Didalam
Hukum
Waris Islam ada masalah-masalah khusus. Adapun masalah-masalah khusus
yang
dimaksud adalah persoalan-persoalan kewarisan yang penyelesaiannya
menyimpang
dari penyelesaian yang biasa, dengan perkataan lain pembagian harta
warisan itu
tidak dilakukan sebagaimana biasany. oleh karena itu, makalah dibawah
ini akan membahas tentang waris dengan topik "Pengertian Al-Gharawain
(Umariyatin), Al-Musyarakah (Musyarikah), dan Masalah kakek bersama
saudara (Akdariyah) dalam kajian Harta Warisan". selamat membaca dan
semoga bermanfaat.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Didalam Hukum
Waris Islam ada masalah-masalah khusus. Adapun masalah-masalah khusus yang
dimaksud adalah persoalan-persoalan kewarisan yang penyelesaiannya menyimpang
dari penyelesaian yang biasa, dengan perkataan lain pembagian harta warisan itu
tidak dilakukan sebagaimana biasanya
Masalah-masalah khusus ini terjadi disebabkan adanya
kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan tersebut
dilakukan/dibagi secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka
penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan secara khusus, dengan kata
lain penyelesaian khusus ini hanya berlaku untuk persoalan-persoalan hokum
pewarisan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud Al-Gharawain (Umariyatin) ?
2. Apa
yang dimaksud Al-Musyarakah (Musyarikah) ?
3. Apa
yang dimaksud Masalah kakek bersama saudara (Akdariyah) ?
C. Tujuan Masalah
1.
Agar dapat mengetahui pengertian dari
Al-Gharawain.
2.
Agar dapat mengetahui pengertian dari
Al-Musyarakah.
3.
Agar dapat mengetahui pengertian dari
Akdariyah.
PEMBAHASAN
A. Al-Gharawain (umariyatin) dan Penjelasannya
Gharawain, bentuk tasniyah dari lafadz ghara
(binatang cemerlang). Itu disebut demikian karena kemasyhurannya bagaikan
bintang yang cemerlang. Nama lain dari gharawain adalah Umariyatin karena cara
penyelesaiannya tersebut diperkenalakan oleh Umar bin Khattab r.a.[1]
Masalah gharawain adalah salah satu bentuk masalah
dalam kewarisan yang pernah diputuskan oleh Umar dan diterima oleh mayoritas
sahabat dan diikuti oleh jumhur ulama. Masalah ini terjadi waktu penjumlahan
beberapa furudh dalam satu kesus kewarisan yang hasilnya tidak memuaskan
beberapa pihak.[2]
Masalah gharawain terjadi hanya dalam dua
kemungkinan, yaitu sebagai berikut:
1. Jika
seorang yang meninggaldunia memiliki ahli waris suami, ibu, dan ayah.
2. Jika
seorang meninggal memiliki ahli waris istri, ibu, dan ayah.
Yang dimaksud ahli waris disini adalah ahli waris
yang tidak terhijab karena boleh jadi ahli waris lain masih ada tetapi terhijab
oleh ayah.
Dengan demikian, untuk menentukan apakah suatu kasus
warisan itu merupakan kasus gharawain atau tidak, terlebih dahulu harus
ditentukan siapa saja yang menjadi ahli waris orang yang meninggal, kemudian
siapa yang terhijab, dan ternyata ahli waris yang berhak mendapat bagian
warisan, yaitu suami, ibu, dan ayah, atau istri, ibu, dan ayah.
Apabila ahli waris yang berhak untuk mendapatkan
bagian warisan hanya terdiri atas suami, ibu, dan ayah, atau istri, ibu, dan
ayah, dapat dipastikan bahwa persoaln warisan tersebut adalah persoalan yang
khusus yang diistilahkan dengan gharawain.[3]
Penyelesaian kasus gharawain tidaklah seperti
penyelesaian kasus-kasus kewarisan pada umumnya. Apabila diselesaikan secara
biasa, hasilnya sebagai berikut: Ahli Waris Fard Asal masalah:
Suami
½ ½ x 6 = 3
Ibu
1/3 1/3 x 6 = 2
Ayah
¼ ¼ x 6 = 1 (asabah: 6-5 = 1)
Apabila penyelesaian dengan seperti diatas, terlihat
bahwa hasilnya untuk ibu adalah 1/3 x 6 = 2, sedangkan ayah hanya memperolah 1.
Padahal semestinya pendapatan ayah harus lebih besar daripada pendapatan ibu.
Disamping itu, ayah selain sebagai ashabul furud juga merupakan ahli waris yang
berhak menerima bagian dengan asabah.
Jadi, persoalan gharawain ini terletak pada
penerimaan ibu yang lebih besar daripada penerimaan ayah. Untuk menghilangkan
kejanggalan ini, haruslah diselesaikan secara khusus, yaitu penerimaan ibu
bukanlah 1/3 harta peninggalan, melainkan hanya 1/3 dari sisa harta
peninggalan.
B. Al-Musyarakah dan Penjelasannya
Persoalan musyarakah juga merupakan persoalan yang
khusus untuk menyelesaikan persoalan warisan antara saudara-saudara seibu (baik
laki-laki maupun perempuan sama saja) dengan saudara laki-laki sekandung. Untuk
lebih jelasnya dapat dikemukakan bahwa kasus Al-Musyarakah ini terjadi apabila
ahli waris terdiri atas:
1. Suami
2. Ibu
atau nenek
3. Saudara
laki-laki sekandung
4. Saudara
seibu lebih dari seorang
Untuk menyelesaikan masalah
musyarakah[4],
perhatikanlah contoh berikut:
a) Seorang
meninggal, ahli warisnya terdiri atas suami, ibu, dua saudara perempuan seibu,
dan lima saudara laki-laki sekandung.
Dalam kasus tersebut,
fard masing-masing adalah :
Suami ½
Ibu 1/6 (ada saudara lebih
dari seorang) 2 sdri pr seibu
4 = 1/3 (karena lebih
dari seorang)
5 sdr lk sekandung 2
sdr lk seibuasabah binnafsih
Kalau didasarkan
pembagian secara biasa, hasilnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Fard Asal
masalah:
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1
2 sdri pr seibu
1/3 1/3 x 6 = 2
2 sdr lk seibu
5 sdr lk sekandung
asabah binafsih = habis
Dari penyelesaian diatas, tampak terlihat bahwa
saudara seibu memperoleh warisan, sedangkan saudara laki-laki sekandung tidak
memperoleh bagian karena tidak ada sisa pembagian.
C. Akdariyah dan Penjelasannya
Dinamakan Akdariyah karenamenurut suatu pendapat
yang mengajukan persoalan ini bernama Akdar. Dalam kasus akdariyah ini, susunan
ahli waris adalah suami, kakek, saudara perempuan dan ibu. Dalam hal ini juga
yang dipertimbangkan adalah hak yang akan diterima oleh kakek jangan sampai ia
mendapat sedikit.
Jika kakek ditempatkan sebagai ashobah karena ia
satu-satunya kerabat laki-laki maka ia tidak akan dapat apa-apa karena harta
habis terbagi di kalangan dzawil furud. Suami mendapat ½ karena pewaris tidak
meninggalkan anak, ibu menerima 1/3 karena tidak ada anak dan demikian pula
seorang saudara perempuan mendapat ½ karena pewaris adalah kalalah. Jumlah
furudh akan menjadi ½ + ½
+ 1/3 = 3/6 + 3/6 + 2/6 = 8/6. Kalau kakek diberi
hak sebagai furudh 1/6 maka hal ini juga berbenturan dengan prinsip sebagai
ayah, kakek harus menerima banyak lebih dari ibu, sedangkan dalam kedudukan
sebagai seoarang laki-laki tentu tidak mungkin ia menerima lebih kecil dari
saudara perempuan. Dalam hal ini kakek berada dalam posisi yang serba tidak
enak.
Menurut cara Abu Bakar, penyelesaiannya adalah
sebagai berikut: suami mendapat ½ sebagai furudh, ibu menerima 1/3 sebagai
furudh dan kakek menerima sisanya yaitu 1/6 sebagai asobah. Sedangkan saudara
perempuan terhalang oleh kakek dan dengan demikian tidak mendapatkan warisan.
Karena kakek sudah menerima kemungkinan terbaik, maka masalah dianggap selesai.
Umar dan Ibnu Mas’ud memeberikan solusi sebagai
berikut: suami 1/2 , saudara perempuan ½, untuk kakek 1/6 sebagai furudh dan
untuk ibu 1/6. Kemudian pembagiannya diselesaikan secara ‘aul. Ibu diberi 1/6
dengan pertimbangan supaya haknya tidak melebihi hak kakek. Namun alasan
perubahan persentase bagian yang di dapat ibu (1/6) dari yang telah ditetapkan
oleh Al-Qur’an, tidak pernah dijelaskan baik oleh Umar maupun Ibnu Mas’ud.
Dalam kasus ini, berarti keduanya lebih mementingkan perasaan daripada tuntutan
hokum.
Zaid bn Tsabit memberikan penyelesaian yang jenius
dan memberikan porsi yang lebih besar kepada kakek meskipun membentur beberapa
prinsip lainnya. Metode yang dilakukannya adalah sebagai berikut: Setiap orang
ditentukan furudhnya, yaitu:
Suami
½ = 3/6 Ibu 1/3 = 2/6 Saudara perempuan ½ = 3/6 · Kakek 1/6 = 1/6 Jumlah: 9/6
Setelah dilakukan ‘aul
hak masing-masing adalah:
· Suami menjadi 3/9
· Ibu menjadi 2/9
· Saudara perempuan menjadi 3/9
· Kakek menjadi 1/9
Masing-masing ibu dan suami sebagai orang luar yang
mendampingi kakek dan saudara perempuan diberikan haknya, sudah itu hak saudara
perempuan dan kakek digabung menjadi 3/9 + 1/9 = 4/9. Jumlah ini dibagikan
kepada kakek dan saudara perempuan dengan perbandingan 2:1. Dengan demikian:
·
Hak kakek menjadi 2/3 x 4/9 = 8/27
·
Bagian saudara perempuan 1/3 x 4/9 = 4/27
Dari penyelesaian menurut Zaid tersebut memang telah
terpenuhi keinginan untuk menjadikan hak kakek (8/27) lebih besar dari saudara
perempuan (4/27) dan ibu. Namun saudara perempuan yang semestinya mendapatkan ½
atau setelah di’aulkan menjadi 3/9 atau 9/27 menjadi 4/27. Hal ini berarti
menjadi korban dari kebijakan diatas.
DAFTAR
PUSTAKA
v Lubis,
Suhrawardi K. dan Komis Simanjuntak. 1995. Hukum Waris Islam Lengkap dan
Praktis. Jakarta: Sinar Grafika
v Salman,
Otje dan Mustafa Haffas . 2006. Hukum Waris Islam. Bandung: Refika Aditama.
v Syarifuddin,
Amir. 2005. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana.
v Umam,
Dian Khairul. 1999. Fiqh Mawaris. Bandung: Pustaka Setia.
[1]
Prof. DR. H. R. Otje Salman S.,S.H dan Mustafa Haffas, S.H. Hukum Waris Islam.
(Bandung: Refika Aditama, 2006) hal.75
[2]
Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta: Kencana, 2005 )
hal. 108
[3]
Drs. Dian Khairul Umam. Fiqh Mawaris. (Bandung: Pustaka Setia, 1999) hal.189
[4]
Drs. Dian Khairul Umam. Fiqh Mawaris. (Bandung: Pustaka Setia, 1999) hal.
190-194