BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seperti
halnya rasionalisme dan para filsuf rasionalis, emperisme dan juga para filsuf
emperis, sesungguhnya ingin menanggapi persoalan yang diajukan skeptesisme:
bagaimana kita bisa sampai pada pengetahuan yang pasti benar? Seperti kaum
rasionalis, kaum emperisis pun ingin mencari dasar yang kokoh, dasar pembenaran
bagi pengetahuan sejati. Mereka juga ingin mencari bukti yang kuat bagi
pengetahuan yang benar. Mereka pun berusaha menemukan pembenaran, atau
pembuktian yang kokoh bagi pengetahuan manusia. Mereka pun menuntut kepastian
akan kebenaran pengetahuan manusia, dan karena itu menolak pengetahuan yang
tidak didasarkan pada bukti yang meyakinkan.[1]
Paham emperisme dikembangkan oleh John Locke (1632-1704), George Berkeley
(1685-1759), David Hume (1711-1776),[2]
Francis Bacon (1210-1292), Thomas Hobbes (1588-1679) dan Herbert Spencer
(1820-1903). Paham ini sangat mementingkan peranan indera.
Jika
paham rasionalisme lebih banyak berhubungan dengan penalaran deduktif, paham
emperisme lebih banyakn berhubungan dengan penalaran induktif. Induktif
berpangkal pada sejumlah fakta dan emperik untuk menyusun suatu penjelasan
umum. Menurut Hadiwijono kaum emperisma sama sekali tidak menolak rasionalisme
sepanjamg dipergunakan dalam rangka emperisme atau rasionalisme dilihat dalam
rangka emperisme.
Penalaran
induktif pun ada kelemahannya karena bisa dipengaruhi oleh unsure-unsur
subyektif. Di samping itu suatu fakta yang sama dapat mempunyai arti yang berbeda bagi
orang lain. Ahli-ahli yang berpaham rasionalisme mengatakan bahwa memang
pengamatan indrawi itu penting, namun fakta-fakta itu hanya akan berarti bila
diberi arti oleh manusia dengan memakai rasionya.[3]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Pengertian
emperisme?
2.
Bagaimana pandangan
tokoh-tokoh tentang emperisme?
3.
Apa hal-hal
penting dan bagaimana kelemahan-kelemahan yang perlu di garisbawahi menyangkut
pandangan emperime?
C.
Tujuan
1.
Menjelaskan
pengertian emperisme.
2.
Menjelaskan
pandangan tokoh-tokoh tentang emperisme.
3.
Menjelaskan
hal-hal penting dan kelemahan-kelemahan yang perlu di garisbawahi menyangkut
pandangan emperisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Emperisme
Kata ini berasal dari kata yunani empeirikos,
artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata yunaninya, pengalaman yang
dimaksud ialah pengalaman indrawi.[4]
Emperisme
adalah paham filosofis yang mengatakan bahwa sumber satu-satunya bagi
pengetahuan manusing paling adalah pengalaman. Yang paling pokok untuk bisa
sampai pada pengetahuan yang benar, menurut kaum empiris, adalah data dan fakta
yang ditangkap oleh pancaindera kita. Dengan kata lain, satu-satunya
pengetahuan yang benar adalah yang diperoleh melalui pengalaman dan pengamatan
pancaindra. Maka, sumber pengetahuan adalah pengalaman dan pengamatan
pancaindra tersebut yang memberi data dan fakta pengetahuan kita. Semua konsep
dan ide yang kita anggap benar sesungguhnya bersumber dari pengalaman kita
dengan objek yang kita tangkap melalui pancaindra.
Atas dasar ini, bagi kaum empiris, semua
pengetahuan manusia bersifat empiris. Pengetahuan yang benar dan sejati, yaitu
pengetahuan yang pasti benar adalah pengetahuan indrawi, pengetahuan empiris.
Pengalaman yang dimaksud adlah pengalaman yang
tejadi melalui dan berkat bantuan pancaindra. Pengalaman semacam ini berkaitan
dengan data yang ditangkap melalui pancaindra., khususnya yang bersifat spontan
dan langsung. Dengan kata lain, pengalaman/percobaan/pengamatan, penelitian
langsung di lapangan untuk mengumpulkan fakta dan data, itulah yang merupakan
titik tolak dari pengetahuan manusia karena pada dasarnya kita tahu tentang
sesuatu hanya berdasarkandan hanya dengan titik tolak pengalaman inderawi kita.
Tidak ada sumber pengetahuan lain selain pengalaman. Maka, pancaindra- dan
bukan akal budi- memainkan peranan penting dengan menyajikan bagi kita
pengalaman langsung dengan objek tertentu.[5]
B.
Pandangan Tokoh-Tokoh
Tentang Emperisme
1.
John Locke
(1632 - 1704)
Salah
seorang penganut emperisme, yang juga “bapak emperisme” mengatakan bahwa pada
waktu manusia dilahirkan, keadaan akalnya masih bersih, ibarat kertas yang
kosong yang bertuliskan apa pun (tabula rasa). Pengetahuan baru muncul ketika
indra manusia menimba pengalaman dengan cara melihat dan mengamati
berbagaikejadian dalam kehidupan. Kertas mulai bertuliskan berbagai pengalaman
indrawi. Seluruh sisa pengetahuan diperoleh dengan jalan menggunakan serta
memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari pengindraan serta refleksi yang
pertama dan sederhana.
2.
George Berkeley
(1685 - 1753)
Berpandangan bahwa seluruh gagasan dalam pikiran atau ide
datang dari pengalaman. Oleh karena itu, tidak ada jatah ruang bagi gagasan
yang lepas begitu saja dari pengalaman dan idea tidak bersifat independen.
Pengalaman konkret atau “mutlak” sebagai sumber pengetahuan utama bagi manusia,
karena penalaran bersifat abstrak dan membutuhkan rangsangan dari pengalaman.
Berbagai gejala fisikal akan ditangkap oleh indra dan dikumpulkan dalam daya
ingat manusia, sehingga pengalaman indrawi menjadi akumulasi pengetahuan yang
berupa fakta-fakta. Kemudian, upaya faktualisasinya dibutuhkan akal. Dengan
demikian, fungsi akal tidak sekadar menjelaskan dalam bentuk-bentuk khayali
semata-mata, melainkan dalam konteks yang realistic.
3.
Francis Bacon (1210
- 1292)
Yang
diterima orang melalui persentuhan indrawi dan dunia fakta. Pengalaman
merupakan sumber pengetahuan sejati. Pengetahuan haruslah dicapai dengan
induksi. Kata Bacon selanjutnya bahwa kits sudah terlalu lama dipengaruhi oleh
metode deduktif. Dari dogma-dogma diambil kesimpulan. Menurut Bacon, ilmu yang
benar adalah yang telah terakumulasi antara pikiran dan kenyataan, kemudian
diperkuat oleh sentuhan indrawi.
4.
Thomas Hobbes (1588
- 1679)
Sebagaimana
umumnya penganut emperisme, Hobbes beranggapan bahwa pengalaman merupakan
permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain semacam
perhitungan, yaitu penggabungan data-data indrawi yang sama dengan cara
berlain-lainan. Tentang dunia dan manusia, ia dapat dikatakan sebagai penganut
materialis. Oleh karena itu, ajaran Hobbes merupakan sistem materialistis yang
pertama dalam sejarah modern.
5.
David Hume
(1711 - 1776)
Emperisme
berpuncak pada David Hume sebab ia menggunakan prinsip-prinsip emperistis
dengan cara yang paling radikal, tertama pengertian substansi dan kausalitas (hubungan
sebab akibat) yang menjadi objek kritiknya. Ia tidak menerima substansi, sebab
yang dialami ialah kesan-kesan saja tantang beberapa ciri yang selalu terdapat
bersama-sama (misalnya: putih, licin, berat dan sebagainya). Akan tetapi, atas
dasar pengalaman tidak dapat disimpulkan bahwa di belakang cirri-ciri itu masih
ada suatu substansi tetap (misalnya: sehelai kertas yang yang mempunyai
cirri-ciri tadi). Sebagai seorang empiris, Hume tampak lebih konsekuen daripada
Barkeley.
6.
Herbert Spencer
(1820 - 1903)
Emperismenya
terlihat jelas dalam filsafatnya tentang the great unknowable. Menurut Spencer, kita hanya dapat mengenali
fenomena-fenomena atau gejala-gejala. Memang benar di belakang gejala-gejala
itu ada suatu dasar absolute, tetapi yang absolute itu tidak dapat dita kenal.
Secara prinsip, pengenalan kita hanya menyangkut relasi-relasi antara
gejala-gejala. Di belakang
gejala-gejala ada sesuatu yang oleh Spencer disebut yang tidak diketahui (the
great unknowable). [6]
C.
Kelemahan-Kelemahan
dan Hal-Hal Yang Perlu Di Garisbawahi Menyangkut Pandangan Emperisme.
1.
Indera
terbatas, benda yang jauh kelihatan kecil, apakah ia benar-benar kecil?
Ternyata tidak. Keterbatasan inderalah yang menggambarkan seperti itu. Dari
sini akan terbentuk pengetahuan yang salah.
2.
Indera menipu,
pada orang yang sakit malaria gula rasanya pahit, udara akan terasa dingin. Ini
akan menimbulkan pengetahuan emperis yang salah juga.
3.
Objek yang
menipu, contohnya fatamorgana dan ilusi. Jadi objek itu sebenarnya tidak
sebagaimana ia ditangkap oleh indera, ia membohongi indra.
4.
Berasal dari indra dan objek sekaligus. Dalam hal ini,
indra (mata) tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan kerbau
itu juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan. Kesimpulannya
ialah emperisme lemah karena keterbatasan indera manusia.[7]
Pertama, kaum emperis mengakui bahwa persepsi atau
proses pengindraan sampai tingkat tertentu tidak dapat diragukan (indubitable).
Sampai tingkat tertentu, persepsinya bebas dari kemungkinan salah
atau keliru karena kekeliruan tidak punya tempat pada apa yang “terberikan”
(given). Sesuatu yang given sampai tingkat tertentu harus diterima sebagai
nyata, tidak keliru, tak teragukan. Bagi hume dan kaum empiris lainnya, persepsi tidak bisa
diragukan. Yang keliru adalah daya nalar manusia dalam menangkap dan memutuskan
apa yang ditangkap pancaindra itu. Menurut kaum emperis, tidak bisa diragukan
bahwa ada kebenaran tertentu yang diberikan oleh pengalaman indarawi kita.
Bahkan satu-satunya pengetahuan sejati adalah pengetahuan lewat pengalaman.
Kedua, dari emperisme hume terlihat jelas bahwa
emperisme hanyalah sebuah tesis tentang pengetahuan emperis, yaitu pengetahuan
tentang dunia yang berkaitan dengan pengalaman manusia. Emperis tidak bermaksud
menyangktut pule pengetahuan apriori semacam ilmu ukur dan matematika. Kaum
emperis mengakui bahwa ada pengetahuan tetentu yang tidak diperoleh melaui
pengalaman indrawi.
Ketiga, karena lebih menekankan pengalaman sebagai
sumber pengetahuan manusia, kaum emperis
jadinya lebih menekankan metode pengetahuan induktif, yaitu cara kerja
ilmu-ilmu emperis yang mendasarkan diri pada pengamatan, pada eksperimen untuk
bisa sampai pada pengetahuan yang umum tak terbantahkan. Oleh karena itu,
pengetahuan yang ditekankan kaum emperis adalah pengetahuan aposterriori.
Keempat, kepastian mengenai pengetahuan emperis harus
dicek berdasarkan pengamatan, data, pengalaman dan bukan berdasarkan akal budi.
Bagi kaun emperis, pengalaman dapat memberikan pembuktian tertentu secara
langsung dan pasti tentang proposisi tertentu, dan bahwa dari proposisi ini bisa
ditarik proposisi lainnya.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Emperisme
adalah paham filosofis yang mengatakan bahwa sumber satu-satunya bagi
pengetahuan manusia adalah pengalaman. Yang paling pokok untuk bisa sampai pada
pengetahuan yang benar, menurut kaum emperis, adalah data dan fakta yang
ditangkap oleh pancaindra.
Pandangan
tokoh-tokoh tentang emperisme, tokoh-tokohnya antara lain, John Locke, George
Berkeley, francis bacon, Thomas hobbes, david hume, dan Herbert spencer.
Kelemahan-kelemahan
emperisme yakni, indra terbatas, indra menipu, objek yang menipu dan berasal dari
indra dan objek sekalgus.
Beberapa hal
yang perlu di garisbawahi menyangkut pandangan emperisme, kaum emperis mengakui
bahwa persepsi atau proses pengindraan sampai tingkat tertentu tidak dapat
diragukan (indubitable). Dari emperisme Hume terlihat jelas bahwa
emperisme hanyalah sebuah tesis tentang pengetahuan emperis. Karena lebih
menekankan pengalaman sebagai sumber pengetahuan manusia, kaum emperis jadinya
lebih menekankan metode pengetahuan induktif. Kepastian mengenai pengetahuan
emperis harus dicek berdasarkan pengamatan, data, pengalaman dan bukan
berdasarkan akal budi.
B.
Saran
Dengan adanya makalah ini kami berharap agar makalah ini bermanfaat
bagi pembaca serta dapat dijadikan acuan mengenai pembahasan-pembahasan yang
terdapat di dalamnya. Makalah ini kami buat dengan basmalah sebagai pemulanya
dan hamdalah sebagai pamungkasnya. Jika pembaca menemukan kesalahan-kesalahan
dalam penulisan, kami mohon maaf karena kami masih dalam tahap pembelajaran.
Semoga kita semua mendapat hal positif dalam makalah ini. Amin.
DAFTAR RUJUKAN
Abdul, Atang Hakim Dan Beni Ahmad Saebani. 2008. Filsafat umum.
Bandung : Pustaka Setia.
Bagoes, Ida
Mantra. 2004. Filsafat Penelitian Dan
Metode Penelitian Social. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bakhtiar, Amsal. 2014. Filsafat ilmu. Jakarta : Rajagrafindo
Persada.
Sonny, A Keraf Dan Mikhael Dua. 2001. Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta :
Kanisius.
[1] A.
Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisus,
2001), hlm. 49.
[2]
Ida Bagoes Mantra, Filsafat Penelitian Dan Metode Penelitian Social,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 19.
[3]
Ida Bagoes Mantra, Filsafat Penelitian Dan Metode Penelitian Social, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 19.
[4]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2014), hlm.
98.
[5] A.
Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisus,
2001), hlm. 49
[6]Atang
Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2008), hlm. 267.
[7]Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2014), hlm.
102.
[8] A.
Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisus,
2001), hlm. 55.
No comments:
Post a Comment