak-anak penduduk adalah peserta didik
masyarakat sekitarnya, dan anak-anak umat beragama menjadi peserta didik
ruhaniawan agama.
Dari berbagai pengertian istilah di
atas, dadat disimpulkan bahwa peserta didik merupakan orang-orang yang sedang
memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan, maupun arahan dari orang lain. Untuk
menentukan jenis peserta didik, maka tidak dapat terlepas dari jenis-jenis atau
bentuk-bentuk pendidikan. Secara umum, bentuk pendidikan dibagi menjadi dua,
yaitu pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Pendidikan sekolah
merupakan pendidikan formal. Sementara pendidikan luar sekolah mengambil bentuk
dalam pendidikan informal dan pendidikan nonformal.
Jadi peserta didik merupakan orang yang benar-benar harus di karantinan
atau diberi pelajaran yang baik sehingga searah dengan dengan tujuan pendidikan
yaitu memanusiakan-manusia, atau menjadikan manusia sebagai insan yang
sempurna.
B.
Paradigma
Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam
Dalam proses belajar mengajar, seorang
pendidik harus sedapat mungkin memahami hakikat peserta didiknya sebagai subjek
atau objek pendidikan. Kesalahan dalam memahami hakikat peserta didik
menjadikan kegagalan dalam proses pendidikan.[4]
Beberapa hal yang perlu dipahami mengenai karakteristik peserta didik adalah:
Ø Peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia
sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak boleh disamakan dengan orang
dewasa. Orang dewasa tidak patut mengeksploitasi dunia peserta didik, dengan
mematuhi segala aturan dan keinginannya, sehingga peserta didik kehilangan
dunianya. Peserta didik yang kehilangan dunianya, maka menjadikan kehampaan
hidup di kemudian hari.
Ø Peserta didik memiliki kebutuhan dan menentukan untuk pemenuhan
kebutuhan itu semaksimal mungkin. Kebutuhan individu, menurut Abraham Maslow,
terdapat lima hirarki kebutuhan yang dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu:
(1) kebutuhan-kebutuhan taraf dasar (basic needs) yang meliputi
kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut memiliki (social), dan
harga diri. (2) metakebutuhan-metakebutuhan (meta needs), meliputi apa
saja yang terkandung dalam aktualisasimdiri, seperti keadilan, kebaikan,
keindahan, keteraturan, kesatuan, dan lain sebagainya.
Ø Peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu
yang lain, baik perbedaan yang disebabkan dari factor endogen (fitrah) maupun
eksogen (lingkungan) yang meliputi segi jasmani, inteligensi, social, bakat,
minat, dan lingkungan yang memengaruhinya. Dalam teori psikologi, ada tiga bagian
tentang individu: (1) seperti semua orang lain, yang karenanya perlu perlakuan
pendidikan yang sama satu dengan yang lain; (2) seperti sejumlah orang lain,
yang karenanya perlu perlakuan pendidikan yang berbeda antara anak yang umum
(kecerdasannya rata-rata) dengan yang khusus (sangat cerdas/bodoh); (3) seperti
tidak seorang lain pun, yang karenanya perlu perlakuan pendidikan yang berbeda
antara individu satu dengan yang lain.
Ø Peserta didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia. Sesuai
dengan hakikat manusia, peserta didik sebagai makhluk monopluralis, maka
pribadi peserta didik walaupun terdiri dari banyak segi, merupakan satu
kesatuan jiwa raga (cipta, rasa, dan karsa).
Ø Peserta didik merupakan subjek dan objek sekaligus dalam pendidikan
yang dimungkinkan dapat aktif, kreatif, serta produktif. Setiap peserta didik
memiliki aktivitas sendiri (swadaya) dan kreatifitas sendiri (daya cipta),
sehingga dalam pendidikan tidak memandang anak sebagai objek pasif yang
biasanya hanya menerima, mendengarkan saja.
Ø Peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dan
mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya. Implikasi dalam
pendidikan adalah bagaimana proses pendidikan itu dapat disesuaikan dengan pola
dan tempo, serta irama perkembangan peserta didik. Kadar kemampuan peserta
didik sangat ditentukan oleh usia atau periode perkembangannya, karena usia itu
bisa menentukan tingkat pengetahuan, intelektual, emosi, bakat, minat peserta
didik, baik dilihat dari dimensi biologis, psikologis, maupun dedaktif.[5]
Ø Inteligensi eksistensial (exixtencial intelligence), adalah
kemampuan menyangkut kepekaan dan kemampuan seseorang menjawab
persoalan-persoalan terdalam eksis-tensi atau keberadaan manusia.[6]
C.
Hak dan
Kewajiban Peserta Didik
Dalam undang-undang
RI Nomor 20 Tahun 2003 pada pasal 1 ayat 4 disebutkan bahwa peserta didik
adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui
proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
tertentu.[7]
Agar pelsksanaan proses pendidikan islam dapat tercapai tujuan yang diinginkan,
maka setiap peserta didik hendaknya senantiasa menyadari hak dan kewajibannya.[8]
Pada pasal 12 disebutkan bahwa:
1.
Setiap peserta
didik pada setiap satuan pendidikan (SD, SMP, dan SMA) berhak:
a.
Mendapatkan
pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik
yang seagama.
b.
Mendapatkan
pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan.
c.
Mendapatkan beapeserta didik bagi yang berprestasi yang orang tuanya
tidak mampu membiayai pendidikannya.
d.
Mendapatkan
biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai
pendidikannya.
e.
Pindah ke
program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara.
f.
Menyelesaikan
program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing dan tidak menyimpang
dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
2.
Setiap peserta
didik berkewajiban:
a.
Menjaga
norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan
pendidikan.
b.
Ikut menanggung
biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebeskan
dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
c.
Peserta didik
hendaknys belajar secara sungguh-sungguh dan tabah dalam belajar.
d.
Memiliki
kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat.[9]
D.
Adab Peserta
Didik
Sebagaimana halnya pendidik, peserta
didik pun, untuk mencapai tujuan yang dirancangkan, ada beberapa sifat, tugas,
dan tanggung jawab, dan langkah-langkah yang harus dipenuhi dan dilaksanakan. Segala
hal yang harus dipenuhi peserta didik dalam proses belajar mengajar tersebut
diuraikan Al-Ghazali dalam kitabnya Ayyuhal Walad, yang dapat diringkas,
sebagai berikut:
1.
Seorang peserta
didik hendaklah menjauhkan diri dari perbuatan keji, munkar, dan maksiat.
Dengan itu, ia akan memperoleh ilmu yang bermanfaat, baik di dunia maupun di
akhirat. Sementara peserta didik yang tidak dapat menghindarkan diri dari
perbuatan maksiat, ia paling-paling hanya akan memperoleh ilmu yang bermanfaat
bagi kehidupan dunia, karena perbuatan maksiat itu merupakan racun ilmu
pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan akhirat.
2.
Seseorang
peserta didik hendaknya senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Hal
itu tidak akan terwujud kecuali dengan menyucikan jiwa serta melaksanakan
ibadah kepadanya.
3.
Seorang peserta
didik hendaknya memusatkan perhatiannya atau konsentrasi terhadap ilmu yang
sedang dikaji dan dipelajarinya, ia harus mengurangi ketergantungannya kepada
masalah keduniaan.
4.
Seorang peserta
didik janganlah menyombongkan diri dengan ilmunya dan jangan menentang
pendidiknya, tetapi menyerah sepenuhnya kepada pendidik dengan keyakinan kepada
segala nasihatnya. Sebagaimana seorang yang sakit yang bodoh yakin kepada
dokter yang ahli dan berpengalaman. Seharusnya seorang pendidik itu tunduk
kepada pendidiknya, mengharap pahala dan kemuliaan dengan tunduk kepada
pendidiknya.
5.
Hendaklah
setiap peserta didik tidak melibatkan diri dalam perdebatan atau diskusi
tentang segala ilmu pengetahuan, baik yang bersifat keduniaan, maupun
keakhiratan sebelum terlebih dahulu mengkaji dan memperkukuh pandangan dasar
ilmu-ilmu itu.
6.
Hendaknya seorang
peserta didik tidak meninggalkan suatu mata pelajaran pun dari ilmu pengetahuan
yang terpuji, selain dengan memandang kepada maksud dan tujuan dari
masing-masing ilmu itu. Kemudian jika ia berumur panjang, maka dipelajarinya
secara mendalam. Kalau tidak, maka diambilnya yang lebih penting serta
disempurnakan, dan dikesampingkannya ilmu yang lain.
7.
Seorang peserta
didik tidak memasuki suatu bidang ilmu pengetahuan dengan serentak, tetapi
memelihara tertib dan memulainya dari yang lebih penting.
Selanjutnya Al-Ghazali menetapkan empat akhlak peserta didik: (1)
memuliakan pendidiknya dan bersikap rendah hati; (2) merasa satu bangun dengan
peserta didik lainnya, sehingga dapat menyayangi dan tolong-menolong; (3)
menjauhkan diri dari mempelajari berbagai madzhab yang dapat menimbulkan
kekacauan dalam pikiran; (4) tidak hanya mempelajari satu ilmu saja, tetapi
juga mempelajari berbagai ilmu dan dapat mencapai tujuan dari masing-masing
ilmu tersebut.[10]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Dari berbagai pengertian istilah di
atas, dadat disimpulkan bahwa peserta didik merupakan orang-orang yang sedang
memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan, maupun arahan dari orang lain.
Untuk menentukan jenis peserta didik, maka tidak dapat terlepas dari
jenis-jenis atau bentuk-bentuk pendidikan. Secara umum, bentuk pendidikan
dibagi menjadi dua, yaitu pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah.
Pendidikan sekolah merupakan pendidikan formal. Sementara pendidikan luar
sekolah mengambil bentuk dalam pendidikan informal dan pendidikan nonformal.
Dalam proses belajar mengajar,
seorang pendidik harus sedapat mungkin memahami hakikat peserta didiknya
sebagai subjek atau objek pendidikan. Kesalahan dalam memahami hakikat peserta
didik menjadikan kegagalan dalam proses pendidikan.
B. Saran-saran.
Alhamdulillah setelah selesainya makalah kami sangat membutuhkan masukan
dan saran, sehingga maklah kami kedepan bisa menjadi sempurna dan labih baik.
DAFTAR PUSTAKA.
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2012),
Arifuddin Arif, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
GP Press Group, 2008),
Abdul Majid, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Putra Grafika,
2006),
Moh. Haitami Salim & Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu
Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012),
Mohammad Kosim, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Pena
Salsabila, 2013),
Suarno, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Aksara Baru,
1982),
Novan Ardy Wiyani & Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012),
[1] Moh. Haitami
Salim & Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012), hlm.165.
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat
Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 165.
[3] Abdul Majid, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Putra Grafika, 2006), hlm. 104.
[4] Suarno, Pengantar
Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Aksara Baru, 1982), hlm. 79-85.
[5] Abdul Majid, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Putra Grafika, 2006), hlm. 105-106.
[6] Mohammad Kosim,
Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Pena Salsabila, 2013), hlm. 90.
[7] Novan Ardy
Wiyani & Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm. 130.
[8] Arifuddin Arif,
Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: GP Press Group, 2008), hlm.
75.
[9] Novan Ardy
Wiyani & Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2012), hlm. 131.
[10] Moh. Haitami
Salim & Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 178-180.