Bani Umayyah betul-betul menunjukkan tekad bulatnya dalam memperjuangkan Islam. Mereka mencatat prestasi yang luar biasa dalam menyebar luaskan agama Islam, terutama dalam peperangan yang dilancarkan pada orang-orang murtad dan orang-orang yang mengaku Nabi, serta orang-orang yang enggan membayar zakat. untuk lebih jelasnya silahkan baca makalah dibawah ini. selamat membaca dan semoga bermanfaat.
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Masalah
Peradaban
mengimplikasikan adanya tatanan sosial, tata nilai ideal. Peradaban yang
prosesnya merupakan sejarah adalah suatu cerita pembentukan yang menuju kea rah
suatu taraf “beradab” yang diberlakukan dan berlaku. Puncak peradaban adalah
wujud kulmasi dari bentuk aplikasi terhadap nilai-nilai yang mapan dan jelas.
Masa peradaban
Islamklasik dimulai sejak Rasulullah SAW., hingga Bani Umayyah sebagai transisi
bentuk pemerintahan Islam, dari semula yang berbentuk demokratis menuju pola
pemerintahan kerajaan yang monarkis. Makalah ini menggunakan pendekatan sejarah
analisis, akan member gambaran pertumbuhan dan perkembangan peradaban umat
Islam di era Bani Umayyah.
b. Rumusan
Masalah
1. Kapan
berdirinya dinasti Umayyah?
2. Keberhasilan
apa saja yang diperoleh?
3. Apa penyebab hancurnya dinasti Umayyah?
c. Tujuan Penulisan
Untuk
mengetahui:
1. Proses
berdirinya dinasti Umayyah
2. Keberhasilan
yang diraih
3. Penyebab
hancurnya Bani Umayah
BAB
II
PEMBAHASAN
a.
Proses
Berdirinya Bani Umayyah
Nama Bani
Umayyah berasal dari nama “Umayyah ibn Abdi Syam ibn Abdi Manaf” seorang
pemimpin kabilah Quraisy di zaman Jahiliah.[1]
Bani Umayyah adalah orang laki-laki terakhir dari golongan sahabat Nabi yang
masuk Islam. Mereka masuk Islam setelah terjadinya fathu Mekkah. Sebelumnya
mereka merupakan musuh-musuh besar Islam yang paling kejam. Namun, setelah
masuk Islam mereka segera memperlihatkan semangat kepahlawanannya yang tiada
tanding,seolah-olah mereka ingin menebus dan mengimbangi keterlambatannya masuk
Islam, sehingga menghilangkan kesan masyarakat kepada mereka khusunya terhadap
sikap dan perlawanan mereka terhadap Islam, sebelum mereka memeluk Islam.
Bani Umayyah
betul-betul menunjukkan tekad bulatnya dalam memperjuangkan Islam. Mereka
mencatat prestasi yang luar biasa dalam menyebar luaskan agama Islam, terutama
dalam peperangan yang dilancarkan pada orang-orang murtad dan orang-orang yang
mengaku Nabi, serta orang-orang yang enggan membayar zakat. Bani Umayyah ini
merupakan pedang-pedang Islam yang tajam dan kekuasan raksasa dalam penyerbuan
kaum muslimin keluar batas Jazirah Arab.
Dengan melihat
prestasi mereka, maka pada pemerintahan Umar ibn Khattab, Muawiyah diangkat
menjadi gubernur di Damsyik.[2]
Terdapat satu riwayat berkaitan dengan pengangkatan Muawiyah sebagai gubernur
di Syam, Muawiyah datang menghadap sang ayah. Ayahnya berkata “hai anakku,
bahwasanya orang-orang muhajirin itu telah lebih dahulu masuk Islam daripada
kita, karena itu mereka telah memperoleh
kedudukan yang tinggi, sedangkan kita terlambat karena keterdesakan itu,
sehingga kita hanya menjadi pengikut-pengikut dan mereka menjadi
pemimpin-pemimpin. Kini mereka menyerahkan kekuasan besar kepadamu, maka
patuhilah mereka karena engkau masih dalam perjalanan menuju titik yang belum
engkau capai. Kalau engkau sudah sampai pada titik itu sungguh engkau akan
merasa lega”.[3]
Pada
Hakikatnya, Bani Umayyah dari semula telah menginginkan jabatan khalifah, namun
mereka tidak dapat merealisasikan cita-cita tesebut baik masa Abu Bakar maupun
Umar. Ketika Utsman terpilih menjadi khalifah, sejak masa inilah Bani Umayyah meletakkan dasar-dasar
kekuasaan. Utsman member kekuasan pada Muawiyah lebih luas lagi yaitu
menggabungkan wilayah Damsyik,Homsh, Palestina, Yordania dan Lebanon.[4]
Selama 25 tahun Muawiyah menjadi gubernur, selama itu pula ia menanamkan
pengaruh pada masyarakat.
Ketika terjadi
pergolakan pada masa khalifah Utsman hingga menyebabkan kematian sang khalifah ditangan pemberontak,
saat itu pula insting politik Muawiyah mulai jalan. Ia memerintahkan anak
buahnya datang ke Madinah untuk melindungi sang khalifah, namun kenyatannya
setelah terdengar informasi bahwa Utsman telah terbunuh, Muawiyah
menginstruksikan pada anak buahnya untuk membawa pakaian Utsman yang masih
berlumuran darah. Sebuah taktik yang jitu untuk mendapat simpati dari
masyarakat. Baju tersebut digantung di pintu masjid, seraya mengeluarkan air
mata Muawiyah mengutuk terhadap pembunuh khalifah, dia berjanji menuntut balas
terhadap pembunuh tersebut. Adalah sebuah tangisan politik yang efektif dalam
menarik simpati masyarakat.
Adalah alasan
yang tepat bagi Muawiyah untuk tidak membaiat dan tidak mengakui kepemimpinan
Ali bin Abi Thalib,--yang baik secara de jure dande facto telah
sah menjadi khalifah, karena Ali didukung oleh kaum muslim baik di Mekah maupun
Madinah, Kufah, Mesir dan daerah lainnya—karena Ali tidak mau menghukum
pembunuh Utsman yang semestinya diqishash, sebagaimana yang dituntut
Aisyah. Di samping itu, Muawiyah memiliki pasukan yang kuat di Syam. Akibatnya,
terjadilah pertempuran antara pasukan Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan
perang Shiffin (657 M). perang tersebut berakhir dengan peristiwa tahkim, yang
secara politis jelas merugikan pihak
Ali, sebab pasukan Ali tidak utuh (terpecah). Sejumlah pendukung Ali yang
keluar dari pasukan Ali disebut Khawarij. Mereka memandang bahwa
penerimaan Ali terhadap usulan Muawiyah (tahkim) sebagai sebuah penyerahan
harapan mereka atas otoritas khalifah Ali dan merupakan sebuah pelanggaran
terhadap prinsip agama.
Ketika juru
runding berkumpul di Adruh pada Januari 659 M mereka sepakat bahwa pembunuh
Utsman tidak dibenarkan dan sepakat untuk membentuk lembaga Syura untuk memilih
khalifah. Ali menolak terhadap hasil perundingan tersebut , namun itu tidak
banyak berpengaruh sebab koalisi Ali telah terpecah. Di samping itu, pimpinan
suku Kufah melepaskan dukungan terhadapnya. Pemberontakan pun tidak bisa
dipungkiri. Kaum pemberontak di wilayah Iran Timur Bashrah dan Kufah, maka
opini keberpihakan bangsa Arab terhadap suksesi Muawiyah semakin kuat, karena
memandang bahwa Muawiyah mampu menjalankan pemerintahan bersama dengan kalangan
elit muslim-Arab dan kekuasan bangsa Arab terhadap emperium.[5]
Setelah Ali
meninggal karena dibunuh oleh kelompok Khawarij, Muawiyah mengumukan diri
sebagai khalifah dan ia diterima kelompok interes yang dominan. Sementara
sebagian kaum muslimin membaiat Hasan sebagai khalifah. Hasan hanya menjabat
beberapa bulan menjadi khalifah. Selanjutnya atas pertimbangan tertentu
kemudian Hasan menyerahkan kepemimpinan pada Muawiyah, tentu saja didahului
proses politik berupa perjanjian damai yang isnya antara lain: komando politi
berada di bawah Muawiyah, setelah Muawiyah wafat maka kepemimpinan diserahkan
kepada umat Islam untuk memilihnya dan ada jaminan keselamatan atas keturunan
Ali. Tahun itu disebut dengan tahun bersatunya kembali umat Islam. Dengan
demikian, Muawiyah sah menjadi khalifah.[6]
b.
Kebijakan-Kebijakan
Khalifah Bani Umayyah
Pendiri Daulah Bani Umayyah adalah Muawiyah ibn Abi Sufyan.
Kemenangannya diperoleh setelah perang Shiffin yang berakhir dengan peristiwa
tahkim yang masih kontroversial dikalangan umat Islam saat itu.[7]Namun
kemudian ia mendapat legitimasi politik setelah Hasan menyerrahkan kekuasaan
kepadanya.
Masa awal pemerintahannya banyak gejolak yang dihadapi. Akan
tetapi, berkat pengalaman selama sekitar 22 tahun menjadi gubernur ia mampu
meredam segala permasalahan yang dihadapi. Di samping karena didukung oleh kekuatan
militer yang dimiliki, tak terlepas pula dari kepribadian Muawiyah. Salah satu
sifat yang dimiliki Muawiyah adalah sifat hilm,[8]dengan
sifat tersebut, walaupun terdapat tekanan keras dan penuh intimimedasi
--sebagai manusia hilm—ia mampu menguasai diri secara baik dan mengambil
keputusan yang menentukan. Pemikirannya nyata bersifat pragmatic dan politik, yang
ditandai dengan menahan diri dan menguasai diri.
Dengan ketangguhan dan kebijakan politik yang
diterapkannya, Daulah Bani Umayyah ini mampu berkuasa hingga 90 tahun lamanya
dengan menurunkan 14 orang khalifah, yaitu :
1. Muawiyah ibn Abi Sufyan (41-60 H) sebagai
pendiri bani Umayyah
2. Yazid bin Muawiyah (60-64 H)
3.
Muawiyyah II
bin yazid (64 H)
4.
Marwan bin
Hakam (64-65 H)
5.
Abd. Malik bin
Marwan (65-84 H)
6.
Al-Walid bin
Abd. Malik (86-96 H)
7.
Sulaiman bin
Abd. Malik (96-99 H)
8.
Umar bin Abd.
Aziz (99-101 H)
9.
Yazid II bin
Abd. Malik (101-105 H)
10. Hisyam bin Abd. Malik (105-125 H)
11. Al-Walid II bin Yazid II (125-126 H)
12. Yazid II bin Al-Walid (126 H)
13. Ibrahim bin Al-Walid (126 H)
14. Marwan II bin Muhammad bin Marwan bin Hakam (127-172 H)
Dari 14 orang
khalifah tersebut, terdapat lima orang khalifah yang paling berjasa dalam
pemerintahannya. Kebijakan-kebijakan politik yang dijalankan benar-benar
mendapat respon dari masyarakat, sehingga pada masanya kemajuan-kemajuan Islam
sangat pesat terutama pada pengembangan toritorial. Ke-5 khalifah tersebut
adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, Abd. Malik bin Marwan, al-Walid bin Abd. Malik,
Umar bin Abd. Aziz dan Hisyam bin Abd. Malik.
Semenjak
berkuasa,Muawiyah memulai langkah-langkah baru untuk merekonstruksi otoritas
sekaligus kekuasan khalifah. Ia mulai merubah koalisi kesukuan menjadi
sentralisasi monarkis. Ia memperkuat barisan militer dan memperluas kekuasan
administrative negara dan merancang alasan-alasan moral dan politis yang baru
demi kesetiaan terhadap khalifah. Ia juga berusaha menertibkan kebijakan
militer dengan tetap mempertahankan panglima-panglima Arab mengepalai pasukan
kesukuan Arab. Di samping itu, untuk memenuhu interes para pemimpin suku,
sejumlah penaklukan diarahkan ke Afrika Utara dan Iran Timur. Sedangkan di
front Syiria ia tetap mempertahankan perdamaian dengan imperium Bizantium. Ia
juga memantapkan pendapatan negara dari penghasilan pribadi dan lahan pertanian
yang diambil alih dari Bizantium dan Sasania serta dari investasi pembukaan
lahan baru dan irigasi.[9]
Muawiyah juga menerapkan aspek-aspek patriarkal khilafah.
Ekspansi yang
sempat terhenti pada masa khalifah Utsman dan Ali dilanjutkan kembali oleh Bani
Umayyah, bahkan prestasi paling besar yang dicapai oleh Daulah Islamiah adalah
pada pengembangan wilayah. Di era Muawiyah, Tunisia, Khurasan hingga sungai
Oxus, Afganistan dan Kabul (daerah timur) dapat ditaklukkan. Ibu kota Bizantium
yakni Konstantinopel pun takluk ke Daulah Islamiah melalui kemenangan angkata
laut Muawiyah.[10]
Upaya Muawiyah
untuk menegakkan pemerintahan yang stabil telah dicapai, setidaknya dia sampai
meninggal. Akan tetapi, kegagalan setelah dia wafat jelas betapa kerasnya
persoalan-persoalan kurun itu.[11]
Pasca
pemerintahan Muawiyah, perang sipil Arab ke-2 yang merupaka bentuk dari konflik
inters tak dapat dihindari. Ia bertumpu pada tiga masalah, yaitu pertempuran
antara kalangan aristokrat Arab memperebutkan kekuasaan atas khilafah,
persaingan antar kelompok dan sekte keagamaan. Selain itu, peang sipil kedua
ini ditandai dengan meluasnya permusuhan antara kelompok Arab. Jika perang
sipil pertama didasarkan pada pertentangan antara loyalitas Islam dan loyalitas
kesukuan, maka pada perang sipil kedua didasarkan pada persekutuan sementara
antar klan-klan yang terbentuk dalam kekacauan dan perubahan masyarakat pada
pusat-pusat perkampungan militer. Sementara kesukuan koalisi kesukuan Syiria yang selama beberapa dekade
memihak pada pemerintahan Muawiyah pecah menjadi dua koalisi yang saling
serang, yakni Yaman (Kalb) dan Qays. Pertempuran ini merembet ke Iraq yakni
kelompok Mudar dan Tamim serta Khurasan: Qays dan Rabi’a.[12]
Selain pecahnya
kesukuan tersebut, kalangan Khawarij yang mengingkari Ali juga melancarkan
serangan. Mereka membentuk kelompok kecil biasanya beranggotakan 30-100 orang
sebagai “teroris dan sekte agama yang fanatik”. Salah satunya adalah Azariqah
yang melancarkan tindakan perampokan di provinsi KHuzistan. Dan sekte Nadja
yang menguasai daerah subur Arabia termasuk Bahrain, Oman, Hadramaut dan Yaman.
Kelompok ini sebagai perkumpulan yang dibangun berakar dari individu kemudian
berkembang menjadi persekutuan komunal melalui gerakan-gerakan sektarian.[13]
Kelompok sektarian inilah nantinya yang menjadi salah satu bom waktu penghancur
daulah Bani Umayyrah.
Yazid (680-683
M) sebagai khalifah kedua harus berhadapan dengan beberapa kelompok baru Mekah
dan beberapa kelompok pro Ali yang berusaha merebut khalifah. Abdullah bin
Zubair berupaya menggalang kekuatan di Arabia dan Kufah. Kemudian Husein
berusaha meninggalkan Madinah menuju Kufah untuk menjadi pimpinan bagi
pengikutnya, namun sebelum ia sampai di Kufah pasukannya dapat dihancurkan dan
berakhir dengan kematian Husein di Padang Karbala (Iraq). Kematiannya
menimbulkan reaksi yang kuat dari umat Islam khususnya Syiah.
Penataan
pemerintahan pada masa daulah BaniUmayyah yang paling menonjol terjadi pada
masa Abd. Malik dan al-Walid. Di samping pada masa pemerintahan Abd. Malik
relative panjang, juga memiliki panglima tangguh al-Hajjaj bin Yusuf
al-Tsaqafi. Panglima ini hamper mampu mengatasi keresahan dalam dan luar
negeri.
Abd. Malik
dalam melaksanakan kebijakannya, memiliki struktur kekuasaan actual yang
terdiri dari pasukan Syiria, muqatillah (pasukan Iraq penjaga Garnisun),
para gubernur dan kelompok Marwan.[14]
Kelompok muqatillah adalah orang-orang suku Iraq bagian Timur yang pro
pemerintah dan kebijakan ekspansionisnya. Sebagai imbalan atas loyalitas dan
dukungannya, mereka menerima gaji normal dan bagian harta rampasan perang,
mereka sering diberi bagian lebih besar untuk memerintah wilayah pedesaan
melalui pengangkatan para pemimpin mereka sebaai pembantu gubernur.
Dari sinilah
tampak bahwa kebijakan yang dijalankan khalifah saat itu cenderung memposisikan
elit Arab sebagai kelompok superior sementara kelompok non-Arab sebagai kelas
imperior. Kebijakan semacam itu pula berpengaruh pada penempatan dan
pengangkatan orang penting dalam struktur pemerintahan. Lebih lanjut Watt
menggambarkan bahwa struktur organisasi kerajaan saat itu terdiri dari muslim
sebai elit militer, minoritas yang dilindungi dan pemerintahan provinsi.[15]
Sementara
pasukan Syiria memiliki peranan penting. Secara berangsur-angsur ia diubah dari
milisi regional yang terkait dengan wilayah kekuasaannya menjadi pasukan
imperial untuk mengawasi seluruh wilayah kerajaan. Sejak saat itu militer
Syiria menggantikan kedudukan militer Iraq yang bermula dari sebuah
perkampungan militer yang dibangun di al-Wasith. Orang-orang Arab di
Kufah dan Bashrah diperlakukan ibarat warga tahanan dari sebuah imperium yang
mereka dirikan.[16]khalifah
Abd. Malik (685-705 M) dan penggantinya al-Walid (705-715 M) yang menghadapi
oposisi keagamaan yang sedang mewabah, yakni Syiah, Khawarij dan aliran-aliran
kesukuan yang dipicu oleh tekanan perubahan sosial di beberapa perkampungan
militer, merespon hal tersebut dengan mempercepat proses sentralisasi negara,
bahkan menjadikan negara sebagai sebuah rezim dari pada sekedar sentralisasi
pada pribadi seorang khalifah. Kebijakan pertama yang dilakukan Abd. Malik
adalah demiliterisasi Arab pada beberapa perkampungan Arab (sebaimana
keterangan di atas).
Menjelang
berakhirnya masa pemerintaha Abd. Malik, daulah ini telah memiliki birokrasi
yang berkembang pesat di tangannya dan di tangan gubernur yang dapat dipercaya.
Sistem ini dikembangkan dari konsep diwan al khatam atau biro cincin
(biro keluarga) dari Muawiyah itu diperbesar menjadi departemen arsip
pemerintah yang sepenuhnya disumpah di Damaskus. Di saat yang bersamaan
pemerintahan provinsi juga dikembangkan, sekalipun pemerintahan itu secara
ketat berada di bawah pengawasan para gubernur, karena khalifah saat itu
menggebu-gebu dan berusaha secara keras menegakkan sentralisasi kekuasaan.
Kebijakan lain
yang paling menonjol pada saat itu adalah perubahan bahasa administrasi
pemerintahan yang hingga saat itu masih menggunakan bahasa Koptik (Mesir Kuno),
Yunani atau Pahlevi diubah menjadi bahasa Arab. Tentu saja hal itu dimaksudkan
untuk membantu meningkatkan kekuasaan para gubernur provinsi terhadap
pemerintahan di bawahnya dan untuk membuka birokrasi bagi bangsa Arab.[17]
Abd. Malik dan al-Walid menyusun peralihan para pejabat pajak dari orang-orang
yang berbahasa Yunani dan Syiria pada orang-orang yang berbahasa Arab. Perubahan
itu berlangsung di Iraq pada 697, di Syiria dan Mesir pada 700 setelah beberapa
tahun berlangsung di Khurasan. Selanjutnya khalifah juga mengadakan
pengorganisasian keuangan berbagai daerah.[18]
Kebijakan lain
yang diterapkan oleh Abd. Malik adalah menciptakan mata uang Arab Dirham
Sasaniah dan Dinar Bizantium dan Sasaniah dari peredaran, sebagaimana yang
dikehendaki oleh Abd. Malik.[19]
Namun, di sisi lain dengan dicetaknya mata uang sendiri menghilangkan
simbolisme Kristen dan Zoroastrian, pun juga dengan memperkenalkan model koin
terbuat dari emas dan perak yang bertuliskan huruf arab sebagai symbol
kedaulatan negara dan kemerdekaan dari dan kesamaan kedudukan dengan beberapa
imperium terdahulu.[20]
Dari
kebijakan-kebijakan itulah yang nantinya memunculkan problem Mawali yang lebih
ekstrim dan membedakan secara mencolok antara Arab asli dengan non Arab. Di
samping itu, perlakuan terhadap kaum muslim non Arab (Mawali)[21]
jelas jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. Mereka kaum Mawali yang dibebani
pajak serta Jizyah, yang menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
Kemudian dari sistem perubahan birokrasi inilah yang mendorong Sibawih menyusun
al-Kitab yang menjadi pegangan pada aspek tata bahasa Arab.[22]
Pada masa
pemerintahan Umar bin Abd. Aziz (717-720 M) khalifah mengusulkan sebuah revisi
penting mengenai aturan dan beberapa prinsip dalam system perpajakan untuk
menghilangkan ketidak seragaman yang sangat mencolok dan demi persamaan. Pada
masa inilah mulai adanya perhatian terhadap keluh kesah masyarakat. Demikian
besar tanggung jawabnya, sehingga ketika pulang dari menguburkan Sulaiman bin
Abd. Malik yang digantikannya, bukannya ia gembira karena kekuasan yang
dirahnya, tetapi orang melihatnya dengan sangat sedih.[23]
Dalam
menjalankan roda pemerintahan, khalifah Umar bin Abd. Aziz merubah gaya hidup
dengan mencampakkan cara hidup raja seperti yang dilakukan oleh para
pendahulunya. Ia memilih cara hidup seperti Khulafa al-Rasyidin. Selain itu, ia
mengembalikan semua hartanya, bahkan perhiasan sang istri ke Bait al-Maal.[24]Ia
juga memecat pejabat yang bejat dan mengangkat pengganti mereka yang adil dan
saleh. Menghapus pajak tidak sah, yang tadinya dipungut dari rakyat dan
membetalkan membayar Jizyah orang-orang yang baru masuk Islam.
Hubungan
pemerintah dengan para oposisi membaik pada masa Umar bin Abd. Aziz. Baginya
memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik
daripada menambah perluasannya sebagaimana yang ia ucapkan ketika dinobatkan
sebagai khalifah.[25]
Sekalipun masa
pemerintahannya sangat pendek, Umar bin Abd. Aziz berhasil menjalin hubungan
baik dengan Syiah –yang jelas-jelas menjadi kelompok oposisi dan selalu
merongrong pemerintah—bahkan ia mengembalikan posisi ahl al-kitab dengan
member kebebasan beragama dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing.
Kebijakan lain ia merombak moral, struktur kelas dengan menyetarakan kedudukan
Mawali dengan muslim Arab dan menempatkan keluarga Ali secara proprorsional.
Namun demikian,
kebijakan Umar bin Abd. Aziz telah menimbulkan kekhawatiran yang luar biasa
dari Bani Umayyah, yaitu sirnanya sistem kerajaan yang diwariskan dan akan
kembalinya sistem khalifah yang pemilihannya berdasarkan musyawarah. Tidak lama
setelah itu, Umar bin Abd. Aziz wafat dan keadaan seperti semula.[26]
Sepeninggalan
khalifah Umar bin Abd. Aziz, kerajaan terus dilanda kerusuhan yang terrjadi di
mana-mana hingga pada masa Hisyam bin Abd. Malik (724-743 M). Hisyam berusaha
menerapkan kebijakan Umar bin Abd. Aziz di wilayah Khurasan, Mesir dan
Mesopotamia. Hisyam sebenarnya merupakan khalifah yang terampil dan kuat.
Namun, kekuatan oposisi tidak dapat dibendung. Terutama kekuatan tersebut
muncul dari kekuatan Mawali yang berkoalisi dengan gerakan yang mengatasnamakan
Bani Hasyim.[27]Kekuatan
inilah yang nantinya akan menggulingkan Bani Umayyah. Terutama setelah wafatnya
Hisyam, karena para khalifah sesudahnya sangat lemah.
c.
Kemajuan yang
Dicapai
Daulah Bani umayyah memerintah selama 90 tahun. Dalam perjalanan
pemerintahannya banyak problem yang dihadapi. Namun, prestasi yang diraih dalam
sejarah Islam juga banyak. keberhasilan-keberhasilan tersebut yang paling
tampak adalah pengembangan dal perluasan Islam serta pembangunan suprastruktur
maupun infrastruktur pemerintah.
Sejak awal pemerintahannya, upaya perluasan wilayah telah
dilakukan. Wilayah Islam saat itu meliputi Khurasan sampai Oxos, Afganistan,
Kabul dan Byzantium dapat direbutnya. Termasuk pula dinas pos telah didirikan
di tempat-tempat tertentu.
Pada masa Abd. Malik, daulah ini mampu menundukkan Balkh, Bukhara,
Khawarizm, Ferghana, Samarkand, India, Balukhistan, Sind dan daerah Punjab
sampai ke Maltan.[28]
Di samping perluasan wilayah, Abd. Malik telah membuat perubahan besar yang
mengarah rezim Arab seperti penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara,
membuat mata uang Arab menggantikan mata uang Byzantium dan Sasania, sebagai
lambang atau symbol kekuatan negara, kemerdekaan dan kesamaan kedudukan dengan
beberapa imperium terdahulu. Juga beberapa bangunan monumental telah dilaksanakan
antara lain Yerussaleem ditunjuk sebagai kota suci umat Islam dan masjid Kubah
Batu di bangun pada tanah peribadatan umat Yahudi.
Masa al-Walid sebagai pengganti Abd. Malik adalah masa ekspansi
secara besar-besaran. Ia juga membangun beberapa masjid baru di Madinah dan
Damaskus. Hiasan-hiasan pada masjid lelambangkan kejayaan bangsa Arab dan
menjadi bukti pengabdian negara kepada agama. Semua melambangkan keagungan
negara dan sangat besar artinya bagi komunitas muslim.[29]
Wilayah Islam pada masa ini sampai pada Afrika Utara di bawah komandan Thareeq
bin Ziyad. Di samping itu, panti-panti untuk orang cacat menjadi perhatian
khalifah. Ia juga membangun jalan raya yang menghubungkan satu daerah pada
daerah lainnua, pabrik, gedung pemerintahan dan masji yang megah.[30]
Dibidang ilmu pengetahuan –sekalipun sangat sederhana—pada zaman
ini umlai dirintis ilmu filsafat dan eksak. Ilmu agama sejak awal pmerintahan
Bani Umayyah telah digalakkan terutama pada khalifah Umar bin Abd. Aziz dengan
keberhasilan yang monumental dibidang ilmu agama berupa kodifikasi Hadits.
Hadits-hadits telah dibukukan. Tentu saja pembukuannya setelah melalui proses
penelitian, untuk menentukan tingkat keshahihan hadits tersebut.
Setidaknya terdapat tiga gerakan ilmu pada masa Umayyah ini dengan
latar belakang dan motivasi yang kuat dai masing-masing para ahli. Ketiganya
meliputi:
1.
Gerakan ilmu
agama, didorong oleh seemangat agama sendiri yang sangat kuat pada saat itu
2.
Gerakan
filsafat, terjadi pada akhir pemerintahan Umayyah guna melawan yahudi dan
Nasrani.
3.
Gerakan
sejarah, karena ilmu agama memerlukan riwayat.[31]
Diantara ahli
hadits yang tersohor pada Bani Umayyah:
1.
Abu Bakar
Muhammad bin Muslimin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhri (w. 123 H)
2.
Ibnu Abi
Malikah; Abdullah bin Malikah al-Tayammi, murid ibn Abbas (w. 159 H)
3.
Al-Auza’I
Abdurrahman bin Amr, ahli hadits dari Syam yang banyak pengikutnya.
Diantaranya, Abdullah ibn Mubarak, ibn Zaiyad dan Abu Abbas Walid bin Muslim
(w. 159 H)
4.
As-Sya’by; Abu
Amr Amir bin Syurahbil (w. 104 H di Kufah)
Selain ilmu hadits di atas, pada masa Bani
Umayyah juga berkembang ilmu tafsir dan qiraat. Pada bidang tafsir muncul nama
Abdullah bin Abbas (w.68 H) dan Mujahid (w. 104 H). sedangkan bidang qiraat
pada masa ini muncul tujuh macam qiraat (Qiraat al-Syab’ah). Kebanyakan
pelopor kelompok Mawali, yakni :
1.
Abdullah bin Katsir (w. 120 H) di Mekah. Turunan persia yang diutus ke Yaman
2.
Ashim bin Abi
Nujud (w. 127 H) di Kufah.
3. Abdullah bin Amr al-Jashabi (w. 118 H) di
Damaskus. Angkatan pertama dari Tabi’in
4. Ali bin Hamzah Abu Hasan al-Kisai yang
memimpin Qura di Kufah (w. 189 H)
5. Hamzah bin Habib al-Zayyat (w. 156 H) di
Halwan, Irak.
6. Abu Amr bin al-A’la (w. 155 H) di Kufah,
populer ilmu qiraat dan bahasanya
7. Nafi bin Abi Naim (w. 169 H) di Madinah,
Mawali hitam pekat dari Isfahan.
Ilmu tata bahasa (Nahwu) juga berkembang pada saat itu. Bidang
ilmu tersebut ditekuni oleh Sibawih, pengarang al-Kitab yang dijadikan
pedoman dalam tata bahasa Arab. Pun, Ilmu Pengetahuan umum, pada masa gerakan
penerjemahan mulai dirintis. Khalid bin Yazid bin Muawiyah adalah orang pertama
yang memerintahkan untuk menerjemahkan ilmu-ilmu thib dan kimia ke dalam bahasa
Arab. Ia mendatangkan beberapa orang Romawi yang berdomisili di Mesir
diantaranya Marinus (pendeta) untuk mengajar ilmu kimia.
d. Kemunduran Bani Umayyah
Kilasan sejah Islam telah mencatat prestasi
gemilang yang telah dicapai oleh Bani Umayyah. Dalam rentang waktu kurang satu
abad dinasti ini terbukti mampu menempatkan
Islam sebagai kekuatan politik yang diperhitungkan dunia. Prestasi yang paling menonjol adalah pada perluasan wilayah yang
membentang dari pegunungan ThianShan di wilayah timur sampai ke pegunungan Pyrenes di wilayah
barat.[32]
Banyak nagsa yang termasuk dalam wilayah kekuasaannya, meliputi
Spanyol, Afrika Utara, Jazirah Arab, Suriah, Palestina separuh daerah Anatolia,
Italia, Persia, Afganistan, India, Persia, Afganistan, India dan negara lain
pada abad XX tergabung Uni Soviet seperti Uzbekistan dan Kirgistan.[33]
Daulah ini juga berhasil menguasai dan mengamankan jalur perdagangan yang
menghubungkan belahan dunia timur dan barat baik melalui jala sutera maupun
jalan laut.[34]
Namun demikian kebesaranyang dicapai Bani Umayyah ini tidak dapat
dipertahankan akibat beberapa faktor internal maupun eksternal. Faktor ini ikut
menentukan hancurnya Bani Umayyah ini adalah munculnya revolusi yang
dianulirkan oleh Bani Abbasiyah, sebagai sebuah revolusi terbesar yang pernah
dilakukan umat Islam.
Revolusi ini bukan hanya mampu menggulingkan Bani Umayyah selama 90
tahun, namun juga mampu mendirikan rezim baru yang jauh lebih solid dan
bertahan lebih lama.
Terdapat empat faktor yang menyebabkan munculnya revolusi Abbasiyah
dan hancurnya dinasti Umayyah , yaitu teori faksionisme rasial atau teori
pengelompokan kebangsaan, faksionisme sectarian atau pengelompokan golongan
atas dasar paham keagamaan, faksionisme kesukuan dan ketidak adilan ekonomi dan
disparatis organisasi.
Selain keempat faktor di atas, faktor-faktor lain yang menyebabkan
hancurnya dinasti Umayyah adalah:
1.
Sistem
pergantian pemimpin melalui garis keturunan yang lebih menekankan pada aspek
senioritas bukan pada kemampuan dan pengaturannya tidak jelas. Ketidak jelasan
pengaturan ini menyebabkan persaingan yang tidak sehat di kalangan keluarga
istana.
2.
Latar belakang
terbentuknya Bani Umayah tidak lepas dari konflik politik pada masa Ali.
Sisa-sisa kelompok Syiah dan Khawarij terus menjadi oposan.
3.
Pada masa
kekuasaan Bani Umayah pertentangan suku –yang dulu masa Nabi SAW., mampu
diredam—muncul kembali dan makin meruncing. Kondisi semacam ini menyulitkan
Bani Umayyah untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Ditambah lagi kaum Mawali
merasa tidak puas, karena status Mawali menggambarkan kelas inferior, kemudian
keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4.
Terjadinya
kekecewaan dari kelompok agama melihat perhatian khalifah terhadap agama sangat
kurang, terutama masa-masa akhir pemerintahan Bani Umayyah. Mereka lebih senang
hidup mewah yang dikelilingi hiasan di istana.
5.
Penyebab
langsung tergulingnya Bani Umayyah adalah munculnya gerakan Abbasiyah. Gerakan
ini mendapat dukungan dari Syiah dan Mawali.[35]
BAB
III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
1.
Dinasti Umayyah
didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan pada tahun 41 H/661 M
2.
Keberhasilan
yang dicapai Bani Umayyah diantaranya: bahasa Aran dijadikan bahasa resmi
negara, pembuatan mata uang Arab, pengembangan bidang keilmuan dan lain-lain
3.
Penyebab
hancurnya Bani Umayyah: faksionisme rasial atau teori pengelompokan kebangsaan,
faksionisme sectarian atau pengelompokan golongan atas dasar paham keagamaan,
faksionisme kesukuan dan ketidak adilan ekonomi dan disparatis organisasi.
b.
Saran
“Kekuasaan tidak menjamin kesuksesan seseorang”
Daftar Pustaka
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam II, ter. Muchtar Jahja dan M. Sanusi Latif,
(Jakarta : Djajamurni, 1960)
Abul A’la Maududi, Khilafah dan Kerajaan, ter. Muhammad
al-Bakir, (Bandung, Mizan, 1996)
Ira M. Lapidus, Sejarah
Sosial Umat Islam, bagian kesatu dan kedua, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2000)
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah
Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989)
Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta, UI Press, 1986)
Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1995)
M.A. Shaban, Sejarah Islam (600-700):
Penafsiran Baru, ter. Machnun Husein, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1993)
W.M. Watt, Pergolakan Pemikiran Politik Islam, ter. Hamid
Fahmi Zarkazi dan Taufiq ibn Syam, (Jakarta: Beunebi Cipta, 1987), hlm. 52.
Muhammad Sayyid al-Wakil, Wajah Dunia Islam, terj. Fadli
Bahri (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1988)
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Apek I, (Jakarta : UI Press, 1985)
Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa (Bandung: CV. Rusyda,
1987)
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Abbasiyah, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1977)
Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kenudayaan Arab, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997)
[1] Ahmad Syalabi,
Sejarah dan Kebudayaan Islam II, ter. Muchtar Jahja dan M. Sanusi Latif, (Jakarta : Djajamurni, 1960), hlm.
17
[2] Abul A’la
Maududi, Khilafah dan Kerajaan, ter. Muhammad al-Bakir, (Bandung, Mizan,
1996), hlm. 183
[3] Syalabi, Sejarah,
hlm. 19
[4] Al-Maududi, Khilafah,
hlm. 183
[5] Ira M.
Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam,
bagian kesatu dan kedua, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.
85
[6] Hasan
Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan
Islam, (Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989), hlm. 64. Lihat juga,
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada,
1995), hlm. 40
[7] Harun
Nasution, Teologi Islam, (Jakarta, UI Press, 1986), hlm. 5
[8] Kata ini sulit
dan rumit untuk diterjemahkan, tetapi ia adalah cara terbaik kalau bukan
satu-satunya cara untuk menggambarkan kemampuan utama Muawiyah sebagai
khalifah. Lebih lanjut lihat Ira M. Lapidus, Sejarah,
hlm. 88.
[9] Ira M Lapidus, Sejarah, hlm.88
[10] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995), hlm. 43
[11] M.A. Shaban, Sejarah Islam (600-700): Penafsiran Baru, ter. Machnun
Husein, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 113-114
[12] Ira M. Lapidus,Sejarah, hlm. 89-90
[13] Ibid
[14] Shaban, Sejarah,
hlm. 167
[15] W.M. Watt, Pergolakan
Pemikiran Politik Islam, ter. Hamid Fahmi Zarkazi dan Taufiq ibn Syam,
(Jakarta: Beunebi Cipta, 1987), hlm. 52.
[16] Ira M Lapidus, Sejarah, hlm. 91
[18] Ira M Lapidus, Sejarah, hlm. 91
[19] Shaban, Sejarah,
hlm. 167
[20] Ira M Lapidus, Sejarah, hlm. 93
[21] Muhammad
Sayyid al-Wakil, Wajah Dunia Islam, terj. Fadli Bahri (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 1988), hlm. 51
[22] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Apek I,
(Jakarta : UI Press, 1985), hlm. 63
[23] Lebih rinci lihat, al-Maududi, Khilafah, hlm.245
[24] Ibid, hlm.144
[25] Ahmad Amin, Islam
dari Masa ke Masa (Bandung: CV. Rusyda, 1987), hlm. 104.
[26] Al-Maududi, Khilafah,
hlm. 146-147
[27] Badri Yatim, Sejarah,
hlm. 47
[28] Lebih lanjut
lihat, Harun Nasution, Islam, hlm. 61, lihat pula Badri Yati, Sejarah,
hlm. 43
[29] Ira M Lapidus, Sejarah, hlm. 93
[30] Syalabi, Sejarah, 2, hlm. 90-91. Badri Yatim, Sejarah, hlm.44-45
[31] Lebih lanjut lihat A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam edisi kedua (Jakarta :
Bulan Bintang, 1975), hlm 180
[32] Joesoef
Sou’yb, Sejarah Daulah Abbasiyah, (Jakarta, Bulan Bintang, 1977), hlm. 7
[33] Ali Mufradi, Islam
di Kawasan Kenudayaan Arab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 236
[34] Sou’yb, Sejarah,
hlm. 7
[35] W. Montgomerey
Watt, Kerajaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta:
Tiara Kencana, 1990) hlm. 28.