Selamat Datang di Blog Kami. Blog ini meyediakan berbagai macam informasi seputar Pendidikan, Karya Tulis Ilmiah,Dan lain-lain. Membangun Indonesia Melalui Pendidikan

Makalah Peranan Pendidikan dalam Merekayasa Perubahan Sosial dalam Kajian Tafsir

Untuk Mendapatkan File Makalah atau Artikel dibawah ini, Silahkan Klik Download! download
Seorang anak didalam mencari nilai-nilai hidup, harus mendapat bimbingan sepenuhnya dari pendidik, karena menurut ajaran Islam, saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci/fitrah, dan alam sekitarnyalah yang akan memberikan corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan seorang anak, khususnya pendidikan karakter. 

BAB I
PENAHULUAN
      A.    Latar belakang
Seorang anak didalam mencari nilai-nilai hidup, harus mendapat bimbingan sepenuhnya dari pendidik, karena menurut ajaran Islam, saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci/fitrah, dan alam sekitarnyalah yang akan memberikan corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan seorang anak, khususnya pendidikan karakter.
Karena itu Islam sangat memperhatikan masalah pendidikan terhadap anak dan memberikan konsep secara kongkrit yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dimana terdapat dalam Surat Al-Isra Ayat 23-24 dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan bagi anak, namun terlebih dahulu marilah kita uraikan apa makna/definisi dari pendidikan dan arti anak itu sendiri.
      B.     Rumusan masalah
1.      Seperti apa ayat dan terjemahan QS. Ali imron /3 : 103 (persatuan)
2.      Bagaimana tafsir surat Ali imrom
3.      Seperti apa ayat QS. Al-isra’ (berbakti pada rang tua)
      C.     Tujuan masalah
1.      Untuk mengetahui bunyi ayat dan terjamahan Qs. Ali imran (persatuan)
2.      Untuk mengetahui tafsir surat Al-imran
3.      Untuk mengetahui ayat QS. Al-isra’

  
BAB II
PEMBAHASAN

     A.    Teks ayat QS. Ali imran/3 : 103
a.       Ayat dan terjemahan
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.Qs.3:103
1. Ayat sebelumnya menyerukan agar setiap orang mu`min bertaqwa dengan sebenar-benarnya taqwa, serta jangan mati kecuali dalam keadaan muslim. Ayat selanjutnya memberikan bimbingan tentang cara menjadi mu`min sempurna antara lain berpegang pada tali Allah, menjalin persaudaraan, syukur ni’mat, membentuk umat yang terdiri dari berbagai satuan tugas.
2. Jika ayat 102 dikaji dari sudut langkah meraih kebahagiaan paripurna, maka ayat 103-104 merupakan rangkaian dari langkah iman, taqwa dan Islam.[1]
b. tafsir kalimat
1. وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ   Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, Pangkal ayat ini menyerukan agar setiap mu`min berpegang teguh pada حَبْلِ اللَّهِ   tali Allah. Yang dimaksud dengan tali Allah menurut al-Baydlawi adalah agama Islam atau kitab-Nya.[2]
2. جَمِيعًا  bersama-sama secara keseluruhan
Menurut Abu al-S’ud, perkataan جَمِيْعًا berkedudukan sebagai keterangan keadaan yang diperintah oleh kalimat وَاعْتَصِمُوا, maka ma’nanya adalah مجتمعين في الاعتصام bersama-sama dalam berpegang teguh/ memegang teguh tali Allah secara berjamaah bersama-sama.[3]
3.وَلَا تَفَرَّقُوا   janganlah bercerai berai
Setelah diserukan untuk berjamaah, maka pada kalimat ini ditegaskan larangan tafaruq, bercerai berai atau meninggalkan jamaah. Dalam memahami al-Qur`an, bisa saja berbeda, tapi jangan sampai bercerai berai sebagaimana terjadi pada kelompok yahudi dan nashrani.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَفَرَّقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ أَوْ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَالنَّصَارَى مِثْلَ ذَلِكَ وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً
Diriwayatkan dari Abi Hurairah bahwa rasul SAW bersabda: yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan atau tjuh puluh dua golongan, nashrani pun demikian. Sedangkan umatku menjadi tujuh puluh tiga kelompok. Hr. Abu Dawud dan al-Turmudzi.
Dalam hadits lain ditandaskan:
تَفْتَرِقُ  هَذِهِ الأمَّة عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَة كُلُّهُم فِي النَّار إلا وَاحِدة  قَالُوا وَمَا تِلْكَ الفِرْقَة قال مَا اَنَا عَلَيْه اليَوْم وَأصْحَابِي
Umatku ini terdiri atas tujuh puluh tiga firqah yang semuanya masuk neraka kecuali satu saja. Shabat bertanya siapakah yang selamat itu? Rasul bersabda: yang sesuai dengan aku hari ini dan para shabatku. Al-Thabrani (w.360),[4]
4.   وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu
Bersambung insya Allah
Secara histories, ayat ini berkaitan dengan peringatan terhadap kaum khazraj dan kaum Aus yang sempat terprofokasi hingga hamper bermusuhan lagi. Mereka yang sebelum Islam bermusuhan, kemudian menjadi bersaudara terikat oleh ukhuwah Islamiyah. Kesatuan aqidah di antara mereka menjadi ni’mat yang sangat penting. Dengan demikian ni’mat mesti diingat dalam ayat ini adalah ni’mat Islam. Namun tentu saja pengertiannya berlaku umum, agar setiap mu`min selalu mengingat ni’mat yang telah Allah SWT berikan. Menurut al-Baydlawi ni’mat yang paling utama adalah hidayah dan taufiq hingga bahagia ber-Islam, senang berada pada jalan yang terang, dan terbebas dari pengaruh jahilyah yang menyesatkan.[5]
5.  إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ maka Allah melunakan hatimu.
Menurut al-Thabari, kalimat ini merupakan tafsir dari kalimat نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ (ni’mat Allah).[6] Dengan kata lain ni’mat Allah SWT yang paling penting terhadap kaum muslimin khususnya di Madinah adalah terjalinnya persaudaraan, oleh kesatuan aqidah yang awalnya bermusuhan. Ingatlah dengan ni’mat Allah berupa diutusnya Nabi Muhammad SAW membawa al-Islam, permusuhan pun menjadi persaudaraan. Potongan ayat ini, juga mengisyaratkan kecaman terhadap orang yang bermusuhan. Al-Islam adalah agama perdamaian yang menghaluskan hati yang kasar, menyatukan yang berpecah belah. Oleh karena itu hendaknya menghindari sikap, ucap atau tindakan yang menimbulkan perselisihan. Caranya antara lain tersirat pada sabda Rasul SAW berikut.
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا وَلَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَأذن أَوْ يَتْرُكَ
Jauhilah olehmu buruk sangka, karena termasuk kebohongan. Janganlah mencari-cari informasi tentang kesalahan orang, jangan pula mencari-cari kesalahan orang, dan jangan saling membenci. Jadilah kalian bersaudara, dan jangan meminang yang telah dilamar orang lain hingga mengizinkan atau meninggalkannya. Hr. al-Bukhari.[7]
6. فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا   karena ni`mat Allah, lalu kamu menjadilah orang-orang yang bersaudara;
Dengan keni’matan yang Allah SWT anugerahkan pada setiap mu`min, maka mereka menjadi bersaudara. Persaudaraan sesame muslim tidak terbatas oleh jauhnya hubungan nasab, tidak terhalang oleh dinding batas Negara, tidak terpengaruh perbedaan bangsa. Sesama muslim memiliki kesatuan aqidah, ikatan ukhuwah, bahkan mempunyai bahasa pemersatu bahasa al-Qur`an. Inilah suatu ni’mat besar persaudaraan yang tidak dimiliki oleh agama lainnya. Persaudaraan sesama muslim tak ubahnya satu bangunan yang kokoh, setiap komponennya saling menguatkan. Rasul SAW bersabda:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا ثُمَّ شَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
Sesama mu’min itu bagaikan satu bangunan yang setiap komponen menguatkan komponen lainnya. Rasul mencontohkan dengan mengepalkan jari-jemarinya. Hr. al-Bukhari, Muslim, al-Turmudzi .[8] Bahkan bagaikan satu tubuh yang tatkala terkena askit salah satu angota tubuh, maka yang lainnya ikut merasakan dan mengobati. Rasul SAW bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى الرَّجُلُ رَأْسَهُ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ
Perumpamaan orang mu`min seperti satu tubuh, jika seseorang terkena penyakit di kepala maka anggota tubuh lainnya ikut merasakan. Hr. Ahmad.[9]
7. وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا   dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya.
Perkataan شَفَاحُفْرَةٍ mengandung arti tepi jurang seperti orang yang hampr terjatuh ke sumur yang dalam. Orang yang kumur atau musyrik hingga mendekati kematian, tak ubahnya hampr saja mereka terjerumus pada kehancuran, atau sumur yang di dalamnya penuh siksaan. Al-Islam menyelamatkan orang yang hampr terjerumus pada siksaan.[10]
8. كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ  Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
Oleh karena itu hendaklah selalu berusaha mengkaji ayat-ayat Allah secara mendalam agar meraih hidayah dari-Nya. Dengan hidup mengikuti hidayah Allah akan selamat di dunia dan di akhirat.[11]
B.     Teks ayat QS. Al-Isra’ (berbakti kepada orang tua)
a.       Ayat dan terjemahannya
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“ Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
(Qs. Al Israa’ [17]:23)
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا.

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku,kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’.”
(Qs. Al Israa’ [17]:24)
b.      Tafsir ayat
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
                   Berdasarkan ayat di atas, tampaknya yang menjadi titik sentral dalam masalah bir al-walidain adalah anak, maka posisi orang tua sebagai pendidik tidak menjadi bahasan utama. Hal ini bisa disebabkan adanya suatu anggapan bahwa orang tua tidak akan melalaikan kewajibannya dalam mendidik anak.
                   Menurut Said Qutub orang tua itu tidak perlu lagi dinasehati untuk berbuat baik kepada anak, sebab orang tua tidak akan pernah lupa akan kewajibannya dalam berbuat baik kepada anaknya. Sedangkan anak sering lupa akan tanggung jawabnya terhadap orang tua. Ia lupa pernah membutuhkan asuhan dan kasih sayang orang tua dan juga lupa akan pengorbanannya. Namun demikian anak perlu melihat ke belakang untuk menumbuh-kembangkan generasi selanjutnya.  Jadi mempelajari cara orang tua dalam mendidik anak menjadi hal yang perlu dipertimbangkan.
Hal pertama yang teranalisa dalam penjelasan kedua ayat tersebut adalah kewajiban orang tua untuk memperlakukan anak dengan baik. Hal ini dapat dilihat dalam penafsiran ayat   wa bilwalidaini ihsana. Dalam penafsiran penggalan ayat tersebut, anak dituntut berbuat baik kepada kedua orang tua disebabkan orang tua telah berbuat ihsan kepada anak; mengandung selama sembilan bulan, memberikan kasih sayang dan perhatian sejak dari proses kelahiran hingga dewasa.
                   Dengan demikian, perintah anak untuk berbuat ihsan kepada orang tua menjadi wajib dengan syarat orang tua telah terlebih dahulu berbuat ihsan kepadanya. Ihsan orang tua terhadap anak sangat urgen sebab seorang anak yang dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan lemah tidak berdaya,  tidak tahu apa-apa, dan perlu pertolongan orang lain. Untuk mengatasi ketidakberdayaannya, anak sangat bergantung sepenuhnya kepada orang tua dan menunggu bagaimana arahan dan didikan yang akan diberikan kepadanya.

Hal kedua yang dapat dijadikan konsep pendidikan emosional anak adalah

إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

                   Kondisi lemah anak yang masih kecil dalam asuhan orang tua sama halnya dengan kondisi orang tua yang telah tua renta dalam asuhan anak. Ketika Allah mewajibkan anak untuk berbuat baik kepada orang tua sebagai balasan orang tua yang telah memperlakukan anak dengan baik dan susah payah ketika anak kecil, maka secara otomatis orang tua juga dituntut hal yang sama yakni memperlakukan anak dengan baik; tidak bersikap yang menunjukkan kebosanan dan kejemuan secara lisan maupun bahasa tubuh. Berkaitan dengan hal ini, orang tua seharusnya tidak mengabaikan aspek psikologis dalam mengasuh anak. Anak memerlukan perhatian dan kasih sayang. Meskipun belum bisa berpikir logis, anak tetap memerlukan kasih sayang dan cinta orang tua. Pemberian materi yang banyak tanpa dibarengi dengan perhatian dan rasa cinta dari orang tua akan membuat anak merasa tidak ada ikatan emosi antara dirinya dan orang tua. Akibatnya anak tidak peka terhadap apa yang dirasakan oleh orang tuanya, apalagi ketika orang tua telah renta.
                   Memperlakukan anak dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang bukan hanya membantu anak berkembang dengan positif tetapi juga memudahkan orang tua untuk mengontrolnya. Di saat orang tua bersikap lemah lembut dan sayang kepadanya, maka anak tersebut akan mudah untuk diajak kerjasama dan akan bersikapmenurut. Memperhatikan aspek psikologis anak dapat diwujudkan dengan sikap dan perkataan. Allah mewajibkan anak untuk berkata lemah lembut dan tidak menghardik orang tua ketika mereka telah pikun karena orang tua telah berlaku sabar, bersikap lembut dan tidak menghardik anak. Dengan demikian orang tua juga dituntut untuk lemah lembut dalam perkataan dan tidak menghardik anak.

                   Anak kecil yang belum bisa berpikir rasional dan logis sama halnya seperti orang tua yang telah pikun. Anak kecil tentunya akan merasa senang dengan dunianya. Misalnya anak kecil mempermainkan kotorannya sendiri yang menurut daya nalar anak apa yang dilakukannya tersebut baik dan menyenangkan. Meskipun hal demikian belum tentu logis dan baik menurut pemikiran orang dewasa. Dalam hal ini orangtua perlu bersikap sabar. Penghinaan dan celaan adalah tindakan yang dilarang dalam pendidikan, sekalipun terhadap bocah kecil yang belum berumur satu bulan. Anak bayi sangatlah peka perasaannya. Ia dapat merasakan orang tua tidak senang dan tidak menyukainya melalui sikap, bahkan yang masih tersirat dalam hati orang tua, lebih-lebih lagi melalui perkataan yang jelas.
                   Sikap orang tua dalam menghadapi dan mengasuh anak pada masa kecil memerlukan kesabaran dan tutur kata yang baik atau qaulan karima. Tutur kata yang baik bisa diwujudkan seiring dengan adanya kesabaran. Apabila tidak ada kesabaran dalam diri orang tua tentunya kata-kata kasar dan hardikan akan keluar tanpa terkendali. Dan perkataan kasar serta hardikan tidak disenangi anak, walaupun menurut orang tua semua itu demi kebaikan anak. Sebab yang dirasakan oleh anak bahwa kata-kata yang tidak lemah lembut merupakan bukti ketidak senangan orang tua terhadapnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
a.       Ayat dan terjemahan
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.Qs.3:103
b.      Ayat dan terjemahann QS. Al-isra’
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“ Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
(Qs. Al Israa’ [17]:23)

DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Hasan Al-Wahidi(w.468H),Tafsir al-Wahidi
Tafsir al-Baydlawi, II
Tafsir abi al-Su’ud, II
 al-mu’jam, V
Tafsir al-Thabari, IV
Shahih al-Bukhari (w.256H) V
 Hr. Al-Bukhari, I h.182, Muslim, IV hlm.199, al-Turmudzi, IV
 Musnad Ahmad, hadits no.17632, bab Hadits al-Nu’man bin Basyir.
 Tafsir al-Baghawi
Shahih Muslim,


[1] Abu al-Hasan Al-Wahidi(w.468H),Tafsir al-Wahidi, I hlm.225
[2] Tafsir al-Baydlawi, II hlm.73
[3] Tafsir abi al-Su’ud, II hlm.66
[4] al-mu’jam, V hlm.137
[5] Tafsir al-Baydlawi, II hlm.74
[6] Tafsir al-Thabari, IV hlm.33
[7] Shahih al-Bukhari (w.256H) V hlm.2253
[8] Hr. Al-Bukhari, I h.182, Muslim, IV hlm.199, al-Turmudzi, IV hlm.325
[9] Musnad Ahmad, hadits no.17632, bab Hadits al-Nu’man bin Basyir.
[10] Tafsir al-Baghawi, I hlm.338
[11] Shahih Muslim, I hlm.66