Selamat Datang di Blog Kami. Blog ini meyediakan berbagai macam informasi seputar Pendidikan, Karya Tulis Ilmiah,Dan lain-lain. Membangun Indonesia Melalui Pendidikan

Pengertian Al-Gharawain (Umariyatin), Al-Musyarakah (Musyarikah), dan Masalah kakek bersama saudara (Akdariyah) dalam kajian Harta Warisan

Untuk Mendapatkan File Makalah atau Artikel dibawah ini, Silahkan Klik Download! download
Didalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah khusus. Adapun masalah-masalah khusus yang dimaksud adalah persoalan-persoalan kewarisan yang penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan perkataan lain pembagian harta warisan itu tidak dilakukan sebagaimana biasany. oleh karena itu, makalah dibawah ini akan membahas tentang waris dengan topik "Pengertian Al-Gharawain (Umariyatin), Al-Musyarakah (Musyarikah), dan Masalah kakek bersama saudara (Akdariyah) dalam kajian Harta Warisan". selamat membaca dan semoga bermanfaat.


PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Didalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah khusus. Adapun masalah-masalah khusus yang dimaksud adalah persoalan-persoalan kewarisan yang penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan perkataan lain pembagian harta warisan itu tidak dilakukan sebagaimana biasanya
Masalah-masalah khusus ini terjadi disebabkan adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan tersebut dilakukan/dibagi secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan secara khusus, dengan kata lain penyelesaian khusus ini hanya berlaku untuk persoalan-persoalan hokum pewarisan.

B.  Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud Al-Gharawain (Umariyatin) ?
2.    Apa yang dimaksud Al-Musyarakah (Musyarikah) ?
3.    Apa yang dimaksud Masalah kakek bersama saudara (Akdariyah) ?

C.  Tujuan Masalah
1.      Agar dapat mengetahui pengertian dari Al-Gharawain.
2.      Agar dapat mengetahui pengertian dari Al-Musyarakah.
3.      Agar dapat mengetahui pengertian dari Akdariyah.



PEMBAHASAN
  
A.  Al-Gharawain (umariyatin) dan Penjelasannya
Gharawain, bentuk tasniyah dari lafadz ghara (binatang cemerlang). Itu disebut demikian karena kemasyhurannya bagaikan bintang yang cemerlang. Nama lain dari gharawain adalah Umariyatin karena cara penyelesaiannya tersebut diperkenalakan oleh Umar bin Khattab r.a.[1]
Masalah gharawain adalah salah satu bentuk masalah dalam kewarisan yang pernah diputuskan oleh Umar dan diterima oleh mayoritas sahabat dan diikuti oleh jumhur ulama. Masalah ini terjadi waktu penjumlahan beberapa furudh dalam satu kesus kewarisan yang hasilnya tidak memuaskan beberapa pihak.[2]
Masalah gharawain terjadi hanya dalam dua kemungkinan, yaitu sebagai berikut:
1.    Jika seorang yang meninggaldunia memiliki ahli waris suami, ibu, dan ayah.
2.    Jika seorang meninggal memiliki ahli waris istri, ibu, dan ayah.

Yang dimaksud ahli waris disini adalah ahli waris yang tidak terhijab karena boleh jadi ahli waris lain masih ada tetapi terhijab oleh ayah.
Dengan demikian, untuk menentukan apakah suatu kasus warisan itu merupakan kasus gharawain atau tidak, terlebih dahulu harus ditentukan siapa saja yang menjadi ahli waris orang yang meninggal, kemudian siapa yang terhijab, dan ternyata ahli waris yang berhak mendapat bagian warisan, yaitu suami, ibu, dan ayah, atau istri, ibu, dan ayah.
Apabila ahli waris yang berhak untuk mendapatkan bagian warisan hanya terdiri atas suami, ibu, dan ayah, atau istri, ibu, dan ayah, dapat dipastikan bahwa persoaln warisan tersebut adalah persoalan yang khusus yang diistilahkan dengan gharawain.[3]

Penyelesaian kasus gharawain tidaklah seperti penyelesaian kasus-kasus kewarisan pada umumnya. Apabila diselesaikan secara biasa, hasilnya sebagai berikut: Ahli Waris Fard Asal masalah:
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/3 1/3 x 6 = 2
Ayah ¼ ¼ x 6 = 1 (asabah: 6-5 = 1)

Apabila penyelesaian dengan seperti diatas, terlihat bahwa hasilnya untuk ibu adalah 1/3 x 6 = 2, sedangkan ayah hanya memperolah 1. Padahal semestinya pendapatan ayah harus lebih besar daripada pendapatan ibu. Disamping itu, ayah selain sebagai ashabul furud juga merupakan ahli waris yang berhak menerima bagian dengan asabah.
Jadi, persoalan gharawain ini terletak pada penerimaan ibu yang lebih besar daripada penerimaan ayah. Untuk menghilangkan kejanggalan ini, haruslah diselesaikan secara khusus, yaitu penerimaan ibu bukanlah 1/3 harta peninggalan, melainkan hanya 1/3 dari sisa harta peninggalan.

B.  Al-Musyarakah dan Penjelasannya
Persoalan musyarakah juga merupakan persoalan yang khusus untuk menyelesaikan persoalan warisan antara saudara-saudara seibu (baik laki-laki maupun perempuan sama saja) dengan saudara laki-laki sekandung. Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan bahwa kasus Al-Musyarakah ini terjadi apabila ahli waris terdiri atas:
1.    Suami
2.    Ibu atau nenek
3.    Saudara laki-laki sekandung
4.    Saudara seibu lebih dari seorang
Untuk menyelesaikan masalah musyarakah[4], perhatikanlah contoh berikut:
a)    Seorang meninggal, ahli warisnya terdiri atas suami, ibu, dua saudara perempuan seibu, dan lima saudara laki-laki sekandung.

Dalam kasus tersebut, fard masing-masing adalah :
Suami ½
Ibu 1/6 (ada saudara lebih dari seorang) 2 sdri pr seibu
4 = 1/3 (karena lebih dari seorang)
5 sdr lk sekandung 2 sdr lk seibuasabah binnafsih
Kalau didasarkan pembagian secara biasa, hasilnya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Fard Asal masalah:
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1
2 sdri pr seibu
1/3 1/3 x 6 = 2
2 sdr lk seibu
5 sdr lk sekandung asabah binafsih = habis
Dari penyelesaian diatas, tampak terlihat bahwa saudara seibu memperoleh warisan, sedangkan saudara laki-laki sekandung tidak memperoleh bagian karena tidak ada sisa pembagian.

C.  Akdariyah dan Penjelasannya
Dinamakan Akdariyah karenamenurut suatu pendapat yang mengajukan persoalan ini bernama Akdar. Dalam kasus akdariyah ini, susunan ahli waris adalah suami, kakek, saudara perempuan dan ibu. Dalam hal ini juga yang dipertimbangkan adalah hak yang akan diterima oleh kakek jangan sampai ia mendapat sedikit.
Jika kakek ditempatkan sebagai ashobah karena ia satu-satunya kerabat laki-laki maka ia tidak akan dapat apa-apa karena harta habis terbagi di kalangan dzawil furud. Suami mendapat ½ karena pewaris tidak meninggalkan anak, ibu menerima 1/3 karena tidak ada anak dan demikian pula seorang saudara perempuan mendapat ½ karena pewaris adalah kalalah. Jumlah furudh akan menjadi ½ + ½
+ 1/3 = 3/6 + 3/6 + 2/6 = 8/6. Kalau kakek diberi hak sebagai furudh 1/6 maka hal ini juga berbenturan dengan prinsip sebagai ayah, kakek harus menerima banyak lebih dari ibu, sedangkan dalam kedudukan sebagai seoarang laki-laki tentu tidak mungkin ia menerima lebih kecil dari saudara perempuan. Dalam hal ini kakek berada dalam posisi yang serba tidak enak.
Menurut cara Abu Bakar, penyelesaiannya adalah sebagai berikut: suami mendapat ½ sebagai furudh, ibu menerima 1/3 sebagai furudh dan kakek menerima sisanya yaitu 1/6 sebagai asobah. Sedangkan saudara perempuan terhalang oleh kakek dan dengan demikian tidak mendapatkan warisan. Karena kakek sudah menerima kemungkinan terbaik, maka masalah dianggap selesai.
Umar dan Ibnu Mas’ud memeberikan solusi sebagai berikut: suami 1/2 , saudara perempuan ½, untuk kakek 1/6 sebagai furudh dan untuk ibu 1/6. Kemudian pembagiannya diselesaikan secara ‘aul. Ibu diberi 1/6 dengan pertimbangan supaya haknya tidak melebihi hak kakek. Namun alasan perubahan persentase bagian yang di dapat ibu (1/6) dari yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, tidak pernah dijelaskan baik oleh Umar maupun Ibnu Mas’ud. Dalam kasus ini, berarti keduanya lebih mementingkan perasaan daripada tuntutan hokum.
Zaid bn Tsabit memberikan penyelesaian yang jenius dan memberikan porsi yang lebih besar kepada kakek meskipun membentur beberapa prinsip lainnya. Metode yang dilakukannya adalah sebagai berikut: Setiap orang ditentukan furudhnya, yaitu:
Suami ½ = 3/6 Ibu 1/3 = 2/6 Saudara perempuan ½ = 3/6 · Kakek 1/6 = 1/6 Jumlah: 9/6
Setelah dilakukan ‘aul hak masing-masing adalah:
· Suami menjadi 3/9
· Ibu menjadi 2/9
· Saudara perempuan menjadi 3/9
· Kakek menjadi 1/9
Masing-masing ibu dan suami sebagai orang luar yang mendampingi kakek dan saudara perempuan diberikan haknya, sudah itu hak saudara perempuan dan kakek digabung menjadi 3/9 + 1/9 = 4/9. Jumlah ini dibagikan kepada kakek dan saudara perempuan dengan perbandingan 2:1. Dengan demikian:

· Hak kakek menjadi 2/3 x 4/9 = 8/27
· Bagian saudara perempuan 1/3 x 4/9 = 4/27
Dari penyelesaian menurut Zaid tersebut memang telah terpenuhi keinginan untuk menjadikan hak kakek (8/27) lebih besar dari saudara perempuan (4/27) dan ibu. Namun saudara perempuan yang semestinya mendapatkan ½ atau setelah di’aulkan menjadi 3/9 atau 9/27 menjadi 4/27. Hal ini berarti menjadi korban dari kebijakan diatas.


DAFTAR PUSTAKA
v Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjuntak. 1995. Hukum Waris Islam Lengkap dan Praktis. Jakarta: Sinar Grafika
v Salman, Otje dan Mustafa Haffas . 2006. Hukum Waris Islam. Bandung: Refika Aditama.
v Syarifuddin, Amir. 2005. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana.
v Umam, Dian Khairul. 1999. Fiqh Mawaris. Bandung: Pustaka Setia.

[1] Prof. DR. H. R. Otje Salman S.,S.H dan Mustafa Haffas, S.H. Hukum Waris Islam. (Bandung: Refika Aditama, 2006) hal.75
[2] Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta: Kencana, 2005 ) hal. 108
[3] Drs. Dian Khairul Umam. Fiqh Mawaris. (Bandung: Pustaka Setia, 1999) hal.189
[4] Drs. Dian Khairul Umam. Fiqh Mawaris. (Bandung: Pustaka Setia, 1999) hal. 190-194