Selamat Datang di Blog Kami. Blog ini meyediakan berbagai macam informasi seputar Pendidikan, Karya Tulis Ilmiah,Dan lain-lain. Membangun Indonesia Melalui Pendidikan

Makalah Talak, Iddah, dan Rujuk dalam Kajian Hukum Perdata Islam Indonesia

Untuk Mendapatkan File Makalah atau Artikel dibawah ini, Silahkan Klik Download! download
Talak diambil dari kata “ ithlaq” yang artinya melepaskan  atau meninggalkan. Sedangkan menurut istilah talak adalah melepaskan ikatan perkawinanan atau bubarnya hubungan suami istri.[1] Menurut Sayyid Sabiq talak yaitu sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengkhiri hubungan perkawinan itu sendiri.



 BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Suatu perkawinan dimaksudkan untuk membina hubungan yang harmonis antara suami istri, namun kenyataan membuktikan, bahwa untuk memelihara keharmonisan bersama suami istri bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan bahkan dalam hal perkara yang mudah dilaksanakan bahkan dalam hal kasih sayang pun sulit untuk diwujudkan dikarenakan faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomis, perbedaan kecenderungan pandangan hidup.
Munculnya perubahan pandangan hidup yang berbeda antara suami istri, timbulnya perselisihan pendapat antara keduanya, perubahan kecunderungan hati dan lain sebagainya harus dicarikan jalan keluarnya dengan baik. Jalan keluar pertama adalah keduanya mengadakan musyawarah untuk mufakat, sehingga permasalahan dapat diselesaikan dan keutuhan rumah tangga tetap dapat dipertahankan. Bila usaha yang dilakukan berdua tidak mendatangkan hasil, maka boleh meminta bantuan pihak lain yang dianggap dapat bertanggung jawab, terutama dari pihak keluarga terdekat suami maupun istri. Namun bila segala cara telah dicoba dan tidak juga mendatangkan hasil, maka jalan yang dianggap keduanya paling maslahat adalah berpisah. Perceraian memang menjadi pilihan yang paling akhir, dan sering dirasakan sebagai pilihan yang pahit bahkan mungkin menyakitkan, tapi meskipun perceraian sebagai suatu yang dibolehkan oleh agama tetapi sangat dibenci oleh Allah.
Akan tetapi diberbagai ayat Allah telah memberi sinyal kepada sepasang suami istri yang telah bercerai untuk melakukan rujuk. Dengan adanya syariat tentang rujuk ini merupakan indikasi bahwa islam menghendaki bahwa suatu perkawinan berlangsung selamanya. Oleh karena itu, kendati telah terjadi pemutusan hubugan perkawinan. Allah SWT masih memberi prioritas utama kepada suami untuk menyambung kembali tali perkawinan yang nyaris terputus sebelum kesempatan itu diberikan kepada orang lain setelah berakhirnya masa iddah bagi seorang perempuan.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalahnya adalah :
       1.      Apa yang dimaksud dengan talak, iddah dan rujuk ?
       2.      Bagaimana  hukum talak, iddah dan rujuk ?
       3.      Apa saja rukun dan syarat talak dan rujuk ?
       4.      Apa saja macam-macam talak dan iddah?
       5.      Bagaimana hikmah adanya talak, iddah dan rujuk ?

C.    Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari makalah ini adalah :
        1.      Mengetahui maksud dari talak, iddah dan rujuk.
        2.      Mengetahui hukum talak, iddah dan rujuk.
        3.      Mengetahui rukun dan syarat talak dan rujuk.
        4.      Mengetahui macam-macam talak dan iddah.
        5.      Mengetahui hikmah adanya talak, iddah dan rujuk.

D.    Manfaat

Hasil penulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca, khususnya mahasiswa sebagai tambahan pengetahuan tentang perceraian (talak), iddah dan rujuk. Dan masyarakat juga mengetahui tentang masalah perceraian (talak), iddah dan rujuk sesuai dengan syariat islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Talak (Perceraian)

1.      Pengertian Talak (Perceraian)

Talak diambil dari kata “ ithlaq” yang artinya melepaskan  atau meninggalkan. Sedangkan menurut istilah talak adalah melepaskan ikatan perkawinanan atau bubarnya hubungan suami istri.[2] Menurut Sayyid Sabiq talak yaitu sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengkhiri hubungan perkawinan itu sendiri.
Menurut UU. No.1/1974 Pasal 66 ayat 1 talak yaitu seorang suami yang beragama islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak.[3]
Sedangkan menurut Komplikasi Hukum Islam Pasal 117 talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 109, 130, 131.

2.      Hukum – Hukum Talak

Hukum – hukum talak yaitu sebagai berikut:[4]
a.       Wajib, hukum ini diperbolehkan jika thalak itu dijatuhkan oleh pihak hakim (penengah), karena perpecahan antara suami istri yang tidak mungkin disatukan kembali dan talak adalah satu-satunya jalan.
b.      Sunnah, hukum ini diperbolehkan jika talak itu disebabkan karena istri mengabaikan kewajibannya terhadap Allah. Sang istri dikategorikan rusak moralnya, padahal suami sudah berusaha untuk memperbaikinya. Menurut ulama, istri seperti itu tidak patut dipertahankan karena hal itu akan mempengaruhi keimanan suami dan tidak membuat ketenangan dalam rumah tangga.
c.       Mubah, hukum ini dibolehkan ketika ada keperluan seperti buruknya sikap istri terhadap suami, suami menderita karena tingkah laku istri dan suami tidak mencapai tujuan perkawinan karena istri.
d.      Makruh, dikarenakan talak itu menghilangkan perkawinan yang di dalamnya terkandung kemaslahatan-kemaslahatan yang sunah dan makruh merupakan hukum asal dari talak tersebut.
e.       Haram, yaitu talak tanpa alasan yang benar. Diharamkan karena menganiaya atau menyakiti istri yang akhirnya akan merugikan kedua belah pihak. Tidak ada guna dan kemaslahatan dari talak ini.

3.      Rukun dan Syarat Talak

Berikut ini yang merupakan rukun dan syarat talak, yaitu:[5]
a.       Suami
Yang mana selain suami tidak boleh mentalak. Talak yang dijatuhkan suami dianggap sah jika apabila suami dalam keadaan berakal, baligh, dan atas kemauan sendiri.
b.      Istri
Yaitu orang yang berada di bawah perlindungan suami dan ia adalah obyek yang akan mendapatkan talak. Talak yang dijatuhkan kepada istri hukumnya sah apabila istri masih dalam ikatan suami istri secara sah dan istri dalam keadaan iddah.
c.       Shighat Talak
Shighat talak ialah kata-kata yang diucapkan suami terhadap istrinya yang menunjukkan thalak, baik secara sharih (jelas)  maupun kinayah (sindiran), juga bisa dengan tulisan maupun isyarat.

4.      Macam – Macam Talak

a.       Dilihat dari pengaturannya talak ada dua macam, yaitu:[6]
1)      Ta’liq dimaksuskan seperti janji karena mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu kabar. Ta’liq seperti ini menurut Sayyid Sabiq disebut dengan ta’liq sumpah atau qasam. Misalnya seorang suami berkata kepada istrinya, “ Jika aku keluar rumah, engkau tertalak.” Maksudnya, suami melarang istrinya keluar rumah ketika suaminya tidak ada dirumah.
2)      Talak yang dijatuhkan untuk menjatuhkan talak bila telah terpenuhi syaratnya. Talak seperti ini desebut disebut dengan ta’liq syarat. Misalnya seorang suami berkata kepada istrinya, “Jika engkau  membebaskan aku dari sisa membayar maharnya, engkau tertalak.”
b.      Dilihat dari ketentuan macamnya talak ada dua macam, yaitu:
1)      Talak sunni (sunnah) yaitu talak yang berjalan sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seorang suami menalak istri yang telah digaulinya dengan sekali talak pada masa bersih dan belum is sentuh kembali selama bersih itu.
2)      Talak bid’i yaitu talak yang menyalahi ketentuan agama, misalnya talak yang diucapkan dengan tiga kali talak pada wktu bersamaan atau talak dengan ucapan talak tiga, atau menalak istri yang dalam keadaan sedang haid atau menalak istri dalam keadaan suci, tetapi sebelumnya telah dicampuri.
c.       Dilihat dari berat ringannya talak ada dua macam , yaitu:
1)      Talak raj’i yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang telah dikumpuli, bukan talak yang karena tebusan, bukan pula talak yang ketiga kalinya. Suami secara langsung dapat kembali kepada istrinya yang dalam masa iddah tanpa harus melakukan akad nikah yang baru.
2)      Talak ba’in yaitu talak yang tidak dapat rujuk oleh suami, kecuali dengan perkawinan baru walaupun dalam masa iddah, seperti talak perempuan yang belum digauli. Talak bai’in ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a)      Ba’in shugra yaitu talak yang dapat memutuskan ikatan perkawinan, artinya jika sudah terjadi talak, istri sudah bebas menentukan pilihannya setelah habis masa iddahnya. Suami pertama dapat rujuk dengan akad perkawinan yang  baru.
b)      Ba’in kubra yaitu substansinya suami tidak dapat rujuk kepada istrinya, kecuali istrinya telah menikah dengan laki-laki yang lain dan bercerai kembali.
3)      Talak khulu’. Khulu’ adalah tebusan yang dibayar oleh seorang istri kepada suami yang membencinya, agar ia (suami) dapat menceraikannya. Khulu’ adalah fasakh nikah maka fasakh nikah bukan termasuk talak, tetapi para ulama menegaskan substansinya yang sama dengan talak. Talak dengan cara ini diperbolehkan dalam hukum islam dengan disertai beberapa hukum perbedaan dengan talak biasa.
Khulu’ hanya dibolehkan kalau ada alasan yang tepat seperti suami meninggalkan  istrinya selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin istrinya serta alasan yang sah, atau suami seorang yang murtad dan tidak memenuhi kewajiban terhadap istrinya, sedangkan istri khawatir akan melanggar hukum Allah. Dalam kondisi ini seperti ini istri tidak wajib menggauli suami dengan baik dan ia berhak untuk khulu’.
d.      Dilihat dari kata-kata atau sighat yang digunakan, talak terdiri dari dua macam, yaitu:
1)      Sarih (terang) yaitu kalimat yang tidak ragu-ragu lagi bahwa yang dimaksud adalah memutuskan ikatan perkawinan, seperti kata si suami, “ Engkau tertalak,” atau “ Saya ceraikan engkau.”
2)      Kinayah (sendirian) yaitu kalimat yang masih ragu-ragu , boleh diartikan untuk penceraian nikah dengan orang lain, seperti kata suami, “ Pulanglah engkau ke rumah keluargamu”, atau “Pergilah dari sini” dan sebagainya.

5.      Penyebab Terjadinya Talak

            Berikut ini keadaan yang menyebabkan putusan talak, yaitu:[7]
a.       Talak karena suami tidak memberi nafkah
      Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad membolehkan talak antara suami dan istri karena sang suami tidak memberi nafkah, yaitu melalui keputusan hakim. Itupun jika istri menghendakinya. Sedangkan ulama madzhab Hanafi tidak membolehkannya, baik itu disebabkan adanya keengganan suami untuk memberikan nafkah, karena kesulitan maupun tidakkemampuan suami memberikan nafkah kepada istrinya.
b.      Talak karena bahaya yang mengancam
      Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat bahwa seorang istri mempunyai hak untuk meminta talak melalui seorang hakim jika melihat adanya bahaya yang dilakukan oleh suami terhadap dirinya. Misalnya, kebiasaan memukul atau perlakuan kasar atau tindakan menyakitkan lainnya yang ia tidak mampu menahannya. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Imam As-Syafi’i tidak membolehkan seorang istri meminta talak kepada suaminya karena adanya bahaya dari pihak suaminya. Yang demikian, itu karena tidak diperbolehkannya pemaksaan suami terhadap istri untuk mentaatinya.
c.       Talak karena kepentingan suami
      Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat bahwa seorang istri diperbolehkan meminta talak untuk menghindari penderitaan yang dialaminya karena kepergian suami dalam waktu yang cukup lama tanpa adanya alasan yang membolehkan. Minimal meninggalkan istrinya selama 1 tahun. Imam Ahmad menambahkan bahwa batas waktu minimal yang membolehkan seorang istri meminta talak karena kepergian suaminya adalah 6 bulan karena masa tersebut merupakan puncak dimana seorang istri harus bersabar atas kepergian suaminya.
d.      Talak karena suami dipenjara
      Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat bahwa seorang istri juga diperbolehkan meminta talak karena hukuman penjara yang dijalani oleh suaminya. Karena hukuman penjara tersebut akan menyebabkan seorang istri menderita.
Penceraian harus berdasarkan alasan yang secara limitatif ditentukan:
a.    Zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.   Meninggalkan tanpa izin 2 tahun berturut-turut.
c.    Dihukum 5 tahun ke ataas.

6.      Hikmah Talak

            Berikut ini hikmah talak, yaitu:[8]
a.       Sebagai jalan atau pintu darurat bagi pasangan suami istri yang memang tidak mungkin lagi bersatu dalam ikatan rumah tangga. Bahkan, apabila tidak menempuh jalan ini, salah satu atau keduanya akan semakin menderita baik lahir maupun batin.
b.      Sebagai sarana untuk dapat memilih pasangan hidup yang lebih baik, cocok dan harmonis dari sebelumnya.
c.       Akan membawa seseorang sadar bahwa hidup berumah tangga sangat rentang dari gangguan pihak lain. Tidak bisa masing-masing pihak bersi keras atas kemauannya sendiri.
d.      Membuat seseorang menjadi sabar dan mawas diri bahwa semua tata kehidupan di dunia pada dasarnya atas kehendak Allah.

B.     Iddah

1.      Pengertian iddah

‘Iddah diambil dari kata al-add dan al-ihsha’, yaitu sesuatu yang dihitung oleh perempuan, ia menempatinya dalam beberapa hari dan masa. ‘Iddah merupakan nama untuk masa bagi perempuan untuk menunggu dan mencegahnya untuk masa menikah setelah wafatnya suami atau berpisah dengannya.
‘Iddah terhitung sejak adanya sebab – sebabnya, yaitu wafat dan talak.
‘Iddah telah dikenal pada masa jahiliyah. Mereka  tidak menginginkan dan meninggalkan ‘iddah. Ketika islam datang ditetapkanlah ‘iddah karena di dalamnya mengandung kemaslahatan.
Ulama telah sepakat atas kewajiban ‘iddah, berdasarkan firman Allah :
Wanita – wanita yang di talak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. (QS. Al – Baqarah (2) : 228).
Quru’ dapat di artikan suci atau haidh.
Dan juga ucapan rasulullah kepada fatima binti qais:
Ber’iddahlah kamu diruma IBNU UMMI MAKTUM.
‘iddah memiliki dua sebab;Pertama, wafatnya suami baik ia telah berkumpul dengannya atau belum berkumpul dengannya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
Orang orang yang meninggal dunia diantaranya dengan meninggalkan istri-istri (hendakklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS. AL-Baqarah (2):234).
Dan juga berdasarkan ucapan rasulullah:jangannlah seorang perempuan berkabung atas mayyit lebih dari tiga hari kecuali kepada suami selama empat bulan sepuluh hari, ia tidak memakai pakaian yang ditenung kecuali pakaian dari asab, tidak bercelak, tidak memakai harum-haruman kecuali jika telah suci sedikitpun atau pada kuku-kuku.
Kedua, terjadinya perpisahan antara suami istri dalam kehidupan, baik dengan sebab talak atau yang lain seperti fasakh. Dengan syarat perpisahan setelah berhubungan. Hal ini berdasarkan firman Allah:
Hai nabi apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendakklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu. (QS. Ath-Thalaq (65):1).
Begitu pula firman-nya:
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. (QS. Al-Baqarah (2):228)
Adapun jika istri tidak bercampur maka tidak ada ‘iddah baginya. Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya mak sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. (QS.AL-Ahsab (33): 49)
Ibnu Al-Qayyim telah menjelaskan hikmah disyariatkannya ‘iddah bahwa dalam syariat ‘iddah terdapat beberapa hukum, diantaranya ilmu dalam melepaskan kekerabatan. Sehingga tidak terkumpul sperma dari dua orang yang bersetubuh atau lebih banyak dari satu rahim, sehingga bercampurlah keturunan dan menjadi rusak. Kaeran kerusakan tersebut syariah dan hikmah mencegahnya, diantaranya:
a.       Keagungan akan pentingnya akad ini, menghilangkan kekuatannya, dan menampakkan kemulyaannya.
b.      Memberikan waktu untuk kembali bagi orang yang bercerai. Diharapkan ia menyesal dan kembali sehingga ia menemukan waktu yang memungkinkan untuk kembali.
c.       Memenuhi hak suami, menampakkan pengaruh kehilangannya dalam mencegahdari berhias.
d.      Berhati hati atas hak suami, kemaslahatan istri, hak anak, dan melaksanakan hak Allah yang mewajibkannya  
2.      Tujuan-tujuan ‘iddah antara lain sebagai berikut:
a.       ‘iddah perempuan haidh
b.      ‘iddah perempuan yang tidak haidh (monopouse)
c.       ‘iddah perempuan hamil
d.      ‘iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya
e.       ‘iddah perempuan yang istihadhah
f.       ‘iddah perempuan yang belam bercampur dengan suaminya
3.      Wajibnya ‘iddah selain pernikahan yang sah
Seseorang yang bersetubuh dengan perempuan secara syubhat (samar-samar) maka wajib bagi perempuan untuk ber ‘iddah. Karena bersetubuh secara syubhat seperti bersetubuh pada pernikahan. Oleh karena itu, sama seperti persetubuhan pernikahan sehingga mengharuskan ‘iddah:
“sebagaimana keharusan ‘iddah pada pernikahan rusak (yang tidak sah) jika telah terjadi persetubuhan.
Seseorang yang berzinah dengan perempuan, tidak wajib baginya ‘iddah karena ‘iddah karena untuk memelihara nasab. Orang yang berzinah tidak menjadikan nasab. Ini adalah pendapat madzhab hanafiyah, syafiiyah, Ats-Tsauri dan ini adalah pendapat dari abu bakar dan umar.
Malik dan ahmad berkat: “baginya ber-‘iddah, apakah ‘iddahnya selama tiga kali haidh atau sekali haidh samapi selesai? Ada dua pendapat dari ahmad.
4.      Nafkah atas perempuan yang ber-‘iddah
Para ulam fiqih telah bersepakat bahwa perempuan yang dicerai dengan talak raj’i memiliki hak nafkah dan tempat tinggal. Mereka berbeda pendapat tentang perempuan yang diputuskan, yaitu perempuan yang dicerai dengan talak ba’in yang tiada rujuk kembali.
Abu hanifah berkata : “baginya nafkah dan kenyamanan seperti perempuan yang dicerai dengan talak raj’i karena ia terbebani dengan ketetapan masa ‘iddah dalam rumah tangga.
Ahmad mengatakan bahwa tidak ada nafkah dan tempat tinggal. Berdasarkan hadits fatimah bi Qais, bahwa suaminya mencerainnya dengan talak ba’in. Kemudian ia melapor kepada rasulullah. Ia tidak memiliki hak untuk mendapat nafkah.
Asy-syafiih dan malik berkata: “ baginya tempat tinggal dalam setiap keadaan dan tidak ada nafkah baginya kecuali ketika ia hamil. Kerena aisyah dan ibnu nusayyab mengingkari hadits fatimah binti Qais.
Malik berkata: “aku mendengar ibnu syihab berkata :’perempuan yang dicerai talak ba’in tidak keluar sehingga halal. Ia tidak mendapatkan nafkah kecuali jika hamil. Jika hamil ia akan diberikan nafkah sehingga melahirkan. ‘lalu ia berkata :’ini merupakan pendapat kita”.[9]

C.    RUJUK

1.      Pengertian Rujuk

Rujuk secara bahasa adalah kembali. Sedangkan menurut istilah yakni kembalinya hubungan suami istri yang bercerai untuk meneruskan atau membina rumah tangga kembali sebagai suami istri.[10]
Menurut Madzhab Hanafi rujuk adalah melangsungkan hak milik yang ada tanpa adanya ganti rugi, selama masa iddah masih ada, atau melanjutkan hubungan suami istri selama masih dalam masa iddah akibat talak raj’i. Sedangkan menurut Jumhur Ulama rujuk adalah mengembalikan wanita yang ditalak, selain talak ba’in, pada perkawinan selama wanita itu masih berada dalam masa iddah tanpa akad yang baru.

2.      Rukun dan Syarat rujuk

Adapun rukun rujuk menurut madzhab Syafi’i, yaitu:
a.       Sighat (pernyataan kembali dari suami).
b.      Suami yang akan melaksanakan rujuk.
Menurut madzhab Hambali, rukun rujuk yaitu:
a.       Sighat (pernyataan kembali dari suami).
b.      Suami yang akan melaksanakan rujuk.
c.       Jima’ (bersetubuh).
Sedangkan menurut madzhab Maliki rukun rujuk yaitu:
a.       Niat suami yang menyatakan rujuknya.
b.      Istri yang akan dirujuk.
Ulama fikih juga telah menetapkan syarat sahnya rujuk sebagai berikut:[11]
a.       Suami yang melakukan rujuk adalah orang yang cakap bertindak hukum yaitu baligh dan berakal.
b.      Suami yang akan rujuk harus menyatakan dengan jelas keinginannya atau dapat juga dengan sindiran. Sebagian ulama ada juga yang berpendapat boleh langsung dengan perbuatan.
c.       Status wanita yang sedang di talak haruslah dalam masa iddah.
d.      Rujuk harus dilakukan secara langsung tanpa ada persyaratan-persyaratan yang dibuat oleh suami.

3.      Hukum Rujuk

Rujuk asal hukumnya adalah boleh. Selanjutnya hukum rujuk bisa menjadi haram, makruh, sunnah, dan wajib apabila:[12]
a.       Haram, apabila dengan rujuk pihak istri dirugikan, seperti keadaanya lebih menderita dibandingkan dengan sebelumya.
b.      Makruh, apabila diketahui bahwa meneruskan perceraian lebih bermanfaat bagi keduanya jika dibandingkan dengan rujuk.
c.       Sunnah, apabila diketahui bahwa dengan rujuk lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan menuruskan perceraian.
d.      Wajib, khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu, jika salah seorang dithalak sebelum gilirannya disempurnakan.

4.      Hikmah Rujuk

Rujuk didalam islam mengandung beberapa hiknah, antara lain:[13]
a.       Menghindarkan murka Allah karena talak itu sesuatu yang sangat dibenci.
b.      Sebagai sarana untuk mempertanggug jawabkan anak-anak mereka secara bersama-sama, baik dalam pemeliharaan, nafkah dan lain-lain.
c.       Sebagai sarana untuk menjamin kembali pasangan suami istri yang bercerai, sehingga pasangan tersebut bisa lebih hati-hati, saling menghargai dan menghormati, yang pada akhirnya akan menciptakan pasangan yang serasi dan harmonis.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Talak diambil dari kata “ ithlaq” yang artinya melepaskan  atau meninggalkan. Sedangkan menurut istilah talak adalah melepaskan ikatan perkawinanan atau bubarnya hubungan suami istri. Menurut Sayyid Sabiq talak yaitu sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengkhiri hubungan perkawinan itu sendiri. Hukum talak yaitu terdiri dari wajib, sunah, mubah, makruh dan haram dan rukun talak itu terdiri dari suami, istri dan sighat talak. Salah satu hikmah talak yaitu sebagai jalan atau pintu darurat bagi pasangan suami istri yang memang tidak mungkin lagi bersatu dalam ikatan rumah tangga. Bahkan, apabila tidak menempuh jalan ini, salah satu atau keduanya akan semakin menderita baik lahir maupun batin.
‘Iddah diambil dari kata al-add dan al-ihsha’, yaitu sesuatu yang dihitung oleh perempuan, ia menempatinya dalam beberapa hari dan masa. ‘Iddah merupakan nama untuk masa bagi perempuan untuk menunggu dan mencegahnya untuk masa menikah setelah wafatnya suami atau berpisah dengannya.
Rujuk secara bahasa adalah kembali. Sedangkan menurut istilah yakni kembalinya hubungan suami istri yang bercerai untuk meneruskan atau membina rumah tangga kembali sebagai suami istri. Rukun meurut 4 madzhab yaitu sighat, suami yang mentalak, jima’ (bersetubuh) dan ada niatan seorang suami untuk rujuk kembali. Hukum rujuk ini boleh dilakukan, tetapi ada yang membolehkan  haram, makruh, sunah dan wajib. Salah satu hikmah rujuk yaitu menghindarkan murka Allah karena perceraian sangat dibenci dan rujuk akan menghindari perpecahan antar kekerabatan diantara keluarga suami dan istri.

B.     Saran

Penulis menulis makalah ini sadar akan banyaknya kekurangan dan jauh dari hal kesempurnaan. Masih banyak kesalahan dari makalah ini. Penulis membutuhkan kritik dan saran agar bisa menjadikan motivasi bagi penulis agar kedepan bisa lebih baik lagi. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada segala pihak yang telah membantu hingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Saebani, Beni Ahmad dan Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Manan, Abdul dan Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
‘Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad, Fikih Wanita, Jakarta: Al-Kautsar, 2008.
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, Jakarta: Amzah, 2010..
Bakry, Hasbullah, Pedoman Islam di Indonesia, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1988.


[1] Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm., 147.
[2] Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm., 147.
[3] Abdul Manan dan Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm., 28.
[4] Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, Hukum . . ., hlm., 151.
[5] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fikih Wanita, (Jakarta: Al-Kautsar, 2008), hlm., 465.
[6] Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, Hukum  Perdata . . ., hlm., 153-155.
[7] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fikih . . , hlm., 476-477.
[8] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hlm., 172.
[9] Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm., 348-358.
[10] Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1988), hlm., 188.
[11] Ibid., hlm., 267.
[12] Hasbullah Bakry, Pedoman Islam . . ., hlm., 192.
[13] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata . . ., hlm., 273.