Selamat Datang di Blog Kami. Blog ini meyediakan berbagai macam informasi seputar Pendidikan, Karya Tulis Ilmiah,Dan lain-lain. Membangun Indonesia Melalui Pendidikan

Status Anak dalam Keluarga dalam Kajian Hukum Perdata Islam Indonesia

Untuk Mendapatkan File Makalah atau Artikel dibawah ini, Silahkan Klik Download! download

Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yah sah. Sebaliknya  anak yang lahir diluar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina atau anak diluar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. pembahasan lebih lanjut, silahkan baca sampai tuntas pada makalah dibawah ini. selamat membaca dan semoga bermanfaat.

BAB I
PENDAHULUAN
     A.    Latar Belakang Masalah
            Di dalam konteks sosial penetapan terhadap kedudukan anak
(keturunan) merupakan salah satu kewajiban umat. Yang dimaksud agar tidak timbul kekacauan pada anggota masyarakat dalam upaya memperjuangkan, menuntut dan menjalankan serta melaksanakan berbagai macam hak dan kewajiban. Sehingga dengan sendirinya akan tercipta pula suatu masyarakat yang tertib dan teratur, lantaran mematuhi peraturan baku yang telah ditetapkan oleh agama Islam sebelumnya. Anak sebagai amanat Allah yang harus dilaksanakan dengan baik, khususnya bagi orang tua, dan tidak boleh begitu saja mengabaikannya, lantaran hak-hak anak termasuk ke dalam salah satu kewajiban orang tua terhadap anak yang telah digariskan oleh agama Islam. Oleh karena itu dalam meniti kehidupan ini, anak-anak muslim memiliki hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat.
           
            Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yah sah. Sebaliknya  anak yang lahir diluar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina atau anak diluar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Dengan demikian membicarakan asal usul anak sebenarnya membicarakan anak yang sah.
           
            Dalam makalah ini kita akan membahas beberapa masalah status anak dalam keluarga terutama anak yang lahir di luar pernikahan. Dalam perspektif fikih islam anak yang lahir diluar niakah hanya memiliki hubungan nasab dangan ibunya. Pendapat  ini juga di ikuti oleh UUP dan KHI.

      B.     Rumusan Masalah
1.      Asal usul anak dalam status keluarga ?
2.      Bagaimanakah kedudukan anak dalam keluarga, perundangan, adat dan Agama?
3.      Persepektif UU No. 1/1974 dan persepekti KHI?
4.      Apa saja Kewajiban orang Tua dan Hak-hak Anak ?
5.      Penetapan Kedudukan Anak?

      C.     Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui Asal usul anak dalam status keluarga ?
2.      Untuk mengetahui  kedudukan anak dalam keluarga, perundangan, adat dan Agama?
3.      Untuk memahami Persepektif UU No. 1/1974 dan persepekti KHI?
4.      Untuk mengetahui Kewajiban orang Tua dan Hak-hak Anak ?
5.      Untuk mengetahui Penetapan Kedudukan Anak?

 

BAB II           
PEMBAHASAN
     A.    Asal- Usul Anak

            Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yah sah. Sebaliknya  anak yang lahir diluar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina atau anak diluar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Dengan demikian membicarakan asal usul anak sebenarnya membicarakan anak yang sah.[1]

Menurut fikih Islam
            Fikih Islam menganut pemahaman yang cukup tegas berkenaan dengan anak yang sah. Dari definisi ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis, dapat diberikan batasan, anak yang sah adalah anak yang lahir oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah. Selain itu disebut sebagai anak zina (walad al-zina) yang hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.           

Di dalam surah al- Isra’. 17/ 32 dijelaskan
            Jangan kamu dekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji
            dan seburuk-buruk jalan.[2]

Larangan al-Qur’an diatas, tidak saja dimaksudkan agar setiap orang menjaga kehormatannya, tetapi juga yang lebih penting menghindarkan dampak  ter  buruk dari pelanggaran larangan-larangan Allah tersebut.
            Pandangan fikih jika di analisa berkenaan dengan anak sah ini dapatlah dipahami bahwa anak sah dimulai sejak terjadinya konsepsi atau pembuahan sel telur
(ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita calon ibu dan konsepsi ini haruslah terjadi didalam perkawinan yang sah.
            Dengan demikian Hukum Islam menegaskan bahwa anak supaya dapat di anggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari dari perkawinan terputus. Dengan penjelasan ini jelaslah bhwa anak zina atau anak luar perkawinan menurut fikih Islam, hanya dinasabkan kepada ibunya saja.   [3]                                  

                                                                                   
B.     Kedudukan Anak

      1.      Kedudukan Anak dalam Keluarga

            Di dalam konteks sosial penetapan terhadap kedudukan anak (keturunan) merupakan salah satu kewajiban umat. Yang dimaksud agar tidak timbul kekacauan pada anggota masyarakat dalam upaya memperjuangkan, menuntut dan menjalankan serta melaksanakan berbagai macam hak dan kewajiban.[4] Sehingga dengan sendirinya akan tercipta pula suatu masyarakat yang tertib dan teratur, lantaran mematuhi peraturan baku yang telah ditetapkan oleh agama Islam sebelumnya. Anak sebagai amanat Allah yang harus dilaksanakan dengan baik, khususnya bagi orang tua, dan tidak boleh begitu saja mengabaikannya, lantaran hak-hak anak termasuk ke dalam salah satu kewajiban orang tua terhadap anak yang telah digariskan oleh agama Islam.[5] Oleh karena itu dalam meniti kehidupan ini, anak-anak muslim memiliki hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat.
            Pengertian anak menurut istilah hukum Islam adalah keturunan kedua yang masih kecil. Sifat kecil kalau dihubungkan dengan perwalian hak milik dan larangan bertindak sendiri, sebenarnya ada dua tingkatan yaitu:
     a.        Kecil dan belum mumayyiz dalam hal ini anak itu sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk bertindak. Jadi, tidak sah kalau misalnya ia membeli apa-apa atau memberikan apa-apa kepada orang lain. Katakatanya sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai pegangan, jadi segala-galanya berada di tangan wali.
     b.       Kecil tapi sudah mumayyiz, dalam hal ini si kecil ini kurang kemampuannya untuk bertindak, namun sudah punya kemampuan, oleh sebab itu kata-katanya sudah dapat dijadikan pegangan dan sudah sah kalau ia membeli atau menjual atau memberikan apa-apa kepada orang lain.[6]
            Dalam hukum Islam, Anak yang Mumayyiz ialah yang sudah mencapai usia mengerti tentang akad transaksi secara keseluruhan dia mengerti maksud kata-kata yang diucapkannya, bahwa membeli itu menerima barang sedang menjual itu memberikan barang dan juga iamenegerti tentang rugi dan beruntung, biasanya usia anak itu sudah genap 7(tujuhtahun).


Jadikalau masih kurang dari tujuh maka anak itu hukumnya belum Mumayyiz, walaupun ia mengerti tentang istilah-istilah
            [7]menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh tahun   umurnya tetapi masih belum mengerti tentang jual beli dan sebagainya. Kata dewasa disini maksudnya cukup umur untuk berketurunan dan muncul tanda-tanda lelaki dewasa pada pria, begitu juga muncul tanda-tanda wanita dewasa pada puteri, inilah dewasa yang wajar, yang biasanya belum ada sebelum anak laki-laki berumur 12 (dua belas) tahun, dan anak perempuan berumur 9 (sembilan) tahun. Maka kalau anak mengatakan dia sudah dewasa, setelah ia mencapai usia ini, maka keterangannya itu dapat diterima karena dia sendirilah yang lebih mengerti tentang dewasa atau tidaknya dan biasanya anak-anak tidak mau berdusta dalam persoalan ini.  
                                                                       
      2.      Kedudukan anak dalam perundangan
            Menurut KUH perdata Anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya (pasal 250). Sahnya anak yang dilahirkan sebelum hari keseratus delapan (6bulan). Anak di luar kawin, kesuali yang dilahirkan dari perzinaan atau peredaran darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari ayah dan ibu mereka, bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu, atau bila pengakuan itu terjadi dalam akta perkawinannya sendiri (pasal 272). Dengan pengakuan terhadap anak diluar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan ayah atau ibunya pasal (pasal280).[8]
            Jadi menurut KUH perdata anak yang lahir atau dibesarkan selama perkawinan, walaupun anak itu benih orang lain adalah anak dari suami ibunya yang terikat dalam perkawinan. Sedangkan dalam UU no. 1-1974 anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Jadi kalu seorang wanita yang telah mengandung karena berbuat zina dengan orang lain, kemudian ia kawin sah dengan pria yang bukan pemberi benih kandungan wanita itu, maka jika anak itu lahir, anak itu adalah anak sah dari perkawinan wanita itu dengan pria itu. Dalam hukum adat perkawinan serupa itu disebut “kawin tekap malu’ (jawa: nikah tambelan) agar si anak lahir mempunyai bapak.

      3.      Kedudukan Anak dalam Hukum Adat
            Dalam masyarakat hukum adat berbeda dari masyarakat yang modern. Dimana keluarga/rumah tangga dari suatu ikatan perkawinan tidak saja terdapat anak kandung, tetapi juga terdapat anak tiri, anak angkat, anak asuh, anak akuan dan sebagainya. Hukum perkawinan adat, 1989: 139. Kesamaan anak-anak itu ada sangkut pautnya dengan hak dan kewajiban orang tua yang mengurus atau memeliharanya, begitu pula sebaliknya. Kedudukan anak-anak tersebut pengaturannya juga berlatang belakang pada susunan masyarakat adat bersangkutan dan bentuk perkawinan orang tua yang berlaku. Bukan tidak menjadi maslah tentang sah tidaknya anak, hal mana dipengaruhi oleh agama yang dianut masyarakat bersangkutan, tetapi yang juga penting adalah menyangkut masalah keturunan dan pewarisan.
            Jika dalam keluarga/rumah tangga yang bersifat patrilineal, terdapat bermacam-macam anak, seperti anak sah yang tidak sama kedudukannya dengan anak tidak sah, anak kandung yang berbeda kedudukan karena kedudukan ibunya berbeda, anak tiri yang dapat di angkat menjadi anak penerus keturunan bapak tiri seperti Rejang Bengkulu. Anak angkat penerus keturunan bapak angkat (lampung tegak tegi) yang matrilokal seperti nyetane di Bali: begitu pula halnya dengan anak levirat (lampung:semalang) anak sororat ( Lampung , nuket; turun ranjang), anak asuh ( anak pelihara), anak akuan dan lain-lain, yang berbeda beda dalam kedudukannya terhadap ayah kandung, ayah angkat, ayah tiri, mertua dan sebagainya dan dalam hubungan kekarabatnnya.        [9]
            Dalam masyarakat yang kekeluargaannya bersifat parental (keorangtuaan) yang terbanyak di Indonesia, kedudukan anak di daerah satu berbeda dari daerah yang lain. Di Aceh  yang kuat keagamaannya Islamnya, anak diluar perkawinan tidak berhak mewaris, sebaliknya di jawa anak kowar dapat mewaris atau diberikan warisan atas dasar parimerma. Di lingkungannya masyarakat Melayu tidak banyak pengaruh tentang adanya anak angkat, tetapi di Jawa anak wong ora nggenah, anak pungut, anak pupon, dapat berperan melebihi anak sendiri. Di samping itu pedesaan orang jawa sudah terbiasa anak cucu diurus oleh embah-kakeknya, entah anak itu anak sah atau tidak sah, sedangkan didaerah lain bukan suatu kebiasaan.[10]

      4.      Kedudukan Anak dalam Hukum Agama
            Di dalam hukum Agama Islam tidak ada ketentuan khusus  yang engatur tentang kedudukan anak dalam Islam adalah ikatan perkawinan. Namun tujuan dalam perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi perintah Allah S.W.T agar memperoleh keturunan yang sah, maka yang dikatakan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari akad nikah yang sah. Islam menghendaki terpeliaranya keturunan dengan baik dan terang diketahui sahak sahabat tetangga, dilarang terjadi perkawinan diam-diam (kawin gelap) dan setiap anak harus , kenal siapa bapak dan ibunya. Ketika anak-anak masih kecil ia dijaga dan dipelihara oleh ayah dan ibunya, dan setelah ia dewasa dimana orang tuanya sudah lemah dan tidak mampu lagi maka dengan kemampuannya ia wajib mengurus dan memelihar orang tuanya.[11]
            Didalam Al-Qur’an dikatakan:
            Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukannya dengan sesutu pun. Dan         berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib karabat, anak-anak yatim, orang             miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh  ( termasuk yang bukan muslim)     teman sejawat ibnu sabil ( orang yang dalam perjalanan, anak yang tidak diketahui            ibu-bapaknya) dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-  orang yang sombong dan membanggakan dirinya .
            Pada masyarakat kristen selain dari adanya anak dari perkawinan yang sah, anak lur kawin yang menjadi anak sah, dan anak luar kawin yang tidak sah, terdapat pula anak angkat (adopsi) anak akuan ( anak mengaku) sebagaimana berlaku di Minahasa dan anak piara.
            Bagi umat budha tidak jauh beda dari agama yang lain  anak yang sah dikatakan sah apabil perkawinan yang sah. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan, setelah anak tadi lahir, dan di antara ayah dan ibunya melakukan perkawinan secara sah, maka anak tersebut oleh ayahnya dapat langsung diakui sebagai anaknya dan mendapat status perdata ayahnya (pasal 43). Anak tersebut mempunyai kedudukan yang sama dengan anak-anak yang emudian lahir setelah ayah dan ibunya melaksanakan perkawinan yang sah (pasal44).


            Bagi umat Hindu kedudukan ank dapat dilihat dari sudut apa yang menjadi tujuan            perkawinan. Bahwa tujuan perkawinan dalam agama Hindu ialah umtuk memperoleh anak yang dapat hingga yang disebut ‘Anak Ausrasa’ dan ‘Anak Birahi’.anak aurasa adalah anak penyelamat keluarga dari neraka put. Sedangkan anak Birahi adalah anak yang lahir karena adanya nafsu birahi, atau anak yang lahir setelag lahirnya anak pertama dan tidak dibebani tugas dn kedudukan sebgai penyelamat.[12]
     
      C.    Persepektif UU No. 1/1974 dan persepekti KHI
                       
            Masalah anak sah diatur  dalam UU No. 1/1974 pada pasal 42,43,dan 44
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam  atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pasal 43
(    1)   Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(     2)   Kedudukan anak tersebut ayat 1 di atas selanjutnya akan di atur dalamperaturan pemerintahan.
           
Pasal 44

(1)   Seorang dapat menyangkal sahnya
(2)   anak yang di lahirkan oleh istrinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dariperzinaan.
(3)   Pengadilan memberikan keputusan tentang
Sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang bersangkutan.

            Di dalam pasal-pasal di atas ada beberapa hal yang di atur. Pertama, anak sah adalah yang lahir dalam dan akibat perkawinan yang sah. Paling tidak ada dua bentuk kemungkinan anak  sah lahir akibat perkawinan yang sah dan anak yang lahir dalam perkawinan yang sah. Kedua, lawan anak sah adlah anak luar perkawinan yang memiliki hubungan perdata dengan ibunya. Ketig, suami berhak melakukan pengingkaran atau penyangkalan terhadap sahnya seorang anak. Keempat, bukti asal-usul anak dapat dilakukan akta kelahiran. [13]


·         Perspektif KHI
            KHI sebagaimana terlihat nanti juga memberikan aturan-aturan yang mirip untuk tidak mengatakan persis sama dengan aturan- aturan yang terdapat di dalam UUP.[14]
Pasal 98
(    1)   Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau  belum pernah melangsungkan perkawinan.
(     2)   Orang tuanya mewakili anak terseut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
(    3)   Pengadilan Agma dapat menunjukan salah seoarang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.[15]
Pasal 99
    a   .       Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan sah.
    b   .      Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Pasal 100

Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai  hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

            KHI tampaknya menjelaskan lebih jauh berkenaan dengan anak sah menyangkut batalnya keabsahan seorang anak kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. Pembatalan ini terjadi akibat pengingkaran suami. Seorang suami yang mengingkari sahnya seorang anak yang dilahirkan sedangkan istrinya tidak menyangkalnya, maka suami dapat menguatkan pengingkaran itu dengan li’an.[16]
            Dalam Hukum Islam seseorang suami dapat menolak untuk mengakui bahwa anak yang dilahirkan istrinya bukanlah anaknya, selama suami dapat membuktikannya, untuk menguatkan penolakannya suami harus dapat membuktian bahwa:

a.       Suami belum pernah menjelm’ istrinya, akan tetapi istri tiba-tiba melahirkan.
b.      Lahirnya anak itu kurang dari enam bulan sejak menjima’ istrinya, sedangkan bayinya lahir seperti bayi yang cukup umur.
c.       Bayi lahir sesudah lebih dari empat tahun dan istrinya tidak di jima’ suaminya.


Pasal 101
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengn li’an [17]
Pasal 126 dinyatakan :
 Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tunduhan dan atau pengingkaran terseebut.
Pasal 127 dijelaskan:
Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”.
Selanjutnya pasal 128 dinyatakan bahwa :
Li’an hanya sah di lakukan di hadapan sidang pengadilan agama.[18]

       D.    Kewajiban orang Tua dan Hak-hak Anak

a.       Kewajiban Orang Tua terhadap Anak

            Dalam suatu rumah tangga yang aman dan damai, segala sesuatu yang menyangkut kesejahteraan anak adalah di bawah pengamatan kedua orang tuanya suami isteri bahu-membahu dan bekerja sama memenuhi hidup semua keperluan anak-anaknya, anakpun merasa tenteram dalam pertumbuhan jasmaniah dan rokhaniyahnya. Semua orang sangat mengidam-idamkan hal yang demikian, rumah tangganya adalah istana baginya selama hayat
dikandung badan. Menurut Hilman Hadikusuma tentang perkawinan dalam hukum Islam mengatakan bahwa, dengan adanya ikatan perkawinan tersebut akan menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya. Seorang ayah dibebani tugas kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya. Sedangkan ibu bersifat membantu, ibu hanya berkewajiban menyusui anak dan merawatnya. Kewajiban bapak dalam memberi nafkah terhadap anak terbatas kepada kemampuannya. [19]
            Seorang ibu wajib menyusui anaknya, kalau memang diaditentukan untuk itu, maksudnya tidak ada wanita lain yang akan mengambil alih tugas itu dari padanya atau bayi itu tidak mau menyusui kecuali kepada ibunya saja.

                      b.       Hak-hak Anak

            Status Anak dalam hukum pidana ketidak mampuan untuk pertanggung jawaban tindak pidana. Pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubtitusikan hak-hak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tatanegara dengan maksud mensejahterakan anak. Anak berhak untuk mendapat proses perbaikan mental spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri. Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan. Hak-hak anak dalam proses hukum acara pidana.
            Hak anak
·         Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpatisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
·         Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
·         Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya masing-masing, berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
            Pada dasarnya, seorang anak berhak mendapatkan pemeliharaan, perawatan dan pendidikan dari orang tuannya. Dalam hukum Islam, anak-anak dikatakan dibawah umur, kalau mereka belum mencapai umur 15 tahun atau belum mencapai pebertet atau mengalami menstruasi bagi anak perempuan. Perawatan dan pemeliharaan terhadap seorang anak diwajibkan kepada ibu, sedangkan hak pendidikan terhadap seorang anak diwajibkan kepada kedua orang tua. Hak dan kewajiban ini diberatkan kepada masing-masing orang tua, baik selama perkawinan ataupun jikalau perkawinan telah diputuskan. Apabila seorang ibu tidak dapat melakukan kewajibannya itu, dikarenakan tidak ada atau karena dikenakan diskualifikasi, maka hukum Islam menentukan beberapa anggota keluarganya yang perempuan. Dan jika anggota-anggota keluarga yang perempuan initidak dapat melakukan kewajibannya, maka kewajiban dan pemberian hak terhadap anak itu berpindah kepada anggota keluarga yang laki-laki. Dimulai dari bapaknya. Perbedaan pendapat para ulama mengenai batas usia seorang anak yang diasuh:

   1.      Menurut Madzhab Hanafi, terutama ulama-ulama mereja yang terdahulu, bahwa mengasuh anak kecil itu berakhir apabila ia telah sanggup mengurus keperluannya yang utama seperti makan, berpakaian, dan kebersihannya. Sedangkan untuk anak perempuan berakhir sampai usia baligh (batas timbulnya syahwat). Mereka tidak memberi batas yang tegas.
   2.      Madzhab Maliki, menyatakan bahwa batas usia seorang anak untuk diasuh ialah sejak ia lahir sampai baligh. Untuk anak perempuan adalah sejak ia lahir sampai menikah, bahkan sampai dicampuri suaminya.
   3.       Madzhab Syafi’i, menyatakan bahwa batas tidak batas tertentu untuk mengasuh seorang anak kecil, karena tidak ada suatu keterangan yang tegas dalam hal itu. Seorang anak tetap tinggal bersama ibunya (apabila orang tuanya bercari). Sehingga anak itu dapat mempertimbangkan sendiri untuk di mana ia tinggal, di antara ibu dan bapaknya atau saudaranya.
   4.       Madzhab Hambali, memberikan batas untuk mengasuh seorang anak, baik laki-laki maupun perempuan, ialah tujuh tahun. Adapun anak perempuan, apabila sudah berusia tujuh tahun, bapaknya berkewajiban menjaganya dengan baik sampai anak itu menikah. Bapak dianggap lebih mampu mengawasinya, karena itudiserahkan kepadanya, meskipun ibu anak itu mau mengawasinya dengan sukarela. [20]

      E.     Penetapan Kedudukan Anak

            Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya supaya melaksanakan mu’amalat atau hubungan antar manusia sesuai dengan peraturan perundangundangan yang telah ditetapkan oleh syara’. Islam menghendaki terpeliharanya keturunan dengan baik dan terang diketahui sanak kerabat, tetangga. Dilarang terjadi perkawinan diam-diam (kawin gelap) dan setiap
anak harus dikenal siapa bapak dan ibunya.[21] Dr.Wiryono dalam bukunya “Hakekat Dalam Hukum Islam” mengatakan bahwa ada kemungkinan seorang anak hanya mempunyai ibu dan
tidak mempunyai bapak. Jadi, status anak yang lahir di luar perkawinan itu menurut hukum Islam itu adalah anak yang tidak sah yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya, yaitu laki-laki yang menurunkannya. Namun tetap mempunyai hubungan hukum dengan ibunya; yaitu wanita yangmelahirkannya itu. Di dalam Islam terdapat peraturan yang termasuk dalam kategori anak yang tidak sah antara lain:

1.      Anak yang lahir diluar perkawinan, yaitu anak yang dilahirkan oleh seorang wanita tanpa adanya ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki secara sah.

2.       Anak yang lahir dalam suatu ikatan perkawinan yang sah akan tetapi
            terjadinya kehamilan itu diluar perkawinannya, yaitu: bulan sesudah perkawinan dan         diketahui sudah hamil sebelum
            a. Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, tapi lahirnya 6 (enam) perkawinan.
b. Anak yang lahir dalam suatu ikatan perkawinan yang sah dan hamilnya
kurang dari 6 (enam) bulan sejak perkawinannya.[22]
            Berdasarkan uraian di atas, maka anak akan berkedudukan sebagai anak sah, apabila ia dilahirkan oleh seorang ibu yang sejak permulaan kehamilan itu sudah terjalin suatu perkawinan yang sah, sedangkan anak yang tidak sah adalah anak yang lahir akibat dari pergaulan yang tidak sah. Oleh karena, itu hukum Islam memandang kedudukan seorang anak sah atau tidak dilihat dari perkawinan orang tuanya dan tenggang masa mengandung. Kapan dan dimana anak itu dilahirkan. Hukum Islam menetapkan bahwa untuk memecahkan problema ini memebuat jalan keluar yang dalam ilmu fiqh dikenal dengan nama li’an, maka barang siapa yakin atau menuduh bahwa isterinya telah membasahi ranjangnya dengan orang lain, kemudian sang isteri itu melahirkan anak padahal tidak ada bukti yang tegas, maka seorang suami boleh mengajukan ke pengadilan kemudian mengadakan mula’anah (sumpah dengan melaknat) antara kedua belah pihak.
            Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an: Setelah terbukti dalam pemeriksaan di pengadilan, maka pengadilan memberikan keputusan terhadap keduanya. Dan pengadilan memberikan penetapan kedudukan terhadap anak. Apakah dia berkedudukan sebagai anak sah atau tidak sah. Apabila gugatan itu diterima berarti anaknya mempunyai kedudukan sebagai anak tidak sah dan apabila gugatan itu tidak diterima(ditolak) maka anak tersebut berkedudukan sebagai anak sah.

 
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Menurut fikih Islam
            Fikih Islam menganut pemahaman yang cukup tegas berkenaan dengan anak yang sah. Dari definisi ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis, dapat diberikan batasan, anak yang sah adalah anak yang lahir oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah. Selain itu disebut sebagai anak zina (walad al-zina) yang hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.           
            Pengertian anak menurut istilah hukum Islam adalah keturunan kedua yang masih kecil.3 Sifat kecil kalau dihubungkan dengan perwalian hak milik dan larangan bertindak sendiri, sebenarnya ada dua tingkatan yaitu:

c.        Kecil dan belum mumayyiz dalam hal ini anak itu sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk bertindak. Jadi, tidak sah kalau misalnya ia membeli apa-apa atau memberikan apa-apa kepada orang lain. Katakatanya sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai pegangan, jadi segala-galanya berada di tangan wali.
d.       Kecil tapi sudah mumayyiz, dalam hal ini si kecil ini kurang kemampuannya untuk bertindak, namun sudah punya kemampuan, oleh sebab itu kata-katanya sudah dapat dijadikan pegangan dan sudah sah kalau ia membeli atau menjual atau memberikan apa-apa kepada orang lain.

            anak sah adalah yang lahir dalam dan akibat perkawinan yang sah. Paling tidak ada dua bentuk kemungkinan anak  sah lahir akibat perkawinan yang sah dan anak yang lahir dalam perkawinan yang sah. Kedua, lawan anak sah adlah anak luar perkawinan yang memiliki hubungan perdata dengan ibunya. Ketig, suami berhak melakukan pengingkaran atau penyangkalan terhadap sahnya seorang anak. Keempat, bukti asal-usul anak dapat dilakukan akta kelahiran.

B.     Saran
            Dalam hal ini pemakalah mengucapakan banyak terima kasih teman-teman jika ada suatu hal yang kurang begitu berkenaan dengan materi yang kami sampaikan dan kami tunggu kritik dan saran agar pemakalah bisa memperbaiki ditugas berikutnya terima kasih.








DAFTAR PUSTAKA

§  Dr. H. Naruddin Amir, Drs.  Tarigan Azhari Akmal , M. Ag Hukum Perdata Islam di Indonesia, jakarta : Prenada Media, 2004.
§  Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama R.I, 2000.
§  Prof. H. Hadikusuma Hilman, SH., Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1990.
§  Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1995, cet. XXVII,)
§  www. Jurnalhukum.com /kedudukan- anak/.
                                                                                                          
§   Daly peunoh, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, cet.I, 1988), hlm. 240
§  Abdul  Hudain Razaq, hak-hak anak dalam islam, (jakarta: Fika Hati Aniska, 1992),
§  M.  Harahap Yahya, Hukum Perkawinan Nasional,( Medan: CV. Zahir, 1975), Cet. I,



[1] Dr. H. Amuir Naruddin, MA.& Drs. Azhari Akmal Tarigan, M. Ag., Hukum perdata Islam Indonesia, (jakarta: Prenada Media,2004), hal. 276
[2] Ibid , hal.277      
[3] Ibid, hal 279-281
[4] Abdul Razaq Hudain, hak-hak anak dalam islam, (jakarta: Fika Hati Aniska, 1992), hal. 49  
[5] Ibid. Hal. 53
[6] Ibid.hal. 57         
[7] M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional,( Medan: CV. Zahir, 1975), Cet. I,
hlm. 199                                                                         

[8] Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH., Hukum perkawinan Indonesia ( Bandung : Mandar Maju, 1990) hal.133
[9] Ibid: hal. 135
[10] Ibid hal. 137
[11] Ibid hal 138
[12] Prof.H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia ( bandung : mandar maju, 1990)hal. 140
[13] Dr. H. Amiur Nuruddin, MA. & Drs. Azhari Akmal Tarigan, M. Ag., Hukum Perdata Islam di Indonesia ( jakarta: Prenada Media,2004) hal. 281
[14] Ibid hal 282
[15] Komplisi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama R.I 200. Hal 50
[16] Ibid hal 283
                [17] Ibid hal 51
[18] Ibid hal 285                               
[19] Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, cet.I, 1988), hlm. 240
[20] www. Jurnalhukum.com /kedudukan- anak/                                      
[21] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1995, cet. XXVII,) hal. 50
[22] Ibid hal. 53