Seorang anak didalam mencari nilai-nilai hidup, harus mendapat bimbingan sepenuhnya dari pendidik, karena menurut ajaran Islam, saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci/fitrah, dan alam sekitarnyalah yang akan memberikan corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan seorang anak, khususnya pendidikan karakter.
BAB I
PENAHULUAN
A.
Latar belakang
Seorang anak didalam
mencari nilai-nilai hidup, harus mendapat bimbingan sepenuhnya dari pendidik,
karena menurut ajaran Islam, saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan
suci/fitrah, dan alam sekitarnyalah yang akan memberikan corak warna terhadap
nilai hidup atas pendidikan seorang anak, khususnya pendidikan karakter.
Karena itu Islam
sangat memperhatikan masalah pendidikan terhadap anak dan memberikan konsep
secara kongkrit yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dimana terdapat dalam Surat
Al-Isra Ayat 23-24 dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan bagi anak,
namun terlebih dahulu marilah kita uraikan apa makna/definisi dari pendidikan
dan arti anak itu sendiri.
B.
Rumusan masalah
1.
Seperti apa ayat dan terjemahan QS. Ali imron /3 : 103 (persatuan)
2.
Bagaimana tafsir surat Ali imrom
3.
Seperti apa ayat QS. Al-isra’ (berbakti pada rang tua)
C.
Tujuan masalah
1.
Untuk mengetahui bunyi ayat dan terjamahan Qs. Ali imran (persatuan)
2.
Untuk mengetahui tafsir surat Al-imran
3.
Untuk mengetahui ayat QS. Al-isra’
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teks ayat QS. Ali imran/3 : 103
a.
Ayat dan terjemahan
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan
ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena
ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.Qs.3:103
1.
Ayat sebelumnya menyerukan agar setiap orang mu`min bertaqwa dengan
sebenar-benarnya taqwa, serta jangan mati kecuali dalam keadaan muslim. Ayat
selanjutnya memberikan bimbingan tentang cara menjadi mu`min sempurna antara
lain berpegang pada tali Allah, menjalin persaudaraan, syukur ni’mat, membentuk
umat yang terdiri dari berbagai satuan tugas.
2.
Jika ayat 102 dikaji dari sudut langkah meraih kebahagiaan paripurna, maka ayat
103-104 merupakan rangkaian dari langkah iman, taqwa dan Islam.[1]
b.
tafsir kalimat
1. وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah, Pangkal ayat ini menyerukan agar setiap mu`min
berpegang teguh pada حَبْلِ اللَّهِ tali Allah. Yang dimaksud
dengan tali Allah menurut al-Baydlawi adalah agama Islam atau kitab-Nya.[2]
2. جَمِيعًا bersama-sama secara keseluruhan
Menurut Abu al-S’ud, perkataan جَمِيْعًا berkedudukan
sebagai keterangan keadaan yang diperintah oleh kalimat وَاعْتَصِمُوا, maka
ma’nanya adalah مجتمعين في الاعتصام bersama-sama dalam berpegang teguh/
memegang teguh tali Allah secara berjamaah bersama-sama.[3]
3.وَلَا
تَفَرَّقُوا janganlah bercerai berai
Setelah
diserukan untuk berjamaah, maka pada kalimat ini ditegaskan larangan tafaruq,
bercerai berai atau meninggalkan jamaah. Dalam memahami al-Qur`an, bisa saja
berbeda, tapi jangan sampai bercerai berai sebagaimana terjadi pada kelompok
yahudi dan nashrani.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَفَرَّقَتْ
الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ أَوْ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً
وَالنَّصَارَى مِثْلَ ذَلِكَ وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ
فِرْقَةً
Diriwayatkan dari Abi Hurairah bahwa rasul SAW
bersabda: yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan atau tjuh puluh dua
golongan, nashrani pun demikian. Sedangkan umatku menjadi tujuh puluh tiga
kelompok. Hr. Abu Dawud dan
al-Turmudzi.
Dalam
hadits lain ditandaskan:
تَفْتَرِقُ
هَذِهِ الأمَّة عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَة كُلُّهُم فِي النَّار إلا
وَاحِدة قَالُوا وَمَا تِلْكَ الفِرْقَة قال مَا اَنَا عَلَيْه اليَوْم
وَأصْحَابِي
Umatku ini terdiri atas tujuh puluh tiga firqah yang
semuanya masuk neraka kecuali satu saja. Shabat bertanya siapakah yang selamat
itu? Rasul bersabda: yang sesuai dengan aku hari ini dan para shabatku. Al-Thabrani (w.360),[4]
4. وَاذْكُرُوا
نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ dan ingatlah akan ni`mat
Allah kepadamu
Bersambung
insya Allah
Secara
histories, ayat ini berkaitan dengan peringatan terhadap kaum khazraj dan kaum
Aus yang sempat terprofokasi hingga hamper bermusuhan lagi. Mereka yang sebelum
Islam bermusuhan, kemudian menjadi bersaudara terikat oleh ukhuwah Islamiyah.
Kesatuan aqidah di antara mereka menjadi ni’mat yang sangat penting. Dengan
demikian ni’mat mesti diingat dalam ayat ini adalah ni’mat Islam. Namun tentu
saja pengertiannya berlaku umum, agar setiap mu`min selalu mengingat ni’mat
yang telah Allah SWT berikan. Menurut al-Baydlawi ni’mat yang paling utama
adalah hidayah dan taufiq hingga bahagia ber-Islam, senang berada pada jalan
yang terang, dan terbebas dari pengaruh jahilyah yang menyesatkan.[5]
5. إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, فَأَلَّفَ
بَيْنَ قُلُوبِكُمْ maka
Allah melunakan hatimu.
Menurut al-Thabari, kalimat ini merupakan tafsir dari kalimat
نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ (ni’mat Allah).[6]
Dengan kata lain ni’mat Allah SWT yang paling penting terhadap kaum muslimin
khususnya di Madinah adalah terjalinnya persaudaraan, oleh kesatuan aqidah yang
awalnya bermusuhan. Ingatlah dengan ni’mat Allah berupa diutusnya Nabi Muhammad
SAW membawa al-Islam, permusuhan pun menjadi persaudaraan. Potongan ayat ini,
juga mengisyaratkan kecaman terhadap orang yang bermusuhan. Al-Islam adalah
agama perdamaian yang menghaluskan hati yang kasar, menyatukan yang berpecah
belah. Oleh karena itu hendaknya menghindari sikap, ucap atau tindakan yang
menimbulkan perselisihan. Caranya antara lain tersirat pada sabda Rasul SAW
berikut.
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ
فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا
تَبَاغَضُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا وَلَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ
أَخِيهِ حَتَّى يَأذن أَوْ يَتْرُكَ
Jauhilah olehmu buruk sangka, karena
termasuk kebohongan. Janganlah mencari-cari informasi tentang kesalahan orang,
jangan pula mencari-cari kesalahan orang, dan jangan saling membenci. Jadilah
kalian bersaudara, dan jangan meminang yang telah dilamar orang lain hingga
mengizinkan atau meninggalkannya.
Hr. al-Bukhari.[7]
6. فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ
إِخْوَانًا karena ni`mat Allah, lalu kamu menjadilah
orang-orang yang bersaudara;
Dengan keni’matan yang Allah SWT anugerahkan pada
setiap mu`min, maka mereka menjadi bersaudara. Persaudaraan sesame muslim tidak
terbatas oleh jauhnya hubungan nasab, tidak terhalang oleh dinding batas
Negara, tidak terpengaruh perbedaan bangsa. Sesama muslim memiliki kesatuan
aqidah, ikatan ukhuwah, bahkan mempunyai bahasa pemersatu bahasa al-Qur`an.
Inilah suatu ni’mat besar persaudaraan yang tidak dimiliki oleh agama lainnya.
Persaudaraan sesama muslim tak ubahnya satu bangunan yang kokoh, setiap
komponennya saling menguatkan. Rasul SAW bersabda:
الْمُؤْمِنُ
لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا ثُمَّ شَبَّكَ بَيْنَ
أَصَابِعِهِ
Sesama mu’min itu
bagaikan satu bangunan yang setiap komponen menguatkan komponen lainnya. Rasul
mencontohkan dengan mengepalkan jari-jemarinya. Hr. al-Bukhari, Muslim, al-Turmudzi .[8] Bahkan
bagaikan satu tubuh yang tatkala terkena askit salah satu angota tubuh, maka
yang lainnya ikut merasakan dan mengobati. Rasul SAW bersabda:
مَثَلُ
الْمُؤْمِنِ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى الرَّجُلُ رَأْسَهُ تَدَاعَى لَهُ
سَائِرُ جَسَدِهِ
Perumpamaan orang mu`min seperti satu
tubuh, jika seseorang terkena penyakit di kepala maka anggota tubuh lainnya
ikut merasakan. Hr. Ahmad.[9]
7. وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ
فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu
Allah menyelamatkan kamu daripadanya.
Perkataan
شَفَاحُفْرَةٍ mengandung arti tepi jurang seperti orang yang hampr terjatuh ke
sumur yang dalam. Orang yang kumur atau musyrik hingga mendekati kematian, tak
ubahnya hampr saja mereka terjerumus pada kehancuran, atau sumur yang di
dalamnya penuh siksaan. Al-Islam menyelamatkan orang yang hampr terjerumus pada
siksaan.[10]
8. كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ
لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
Oleh karena itu
hendaklah selalu berusaha mengkaji ayat-ayat Allah secara mendalam agar meraih
hidayah dari-Nya. Dengan hidup mengikuti hidayah Allah akan selamat di dunia
dan di akhirat.[11]
B.
Teks
ayat QS. Al-Isra’ (berbakti kepada orang tua)
a.
Ayat
dan terjemahannya
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا
أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا
قَوْلًا كَرِيمًا
“ Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah satu seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
(Qs. Al Israa’
[17]:23)
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ
وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا.
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku,kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’.”
(Qs. Al Israa’ [17]:24)
b.
Tafsir
ayat
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا
أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا
قَوْلًا كَرِيمًا
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ
وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Artinya:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
Berdasarkan ayat di atas, tampaknya yang menjadi titik sentral dalam masalah
bir al-walidain adalah anak, maka posisi orang tua sebagai pendidik tidak
menjadi bahasan utama. Hal ini bisa disebabkan adanya suatu anggapan bahwa
orang tua tidak akan melalaikan kewajibannya dalam mendidik anak.
Menurut Said Qutub orang tua itu tidak perlu lagi dinasehati untuk berbuat baik
kepada anak, sebab orang tua tidak akan pernah lupa akan kewajibannya dalam
berbuat baik kepada anaknya. Sedangkan anak sering lupa akan tanggung jawabnya
terhadap orang tua. Ia lupa pernah membutuhkan asuhan dan kasih sayang orang
tua dan juga lupa akan pengorbanannya. Namun demikian anak perlu melihat ke
belakang untuk menumbuh-kembangkan generasi selanjutnya. Jadi mempelajari
cara orang tua dalam mendidik anak menjadi hal yang perlu dipertimbangkan.
Hal pertama yang teranalisa dalam penjelasan kedua ayat tersebut adalah kewajiban orang tua untuk memperlakukan anak dengan baik. Hal ini dapat dilihat dalam penafsiran ayat wa bilwalidaini ihsana. Dalam penafsiran penggalan ayat tersebut, anak dituntut berbuat baik kepada kedua orang tua disebabkan orang tua telah berbuat ihsan kepada anak; mengandung selama sembilan bulan, memberikan kasih sayang dan perhatian sejak dari proses kelahiran hingga dewasa.
Hal pertama yang teranalisa dalam penjelasan kedua ayat tersebut adalah kewajiban orang tua untuk memperlakukan anak dengan baik. Hal ini dapat dilihat dalam penafsiran ayat wa bilwalidaini ihsana. Dalam penafsiran penggalan ayat tersebut, anak dituntut berbuat baik kepada kedua orang tua disebabkan orang tua telah berbuat ihsan kepada anak; mengandung selama sembilan bulan, memberikan kasih sayang dan perhatian sejak dari proses kelahiran hingga dewasa.
Dengan demikian, perintah anak untuk berbuat ihsan kepada orang tua menjadi
wajib dengan syarat orang tua telah terlebih dahulu berbuat ihsan kepadanya.
Ihsan orang tua terhadap anak sangat urgen sebab seorang anak yang dilahirkan
ke dunia ini dalam keadaan lemah tidak berdaya, tidak tahu apa-apa, dan
perlu pertolongan orang lain. Untuk mengatasi ketidakberdayaannya, anak sangat
bergantung sepenuhnya kepada orang tua dan menunggu bagaimana arahan dan
didikan yang akan diberikan kepadanya.
Hal
kedua yang dapat dijadikan konsep pendidikan emosional anak adalah
إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Kondisi lemah anak yang masih kecil dalam asuhan orang tua sama halnya dengan
kondisi orang tua yang telah tua renta dalam asuhan anak. Ketika Allah
mewajibkan anak untuk berbuat baik kepada orang tua sebagai balasan orang tua
yang telah memperlakukan anak dengan baik dan susah payah ketika anak kecil,
maka secara otomatis orang tua juga dituntut hal yang sama yakni memperlakukan
anak dengan baik; tidak bersikap yang menunjukkan kebosanan dan kejemuan secara
lisan maupun bahasa tubuh. Berkaitan dengan hal ini, orang tua seharusnya tidak
mengabaikan aspek psikologis dalam mengasuh anak. Anak memerlukan perhatian dan
kasih sayang. Meskipun belum bisa berpikir logis, anak tetap memerlukan kasih
sayang dan cinta orang tua. Pemberian materi yang banyak tanpa dibarengi dengan
perhatian dan rasa cinta dari orang tua akan membuat anak merasa tidak ada
ikatan emosi antara dirinya dan orang tua. Akibatnya anak tidak peka terhadap
apa yang dirasakan oleh orang tuanya, apalagi ketika orang tua telah renta.
Memperlakukan anak dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang bukan hanya
membantu anak berkembang dengan positif tetapi juga memudahkan orang tua untuk
mengontrolnya. Di saat orang tua bersikap lemah lembut dan sayang kepadanya,
maka anak tersebut akan mudah untuk diajak kerjasama dan akan bersikapmenurut.
Memperhatikan aspek psikologis anak dapat diwujudkan dengan sikap dan
perkataan. Allah mewajibkan anak untuk berkata lemah lembut dan tidak
menghardik orang tua ketika mereka telah pikun karena orang tua telah berlaku
sabar, bersikap lembut dan tidak menghardik anak. Dengan demikian orang tua
juga dituntut untuk lemah lembut dalam perkataan dan tidak menghardik anak.
Anak kecil yang belum bisa berpikir rasional dan logis sama halnya seperti
orang tua yang telah pikun. Anak kecil tentunya akan merasa senang dengan
dunianya. Misalnya anak kecil mempermainkan kotorannya sendiri yang menurut
daya nalar anak apa yang dilakukannya tersebut baik dan menyenangkan. Meskipun
hal demikian belum tentu logis dan baik menurut pemikiran orang dewasa. Dalam
hal ini orangtua perlu bersikap sabar. Penghinaan dan celaan adalah tindakan
yang dilarang dalam pendidikan, sekalipun terhadap bocah kecil yang belum
berumur satu bulan. Anak bayi sangatlah peka perasaannya. Ia dapat merasakan
orang tua tidak senang dan tidak menyukainya melalui sikap, bahkan yang masih
tersirat dalam hati orang tua, lebih-lebih lagi melalui perkataan yang jelas.
Sikap orang tua dalam menghadapi dan mengasuh anak pada masa kecil memerlukan
kesabaran dan tutur kata yang baik atau qaulan karima. Tutur kata yang baik
bisa diwujudkan seiring dengan adanya kesabaran. Apabila tidak ada kesabaran
dalam diri orang tua tentunya kata-kata kasar dan hardikan akan keluar tanpa
terkendali. Dan perkataan kasar serta hardikan tidak disenangi anak, walaupun
menurut orang tua semua itu demi kebaikan anak. Sebab yang dirasakan oleh anak
bahwa kata-kata yang tidak lemah lembut merupakan bukti ketidak senangan orang
tua terhadapnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
a.
Ayat dan terjemahan
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan
ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena
ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.Qs.3:103
b.
Ayat
dan terjemahann QS. Al-isra’
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا
أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا
قَوْلًا كَرِيمًا
“ Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah satu seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
(Qs. Al Israa’
[17]:23)
DAFTAR PUSTAKA
Abu
al-Hasan Al-Wahidi(w.468H),Tafsir al-Wahidi
Tafsir
al-Baydlawi,
II
Tafsir
abi al-Su’ud, II
al-mu’jam,
V
Tafsir
al-Thabari, IV
Shahih
al-Bukhari (w.256H)
V
Hr.
Al-Bukhari, I h.182, Muslim, IV hlm.199, al-Turmudzi, IV
Musnad
Ahmad, hadits no.17632, bab Hadits al-Nu’man bin Basyir.
Tafsir
al-Baghawi
Shahih
Muslim,