Hai sahabat pembaca yang budiman, kali ini saya
akan share makalah tentang
Islamisasi pengetahuan menurut Ismail Raji al-Faruqi serta latar belakang
munculnya pemikiran Islamisasi berikut langkah-langkah untuk merealisakannya. untuk lebih jelasnnya silahkan lanjutkan membaca pada makalah dibawah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ilmu pengetahuan sudah ada sejak Nabi Adam sebagai manusia pertama
diturunkan, maka ilmu pengetahuanpun dimulai. Bumi yang semula hanya dihuni
oleh makhluk dan benda nonmanusia tentu belum bisa memberikan sumbangsih apapun
bagi asal-usul dan perkembangan ilmu pengetahuan, karena hewan dan tumbuhan
adalah makhluk yang tidak berakal. Kemudian ilmu pengetahuan terus berkembang
seiring berkembang biaknya anak cucu adam didunia.
Ilmu pengetahuan masih terus berkembang selama bumi masih berputar,
mulai dari ilmu pengetahuan tradisional hingga
ilmu pengetahuan modern yang kini sudah semakin berkembang pesat bahkan
menakjubkan dalam berbagai aspek. Namun, kemajuan tersebut juga berdampak yang
cukup mengerikan, dimana ilmu pengetahuan modern akibat paradigma yang sekuler
menjadi kering, bahkan terpisah sama sekali dari nilai-nilai toelogis.[1]
Sementara itu, keilmua islam sendiri yang dianggap bersentuhan
dengan nilai-nilai teologis, justru terlalu berorientasi pada religiusitas dan
spiritualitas tanpa memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu sosial dan ilmu
kealaman yang dianggap sekuler.
Maka dari itu
al-Faruqi merasa prihatin terhadap kondisi umat Islam. Jadi menurutnya tidak
ada cara lain untuk membangkitkan Islam dan menolong nestapa dunia kecuali
dengan mengkaji kembali kultur keilmuan Islam masa lalu, masa kini dan keilmuan
baratuntuk mengolahnya menjadi keilmuan yang rahmatan li al ‘alamin melalui
Islamisasi.
Dalam makalah ini,
pemakalah akan membahas tentang Islamisasi pengetahuan menurut Ismail Raji
al-Faruqi serta latar belakang munculnya pemikiran Islamisasi berikut
langkah-langkah untuk merealisakannya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
biografi seorang tokoh filsuf islam, Ismail Raji al-Faruqi?.
2.
Bagaimana
latar belakang munculnya pemikiran Islamisasi Ismail Raji al-Faruqi?.
3.
Bagaimana
prinsip dasar dari Islamisasi?.
4.
Bagaimana
tujuan, susunan rencana dan langkah kerja dalam pendidikan Ismail Raji al-Faruqi?.
5.
Apa
saja kontribusi Ismail Raji al-Faruqi dalam pendidikan?
C.
Tujuan
Masalah
1.
Mengetahui
biografi dari seorang tokoh filsuf Ismail Raji al-faruqi.
2.
Mengetahui
Latar belakang munculnya pemikiran Islamisasi Ismail Raji al-Faruqi?
3.
Mengetahui prinsip dasar dari Islamisai Ismail Raji al-Faruqi.
4.
Mengetahui
tujuan dan susunan rencana kerja dalam pendidikan Ismail Raji al-Faruqi.
5.
Untuk
mengetahu kontribusi Ismail Raji al-Faruqi dalam pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Ismail Raji al-Faruqi
Ismail Raji al-Faruqi
lahir pada 1 januari 1921 M, diJaffa, Palestina, sebelum, wilayah ini diduduki
israel. Pendidikan awalnya ditempuh di College des ferese, Libanon yang
menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa pengantarkannya, kemudian di America
University, Bairut, jurusan filsafat. Pada tahun 1941, setelah meraih Bechelor
of Arts (BA), ia bekerja sebagai pegawai pemerintah (PNS) Palestina
dibawah mandat inggris. Empat tahun kemudian karena kepemimpinannya yang
menonjol, al-Faruqi diangkat sebagai gubernur diprovinsi Galilea, Palestina
pada usia 24 tahun. Namun, jabatan ii tidak lama, karena tahun 1947, propinsi
tersebut jatuh ketangan Israel, sehingga ia hijrah ke Amerika, setahun
kemudian.[2]
Setahun di
Amerika, al-Faruqi melanjutkan studinya di Universitas Indiana sampai meraih
gelar master dalam bidang filsafat, tahun 1949. Dua tahun kemudian ia meraih
gelar master kedua dalam bisang yang sama diHarvard. Puncaknya, tahun 195,
faruqi meraih gelar Ph.D dari universitas Indiana, dengan desertasi berjudul on
Justifying the God: metaphysic and Epistemology of Value (Tentang
pembenaran Tuhan, Metafisika, dan Epistemologi Nilai). Namun, apa yang dicapai
tidak memuaskannya. Karena itu ia kemudian pergi ke Mesir untuk lebih mendalami
ilmu ilmu keislaman di Univdersitas Al-Azhar, Kairo.
Sekembalinya
dari Mesir, tahun 1959, Faruqi mengajar di McGill, Montreal Kanada, seraya
mempelajari Yudaisme dan kristen secara intensif. Namun, pada tahun 1961, ia
pindah ke Karachi Pakistan untuk ambil bagian dalam kegiatan Central
Institute for Islamic Research (CIIR) dan jurnalnya, Islamic
Studies. Kemudia tahun 1963, faruqi kembali ke America dan mengajar di
School of Devinity, University Chicago, sambil melaukan kajian keislaman di
Universitas Syracuse, New York. Selanjutnya tahun 1968 al-Faruqi pindah dan
menjadi guru besar Pemikiran dan Kebudayaan Islam pada Temple University,
Philadelphia. Disini Faruqi mendirikan Departmen Islamic Studies
sekaligus memimpinnya sampai akhir hayatnya, 27 Mei 1986.[3]
Ismail raji al-faruqi
juga aktif dalam gerakan-gerakan keislaman dalam keagamaan. Bersama istrinya,
Dr Louis Lamnya, ia membentuk kelompok-kelompok kajian islam, seperti Muslim
Student Association (MSA) American Academy of Religion (AAR), The
Association of MuslemSoaial Sceintist (AMSS), The International Institute of
Islamic Thought (IIIT), Islamic Sosiety of North America
(ISNA), dan menerbitkan jurnal American Journal of Islamic Sciences
(AJISS).
B. Latar belakang munculnya gagasan Islamisasi Ismail Raji al-Faruqi
Sekitar dekade 80-an dunia- terutama islam dikejutkan oleh gagasan
Ismail Raji al-Faruqi yang terkesan radikal yaitu Islamisasi ilmu pengetahuan (unity
of knowledge). Gagasan al-Faruqi ini terkesan radikal karena menyentuh sisi
terdalam kesadaran umat islam, sekaligus menawarkan paradigma tauhid dalam
membangun sistem dan struktur ilmu pengetahuan berdasarkan paradigma islam.
Gagasan ini berangkat dari asumsi bahwa semakin dalamnya penetrasi filsafat keilmuan
barat terhadap bangunan keilmuan islam, padahal konsep keilmuan barat
mengandung tidak sedikit kerancuan jika dihadapkan dengan aksiologis islam.[4]
Melihat fakta bahwa apa yang telah dicapai sains modern (Barat),
dalam berbagai aspekya, merupakan sesuatu yang sangat menakjubkan. Namun,
kemajuan tersebut juga membawa dampak lain yang tidak kalah mengerikannya.
Menurut Faruqi, akibat dari paradigma yang, sekuler pengetahuan moden menjadi
kering, bahkan terpisah sekali dari nilai0nilai tauhid;suatu prinsip global
yang mencakup lima kesatuan, yakni kesatuan Tuhan, kesatuan alam, kesatuan
kebenaran, kesatuan hidup dan kesatuan umat manusia. Jelasnya sains modern
telah lepas atau melepaskandiri dari nilai-nilai teologi.[5]
Gagasan Islamisasi atau kesatuan pengetahuan ini merupakan salah
satu respon intelektual muslim terhadap efek negatif ilmu penetahuan modern
yang semakin tampak dan dialami oleh masyarakat dunia. Kesatuan pengetahuan
yang sedang digarapnya, bermula dari adanya krisis didalam basic ilmu
pengetahuan modern, yaitu konsep realitas atau pandangan dunia yang melihat
pada setiap ilmu penegtahua yang kemudian mengarah kepada persoalan-persoalan
epistomologis, hubungan konsep dan realita, masalah kebenaran dan lain-lain
yang menyangkut pengetahuan. Krisis ini akhirnya akan berpengaruh terhadap
persoalan nilai ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh masyarakat modern.
Selain itu, gagasan ini muncul sebagai reaksi terhadap adanya
konsep dikotomis antar agama yang cenderung eksklusif-literaluis-apologetis dan
ilmu pengetahuan yang dimasukan masyarakat barat dan budaya masyarakat modern,
yang ditengarai mulai kehilangan ruh agama yang mendasarinya.sikap
dikotomi(dualisme) ini terkait erat dengan word view umat islam dalam
memandang dan menempatkan dua sisi ilmu, yaitu ilmu ‘lm-aldiniyah dan
ilmu ghair al-didniyah. Hal ini telah memancing terbelahnya pemikiran
intelektual muslim, baik pro atau kontra dan kemudian merembet pada persoalan
antologi, epistimologi, dan aksiologiserta historis empiris sebagai tipologi
idealnya.
Melihat wajah pendidikan muslim sebagai potret dualisme antara
sisitem islam dan sekuler (Barat), maka al Faruqi menegaskan agar dualisme
sistem pendidikan muslim yang ada sekarang ini harus dihilangkan.
Sementara itu keilmuan Islam sendiri yang dianggap erat dengan
nilai-nilai teologis terlalu berorientasi pada religiusitas dan spritulitas
tanpa memperdulikan ilmu-ilmu sosial dan ilmu kealaman yang dianggap sekuler[6].
Para ilmuan muslim, demi menjaga identitas keislama dalam persaingan budaya
global melarang segala bentuk inovasi dan mengedepankan ketaan fanatik pada
syariah (fiqh abad pertengahan). Hal ini disebabkan karena para ilmuan muslim
beranggapan bahswa syariah (fiqh) adalah hasil karya yang sudah lengkap dan tetap,
sehingga mereka mengganggap segala bentuk perubahan adalah penyimpangan dan
setiap penyimpangan adalah bid’ah, sesat dan terkutuk.
Sikap keilmuan masyarakat muslim tersebut, pada akhirnya
menimbulkan pemisahan wahyu dari akal, pemisahan pemikiran dari aksi dan
pemisahan pemikiran dari kultur bahkan menimbulkan stagnasi keilmuan dikalangan
mereka. Artinya, dampak negatif yang terjadi dalam model keilmuan islam sendiri
tidak kalah membahayakannya dibanding apa yang ada dalam sains barat.
Kenyataannya, disekolah, akademi maupun universitas tidak pernah terjadi
sekarang diaman seorang ilmuan muslim begitu berani mengemukakan tesa-tesa yang
bisa dianggap tidak islami, dan tidak sehebat sekarag acuhnya pemuda muslim
terhadap agamanaya.
Bersamaan dengan itu, sistem dan model pendidikan islam yang
dianggap sebagai ujung tombak kemajuan, justru mendukung dan membudayakan
tradisi keilmuan islam yang stagnan. Menurut al-Faruqi, model pendidikan
masyarakat islam dipolakan menjadi tiga kategori. Pertama, sistem pendidikan
tradisional yang hanya mempelajari ilmu-ilmu islam secara sempit, sisi hukum
dan ibadah mahdlah, yang dalam konteks Indonesia bisa ditunjukan pada
model pendidikan salaf dipesantren. Kedua, sisitempendidikan yamg lebih
menekankan ilmu-ilmu sekular yang diadopsi secara mentah dari barat, yang dalam
konteks Indonesia bisa dirunjukkan pada sistem pendidikan umum.[7]
Akibatnya, kedua sistem ini menimbulkan pertentangan dalam kepribadian
masyarakat muslim. Yakni, para alumni
pesantren atau alumni pendidikan salaf cenderung bersikap konservati-eksklusif
dan antagonistik terhadap ilmu-ilmu modern yang sebenarnya diperlukan pula,
sementara sarjana pendidikan modern juga cenderung bersikap skularistik-materialistik
dan antagonistik terhadap ilmu-ilmu keagamaan.
Disamping kedua sisitem pendidikan tersebut, ketiga, ada
sistem konvergensif. Sistem ini adalah sistem yang memadukan kedua sistem yang
ada. Yakni, sisitem ini disamping memberikan materi agama juga memberikan berbagi
disiplin ilmu modern yang diadopsi dari Barat. Namun, pencangkokan ini ternyata
tidak dilakukan diatas dasar filosofis yang benar, tetapi semata hanya
diberikan secara bersama-sama; ilmu-ilmu agama dijejerkan dengan ilmu-ilmu
umum(seperti yang ada diIAIN), sehingga tidak memberikan dampak positig pada
mahasiswa. Apalagi kenyataannya, ilmu-ilmu tersebut sering disampaikan oleh
dosen yang kurang mempunyai wawasan keislaman dan kemoderenan yang memadai.
Berdasarkan kenyataan itu, menurut al-Faruqi, tidak ada cara lain
membangkitkan islam dan menolong nestapa dunia kecuali dengan mengkaji kembali
kultur keilmuan Islam masa lalu, masa kini dan keilmuan Barat, untuk kemudian
mengolahnya menjadi keilmuan yang rahmatan lil alamin ,Imelalui apa yang
disebut ‘Islamisasi ilmu’ yang kemudian disosialisasikan lewat sistem
pendidikan Islam yang integral.[8]
C. Prinsip dasar dari Islamisasi
Untuk membandingkan gagasannya tentang islamisasi ilmu, al-Faruqi
meletakkan pondasi epistemologinya pada ‘prinsip tauhid’ yang terdiri dari lima
macam kesatuan.[9]
1.
Keesaan
Tuhan, bahwa tiada Tuhan selain Allah, yang menciptakan dan memelihara semesta.
Implikasinya, dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, bahwa sebuah pengetahuan
bukan untuk menerangkan dan memelihara realitas sebagai entitas yang terpisah
dari Realitas Absolut (Tuhan), melainkan mel;ihatnya sebagai bagian yang
integral dari eksistensi Tuhan. Karena itu, islamisasi ilmu mengarahkan
pengetahuan pada kondisi analisa dan sintesa tentang hubungan relitas yang
dikaji dengan hukum Tuhan (divine Pattern).
2.
Kesatuan
ciptaan, bahwa semesta ini baik yang material, psikis, spasial (ruang),
biologis sosial maupun estetis, adalah kesatuan yang integral. Masing masing
saling kait dan saling menyempurnakan dalam ketentuan hukum alam (sunnah
Allah) untuk mencapai tujuan akhir tertinggi, Tuhan. Namun, bersamaan
dengan itu, Dia juga menundukkan alam semesta untuk manusia, sehingga mereka bisa
mengubah polanya dan mendayagunakan demi kesejahteraan umat.
Dalam kaitannya
dengan islamisasi ilmu, maka setiap penelitian dan usaha pengembangan keilmuan
realisai ibadah kepada-Nya. Ini berbeda dengan prinsip keilmusan Barat, dimana sejak
15, mereka sudah tidak berterimakasih pada Tuhan melainkan hanya pada dirinya
sendiri. Mereka telah memisahkan ilmu pengetahuan dari prinsip teologis dan
agama.
3.
Kesatuan
kebenaran dan pengetahuan. Kebenaran bersumber pada realitas, dan jika semua
realitas berasal dari sumber yang sama, Tuhan maka kebenaran tidakmungkin lebih
dari satu. Apa yang disampaikan melalui wahyu tidaklah mungkin bertentangan
dengan realita yang ada, karena Tuhanlah pencipta keduanya. Faruqi merumuskan
kesatua kebenaran ini sebgai berikut, 1) bahwa berdasarkan wahyu kita tidak
boleh mengklaim yang betentangan dengan relitas. Statemen yang diajarkan wahyu
pasti benar dan harus berhubungan dan sesuai dengan realitas. Jika terjadi
kontradiksi antara penemuan dan wahyu maka seorang muslim harus mengkaji ulang data-
data penelitiannya. 2) Bahwa dengan tidak adanya kontradiksi antara nalar dan
wahyu, berarti tidak satupunkontradiksi antara relitas dan wahyu yang tidak
terpecahkan. Maka dari itu seorang muslim harus senantiasa selalu menyatukan
antara ajaran agama dengan kemajuan iptek. 3) Bahwa pengamatan dan penyelidikan
terhadap semesta dengan bagian-bagiannya tkidak pernah berakhir, karena
pola-pola Tuhan tidak terhingga. Seberapa mendalam dan banyakpun seseorang
menemukan data baru maka semakin banyak pula hal yang belum terungkap. Karena
itu kita sebagai muslim dituntut untuk harus selalu bersikap open minded, rasional
dan toleran terhadap data-data penemuan baru.
Menurut
Faruqi, kehendak Tuhan terdiei dari dua macam.
1)
Berupa
hukum alam (sunnah Allah) dengan segala regularitasnya yang memungkinkan
diteliti dan diamati, matei.
2)
Berupa
hukum moral yag harusdipatuhi agama. Kedua hukum ini berjalan seiring, senada
dan seirama dalam kepribadian muslim. Konsekuensinya tidak ada pemisah antara
yang bersifat spiritual dan material antara jasmanai dan ruhani.[10]
Kelompok muslim tidak disebut bangsa, kaum atau suku, melainkan
ummat. Karena pengertian dari umat bersifat trans-lokal dan tidak ditentukan oleh pertimbangan geografis, ekologis, ethnis,
warna kulit, kultur dan lainnya, tetapi dilihat dari sisi ketakwaannya.. meski
demikian islam tidak menolak adanya klasifikasi dan stratifikasi natural
manusia kedalam suku, bangsa dan ras sebagai potensi yang dikehendaki Tuhan.
Yang ditolak oleh islam yaitu paham ethnosentrisme, karena hal ini akan
mendorong penetapan hukum, bahwa kebaikan dan kejahatan hanya berdasarkan
ethnisnya sendiri, sehinnga menimbulkan berbagai konflik antar kelompok.[11]
Jadi, kaitannya dengan islamisasi ilmu adalah mengajarkan bahwa
setiap pengembangan ilmu harus berdasarkan dan bertujuan atas kepentingan
mausia, bukan hanya atas kepentingan ras, suku, golongan dan ethnis tertentu
saja.
D.Tujuan,
Susunan Rencana dan Langkah Kerja dalam Pendidikan Ismail Raji al-Faruqi
Secara umum, Islamisasi ilmu al-Faruqi dimaksudkan untuk memberikan
respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang sekularistik dan
islam yang terlalu religius dalam model pengetahuan baru yang utuh dan integral
tanpa pemisah diantaranya.[12] Karena
sesungguhnya ilmu pengetahuan modern dan klasik Islam sesungguhnya tidak
bertentangan dengan normativ Islam, sehingga tidak penting memisakan keduanya
secara ekstrim. Apalagi dalam Islam, sejak awal selalu ditekankan konsep
kesatuan ilmu sebagai media penghampiran kepada Tuhan dan kemaslahatan manusi.
Jadi, pendirian Islam terhadap ilmu pengetahuan bukan sebagai sesuatu yang
terpisah dari fenomena. Prinsip kesatuan Tuhan (The Unity of God) atau
tauhid, yang digaris bawahi oleh al-Faruqi ketika membuka wacana unitas
pengetahuan (unity of knowledge) secara filosofis merupakan perantara
yang strategis untuk mengikat sains kedalam nuansa islam.[13]
Untuk merealisasikan gagasan tersebut, al-Faruqi menyusun rencana kerja
(workplan) dalam upayanya merumuskan unitas pengetahuan dengan lima sasaran
atau tujuan, yaitu;
1.
Penguasaan
disiplin ilmu modern.
2.
Penguasaan
khazanah warisan Islam.
3.
Membangun
relevansi Islam dengan masig-masing disiplin ilmu modern.
4.
Memadukan
nilai-nilai dan khazanah warisan Islam secara kreatif dengan ilmu-ilmu modern.
5. Pengarahan
aliran pemikiran Islam kejalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah
SWT.[14]
Untuk merealisaikan tujuan-tujuan tersebut, Faruqi menyusun 12
langkah yang secara
Kronologis harus ditempuh.[15]
1.
Penguasaan
disiplin ilmu modern,penguasaan kategoris.
Dalam langkah ini disiplin-disiplin ilmu modern harus dipecah-pecah
menjadi kategori-kategori prinsip-prinsip, mrtodelogi, problema dan tema-tema.
Penguraian ter sebut harus mencerminkan daftar isi sebuah buku daras
(pelajaran) dalam bidang metodologi disiplin-disiplin ilmu yang bersagkutan.
Hasil uraian tersebut tidak hanya berbentuk judul-judul bab, tapi harus
berbentuk kalimat-kalimat memnperjelas istilah-istilah teknis, menerangkan
kategori, prinsip, problema dan tema pokok disiplin-disiplin ilmu modern tersebut dalam puncaknya.
2. Survei
disiplin ilmu. Pada tahap ini, setiap disiplin ilmu modern harus disurvei dan
ditulis dalam bentuk bagan (skema) mengenai asal usul, perkembangan dan
pertumbuhan metodologinya, keluasan wawasan serta sumbangan pemikiran yang
telah diberikan para tokoh utamanya. Bibliografi dengan keterangan yang memadai
dari karya-karya terpenting dibidang ini harus juga dicantumkan sebagai
penutupdari masing-masing disiplin ilmu. Tujuannya adalah untuk semakin
memantapkan dan memperdalam pemahaman
muslim terhadap disiplin-disiplin ilmu modern yang berkembang dibarat, sehingga
meraka dapat mengetahui dengan detail dan menyeluruh terhadap kelebihan dan
kekurangan pada disiplin-disiplin ilmu tersebut.
3.
Penguasaan
khazanah Islam, sebuah antologi. Pada tahap ini perlu dicari sejauh
manakhazanah Islam menyentuh dan membahas objek disiplin ilmu modern tertentu.
Tujuannya agar dapat ditemukan kriteria relevansi diantara khazanah Barat dan
Islam.[16]
Hal ini penting, karena melihat pada kenyataan yang ada bahwa banyak ilmuan
muslim didikan barat yang tidak mengenal khazanah islam sendiri, kemudian
mengaggap bahwa khazanah keilmuan islam itu tidak mempelajari ilmu yang mereka
tekuni. Padahal sesungguhnya adalah mereka tidak mengenal kategori-kategori
khazanah keilmuan islam yang digunakan oleh ilmuan-ilmuan muslim tradisional
terdahulu untuk mengelompokkan disiplin-disiplin ilmu yang mereka tekuni.
4.
Penguasaan
khazanah ilmiah islam tahap analisa. Tahap ini diadakan analisis terhadap
khazanah Islam dengan latar belakang historis dan kaitannya dengan berbagai
bidang kehidupan manusia. Analisa historis ini dapat memperjelas berbagai
wilayah wawasan Islam itu sendiri. Namun analisa ini tidak dapat dialakukan
secara sembarangan. Harus dibuat daftar urut prioritas, dan yang paling penting
bahwa prinsip-prinsip pokok, masalah-masalah pokok dan tema-tema abadi, yakni
tajuk-tajuk yang mempunyai kemungkinan relevansi kepada permasalahan masa kini
harus menjadi sasaran strategis penelitian dan pendidikan Islam.
5.
Penentuan
relevansi Islam terhadap disiplin-disiplin ilmu. Pada tahap ini, hakekat
disiplin ilmu modern beserta metode dasar, prinsip, problema, tujuan, hasil
capaian dan segala keterbatasannya, semua dikaitkan dengan khazanah Islam.
Begitu pula relevansi-relevansi khazanah Islam spesifik pada masing-masing ilmu
harus diturunkan secara logis dari sumbangan mereka.
6.
Penilaian
kritis terhadap disiplin keilmuan modern dan tingkat perkembangannya dimasa
kini. Setelah mendeskripsikan dan menganalisisberbagai sisi dan relevansi
antara khazanah Islam dan Barat, sekarang melakukan analisis kritis terhadap
masing-masing ilmu dilihat dari sudut pandang Islam. Inilah langakah utama
dalam Islamisasi ilmu. Disini ada beberapa hal yang harus dijawab. Benarkah
disiplin ilmu tersebut telah memenuhi visi pelopornya? Sudahkah disiplin ilmu
tyersebut memenuhi harapan manusia dalam tujuan hidupnya? Sudahkah ilmu
tersebut mendukung pemahaman dan perkembagan pola ciptaan Ilahi yang harus
direalisasikan?. Jawaban dari berbagi persoalan ini harus terkumpul dalam
bentuk laporan mengenai tingkat perkembangan disiplin ilmu modern dilihat dari
perspektif Islam.
7.
Penilaian
kritis terhadap khazanah Islam dan tingkat perkembangannya dewasa ini. Yang
diamaksud khazanah islam adalah alquran dan sunnah. Namun, ini tidak berarti
kedua sumber tersebut harus objek kritik dan penilaian. Akan tetapi
interpretasi muslim terhadap keduanya yang historis-konstektual harus boleh
dipertanyakan, bahkan harus selalu dinilai dan dikritik berdasarkan
prinsip-prinsip dari kedua sumber pokok tersebut.
8.
Sutvei
permasalahan yang dihadapi umat Islam. Setelah diadakan analisa secara kritis
terhadap keilmuan modern maupun khazanah Islam, langkah berikutnya adalah
mengadakan survei terhadap berbagai problem intern disegala bidang. Untuk bisa
mengidentifikasi semuanya dibjutuhkan survei empiris dan analisa kritis secara
konprehensif.
9.
Survei
permasalahan yang dihadapi manusia. Sebagian dari wawasan dan visi Islam adalah
tanggung jawabnya yang tidak terbatas pada kesejahteraan umat Islam, tetapi
juga menyangkut kesejahteraan seluruh umat manusia didunia dengan segala heterogenitasnya, bahkan mencakup seluruh alam
semesta (rahmat li al-alamin). Dalam berbagai hal, umat islam memang
terbelakng dibanding bangsa lain, tetapi dari sisi ideologis, mereka adalah
umat paling potensial dalam upaya proses integralisasi antara kesejahteraan,
religius, etika dan material. Islam mempunyai wawasan yang diperlukan bagi
kemajuan peradaban manusia untuk menciptakan sejarah baru dimasa depan.
10.
Analisa
sintesa kreatif. Setelah memahami dan menguasai semua disiplin ilmu modern dan
disiplin keilmuan tradisional, menimbang kelebihan dan kekurangan
masing-masing, mendeterminasikan relevansi Islam dengan dimensi-dimensi
pemikiran ilmiah tertentu pada disiplin-disipli ilmu modern, mengidentifikasi
problem yang dihadapi umat islam dalam lintasan sejara sebagai hamba sekaligvus
khalifah. Dan setelah memahami permasalahan yang sedang dihadapi dunia, maka
saatnya mencari lompatan kreatif untuk bangkit dan tampil sebagai protektor dan
developer peradaban manusia.
Sintesa kreatif
yang akurat harus dibuat antara ilmu-ilmu Islam tradisional dan disiplin
ilmu-ilmu modern untuk dapat mendobrak stagnasi intelektual selama beberapa
abad. Sintesa kreatif ini harus mampu memberikan solusi tuntas bagi
permasalahan dunia, disamping permasalahan yang muncul dari harapan islam.
11.
Penuangan
kembali disiplin ilmu modern kedalam kerangka Islam, buku buku dasar tingkat universitas.
Secara oprasional, para intelektual muslim tidak akan mencapai sepakat tentang
solusi suatu persoalan, karena perbedaan background masing-masing. Hal ini tidak dilarang
bahkan dibutuhkan sehingga kesadaran mereka menjadi lebih kaya dengan berbagai
macam pertimbangan.
12.
Penyebaran
ilmu-ilmu yang telah diislamkan. Setelah disiplin ilmu modern bisa dituangkan secara
baik dalam kerangka islam, selanjutnya adalah pendistrbusian karya-karya
tersebut keseluruh masyarakat islam. Sebab karya karya yang berharga tersebut
tidak akan pernah berarti jika hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu atau
dalam kalangan terbatas.
Selain itu untuk mempercepat program Islamisasi, pertama,
perlu sering dilakukan seminar dan konfrensi yang melibatkan beberapa ahli
dalam bidang keilmuan untuk memecahkan persoalan disekitar pengkotaan antar
disiplin ilmu pengetahuan. Kedua, adalah lokakarya untuk pembinaan staf.
E. Kontribusi Ismail Raji al-Faruqi dalam pendidikan
Ismail Raji al-Faruqi telah banyak memberikan kontribusi dalam
bidang pendidikan salah satunya yaitu melalui tulisan-tulisannya. Ia telah
menjelma menjadi salah satu tipe intelektual yang lahap dan penulis yang sangat
produktif. Selama hidupnya ia telah mewariskan 25 judul buku dan 100
artikel. Hampir semua bidang ilmu
dijelajahinya. Dari etika, seni, ekonomi, metafisika, politik, sosiologi dan
sebagainya. Semua dikuasainya dan kemudian disajikan dalam bentuk yang lebih
komprehensif dan saling berhubungan. Menjelang akhir hayatnya, tehun 1986, ia
meninggal dunia sebagai korban pembunuhan.
Al-Faruqi telah berhasil menuangkan konsep-konsep
pemikirannya dalam karya terbesarnya, Tauhid: It’s Implication for Thought
and Life. Diantara karya lain yang layak diapresiasi adalah The Cultural
Atlas of Islam, Historial Atlas of Religion of The world, Atlas of Islamic
Culture and Civilization, Islam and Culture, Christian Ethics, Trialogue of
Abrahamic Faith dan karya kontroversialnya Islamization of Knowledge.[17]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ismail Raji al-Faruqi adalah seorang tokoh filsuf besar yang
memiliki gagasan yang terkesan radikal
yaitu ‘Islamisasi Ilmu Pengetahuan’. Pemikiran ini terkesan radiakal
karena menyentuh sisi terdalam kesadaran keimanan umat islam, sekaligus menawarkan paradigma tauhid dalam membangun
sistem dan struktur ilmu pengetahuan berdasarkan paradigma islam.
Pemikiran ini muncul karena akibat paradigma yang skuler ilmu
pengetahuan modern telah lepas atau melepaskan diri dari nilai-nilai teologis.
Sedangkan keilmuan Islam sendiri yang dianggap bersentuhan dengan nilai-nilai
teologis, terlalu berorietasi pada religiusitas dan spiritualitas tanpa
memperdulikan betapa pentingnya pula ilmu-ilmu sosial dan ilmu kealaman yang
dianggap sekuler.
Berdasarkan kenyataan inilah al-Faruqi berpendapat bahwa tidak ada
cara lain untuk membangkitkan Islam dan menolong nestapa dunia kecuali mengkaji
kembali kultur keilmuan Islam masa lalu, masa kini dan keilmuan Barat untuk
kemudian mengolahnya menjadi keilmuan yang rahmatan li al-alamin melalui ‘Islamisasi Ilmu Pengetahuan’ yang
kemudian disosialisasikan melalui pendidikan Islam yang integral.
Ada 12 langkah yang disusun oleh al-Faruqi untuk mencapai
Islamisasi yaitu:
1)
Penguasaan
disiplin ilmu modern.
2)
Survei
disiplin ilmu.
3)
Penguasaan
khazanah islam.
4)
Penguasaan
khazanah islam tahap analisa.
5)
Penentuan
relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu.
6)
Penilaian
kritis terhadapdisiplin ilmu modern.
7)
Penilaian
kritis terhadap khazanah Islam.
8)
Survei
permasalahan yang dihadapi umat islam.
9)
Survei
permasalahan yang dihadapi umat manusia.
10)
Analisa
kreatif dan sintesa.
11)
Penungan
kembali disiplin ilmu modern kedalam kerangka Islam.
12)
Penyebarluasan
ilmu-ilmu yang telah diislamisasikan.
B.
Saran
Setelah
dipaparkan pembahasan konsep mengenai pendidikan Islam dalam perspiktif Ismail
Raji al-Faruqi ini, mungkin dari pembahasan yang disajikan ada ketidakcocokan
dengan yang ada pada kenyataannya atau dari sumber referensi lainnya, kami
mengharap kritik atau saran dari pembaca ataupun dari dosen sekaligus.
DAFTAR
PUSTAKA
Siswanto.
Pendidikan Islam dalam Perspektif Filosofis. Pamekasan: STAIN PMK Press.
2009.
Soleh,
A.khudori. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2004.
Siswanto.
Filsafat dan pemikiran Islam. Surabaya: Pena Salsabila. 2015.
[1] A. Khudori Soleh, wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), Hlm. 274
[2] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam,(Yogyakarta:
Pustaka Press, 2004), Hlm. 272
[3]Ibid, Hlm. 273
[4] Siswanto, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filosofis, (Pamekasan:
STAIN PMK Press, 2009), Hlm. 98
[5] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam,(Yogyakarta:
Pustaka Press, 2004), Hlm. 274
[6] Ibid, Hlm. 275
[7] Ibid, Hlm. 276
[8] A. Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), Hlm. 277
[9] Ibid, Hlm. 277
[10] A. Khudori Soleh, wacana Baru Filsafat Islam, (yogyakarta:
Pustaka Press, 2004), Hlm. 279
[11] Ibid, Hlm. 280
[12] Ibid, Hlm. 280
[13] Siswanto, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filosofis,(Pamekasan:
SATAIN PMK Press, 2009), Hlm. 103
[14] Ibid, Hlm. 104
[15] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam,(Yogyakarta:
Pustaka Press, 2004), Hlm. 281
[16] Ibid, Hlm. 282
[17] Siswanto, Filsafat dan pemikiran Islam, (Surabaya:Pena
Salsabila, 2015), Hlm. 148