Selamat Datang di Blog Kami. Blog ini meyediakan berbagai macam informasi seputar Pendidikan, Karya Tulis Ilmiah,Dan lain-lain. Membangun Indonesia Melalui Pendidikan

Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah, Keberhasilan Dinasti Umayyah, Penyebab Hancurnya Dinasti Umayyah

Untuk Mendapatkan File Makalah atau Artikel dibawah ini, Silahkan Klik Download! download
Bani Umayyah betul-betul menunjukkan tekad bulatnya dalam memperjuangkan Islam. Mereka mencatat prestasi yang luar biasa dalam menyebar luaskan agama Islam, terutama dalam peperangan yang dilancarkan pada orang-orang murtad dan orang-orang yang mengaku Nabi, serta orang-orang yang enggan membayar zakat. untuk lebih jelasnya silahkan baca makalah dibawah ini. selamat membaca dan semoga bermanfaat.


BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Masalah
Peradaban mengimplikasikan adanya tatanan sosial, tata nilai ideal. Peradaban yang prosesnya merupakan sejarah adalah suatu cerita pembentukan yang menuju kea rah suatu taraf “beradab” yang diberlakukan dan berlaku. Puncak peradaban adalah wujud kulmasi dari bentuk aplikasi terhadap nilai-nilai yang mapan dan jelas.
Masa peradaban Islamklasik dimulai sejak Rasulullah SAW., hingga Bani Umayyah sebagai transisi bentuk pemerintahan Islam, dari semula yang berbentuk demokratis menuju pola pemerintahan kerajaan yang monarkis. Makalah ini menggunakan pendekatan sejarah analisis, akan member gambaran pertumbuhan dan perkembangan peradaban umat Islam di era Bani Umayyah.

b. Rumusan Masalah
1. Kapan berdirinya dinasti Umayyah?
2. Keberhasilan apa saja yang diperoleh?
3. Apa penyebab hancurnya dinasti Umayyah?

c. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui:
1. Proses berdirinya dinasti Umayyah
2. Keberhasilan yang diraih
3. Penyebab hancurnya Bani Umayah


BAB II
PEMBAHASAN

    a.      Proses Berdirinya Bani Umayyah
Nama Bani Umayyah berasal dari nama “Umayyah ibn Abdi Syam ibn Abdi Manaf” seorang pemimpin kabilah Quraisy di zaman Jahiliah.[1] Bani Umayyah adalah orang laki-laki terakhir dari golongan sahabat Nabi yang masuk Islam. Mereka masuk Islam setelah terjadinya fathu Mekkah. Sebelumnya mereka merupakan musuh-musuh besar Islam yang paling kejam. Namun, setelah masuk Islam mereka segera memperlihatkan semangat kepahlawanannya yang tiada tanding,seolah-olah mereka ingin menebus dan mengimbangi keterlambatannya masuk Islam, sehingga menghilangkan kesan masyarakat kepada mereka khusunya terhadap sikap dan perlawanan mereka terhadap Islam, sebelum mereka memeluk Islam.
Bani Umayyah betul-betul menunjukkan tekad bulatnya dalam memperjuangkan Islam. Mereka mencatat prestasi yang luar biasa dalam menyebar luaskan agama Islam, terutama dalam peperangan yang dilancarkan pada orang-orang murtad dan orang-orang yang mengaku Nabi, serta orang-orang yang enggan membayar zakat. Bani Umayyah ini merupakan pedang-pedang Islam yang tajam dan kekuasan raksasa dalam penyerbuan kaum muslimin keluar batas Jazirah Arab.
Dengan melihat prestasi mereka, maka pada pemerintahan Umar ibn Khattab, Muawiyah diangkat menjadi gubernur di Damsyik.[2] Terdapat satu riwayat berkaitan dengan pengangkatan Muawiyah sebagai gubernur di Syam, Muawiyah datang menghadap sang ayah. Ayahnya berkata “hai anakku, bahwasanya orang-orang muhajirin itu telah lebih dahulu masuk Islam daripada kita, karena itu mereka telah memperoleh  kedudukan yang tinggi, sedangkan kita terlambat karena keterdesakan itu, sehingga kita hanya menjadi pengikut-pengikut dan mereka menjadi pemimpin-pemimpin. Kini mereka menyerahkan kekuasan besar kepadamu, maka patuhilah mereka karena engkau masih dalam perjalanan menuju titik yang belum engkau capai. Kalau engkau sudah sampai pada titik itu sungguh engkau akan merasa lega”.[3]
Pada Hakikatnya, Bani Umayyah dari semula telah menginginkan jabatan khalifah, namun mereka tidak dapat merealisasikan cita-cita tesebut baik masa Abu Bakar maupun Umar. Ketika Utsman terpilih menjadi khalifah, sejak masa inilah  Bani Umayyah meletakkan dasar-dasar kekuasaan. Utsman member kekuasan pada Muawiyah lebih luas lagi yaitu menggabungkan wilayah Damsyik,Homsh, Palestina, Yordania dan Lebanon.[4] Selama 25 tahun Muawiyah menjadi gubernur, selama itu pula ia menanamkan pengaruh pada masyarakat.
Ketika terjadi pergolakan pada masa khalifah Utsman hingga menyebabkan  kematian sang khalifah ditangan pemberontak, saat itu pula insting politik Muawiyah mulai jalan. Ia memerintahkan anak buahnya datang ke Madinah untuk melindungi sang khalifah, namun kenyatannya setelah terdengar informasi bahwa Utsman telah terbunuh, Muawiyah menginstruksikan pada anak buahnya untuk membawa pakaian Utsman yang masih berlumuran darah. Sebuah taktik yang jitu untuk mendapat simpati dari masyarakat. Baju tersebut digantung di pintu masjid, seraya mengeluarkan air mata Muawiyah mengutuk terhadap pembunuh khalifah, dia berjanji menuntut balas terhadap pembunuh tersebut. Adalah sebuah tangisan politik yang efektif dalam menarik simpati masyarakat.
Adalah alasan yang tepat bagi Muawiyah untuk tidak membaiat dan tidak mengakui kepemimpinan Ali bin Abi Thalib,--yang baik secara de jure dande facto telah sah menjadi khalifah, karena Ali didukung oleh kaum muslim baik di Mekah maupun Madinah, Kufah, Mesir dan daerah lainnya—karena Ali tidak mau menghukum pembunuh Utsman yang semestinya diqishash, sebagaimana yang dituntut Aisyah. Di samping itu, Muawiyah memiliki pasukan yang kuat di Syam. Akibatnya, terjadilah pertempuran antara pasukan Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan perang Shiffin (657 M). perang tersebut berakhir dengan peristiwa tahkim, yang secara politis jelas merugikan  pihak Ali, sebab pasukan Ali tidak utuh (terpecah). Sejumlah pendukung Ali yang keluar dari pasukan Ali disebut Khawarij. Mereka memandang bahwa penerimaan Ali terhadap usulan Muawiyah (tahkim) sebagai sebuah penyerahan harapan mereka atas otoritas khalifah Ali dan merupakan sebuah pelanggaran terhadap prinsip agama.
Ketika juru runding berkumpul di Adruh pada Januari 659 M mereka sepakat bahwa pembunuh Utsman tidak dibenarkan dan sepakat untuk membentuk lembaga Syura untuk memilih khalifah. Ali menolak terhadap hasil perundingan tersebut , namun itu tidak banyak berpengaruh sebab koalisi Ali telah terpecah. Di samping itu, pimpinan suku Kufah melepaskan dukungan terhadapnya. Pemberontakan pun tidak bisa dipungkiri. Kaum pemberontak di wilayah Iran Timur Bashrah dan Kufah, maka opini keberpihakan bangsa Arab terhadap suksesi Muawiyah semakin kuat, karena memandang bahwa Muawiyah mampu menjalankan pemerintahan bersama dengan kalangan elit muslim-Arab dan kekuasan bangsa Arab terhadap emperium.[5]
Setelah Ali meninggal karena dibunuh oleh kelompok Khawarij, Muawiyah mengumukan diri sebagai khalifah dan ia diterima kelompok interes yang dominan. Sementara sebagian kaum muslimin membaiat Hasan sebagai khalifah. Hasan hanya menjabat beberapa bulan menjadi khalifah. Selanjutnya atas pertimbangan tertentu kemudian Hasan menyerahkan kepemimpinan pada Muawiyah, tentu saja didahului proses politik berupa perjanjian damai yang isnya antara lain: komando politi berada di bawah Muawiyah, setelah Muawiyah wafat maka kepemimpinan diserahkan kepada umat Islam untuk memilihnya dan ada jaminan keselamatan atas keturunan Ali. Tahun itu disebut dengan tahun bersatunya kembali umat Islam. Dengan demikian, Muawiyah sah menjadi khalifah.[6]

     b.      Kebijakan-Kebijakan Khalifah Bani Umayyah
Pendiri Daulah Bani Umayyah adalah Muawiyah ibn Abi Sufyan. Kemenangannya diperoleh setelah perang Shiffin yang berakhir dengan peristiwa tahkim yang masih kontroversial dikalangan umat Islam saat itu.[7]Namun kemudian ia mendapat legitimasi politik setelah Hasan menyerrahkan kekuasaan kepadanya.
Masa awal pemerintahannya banyak gejolak yang dihadapi. Akan tetapi, berkat pengalaman selama sekitar 22 tahun menjadi gubernur ia mampu meredam segala permasalahan yang dihadapi. Di samping karena didukung oleh kekuatan militer yang dimiliki, tak terlepas pula dari kepribadian Muawiyah. Salah satu sifat yang dimiliki Muawiyah adalah sifat hilm,[8]dengan sifat tersebut, walaupun terdapat tekanan keras dan penuh intimimedasi --sebagai manusia hilm—ia mampu menguasai diri secara baik dan mengambil keputusan yang menentukan. Pemikirannya nyata bersifat pragmatic dan politik, yang ditandai dengan menahan diri dan menguasai diri.
Dengan ketangguhan dan kebijakan politik yang diterapkannya, Daulah Bani Umayyah ini mampu berkuasa hingga 90 tahun lamanya dengan menurunkan 14 orang khalifah, yaitu :
1.      Muawiyah ibn Abi Sufyan (41-60 H) sebagai pendiri bani Umayyah
2.      Yazid bin Muawiyah (60-64 H)
3.      Muawiyyah II bin yazid (64 H)
4.      Marwan bin Hakam (64-65 H)
5.      Abd. Malik bin Marwan (65-84 H)
6.      Al-Walid bin Abd. Malik (86-96 H)
7.      Sulaiman bin Abd. Malik (96-99 H)
8.      Umar bin Abd. Aziz (99-101 H)
9.      Yazid II bin Abd. Malik (101-105 H)
10.  Hisyam bin Abd. Malik (105-125 H)
11.  Al-Walid II bin Yazid II (125-126 H)
12.  Yazid II bin Al-Walid (126 H)
13.  Ibrahim bin Al-Walid (126 H)
14.  Marwan II bin Muhammad bin Marwan bin Hakam (127-172 H)
Dari 14 orang khalifah tersebut, terdapat lima orang khalifah yang paling berjasa dalam pemerintahannya. Kebijakan-kebijakan politik yang dijalankan benar-benar mendapat respon dari masyarakat, sehingga pada masanya kemajuan-kemajuan Islam sangat pesat terutama pada pengembangan toritorial. Ke-5 khalifah tersebut adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, Abd. Malik bin Marwan, al-Walid bin Abd. Malik, Umar bin Abd. Aziz dan Hisyam bin Abd. Malik.
Semenjak berkuasa,Muawiyah memulai langkah-langkah baru untuk merekonstruksi otoritas sekaligus kekuasan khalifah. Ia mulai merubah koalisi kesukuan menjadi sentralisasi monarkis. Ia memperkuat barisan militer dan memperluas kekuasan administrative negara dan merancang alasan-alasan moral dan politis yang baru demi kesetiaan terhadap khalifah. Ia juga berusaha menertibkan kebijakan militer dengan tetap mempertahankan panglima-panglima Arab mengepalai pasukan kesukuan Arab. Di samping itu, untuk memenuhu interes para pemimpin suku, sejumlah penaklukan diarahkan ke Afrika Utara dan Iran Timur. Sedangkan di front Syiria ia tetap mempertahankan perdamaian dengan imperium Bizantium. Ia juga memantapkan pendapatan negara dari penghasilan pribadi dan lahan pertanian yang diambil alih dari Bizantium dan Sasania serta dari investasi pembukaan lahan baru dan irigasi.[9] Muawiyah juga menerapkan aspek-aspek patriarkal khilafah.
Ekspansi yang sempat terhenti pada masa khalifah Utsman dan Ali dilanjutkan kembali oleh Bani Umayyah, bahkan prestasi paling besar yang dicapai oleh Daulah Islamiah adalah pada pengembangan wilayah. Di era Muawiyah, Tunisia, Khurasan hingga sungai Oxus, Afganistan dan Kabul (daerah timur) dapat ditaklukkan. Ibu kota Bizantium yakni Konstantinopel pun takluk ke Daulah Islamiah melalui kemenangan angkata laut Muawiyah.[10]
Upaya Muawiyah untuk menegakkan pemerintahan yang stabil telah dicapai, setidaknya dia sampai meninggal. Akan tetapi, kegagalan setelah dia wafat jelas betapa kerasnya persoalan-persoalan kurun itu.[11]
Pasca pemerintahan Muawiyah, perang sipil Arab ke-2 yang merupaka bentuk dari konflik inters tak dapat dihindari. Ia bertumpu pada tiga masalah, yaitu pertempuran antara kalangan aristokrat Arab memperebutkan kekuasaan atas khilafah, persaingan antar kelompok dan sekte keagamaan. Selain itu, peang sipil kedua ini ditandai dengan meluasnya permusuhan antara kelompok Arab. Jika perang sipil pertama didasarkan pada pertentangan antara loyalitas Islam dan loyalitas kesukuan, maka pada perang sipil kedua didasarkan pada persekutuan sementara antar klan-klan yang terbentuk dalam kekacauan dan perubahan masyarakat pada pusat-pusat perkampungan militer. Sementara kesukuan  koalisi kesukuan Syiria yang selama beberapa dekade memihak pada pemerintahan Muawiyah pecah menjadi dua koalisi yang saling serang, yakni Yaman (Kalb) dan Qays. Pertempuran ini merembet ke Iraq yakni kelompok Mudar dan Tamim serta Khurasan: Qays dan Rabi’a.[12]
Selain pecahnya kesukuan tersebut, kalangan Khawarij yang mengingkari Ali juga melancarkan serangan. Mereka membentuk kelompok kecil biasanya beranggotakan 30-100 orang sebagai “teroris dan sekte agama yang fanatik”. Salah satunya adalah Azariqah yang melancarkan tindakan perampokan di provinsi KHuzistan. Dan sekte Nadja yang menguasai daerah subur Arabia termasuk Bahrain, Oman, Hadramaut dan Yaman. Kelompok ini sebagai perkumpulan yang dibangun berakar dari individu kemudian berkembang menjadi persekutuan komunal melalui gerakan-gerakan sektarian.[13] Kelompok sektarian inilah nantinya yang menjadi salah satu bom waktu penghancur daulah Bani Umayyrah.
Yazid (680-683 M) sebagai khalifah kedua harus berhadapan dengan beberapa kelompok baru Mekah dan beberapa kelompok pro Ali yang berusaha merebut khalifah. Abdullah bin Zubair berupaya menggalang kekuatan di Arabia dan Kufah. Kemudian Husein berusaha meninggalkan Madinah menuju Kufah untuk menjadi pimpinan bagi pengikutnya, namun sebelum ia sampai di Kufah pasukannya dapat dihancurkan dan berakhir dengan kematian Husein di Padang Karbala (Iraq). Kematiannya menimbulkan reaksi yang kuat dari umat Islam khususnya Syiah.
Penataan pemerintahan pada masa daulah BaniUmayyah yang paling menonjol terjadi pada masa Abd. Malik dan al-Walid. Di samping pada masa pemerintahan Abd. Malik relative panjang, juga memiliki panglima tangguh al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi. Panglima ini hamper mampu mengatasi keresahan dalam dan luar negeri.
Abd. Malik dalam melaksanakan kebijakannya, memiliki struktur kekuasaan actual yang terdiri dari pasukan Syiria, muqatillah (pasukan Iraq penjaga Garnisun), para gubernur dan kelompok Marwan.[14] Kelompok muqatillah adalah orang-orang suku Iraq bagian Timur yang pro pemerintah dan kebijakan ekspansionisnya. Sebagai imbalan atas loyalitas dan dukungannya, mereka menerima gaji normal dan bagian harta rampasan perang, mereka sering diberi bagian lebih besar untuk memerintah wilayah pedesaan melalui pengangkatan para pemimpin mereka sebaai pembantu gubernur.
Dari sinilah tampak bahwa kebijakan yang dijalankan khalifah saat itu cenderung memposisikan elit Arab sebagai kelompok superior sementara kelompok non-Arab sebagai kelas imperior. Kebijakan semacam itu pula berpengaruh pada penempatan dan pengangkatan orang penting dalam struktur pemerintahan. Lebih lanjut Watt menggambarkan bahwa struktur organisasi kerajaan saat itu terdiri dari muslim sebai elit militer, minoritas yang dilindungi dan pemerintahan provinsi.[15]
Sementara pasukan Syiria memiliki peranan penting. Secara berangsur-angsur ia diubah dari milisi regional yang terkait dengan wilayah kekuasaannya menjadi pasukan imperial untuk mengawasi seluruh wilayah kerajaan. Sejak saat itu militer Syiria menggantikan kedudukan militer Iraq yang bermula dari sebuah perkampungan militer yang dibangun di al-Wasith. Orang-orang Arab di Kufah dan Bashrah diperlakukan ibarat warga tahanan dari sebuah imperium yang mereka dirikan.[16]khalifah Abd. Malik (685-705 M) dan penggantinya al-Walid (705-715 M) yang menghadapi oposisi keagamaan yang sedang mewabah, yakni Syiah, Khawarij dan aliran-aliran kesukuan yang dipicu oleh tekanan perubahan sosial di beberapa perkampungan militer, merespon hal tersebut dengan mempercepat proses sentralisasi negara, bahkan menjadikan negara sebagai sebuah rezim dari pada sekedar sentralisasi pada pribadi seorang khalifah. Kebijakan pertama yang dilakukan Abd. Malik adalah demiliterisasi Arab pada beberapa perkampungan Arab (sebaimana keterangan di atas).
Menjelang berakhirnya masa pemerintaha Abd. Malik, daulah ini telah memiliki birokrasi yang berkembang pesat di tangannya dan di tangan gubernur yang dapat dipercaya. Sistem ini dikembangkan dari konsep diwan al khatam atau biro cincin (biro keluarga) dari Muawiyah itu diperbesar menjadi departemen arsip pemerintah yang sepenuhnya disumpah di Damaskus. Di saat yang bersamaan pemerintahan provinsi juga dikembangkan, sekalipun pemerintahan itu secara ketat berada di bawah pengawasan para gubernur, karena khalifah saat itu menggebu-gebu dan berusaha secara keras menegakkan sentralisasi kekuasaan.
Kebijakan lain yang paling menonjol pada saat itu adalah perubahan bahasa administrasi pemerintahan yang hingga saat itu masih menggunakan bahasa Koptik (Mesir Kuno), Yunani atau Pahlevi diubah menjadi bahasa Arab. Tentu saja hal itu dimaksudkan untuk membantu meningkatkan kekuasaan para gubernur provinsi terhadap pemerintahan di bawahnya dan untuk membuka birokrasi bagi bangsa Arab.[17] Abd. Malik dan al-Walid menyusun peralihan para pejabat pajak dari orang-orang yang berbahasa Yunani dan Syiria pada orang-orang yang berbahasa Arab. Perubahan itu berlangsung di Iraq pada 697, di Syiria dan Mesir pada 700 setelah beberapa tahun berlangsung di Khurasan. Selanjutnya khalifah juga mengadakan pengorganisasian keuangan berbagai daerah.[18]
Kebijakan lain yang diterapkan oleh Abd. Malik adalah menciptakan mata uang Arab Dirham Sasaniah dan Dinar Bizantium dan Sasaniah dari peredaran, sebagaimana yang dikehendaki oleh Abd. Malik.[19] Namun, di sisi lain dengan dicetaknya mata uang sendiri menghilangkan simbolisme Kristen dan Zoroastrian, pun juga dengan memperkenalkan model koin terbuat dari emas dan perak yang bertuliskan huruf arab sebagai symbol kedaulatan negara dan kemerdekaan dari dan kesamaan kedudukan dengan beberapa imperium terdahulu.[20]
Dari kebijakan-kebijakan itulah yang nantinya memunculkan problem Mawali yang lebih ekstrim dan membedakan secara mencolok antara Arab asli dengan non Arab. Di samping itu, perlakuan terhadap kaum muslim non Arab (Mawali)[21] jelas jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. Mereka kaum Mawali yang dibebani pajak serta Jizyah, yang menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Kemudian dari sistem perubahan birokrasi inilah yang mendorong Sibawih menyusun al-Kitab yang menjadi pegangan pada aspek tata bahasa Arab.[22]
Pada masa pemerintahan Umar bin Abd. Aziz (717-720 M) khalifah mengusulkan sebuah revisi penting mengenai aturan dan beberapa prinsip dalam system perpajakan untuk menghilangkan ketidak seragaman yang sangat mencolok dan demi persamaan. Pada masa inilah mulai adanya perhatian terhadap keluh kesah masyarakat. Demikian besar tanggung jawabnya, sehingga ketika pulang dari menguburkan Sulaiman bin Abd. Malik yang digantikannya, bukannya ia gembira karena kekuasan yang dirahnya, tetapi orang melihatnya dengan sangat sedih.[23]
Dalam menjalankan roda pemerintahan, khalifah Umar bin Abd. Aziz merubah gaya hidup dengan mencampakkan cara hidup raja seperti yang dilakukan oleh para pendahulunya. Ia memilih cara hidup seperti Khulafa al-Rasyidin. Selain itu, ia mengembalikan semua hartanya, bahkan perhiasan sang istri ke Bait al-Maal.[24]Ia juga memecat pejabat yang bejat dan mengangkat pengganti mereka yang adil dan saleh. Menghapus pajak tidak sah, yang tadinya dipungut dari rakyat dan membetalkan membayar Jizyah orang-orang yang baru masuk Islam.
Hubungan pemerintah dengan para oposisi membaik pada masa Umar bin Abd. Aziz. Baginya memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya sebagaimana yang ia ucapkan ketika dinobatkan sebagai khalifah.[25]
Sekalipun masa pemerintahannya sangat pendek, Umar bin Abd. Aziz berhasil menjalin hubungan baik dengan Syiah –yang jelas-jelas menjadi kelompok oposisi dan selalu merongrong pemerintah—bahkan ia mengembalikan posisi ahl al-kitab dengan member kebebasan beragama dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Kebijakan lain ia merombak moral, struktur kelas dengan menyetarakan kedudukan Mawali dengan muslim Arab dan menempatkan keluarga Ali secara proprorsional.
Namun demikian, kebijakan Umar bin Abd. Aziz telah menimbulkan kekhawatiran yang luar biasa dari Bani Umayyah, yaitu sirnanya sistem kerajaan yang diwariskan dan akan kembalinya sistem khalifah yang pemilihannya berdasarkan musyawarah. Tidak lama setelah itu, Umar bin Abd. Aziz wafat dan keadaan seperti semula.[26]
Sepeninggalan khalifah Umar bin Abd. Aziz, kerajaan terus dilanda kerusuhan yang terrjadi di mana-mana hingga pada masa Hisyam bin Abd. Malik (724-743 M). Hisyam berusaha menerapkan kebijakan Umar bin Abd. Aziz di wilayah Khurasan, Mesir dan Mesopotamia. Hisyam sebenarnya merupakan khalifah yang terampil dan kuat. Namun, kekuatan oposisi tidak dapat dibendung. Terutama kekuatan tersebut muncul dari kekuatan Mawali yang berkoalisi dengan gerakan yang mengatasnamakan Bani Hasyim.[27]Kekuatan inilah yang nantinya akan menggulingkan Bani Umayyah. Terutama setelah wafatnya Hisyam, karena para khalifah sesudahnya sangat lemah.
   
      c.       Kemajuan yang Dicapai
Daulah Bani umayyah memerintah selama 90 tahun. Dalam perjalanan pemerintahannya banyak problem yang dihadapi. Namun, prestasi yang diraih dalam sejarah Islam juga banyak. keberhasilan-keberhasilan tersebut yang paling tampak adalah pengembangan dal perluasan Islam serta pembangunan suprastruktur maupun infrastruktur pemerintah.
Sejak awal pemerintahannya, upaya perluasan wilayah telah dilakukan. Wilayah Islam saat itu meliputi Khurasan sampai Oxos, Afganistan, Kabul dan Byzantium dapat direbutnya. Termasuk pula dinas pos telah didirikan di tempat-tempat tertentu.
Pada masa Abd. Malik, daulah ini mampu menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana, Samarkand, India, Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.[28] Di samping perluasan wilayah, Abd. Malik telah membuat perubahan besar yang mengarah rezim Arab seperti penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara, membuat mata uang Arab menggantikan mata uang Byzantium dan Sasania, sebagai lambang atau symbol kekuatan negara, kemerdekaan dan kesamaan kedudukan dengan beberapa imperium terdahulu. Juga beberapa bangunan monumental telah dilaksanakan antara lain Yerussaleem ditunjuk sebagai kota suci umat Islam dan masjid Kubah Batu di bangun pada tanah peribadatan umat Yahudi.
Masa al-Walid sebagai pengganti Abd. Malik adalah masa ekspansi secara besar-besaran. Ia juga membangun beberapa masjid baru di Madinah dan Damaskus. Hiasan-hiasan pada masjid lelambangkan kejayaan bangsa Arab dan menjadi bukti pengabdian negara kepada agama. Semua melambangkan keagungan negara dan sangat besar artinya bagi komunitas muslim.[29] Wilayah Islam pada masa ini sampai pada Afrika Utara di bawah komandan Thareeq bin Ziyad. Di samping itu, panti-panti untuk orang cacat menjadi perhatian khalifah. Ia juga membangun jalan raya yang menghubungkan satu daerah pada daerah lainnua, pabrik, gedung pemerintahan dan masji yang megah.[30]
Dibidang ilmu pengetahuan –sekalipun sangat sederhana—pada zaman ini umlai dirintis ilmu filsafat dan eksak. Ilmu agama sejak awal pmerintahan Bani Umayyah telah digalakkan terutama pada khalifah Umar bin Abd. Aziz dengan keberhasilan yang monumental dibidang ilmu agama berupa kodifikasi Hadits. Hadits-hadits telah dibukukan. Tentu saja pembukuannya setelah melalui proses penelitian, untuk menentukan tingkat keshahihan hadits tersebut.
Setidaknya terdapat tiga gerakan ilmu pada masa Umayyah ini dengan latar belakang dan motivasi yang kuat dai masing-masing para ahli. Ketiganya meliputi:
1.      Gerakan ilmu agama, didorong oleh seemangat agama sendiri yang sangat kuat pada saat itu
2.      Gerakan filsafat, terjadi pada akhir pemerintahan Umayyah guna melawan yahudi dan Nasrani.
3.      Gerakan sejarah, karena ilmu agama memerlukan riwayat.[31]
Diantara ahli hadits yang tersohor pada Bani Umayyah:
1.      Abu Bakar Muhammad bin Muslimin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhri (w. 123 H)
2.      Ibnu Abi Malikah; Abdullah bin Malikah al-Tayammi, murid ibn Abbas (w. 159 H)
3.      Al-Auza’I Abdurrahman bin Amr, ahli hadits dari Syam yang banyak pengikutnya. Diantaranya, Abdullah ibn Mubarak, ibn Zaiyad dan Abu Abbas Walid bin Muslim (w. 159 H)
4.      As-Sya’by; Abu Amr Amir bin Syurahbil (w. 104 H di Kufah)

Selain ilmu hadits di atas, pada masa Bani Umayyah juga berkembang ilmu tafsir dan qiraat. Pada bidang tafsir muncul nama Abdullah bin Abbas (w.68 H) dan Mujahid (w. 104 H). sedangkan bidang qiraat pada masa ini muncul tujuh macam qiraat (Qiraat al-Syab’ah). Kebanyakan pelopor kelompok Mawali, yakni :
1.      Abdullah bin Katsir (w. 120 H) di Mekah. Turunan persia yang diutus ke Yaman
2.      Ashim bin Abi Nujud (w. 127 H) di Kufah.
3.      Abdullah bin Amr al-Jashabi (w. 118 H) di Damaskus. Angkatan pertama dari Tabi’in
4.      Ali bin Hamzah Abu Hasan al-Kisai yang memimpin Qura di Kufah (w.  189 H)
5.      Hamzah bin Habib al-Zayyat (w. 156 H) di Halwan, Irak.
6.      Abu Amr bin al-A’la (w. 155 H) di Kufah, populer ilmu qiraat dan bahasanya
7.      Nafi bin Abi Naim (w. 169 H) di Madinah, Mawali hitam pekat dari Isfahan.
Ilmu tata bahasa (Nahwu) juga berkembang pada saat itu. Bidang ilmu tersebut ditekuni oleh Sibawih, pengarang al-Kitab yang dijadikan pedoman dalam tata bahasa Arab. Pun, Ilmu Pengetahuan umum, pada masa gerakan penerjemahan mulai dirintis. Khalid bin Yazid bin Muawiyah adalah orang pertama yang memerintahkan untuk menerjemahkan ilmu-ilmu thib dan kimia ke dalam bahasa Arab. Ia mendatangkan beberapa orang Romawi yang berdomisili di Mesir diantaranya Marinus (pendeta) untuk mengajar ilmu kimia.

     d.      Kemunduran Bani Umayyah
Kilasan sejah Islam telah mencatat prestasi gemilang yang telah dicapai oleh Bani Umayyah. Dalam rentang waktu kurang satu abad dinasti ini terbukti mampu menempatkan  Islam sebagai kekuatan politik yang diperhitungkan dunia. Prestasi yang paling menonjol adalah pada perluasan wilayah yang membentang dari pegunungan ThianShan di wilayah timur  sampai ke pegunungan Pyrenes di wilayah barat.[32]
Banyak nagsa yang termasuk dalam wilayah kekuasaannya, meliputi Spanyol, Afrika Utara, Jazirah Arab, Suriah, Palestina separuh daerah Anatolia, Italia, Persia, Afganistan, India, Persia, Afganistan, India dan negara lain pada abad XX tergabung Uni Soviet seperti Uzbekistan dan Kirgistan.[33] Daulah ini juga berhasil menguasai dan mengamankan jalur perdagangan yang menghubungkan belahan dunia timur dan barat baik melalui jala sutera maupun jalan laut.[34]
Namun demikian kebesaranyang dicapai Bani Umayyah ini tidak dapat dipertahankan akibat beberapa faktor internal maupun eksternal. Faktor ini ikut menentukan hancurnya Bani Umayyah ini adalah munculnya revolusi yang dianulirkan oleh Bani Abbasiyah, sebagai sebuah revolusi terbesar yang pernah dilakukan umat Islam.
Revolusi ini bukan hanya mampu menggulingkan Bani Umayyah selama 90 tahun, namun juga mampu mendirikan rezim baru yang jauh lebih solid dan bertahan lebih lama.
Terdapat empat faktor yang menyebabkan munculnya revolusi Abbasiyah dan hancurnya dinasti Umayyah , yaitu teori faksionisme rasial atau teori pengelompokan kebangsaan, faksionisme sectarian atau pengelompokan golongan atas dasar paham keagamaan, faksionisme kesukuan dan ketidak adilan ekonomi dan disparatis organisasi.
Selain keempat faktor di atas, faktor-faktor lain yang menyebabkan hancurnya dinasti Umayyah adalah:
1.      Sistem pergantian pemimpin melalui garis keturunan yang lebih menekankan pada aspek senioritas bukan pada kemampuan dan pengaturannya tidak jelas. Ketidak jelasan pengaturan ini menyebabkan persaingan yang tidak sehat di kalangan keluarga istana.
2.      Latar belakang terbentuknya Bani Umayah tidak lepas dari konflik politik pada masa Ali. Sisa-sisa kelompok Syiah dan Khawarij terus menjadi oposan.
3.      Pada masa kekuasaan Bani Umayah pertentangan suku –yang dulu masa Nabi SAW., mampu diredam—muncul kembali dan makin meruncing. Kondisi semacam ini menyulitkan Bani Umayyah untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Ditambah lagi kaum Mawali merasa tidak puas, karena status Mawali menggambarkan kelas inferior, kemudian keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4.      Terjadinya kekecewaan dari kelompok agama melihat perhatian khalifah terhadap agama sangat kurang, terutama masa-masa akhir pemerintahan Bani Umayyah. Mereka lebih senang hidup mewah yang dikelilingi hiasan di istana.
5.      Penyebab langsung tergulingnya Bani Umayyah adalah munculnya gerakan Abbasiyah. Gerakan ini mendapat dukungan dari Syiah dan Mawali.[35]



BAB III
PENUTUP

       a.      Kesimpulan
1.      Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan pada tahun 41 H/661 M
2.      Keberhasilan yang dicapai Bani Umayyah diantaranya: bahasa Aran dijadikan bahasa resmi negara, pembuatan mata uang Arab, pengembangan bidang keilmuan dan lain-lain
3.      Penyebab hancurnya Bani Umayyah: faksionisme rasial atau teori pengelompokan kebangsaan, faksionisme sectarian atau pengelompokan golongan atas dasar paham keagamaan, faksionisme kesukuan dan ketidak adilan ekonomi dan disparatis organisasi.

       b.      Saran
“Kekuasaan tidak menjamin kesuksesan seseorang”



Daftar Pustaka

Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam II, ter. Muchtar Jahja dan M. Sanusi Latif, (Jakarta : Djajamurni, 1960)
Abul A’la Maududi, Khilafah dan Kerajaan, ter. Muhammad al-Bakir, (Bandung, Mizan, 1996)
Ira M. Lapidus, Sejarah  Sosial Umat Islam, bagian kesatu dan kedua, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000)
Hasan Ibrahim  Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989)
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta, UI Press, 1986)
Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)
M.A. Shaban, Sejarah Islam (600-700): Penafsiran Baru, ter. Machnun Husein, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993)
W.M. Watt, Pergolakan Pemikiran Politik Islam, ter. Hamid Fahmi Zarkazi dan Taufiq ibn Syam, (Jakarta: Beunebi Cipta, 1987), hlm. 52.
Muhammad Sayyid al-Wakil, Wajah Dunia Islam, terj. Fadli Bahri (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1988)
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Apek I, (Jakarta : UI Press, 1985)
Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa (Bandung: CV. Rusyda, 1987)
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Abbasiyah, (Jakarta, Bulan Bintang, 1977)
Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kenudayaan Arab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)



[1] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam II, ter. Muchtar Jahja dan M. Sanusi Latif, (Jakarta : Djajamurni, 1960), hlm. 17
[2] Abul A’la Maududi, Khilafah dan Kerajaan, ter. Muhammad al-Bakir, (Bandung, Mizan, 1996), hlm. 183
[3] Syalabi, Sejarah, hlm. 19
[4] Al-Maududi, Khilafah, hlm. 183
[5] Ira M. Lapidus, Sejarah  Sosial Umat Islam, bagian kesatu dan kedua, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 85
[6] Hasan Ibrahim  Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989), hlm. 64. Lihat juga, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1995), hlm. 40
[7] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta, UI Press, 1986), hlm. 5
[8] Kata ini sulit dan rumit untuk diterjemahkan, tetapi ia adalah cara terbaik kalau bukan satu-satunya cara untuk menggambarkan kemampuan utama Muawiyah sebagai khalifah. Lebih lanjut lihat Ira M. Lapidus, Sejarah, hlm. 88.
[9] Ira M Lapidus, Sejarah, hlm.88
[10] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 43
[11] M.A. Shaban, Sejarah Islam (600-700): Penafsiran Baru, ter. Machnun Husein, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 113-114
[12] Ira M. Lapidus,Sejarah, hlm. 89-90
[13] Ibid
[14] Shaban, Sejarah, hlm. 167
[15] W.M. Watt, Pergolakan Pemikiran Politik Islam, ter. Hamid Fahmi Zarkazi dan Taufiq ibn Syam, (Jakarta: Beunebi Cipta, 1987), hlm. 52.
[16] Ira M Lapidus, Sejarah, hlm. 91
[17][17] Watt, Pergolakan, hlm. 166
[18] Ira M Lapidus, Sejarah, hlm. 91
[19] Shaban, Sejarah, hlm. 167
[20] Ira M Lapidus, Sejarah, hlm. 93
[21] Muhammad Sayyid al-Wakil, Wajah Dunia Islam, terj. Fadli Bahri (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1988), hlm. 51
[22] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Apek I, (Jakarta : UI Press, 1985), hlm. 63
[23] Lebih rinci lihat, al-Maududi, Khilafah, hlm.245
[24] Ibid, hlm.144
[25] Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa (Bandung: CV. Rusyda, 1987), hlm. 104.
[26] Al-Maududi, Khilafah, hlm. 146-147
[27] Badri Yatim, Sejarah, hlm. 47
[28] Lebih lanjut lihat, Harun Nasution, Islam, hlm. 61, lihat pula Badri Yati, Sejarah, hlm. 43
[29] Ira M Lapidus, Sejarah, hlm. 93
[30] Syalabi, Sejarah, 2, hlm. 90-91. Badri Yatim, Sejarah, hlm.44-45
[31] Lebih lanjut lihat A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam edisi kedua (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hlm 180
[32] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Abbasiyah, (Jakarta, Bulan Bintang, 1977), hlm. 7
[33] Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kenudayaan Arab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 236
[34] Sou’yb, Sejarah, hlm. 7
[35] W. Montgomerey Watt, Kerajaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Kencana, 1990) hlm. 28.