Selamat Datang di Blog Kami. Blog ini meyediakan berbagai macam informasi seputar Pendidikan, Karya Tulis Ilmiah,Dan lain-lain. Membangun Indonesia Melalui Pendidikan

Pengertian Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam Ditinjau dari kajian Ilmu Pendidikan Islam

Untuk Mendapatkan File Makalah atau Artikel dibawah ini, Silahkan Klik Download! download


Dalam pendidikan islam, peserta didik “anak" yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik, maupun psikologis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga pendidikan. Definisi ini member arti bahwa peserta didik belum dewasa yang memerlukan orang lain untuk menjadi dewasa. Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik di sekolah, anak-anak penduduk adalah peserta didik masyarakat sekitarnya, dan anak-anak umat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan agama.

BAB II
PEMBAHASAN
     A.    Pengertian Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam
Dalam masyarakat, ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut peserta didik, seperti siswa, murid, santri, pelajar, mahasiswa (thalib), dan sebagainya. Istilah siswa, murid, dan pelajar, umumnya digunakan untuk menyatakan peserta didik pada jenjang pendidikan dasar sampai sekolah menengah. Sementara bagi peserta didik pada tingkat pendidikan tinggi atau akademi, disebut mahasiswa (thalib). Sementara istilah santri digunakan untuk mengatakan peserta didik yang menuntut ilmu di pondok pesantren.[1]
Dalam istilah tasawuf, peserta didik sering kali disebut dengan “murid” atau thalib. Secara etimologi, murid berarti “orang yang menghendaki”. Sedangkan menurut terminology, murid adalah “pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual (mursyid)”. Dan juga mengandung pengertian orang yang sedang belajar, menyucikan diri, dan sedang berjalan menuju Tuhan. Yang paling menonjol dalam istilah itu ialah kepatuhan murid kepada gurunya. Patuh disini adalah dalam arti tidak membantah sama sekali. Hubungan guru dan murid adalah hubungan searah. Pengajaran berlangsung dari subjek atau mursyid ke objek atau murid. Dalam ilmu pendidikan hal seperti ini disebut pengajaran berpusat pada guru.[2] Sedangkan thalib secara bahasa berarti “orang yang mencari”, sedangkan menurut istilah tasawuf adalah “penempuh jalan spiritual, di mana ia berusaha keras menempuh dirinya untuk mencapai derajat sufi”. Penyebutan murid ini juga dipakai untuk menyebut peserta didik pada sekolah tingkat dasar dan menengah, sementara untuk perguruan tinggi lezimnya disebut dengan mahasiswa (thalib). Kata thalib berasal dari akar kata thalaba-yathlubu “mencari atau menuntut”.[3]
Dalam pengertian umum, peserta didik “tiap orang atau sekelompok orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 (sistem pendidikan nasional) bab 1 pasal 1 ayat 4, peserta didik, yaitu anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Dalam pendidikan islam, peserta didik “anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik, maupun psikologis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga pendidikan. Definisi ini member arti bahwa peserta didik belum dewasa yang memerlukan orang lain untuk menjadi dewasa. Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik di sekolah, anak-anak penduduk adalah peserta didik masyarakat sekitarnya, dan anak-anak umat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan agama.
Dari berbagai pengertian istilah di atas, dadat disimpulkan bahwa peserta didik merupakan orang-orang yang sedang memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan, maupun arahan dari orang lain. Untuk menentukan jenis peserta didik, maka tidak dapat terlepas dari jenis-jenis atau bentuk-bentuk pendidikan. Secara umum, bentuk pendidikan dibagi menjadi dua, yaitu pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Pendidikan sekolah merupakan pendidikan formal. Sementara pendidikan luar sekolah mengambil bentuk dalam pendidikan informal dan pendidikan nonformal.
Jadi peserta didik merupakan orang yang benar-benar harus di karantinan atau diberi pelajaran yang baik sehingga searah dengan dengan tujuan pendidikan yaitu memanusiakan-manusia, atau menjadikan manusia sebagai insan yang sempurna.

     B.     Paradigma Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam
Dalam proses belajar mengajar, seorang pendidik harus sedapat mungkin memahami hakikat peserta didiknya sebagai subjek atau objek pendidikan. Kesalahan dalam memahami hakikat peserta didik menjadikan kegagalan dalam proses pendidikan.[4] Beberapa hal yang perlu dipahami mengenai karakteristik peserta didik adalah:
Ø  Peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak boleh disamakan dengan orang dewasa. Orang dewasa tidak patut mengeksploitasi dunia peserta didik, dengan mematuhi segala aturan dan keinginannya, sehingga peserta didik kehilangan dunianya. Peserta didik yang kehilangan dunianya, maka menjadikan kehampaan hidup di kemudian hari.
Ø  Peserta didik memiliki kebutuhan dan menentukan untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal mungkin. Kebutuhan individu, menurut Abraham Maslow, terdapat lima hirarki kebutuhan yang dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan taraf dasar (basic needs) yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut memiliki (social), dan harga diri. (2) metakebutuhan-metakebutuhan (meta needs), meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasimdiri, seperti keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dan lain sebagainya.
Ø  Peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain, baik perbedaan yang disebabkan dari factor endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang meliputi segi jasmani, inteligensi, social, bakat, minat, dan lingkungan yang memengaruhinya. Dalam teori psikologi, ada tiga bagian tentang individu: (1) seperti semua orang lain, yang karenanya perlu perlakuan pendidikan yang sama satu dengan yang lain; (2) seperti sejumlah orang lain, yang karenanya perlu perlakuan pendidikan yang berbeda antara anak yang umum (kecerdasannya rata-rata) dengan yang khusus (sangat cerdas/bodoh); (3) seperti tidak seorang lain pun, yang karenanya perlu perlakuan pendidikan yang berbeda antara individu satu dengan yang lain.
Ø  Peserta didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia. Sesuai dengan hakikat manusia, peserta didik sebagai makhluk monopluralis, maka pribadi peserta didik walaupun terdiri dari banyak segi, merupakan satu kesatuan jiwa raga (cipta, rasa, dan karsa).
Ø  Peserta didik merupakan subjek dan objek sekaligus dalam pendidikan yang dimungkinkan dapat aktif, kreatif, serta produktif. Setiap peserta didik memiliki aktivitas sendiri (swadaya) dan kreatifitas sendiri (daya cipta), sehingga dalam pendidikan tidak memandang anak sebagai objek pasif yang biasanya hanya menerima, mendengarkan saja.
Ø  Peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dan mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya. Implikasi dalam pendidikan adalah bagaimana proses pendidikan itu dapat disesuaikan dengan pola dan tempo, serta irama perkembangan peserta didik. Kadar kemampuan peserta didik sangat ditentukan oleh usia atau periode perkembangannya, karena usia itu bisa menentukan tingkat pengetahuan, intelektual, emosi, bakat, minat peserta didik, baik dilihat dari dimensi biologis, psikologis, maupun dedaktif.[5]
Ø  Inteligensi eksistensial (exixtencial intelligence), adalah kemampuan menyangkut kepekaan dan kemampuan seseorang menjawab persoalan-persoalan terdalam eksis-tensi atau keberadaan manusia.[6]

      C.    Hak dan Kewajiban Peserta Didik
Dalam undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 pada pasal 1 ayat 4 disebutkan bahwa peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.[7] Agar pelsksanaan proses pendidikan islam dapat tercapai tujuan yang diinginkan, maka setiap peserta didik hendaknya senantiasa menyadari hak dan kewajibannya.[8] Pada pasal 12 disebutkan bahwa:
1.      Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan (SD, SMP, dan SMA) berhak:
a.       Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
b.      Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan.
c.      Mendapatkan beapeserta didik bagi yang berprestasi yang orang      tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
d.        Mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
e.       Pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara.
f.       Menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
2.      Setiap peserta didik berkewajiban:
a.         Menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan.
b.      Ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebeskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c.       Peserta didik hendaknys belajar secara sungguh-sungguh dan tabah dalam belajar.
d.      Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat.[9]
      D.    Adab Peserta Didik
Sebagaimana halnya pendidik, peserta didik pun, untuk mencapai tujuan yang dirancangkan, ada beberapa sifat, tugas, dan tanggung jawab, dan langkah-langkah yang harus dipenuhi dan dilaksanakan. Segala hal yang harus dipenuhi peserta didik dalam proses belajar mengajar tersebut diuraikan Al-Ghazali dalam kitabnya Ayyuhal Walad, yang dapat diringkas, sebagai berikut:
1.      Seorang peserta didik hendaklah menjauhkan diri dari perbuatan keji, munkar, dan maksiat. Dengan itu, ia akan memperoleh ilmu yang bermanfaat, baik di dunia maupun di akhirat. Sementara peserta didik yang tidak dapat menghindarkan diri dari perbuatan maksiat, ia paling-paling hanya akan memperoleh ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan dunia, karena perbuatan maksiat itu merupakan racun ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan akhirat.
2.      Seseorang peserta didik hendaknya senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Hal itu tidak akan terwujud kecuali dengan menyucikan jiwa serta melaksanakan ibadah kepadanya.
3.      Seorang peserta didik hendaknya memusatkan perhatiannya atau konsentrasi terhadap ilmu yang sedang dikaji dan dipelajarinya, ia harus mengurangi ketergantungannya kepada masalah keduniaan.
4.      Seorang peserta didik janganlah menyombongkan diri dengan ilmunya dan jangan menentang pendidiknya, tetapi menyerah sepenuhnya kepada pendidik dengan keyakinan kepada segala nasihatnya. Sebagaimana seorang yang sakit yang bodoh yakin kepada dokter yang ahli dan berpengalaman. Seharusnya seorang pendidik itu tunduk kepada pendidiknya, mengharap pahala dan kemuliaan dengan tunduk kepada pendidiknya.
5.      Hendaklah setiap peserta didik tidak melibatkan diri dalam perdebatan atau diskusi tentang segala ilmu pengetahuan, baik yang bersifat keduniaan, maupun keakhiratan sebelum terlebih dahulu mengkaji dan memperkukuh pandangan dasar ilmu-ilmu itu.
6.      Hendaknya seorang peserta didik tidak meninggalkan suatu mata pelajaran pun dari ilmu pengetahuan yang terpuji, selain dengan memandang kepada maksud dan tujuan dari masing-masing ilmu itu. Kemudian jika ia berumur panjang, maka dipelajarinya secara mendalam. Kalau tidak, maka diambilnya yang lebih penting serta disempurnakan, dan dikesampingkannya ilmu yang lain.
7.      Seorang peserta didik tidak memasuki suatu bidang ilmu pengetahuan dengan serentak, tetapi memelihara tertib dan memulainya dari yang lebih penting.
Selanjutnya Al-Ghazali menetapkan empat akhlak peserta didik: (1) memuliakan pendidiknya dan bersikap rendah hati; (2) merasa satu bangun dengan peserta didik lainnya, sehingga dapat menyayangi dan tolong-menolong; (3) menjauhkan diri dari mempelajari berbagai madzhab yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pikiran; (4) tidak hanya mempelajari satu ilmu saja, tetapi juga mempelajari berbagai ilmu dan dapat mencapai tujuan dari masing-masing ilmu tersebut.[10]



BAB III
PENUTUP
      A.    Kesimpulan.
Dari berbagai pengertian istilah di atas, dadat disimpulkan bahwa peserta didik merupakan orang-orang yang sedang memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan, maupun arahan dari orang lain. Untuk menentukan jenis peserta didik, maka tidak dapat terlepas dari jenis-jenis atau bentuk-bentuk pendidikan. Secara umum, bentuk pendidikan dibagi menjadi dua, yaitu pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Pendidikan sekolah merupakan pendidikan formal. Sementara pendidikan luar sekolah mengambil bentuk dalam pendidikan informal dan pendidikan nonformal.
Dalam proses belajar mengajar, seorang pendidik harus sedapat mungkin memahami hakikat peserta didiknya sebagai subjek atau objek pendidikan. Kesalahan dalam memahami hakikat peserta didik menjadikan kegagalan dalam proses pendidikan.
      B.     Saran-saran.
Alhamdulillah setelah selesainya makalah kami sangat membutuhkan masukan dan saran, sehingga maklah kami kedepan bisa menjadi sempurna dan labih baik.

 DAFTAR PUSTAKA.
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012),
Arifuddin Arif, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: GP Press Group, 2008),
Abdul Majid, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Putra Grafika, 2006),
Moh. Haitami Salim & Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012),
Mohammad Kosim, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Pena Salsabila, 2013),
Suarno, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Aksara Baru, 1982),
Novan Ardy Wiyani & Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012),



[1] Moh. Haitami Salim & Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm.165.
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 165.
[3] Abdul Majid, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Putra Grafika, 2006), hlm. 104.                                    
[4] Suarno, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Aksara Baru, 1982), hlm. 79-85.
[5] Abdul Majid, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Putra Grafika, 2006), hlm. 105-106.
[6] Mohammad Kosim, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Pena Salsabila, 2013), hlm. 90.
[7] Novan Ardy Wiyani & Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 130.
[8] Arifuddin Arif, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: GP Press Group, 2008), hlm. 75.
[9] Novan Ardy Wiyani & Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 131.
[10] Moh. Haitami Salim & Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 178-180.