Talak diambil dari kata “ ithlaq” yang artinya melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan menurut istilah
talak adalah melepaskan ikatan perkawinanan atau bubarnya hubungan suami istri.[1] Menurut Sayyid Sabiq talak yaitu sebuah upaya untuk melepaskan ikatan
perkawinan dan selanjutnya mengkhiri hubungan perkawinan itu sendiri.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu
perkawinan dimaksudkan untuk membina hubungan yang harmonis antara suami istri,
namun kenyataan membuktikan, bahwa untuk memelihara keharmonisan bersama suami
istri bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan bahkan dalam hal perkara yang
mudah dilaksanakan bahkan dalam hal kasih sayang pun sulit untuk diwujudkan
dikarenakan faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomis, perbedaan
kecenderungan pandangan hidup.
Munculnya
perubahan pandangan hidup yang berbeda antara suami istri, timbulnya perselisihan pendapat antara
keduanya, perubahan kecunderungan hati dan lain sebagainya harus dicarikan
jalan keluarnya dengan baik. Jalan keluar pertama adalah keduanya mengadakan
musyawarah untuk mufakat, sehingga permasalahan dapat diselesaikan dan keutuhan
rumah tangga tetap dapat dipertahankan. Bila usaha yang dilakukan berdua tidak
mendatangkan hasil, maka boleh meminta bantuan pihak lain yang dianggap dapat
bertanggung jawab, terutama dari
pihak keluarga terdekat suami maupun istri. Namun bila segala cara
telah dicoba dan tidak juga mendatangkan hasil, maka jalan yang dianggap
keduanya paling maslahat adalah berpisah. Perceraian memang menjadi pilihan
yang paling akhir, dan sering dirasakan sebagai pilihan yang pahit bahkan
mungkin menyakitkan, tapi meskipun perceraian sebagai suatu yang dibolehkan
oleh agama tetapi sangat dibenci oleh Allah.
Akan
tetapi diberbagai ayat Allah telah memberi sinyal kepada sepasang suami istri
yang telah bercerai untuk melakukan rujuk. Dengan adanya syariat tentang rujuk
ini merupakan indikasi bahwa islam menghendaki bahwa suatu perkawinan
berlangsung selamanya.
Oleh karena itu, kendati telah terjadi pemutusan hubugan perkawinan. Allah SWT
masih memberi prioritas utama kepada suami untuk menyambung kembali tali
perkawinan yang nyaris terputus sebelum kesempatan itu diberikan kepada orang
lain setelah berakhirnya masa iddah bagi seorang perempuan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalahnya adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan talak, iddah
dan rujuk ?
2. Bagaimana hukum talak, iddah dan rujuk ?
3. Apa saja rukun dan syarat talak dan
rujuk ?
4. Apa saja macam-macam talak dan iddah?
5. Bagaimana hikmah adanya talak, iddah
dan rujuk ?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari makalah
ini adalah :
1. Mengetahui maksud dari talak, iddah dan rujuk.
2. Mengetahui hukum talak, iddah dan rujuk.
3. Mengetahui
rukun dan syarat
talak dan rujuk.
4. Mengetahui macam-macam talak dan iddah.
5. Mengetahui hikmah adanya talak, iddah
dan rujuk.
D. Manfaat
Hasil penulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca, khususnya mahasiswa
sebagai tambahan pengetahuan tentang perceraian (talak), iddah dan rujuk. Dan
masyarakat juga mengetahui tentang masalah perceraian (talak), iddah dan rujuk
sesuai dengan syariat islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Talak (Perceraian)
1. Pengertian Talak (Perceraian)
Talak diambil dari kata “ ithlaq” yang artinya
melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan
menurut istilah talak adalah melepaskan ikatan perkawinanan atau bubarnya
hubungan suami istri.[2]
Menurut Sayyid Sabiq talak yaitu sebuah upaya untuk melepaskan ikatan
perkawinan dan selanjutnya mengkhiri hubungan perkawinan itu sendiri.
Menurut UU. No.1/1974 Pasal 66 ayat 1 talak yaitu seorang
suami yang beragama islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan
kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak.[3]
Sedangkan menurut Komplikasi Hukum Islam Pasal 117 talak
adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal
109, 130, 131.
2. Hukum – Hukum Talak
Hukum – hukum talak yaitu sebagai berikut:[4]
a.
Wajib,
hukum ini diperbolehkan jika thalak itu dijatuhkan oleh pihak hakim (penengah),
karena perpecahan antara suami istri yang tidak mungkin disatukan kembali dan
talak adalah satu-satunya jalan.
b.
Sunnah,
hukum ini diperbolehkan jika talak itu disebabkan karena istri mengabaikan
kewajibannya terhadap Allah. Sang istri dikategorikan rusak moralnya, padahal
suami sudah berusaha untuk memperbaikinya. Menurut ulama, istri seperti itu
tidak patut dipertahankan karena hal itu akan mempengaruhi keimanan suami dan
tidak membuat ketenangan dalam rumah tangga.
c.
Mubah,
hukum ini dibolehkan ketika ada keperluan seperti buruknya sikap istri terhadap
suami, suami menderita karena tingkah laku istri dan suami tidak mencapai
tujuan perkawinan karena istri.
d.
Makruh,
dikarenakan talak itu menghilangkan perkawinan yang di dalamnya terkandung
kemaslahatan-kemaslahatan yang sunah dan makruh merupakan hukum asal dari talak
tersebut.
e.
Haram,
yaitu talak tanpa alasan yang benar. Diharamkan karena menganiaya atau
menyakiti istri yang akhirnya akan merugikan kedua belah pihak. Tidak ada guna
dan kemaslahatan dari talak ini.
3. Rukun dan Syarat Talak
Berikut ini yang merupakan rukun dan syarat talak, yaitu:[5]
a.
Suami
Yang mana selain suami tidak boleh mentalak. Talak yang
dijatuhkan suami dianggap sah jika apabila suami dalam keadaan berakal, baligh,
dan atas kemauan sendiri.
b.
Istri
Yaitu orang yang berada di bawah perlindungan suami dan
ia adalah obyek yang akan mendapatkan talak. Talak yang dijatuhkan kepada istri
hukumnya sah apabila istri masih dalam ikatan suami istri secara sah dan istri
dalam keadaan iddah.
c.
Shighat
Talak
Shighat talak ialah kata-kata yang diucapkan suami
terhadap istrinya yang menunjukkan thalak, baik secara sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran), juga bisa dengan
tulisan maupun isyarat.
4. Macam – Macam Talak
a.
Dilihat
dari pengaturannya talak ada dua macam, yaitu:[6]
1)
Ta’liq
dimaksuskan seperti janji karena mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau
meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu kabar. Ta’liq seperti ini
menurut Sayyid Sabiq disebut dengan ta’liq sumpah atau qasam. Misalnya seorang
suami berkata kepada istrinya, “ Jika aku keluar rumah, engkau tertalak.”
Maksudnya, suami melarang istrinya keluar rumah ketika suaminya tidak ada
dirumah.
2)
Talak
yang dijatuhkan untuk menjatuhkan talak bila telah terpenuhi syaratnya. Talak
seperti ini desebut disebut dengan ta’liq syarat. Misalnya seorang suami
berkata kepada istrinya, “Jika engkau
membebaskan aku dari sisa membayar maharnya, engkau tertalak.”
b.
Dilihat
dari ketentuan macamnya talak ada dua macam, yaitu:
1)
Talak
sunni (sunnah) yaitu talak yang berjalan sesuai dengan ketentuan agama, yaitu
seorang suami menalak istri yang telah digaulinya dengan sekali talak pada masa
bersih dan belum is sentuh kembali selama bersih itu.
2)
Talak
bid’i yaitu talak yang menyalahi ketentuan agama, misalnya talak yang diucapkan
dengan tiga kali talak pada wktu bersamaan atau talak dengan ucapan talak tiga,
atau menalak istri yang dalam keadaan sedang haid atau menalak istri dalam
keadaan suci, tetapi sebelumnya telah dicampuri.
c.
Dilihat
dari berat ringannya talak ada dua macam , yaitu:
1)
Talak
raj’i yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang telah dikumpuli,
bukan talak yang karena tebusan, bukan pula talak yang ketiga kalinya. Suami
secara langsung dapat kembali kepada istrinya yang dalam masa iddah tanpa harus
melakukan akad nikah yang baru.
2)
Talak
ba’in yaitu talak yang tidak dapat rujuk oleh suami, kecuali dengan perkawinan
baru walaupun dalam masa iddah, seperti talak perempuan yang belum digauli.
Talak bai’in ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a)
Ba’in
shugra yaitu talak yang dapat memutuskan ikatan perkawinan, artinya jika sudah
terjadi talak, istri sudah bebas menentukan pilihannya setelah habis masa
iddahnya. Suami pertama dapat rujuk dengan akad perkawinan yang baru.
b)
Ba’in
kubra yaitu substansinya suami tidak dapat rujuk kepada istrinya, kecuali
istrinya telah menikah dengan laki-laki yang lain dan bercerai kembali.
3)
Talak
khulu’. Khulu’ adalah tebusan yang dibayar oleh seorang istri kepada suami yang
membencinya, agar ia (suami) dapat menceraikannya. Khulu’ adalah fasakh
nikah maka fasakh nikah bukan termasuk talak, tetapi para ulama
menegaskan substansinya yang sama dengan talak. Talak dengan cara ini
diperbolehkan dalam hukum islam dengan disertai beberapa hukum perbedaan dengan
talak biasa.
Khulu’ hanya dibolehkan kalau ada alasan yang tepat
seperti suami meninggalkan istrinya
selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin istrinya serta alasan yang sah, atau
suami seorang yang murtad dan tidak memenuhi kewajiban terhadap istrinya, sedangkan
istri khawatir akan melanggar hukum Allah. Dalam kondisi ini seperti ini istri
tidak wajib menggauli suami dengan baik dan ia berhak untuk khulu’.
d.
Dilihat
dari kata-kata atau sighat yang digunakan, talak terdiri dari dua macam, yaitu:
1)
Sarih
(terang) yaitu kalimat yang tidak ragu-ragu lagi bahwa yang dimaksud adalah
memutuskan ikatan perkawinan, seperti kata si suami, “ Engkau tertalak,” atau “
Saya ceraikan engkau.”
2)
Kinayah
(sendirian) yaitu kalimat yang masih ragu-ragu , boleh diartikan untuk
penceraian nikah dengan orang lain, seperti kata suami, “ Pulanglah engkau ke
rumah keluargamu”, atau “Pergilah dari sini” dan sebagainya.
5. Penyebab Terjadinya Talak
Berikut
ini keadaan yang menyebabkan putusan talak, yaitu:[7]
a.
Talak
karena suami tidak memberi nafkah
Imam Malik,
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad membolehkan talak antara suami dan istri karena
sang suami tidak memberi nafkah, yaitu melalui keputusan hakim. Itupun jika
istri menghendakinya. Sedangkan ulama madzhab Hanafi tidak membolehkannya, baik
itu disebabkan adanya keengganan suami untuk memberikan nafkah, karena
kesulitan maupun tidakkemampuan suami memberikan nafkah kepada istrinya.
b.
Talak
karena bahaya yang mengancam
Imam Malik dan
Imam Ahmad berpendapat bahwa seorang istri mempunyai hak untuk meminta talak
melalui seorang hakim jika melihat adanya bahaya yang dilakukan oleh suami
terhadap dirinya. Misalnya, kebiasaan memukul atau perlakuan kasar atau
tindakan menyakitkan lainnya yang ia tidak mampu menahannya. Sedangkan menurut
Abu Hanifah dan Imam As-Syafi’i tidak membolehkan seorang istri meminta talak
kepada suaminya karena adanya bahaya dari pihak suaminya. Yang demikian, itu
karena tidak diperbolehkannya pemaksaan suami terhadap istri untuk mentaatinya.
c.
Talak
karena kepentingan suami
Imam Malik dan
Imam Ahmad berpendapat bahwa seorang istri diperbolehkan meminta talak untuk
menghindari penderitaan yang dialaminya karena kepergian suami dalam waktu yang
cukup lama tanpa adanya alasan yang membolehkan. Minimal meninggalkan istrinya
selama 1 tahun. Imam Ahmad menambahkan bahwa batas waktu minimal yang
membolehkan seorang istri meminta talak karena kepergian suaminya adalah 6
bulan karena masa tersebut merupakan puncak dimana seorang istri harus bersabar
atas kepergian suaminya.
d.
Talak
karena suami dipenjara
Imam Malik dan
Imam Ahmad berpendapat bahwa seorang istri juga diperbolehkan meminta talak
karena hukuman penjara yang dijalani oleh suaminya. Karena hukuman penjara
tersebut akan menyebabkan seorang istri menderita.
Penceraian harus berdasarkan alasan yang secara limitatif
ditentukan:
a.
Zina,
pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.
Meninggalkan
tanpa izin 2 tahun berturut-turut.
c.
Dihukum
5 tahun ke ataas.
6. Hikmah Talak
Berikut ini hikmah talak,
yaitu:[8]
a.
Sebagai jalan atau pintu darurat
bagi pasangan suami istri yang memang tidak mungkin lagi bersatu dalam ikatan
rumah tangga. Bahkan, apabila tidak menempuh jalan ini, salah satu atau
keduanya akan semakin menderita baik lahir maupun batin.
b.
Sebagai sarana untuk dapat memilih
pasangan hidup yang lebih baik, cocok dan harmonis dari sebelumnya.
c.
Akan membawa seseorang sadar bahwa
hidup berumah tangga sangat rentang dari gangguan pihak lain. Tidak bisa
masing-masing pihak bersi keras atas
kemauannya sendiri.
d.
Membuat seseorang menjadi sabar dan mawas diri bahwa semua tata kehidupan
di dunia pada dasarnya atas kehendak Allah.
B. Iddah
1. Pengertian iddah
‘Iddah diambil dari kata al-add dan al-ihsha’, yaitu
sesuatu yang dihitung oleh perempuan, ia menempatinya dalam beberapa hari dan
masa. ‘Iddah merupakan nama untuk masa bagi perempuan untuk menunggu dan
mencegahnya untuk masa menikah setelah wafatnya suami atau berpisah dengannya.
‘Iddah terhitung sejak adanya sebab – sebabnya, yaitu
wafat dan talak.
‘Iddah telah dikenal pada masa jahiliyah. Mereka tidak menginginkan dan meninggalkan ‘iddah.
Ketika islam datang ditetapkanlah ‘iddah karena di dalamnya mengandung
kemaslahatan.
Ulama telah sepakat atas kewajiban ‘iddah, berdasarkan
firman Allah :
Wanita – wanita yang di talak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru’. (QS. Al – Baqarah (2) : 228).
Quru’ dapat di artikan suci atau haidh.
Dan juga ucapan rasulullah kepada fatima binti qais:
Ber’iddahlah kamu diruma IBNU UMMI MAKTUM.
‘iddah memiliki dua sebab;Pertama, wafatnya suami baik ia
telah berkumpul dengannya atau belum berkumpul dengannya. Hal ini berdasarkan
firman Allah:
Orang orang yang meninggal dunia diantaranya dengan
meninggalkan istri-istri (hendakklah para istri itu) menangguhkan dirinya
(ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS. AL-Baqarah (2):234).
Dan juga berdasarkan ucapan rasulullah:jangannlah seorang
perempuan berkabung atas mayyit lebih dari tiga hari kecuali kepada suami
selama empat bulan sepuluh hari, ia tidak memakai pakaian yang ditenung kecuali
pakaian dari asab, tidak bercelak, tidak memakai harum-haruman kecuali jika
telah suci sedikitpun atau pada kuku-kuku.
Kedua, terjadinya perpisahan antara suami istri dalam
kehidupan, baik dengan sebab talak atau yang lain seperti fasakh. Dengan syarat
perpisahan setelah berhubungan. Hal ini berdasarkan firman Allah:
Hai nabi apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka
hendakklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya
(yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu. (QS. Ath-Thalaq (65):1).
Begitu pula firman-nya:
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru’. (QS. Al-Baqarah (2):228)
Adapun jika istri tidak bercampur maka tidak ada ‘iddah
baginya. Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya mak sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu
minta menyempurnakannya. (QS.AL-Ahsab (33): 49)
Ibnu Al-Qayyim telah menjelaskan hikmah disyariatkannya
‘iddah bahwa dalam syariat ‘iddah terdapat beberapa hukum, diantaranya ilmu
dalam melepaskan kekerabatan. Sehingga tidak terkumpul sperma dari dua orang
yang bersetubuh atau lebih banyak dari satu rahim, sehingga bercampurlah
keturunan dan menjadi rusak. Kaeran kerusakan tersebut syariah dan hikmah
mencegahnya, diantaranya:
a.
Keagungan
akan pentingnya akad ini, menghilangkan kekuatannya, dan menampakkan
kemulyaannya.
b.
Memberikan
waktu untuk kembali bagi orang yang bercerai. Diharapkan ia menyesal dan
kembali sehingga ia menemukan waktu yang memungkinkan untuk kembali.
c.
Memenuhi
hak suami, menampakkan pengaruh kehilangannya dalam mencegahdari berhias.
d.
Berhati
hati atas hak suami, kemaslahatan istri, hak anak, dan melaksanakan hak Allah
yang mewajibkannya
2.
Tujuan-tujuan ‘iddah antara lain sebagai berikut:
a.
‘iddah
perempuan haidh
b.
‘iddah
perempuan yang tidak haidh (monopouse)
c.
‘iddah
perempuan hamil
d.
‘iddah
perempuan yang ditinggal mati suaminya
e.
‘iddah
perempuan yang istihadhah
f.
‘iddah
perempuan yang belam bercampur dengan suaminya
3.
Wajibnya ‘iddah selain pernikahan yang sah
Seseorang
yang bersetubuh dengan perempuan secara syubhat (samar-samar) maka wajib bagi
perempuan untuk ber ‘iddah. Karena bersetubuh secara syubhat seperti bersetubuh
pada pernikahan. Oleh karena itu, sama seperti persetubuhan pernikahan sehingga
mengharuskan ‘iddah:
“sebagaimana
keharusan ‘iddah pada pernikahan rusak (yang tidak sah) jika telah terjadi
persetubuhan.
Seseorang
yang berzinah dengan perempuan, tidak wajib baginya ‘iddah karena ‘iddah karena
untuk memelihara nasab. Orang yang berzinah tidak menjadikan nasab. Ini adalah
pendapat madzhab hanafiyah, syafiiyah, Ats-Tsauri dan ini adalah pendapat dari
abu bakar dan umar.
Malik
dan ahmad berkat: “baginya ber-‘iddah, apakah ‘iddahnya selama tiga kali haidh
atau sekali haidh samapi selesai? Ada dua pendapat dari ahmad.
4.
Nafkah atas perempuan yang ber-‘iddah
Para
ulam fiqih telah bersepakat bahwa perempuan yang dicerai dengan talak raj’i memiliki
hak nafkah dan tempat tinggal. Mereka berbeda pendapat tentang perempuan yang
diputuskan, yaitu perempuan yang dicerai dengan talak ba’in yang tiada rujuk
kembali.
Abu
hanifah berkata : “baginya nafkah dan kenyamanan seperti perempuan yang dicerai
dengan talak raj’i karena ia terbebani dengan ketetapan masa ‘iddah dalam rumah
tangga.
Ahmad
mengatakan bahwa tidak ada nafkah dan tempat tinggal. Berdasarkan hadits
fatimah bi Qais, bahwa suaminya mencerainnya dengan talak ba’in. Kemudian ia
melapor kepada rasulullah. Ia tidak memiliki hak untuk mendapat nafkah.
Asy-syafiih
dan malik berkata: “ baginya tempat tinggal dalam setiap keadaan dan tidak ada
nafkah baginya kecuali ketika ia hamil. Kerena aisyah dan ibnu nusayyab
mengingkari hadits fatimah binti Qais.
Malik
berkata: “aku mendengar ibnu syihab berkata :’perempuan yang dicerai talak
ba’in tidak keluar sehingga halal. Ia tidak mendapatkan nafkah kecuali jika
hamil. Jika hamil ia akan diberikan nafkah sehingga melahirkan. ‘lalu ia
berkata :’ini merupakan pendapat kita”.[9]
C.
RUJUK
1. Pengertian Rujuk
Rujuk secara bahasa adalah kembali. Sedangkan menurut
istilah yakni kembalinya hubungan suami istri yang bercerai untuk meneruskan
atau membina rumah tangga kembali sebagai suami istri.[10]
Menurut Madzhab Hanafi rujuk adalah melangsungkan hak
milik yang ada tanpa adanya ganti rugi, selama masa iddah masih ada, atau
melanjutkan hubungan suami istri selama masih dalam masa iddah akibat talak
raj’i. Sedangkan menurut Jumhur Ulama rujuk adalah mengembalikan wanita yang
ditalak, selain talak ba’in, pada perkawinan selama wanita itu masih berada
dalam masa iddah tanpa akad yang baru.
2. Rukun dan Syarat rujuk
Adapun rukun rujuk menurut madzhab Syafi’i, yaitu:
a.
Sighat
(pernyataan kembali dari suami).
b.
Suami
yang akan melaksanakan rujuk.
Menurut madzhab Hambali, rukun rujuk yaitu:
a.
Sighat
(pernyataan kembali dari suami).
b.
Suami
yang akan melaksanakan rujuk.
c.
Jima’
(bersetubuh).
Sedangkan menurut madzhab Maliki rukun rujuk yaitu:
a.
Niat
suami yang menyatakan rujuknya.
b.
Istri
yang akan dirujuk.
Ulama fikih juga telah menetapkan syarat sahnya rujuk sebagai berikut:[11]
a.
Suami
yang melakukan rujuk adalah orang yang cakap bertindak hukum yaitu baligh dan
berakal.
b.
Suami
yang akan rujuk harus menyatakan dengan jelas keinginannya atau dapat juga dengan
sindiran. Sebagian ulama ada juga yang berpendapat boleh langsung dengan
perbuatan.
c.
Status
wanita yang sedang di talak haruslah dalam masa iddah.
d.
Rujuk
harus dilakukan secara langsung tanpa ada persyaratan-persyaratan yang dibuat
oleh suami.
3. Hukum Rujuk
Rujuk
asal hukumnya adalah boleh. Selanjutnya hukum rujuk bisa menjadi haram, makruh,
sunnah, dan wajib
apabila:[12]
a.
Haram, apabila dengan
rujuk pihak istri dirugikan, seperti keadaanya lebih menderita dibandingkan dengan
sebelumya.
b.
Makruh, apabila
diketahui bahwa meneruskan perceraian lebih bermanfaat bagi keduanya jika
dibandingkan dengan rujuk.
c.
Sunnah, apabila
diketahui bahwa dengan rujuk lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan
menuruskan perceraian.
d.
Wajib, khusus
bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu, jika salah seorang dithalak
sebelum gilirannya disempurnakan.
4. Hikmah Rujuk
Rujuk didalam islam mengandung beberapa hiknah, antara lain:[13]
a.
Menghindarkan
murka Allah karena talak itu sesuatu yang sangat dibenci.
b.
Sebagai
sarana untuk mempertanggug jawabkan anak-anak mereka secara bersama-sama, baik
dalam pemeliharaan, nafkah dan lain-lain.
c.
Sebagai
sarana untuk menjamin kembali pasangan suami istri yang bercerai, sehingga
pasangan tersebut bisa lebih hati-hati, saling menghargai dan menghormati, yang
pada akhirnya akan menciptakan pasangan yang serasi dan harmonis.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Talak diambil dari kata “ ithlaq” yang artinya melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan menurut istilah
talak adalah melepaskan ikatan perkawinanan atau bubarnya hubungan suami istri.
Menurut Sayyid Sabiq talak yaitu sebuah upaya untuk melepaskan ikatan
perkawinan dan selanjutnya mengkhiri hubungan perkawinan itu sendiri. Hukum
talak yaitu terdiri dari wajib, sunah, mubah, makruh dan haram dan rukun talak
itu terdiri dari suami, istri dan sighat talak. Salah satu hikmah talak yaitu sebagai jalan atau pintu darurat bagi
pasangan suami istri yang memang tidak mungkin lagi bersatu dalam ikatan rumah
tangga. Bahkan, apabila tidak menempuh jalan ini, salah satu atau keduanya akan
semakin menderita baik lahir maupun batin.
‘Iddah diambil dari kata al-add dan al-ihsha’, yaitu sesuatu yang dihitung
oleh perempuan, ia menempatinya dalam beberapa hari dan masa. ‘Iddah merupakan
nama untuk masa bagi perempuan untuk menunggu dan mencegahnya untuk masa
menikah setelah wafatnya suami atau berpisah dengannya.
Rujuk secara bahasa adalah kembali. Sedangkan menurut istilah yakni
kembalinya hubungan suami istri yang bercerai untuk meneruskan atau membina
rumah tangga kembali sebagai suami istri. Rukun meurut 4 madzhab yaitu sighat,
suami yang mentalak, jima’ (bersetubuh) dan ada niatan seorang suami untuk
rujuk kembali. Hukum rujuk ini boleh dilakukan, tetapi ada yang
membolehkan haram, makruh, sunah dan
wajib. Salah satu hikmah rujuk yaitu menghindarkan murka Allah karena
perceraian sangat dibenci dan rujuk akan menghindari perpecahan antar
kekerabatan diantara keluarga suami dan istri.
B. Saran
Penulis menulis makalah ini sadar akan banyaknya kekurangan dan
jauh dari hal kesempurnaan.
Masih banyak kesalahan dari makalah ini. Penulis membutuhkan kritik dan saran agar bisa menjadikan motivasi
bagi penulis agar
kedepan bisa lebih baik lagi. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada segala pihak yang telah
membantu hingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Saebani, Beni Ahmad dan Syamsul Falah, Hukum Perdata
Islam di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Manan, Abdul dan Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata
Wewenang Peradilan Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
‘Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad, Fikih Wanita,
Jakarta: Al-Kautsar, 2008.
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga
dalam Islam, Jakarta: Amzah, 2010..
Bakry, Hasbullah, Pedoman Islam di Indonesia,
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1988.
[1] Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, Hukum
Perdata Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm., 147.
[2] Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, Hukum
Perdata Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm., 147.
[3] Abdul Manan dan Fauzan, Pokok-Pokok
Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2002), hlm., 28.
[4] Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, Hukum
. . ., hlm., 151.
[5] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fikih
Wanita, (Jakarta: Al-Kautsar, 2008), hlm., 465.
[6] Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, Hukum Perdata . . ., hlm., 153-155.
[7] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fikih .
. , hlm., 476-477.
[8] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan
Agama, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hlm., 172.
[9] Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga
Pedoman Berkeluarga dalam Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm., 348-358.
[10] Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di
Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1988),
hlm., 188.
[11] Ibid., hlm., 267.
[12] Hasbullah Bakry, Pedoman Islam . . ., hlm.,
192.
[13] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum
Perdata . . ., hlm., 273.