Selamat Datang di Blog Kami. Blog ini meyediakan berbagai macam informasi seputar Pendidikan, Karya Tulis Ilmiah,Dan lain-lain. Membangun Indonesia Melalui Pendidikan

Pengertian wasiat wajibah, Dasar hukum wasiat wajibah, Perhitungan, Pemberian, Penggantian kedudukan

Untuk Mendapatkan File Makalah atau Artikel dibawah ini, Silahkan Klik Download! download

Wasiat adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sukarela dalam segala keadaan, karenanya tidak ada dalam syariat islam sesuatu wasiat yang wajib dilakukan dengan putusan hakim. wasiat wajibah merupakan kebijakan penguasa yang bersifat memaksa untuk memberikan untuk memberikan wasiat kepada orang tertentu dalam keadan tertentu.
 
BAB 1
PENDAHULUAN
      A.    Latar Belakang
Islam merupakan agama yang mengatur serta menunjukkan kita menjadi umat yang bertakwa kepada tuhan, bertakwa tidak hanya menjalankan shalat maupun puasa tetapi mempelajari dunia, salah satunya yaitu tentang fiqih mawaris yaitu ilmu yang membahas tentang kewarisan misalnya, jumlah waris dan hak waris, pembagian harta peninggalan dalam hukum islam tidak hanya dilihat dari sudut pandang ahli waris yang menerima harta peninggalan pewaris kepada ahli waris. Tatacara peralihan harta peninggalan pewaris kepada ahli waris dapat dilakukan dengan cara wasiat. Wasiat dalam hukum islam di indonsia belum diatur secara material dalam suatu undang-undang seperti kewarisan barat dalam kitab undang-undang hukum perdata.

      B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian wasiat wajibah?
2.      Dasar hukum wasiat wajibah?
3.      Perhitungan menggunakan wasiat wajibah?
4.      Pemberian bagian melalui wasiat wajibah?
5.      Penggantian kedudukan?

      C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui wasiat wajibah.
2.      Untuk mengetahui dasar hukum wasiat wajibah.
3.      Untuk mengetahui perhitungan menggunakan wasiat wajibah.
4.      Untuk mengetahui pemberian bagian melalui wasiat wajibah.
5.      Untuk mengetahui penggantian kedudukan.


BAB II
PEMBAHASAN
      A.    Pengertian Wasiat Wajibah
Wasiat adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sukarela dalam segala keadaan, karenanya tidak ada dala syariat islam sesuatu wasiat yang wajib dilakukan dengan putusan hakim. Tetapi menurut Abd Ar-rahim wasiat adalah tindakan sukarela seseorang memberikan hak kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik berupa benda atau manfaat secara sukarela dan tidak mengharap imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah peristiwa kematian orang yang memberi wasiat.  Ini berbeda dengan wasiat wajibah, wasiat wajibah merupakan kebijakan penguasa yang bersifat memaksa untuk memberikan untuk memberikan wasiat kepada orang tertentu dalamkeadaan tertentu. Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang yang diperuntukkan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang meninggal karena adany asuatu halangan atau syara’.[1]
Menurut Fathor Rahman dikatakan wasiat wajibah karena dua hal antara lain:
1.      Hilangnya unsure ikhtiyar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan orang yanga menerima wasiat.
2.      Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam hal penerimaan laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan.[2]
Awalnya wasiat wajibah dilakukan karna terdapat cucu dari anak atau anak pewaris yang meningal lebih dahulu dari pada pewaris, Ibnu Hasim berkata: bahwa apabila tidak dilakukan wasiat oeh pewaris kepada kepada kerabat yang tidak mendapatkan harta pusaka maka hakim harus bertindak sebagai pewaris yang memberikan bagian harta peninggalan pewaris kepada kerabat yang tidak mendapatkan harta pusaka, dalam bentuk wasiat yang wajib.
Wasiat  wajibah juga dapat diartikan sebagai suatu pemberian yang wajib kepada ahli waris atau keluarga terutama cucu yang terhalang dari menerima harta warisan karna ibu atau ayah mereka meninggal sebelum kakek atau nenek mereka meninggal atau meninggal bersamaan, hal ini dikarnakan berdasarkan hukum waris mereka terhalang dari mendapat bagian harta peninggalan kakek dan neneknya karena ada ahli waris paman atau bibi kepada cucu tersebut. [3]

     B.     Dasar Hukum Wasiat Wajibah
Adapun dasar hukum wasiat wajibah antara lain;
1.      Kewajiban berwasiat kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka ialah diambil dari pendapat fuqaha dan tabi’in.
2.      Pemberian sebagian harta peninggalan orang yang meninggal kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka yang berfungsi sebagai wasiat wajibah, apabila yang meninggal tidak berwasiat, ini diambil dari pendapat madhab ibn hazm.
3.      Penghususan kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada cucu-cucu dan pembatasan penerimaan sebesar 1/3 peninggalan adalah didasarkan pada pendapat Ibn Hazm.[4]

      C.    Perhitungan Menggunakan Wasiat Wajibah
Berikut adalah contoh perhitungan harta warisan  menggunakan wasiat wajibah:
a.       Seseorang meninggal dunia ahli warisnya terdiri dari 2 anak perempuan dan cucu laki-laki dan cucu perempuan. Harta yang ditinggalkan sebesar Rp 30.000.000 bagian masing-masing adalah
1.      Jika dengan cara biasa:  dua anak perempuan yang menerima 2/3 x Rp 30.000.000 = 20.000.000. sementara cucu laki laki dan perempuan termasuk katagori dzawil arham, yang dianggap tidak berhak mendapatkan warisan.
2.      Jika dengan cara wasiat wajibah:
Dua anak perempuan yang menerima 2/3 x Rp 30.000.000.= 20.000.000. sementara cucu laki-laki garis perempuan 1/3x Rp 30.000.000.= 10.000.000. jumlahnya 30.000.000.[5]

      D.    Pemberian Bagian dalam Wasiat Wajibah
Kompilasi hukum islam yang dianggap sebagai hasil ijma’ulama Indonesia, menetapkan ketentuan hukum tentang wasiat wajibah sendiri yang berbeda . dalam pasal 209 menyiratkan
1.      Subjek hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau sebaliknya, orang tua terhadap anak angkat.
2.      Tidak diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan tetapi dilakukan oleh Negara.
3.      Bagian penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh melebihi 1/3 dari harta peninggalan pewaris.
Hukum islam menentukan bahwa pengangkatan anak dibolehkan tetapi akibat hukum terhadap status dan keberadaan anak angkat adalah sebagai berikut, status anak angkat tidak dihubungkan dengan orang tua angkatnya, tetapi seperti sedia kala yaitu nasab tetap dihubungkan dengan orang tua kandungnya. Berdasarkan ketentuan tersebut maka antara anak angkat dan orang tua angkatnya tidak ada akibat saling mewarisi , namun dalam kompilasi hukum islam akibat hukum dari harta tersebut adalah munculnya wasiat wajibah yaitu hukum wajib terhadap adanya ketentuan wasiat.
Wajib disini merupakan sesuatu yang mesti dan mutlak harus dilaksanakan, jadi meskipun orang tua angkat maupun anak angkat tidak berwasiat kepada anak angkat maupun orang tua angkatnya, tetapi dia telah dianggap melakukannya. Karena sebelum diadakan pembagian harta warisan maka tindakan awal yang mesti dilakukan adalah mengeluarkan harta peninggalan untuk wasiat wajibah. Namun menurut hukum islam anak angkat tidak dapat diakui untuk bisa dijadikan dasar dan sebab mewarisi karena prinsip pokok dalam hukum kewarisan islam adalah adanya hubungan darah nasab atau keturunan.
Dengan kata lain bahwa peristiwa pengangkatan anak menurut hukum kewarisan islam tidak membawa pengaruh hukum terhadap status anak angkat yakni apabila bukan merupakan anak sendiri tidak dapat mewarisi dari orang dari orang yang telah mengangkat anak tersebut. Maka sebagai solusinya menurut kompilasi hukum islam adalah tetap sebagai anak yang sah berdasarkan keputusan pengadilan dengan tidak memutuskan hubungan nasab darah denmgan orang tua kandungnya dikarnakan prinsip pengangkatan anak menurut kompilasi hukum islam adalah merupakan manifestasi keimanan yang membawa misi kemanusiaan yang terwujud dalam bentuk memelihara orang lain sebagai anak dan bersifat pengasuh anak dengan memelihara dalam pertumbuhan dan perkembangannya dengan mencukupi segala kebutuhannya.
Pembagian harta warisan bagi anak angkat menurut kompilasi hukum islam adalah dengan jalan melalui hibah atau dengan jalan wasiat wajibah dengan syarat tidak boleh melebihi 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya, hal ini untuk melindungi ara ahli waris lainnya. Kutipan diatas hanya membatasi pemberian wasiat wajibah pada anak angkat atau orang tua angkat . pembatasan ini dilakukan karena kompilasi hukum islam telah mengakomodasi konsep penggantian kedudukan sebagai alternatif pemberian bagian kepada cucu laki-laki atau perempuan baik yang terhalang karena orang tuanya meninggal terlebih dahulu dari ahli waris lain atau karena memang sebagai dzawil arham.[6]
 Dalam undang-undang hukum wasiat mesir, wasiat wajibah diberikan terbatas kepada cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia terlebih dahulu dan mereka tidak mendapatkan bagian harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai dzawil arham atau terhijab oleh ahli waris lain. Menurut ketentuan asal 185 kompilasi hukum islam ahli waris yang meninggal lebih dulu dari pada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya dengan ketentuan bagian ahli waris pengganti tersebut tidak bolehmelebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Maka jelaslah pada prinsipnya kedudukan setiap ahli waris yang meninggal lebih dulu daripada pewaris dapat digantikan oleh anaknya yang berkedudukan sebagai ahli waris pennganti yang bagiannya sama atau tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantinya. Menurut kalangan ahlu sunnah bagian ahli waris pennganti tidak selalu harus sama besarnya dengan bagian ahli waris yang digantikan kedudukannya. Demikian pula sebagai ahli waris pengganti terbatas pada keturunan anak laki-laki saja besarnya perolehan masing-masing cucu laki-laki atau cucu perempuan dari anak laki-laki sebagai ewaris pengganti diatur sebagai berikut:
1.      Cucu laki-laki dari anak laki-laki akan mendapat hak kewarisannya seperti anak laki-laki.
2.      Cucu perempuan dari anak laki-laki akan mendapat:
a.       Bagian harta warisan bila seorang saja dengan tidak disertai adanya anak laki-laki atau dua anak perempuan. Akan mendapat ½.
b.      Bagian harta warisan bila dua orang tua atau lebih dengan tidak disertai adanya anak laki-laki atau anak perempuan akan mendapatkan 2/3.
c.       Bagian harta warisan bila seorang diri saja dengan disertai oleh seorang anak perempuan akan mendapatkan 1/6.
d.      Sisanya harta warisan sebagai ahli ashabah bila disertai adanya anak laki-laki dari anak laki-laki.[7]
 
      E.     Penggantian Kedudukan
Kompilasi hukum islam memperkenalkan sistem kewarisan penggantian kedudukan dalam pasal 185:
1.      Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
2.      Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti
Untuk memudahkan pemahaman dibawah ini dikemukakan diagram tentang penngantian kedudukan. ABC.
Keterangan,
P: pewaris a dan b = perempuan c= laki-laki.
A: anak perempuan meninggal terlebih dahulu.
B: anak perempuan ½
C: cucu laki-laki garis perempuan dzawil arham.
            Apabila diselesaikan menurut konsep penggantian kedudukan, maka cucu laki—laki garis perempuan menerima 1/3 dan b menerima 1/3.[8]


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Wasiat adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sukarela dalam segala keadaan, karenanya tidak ada dala syariat islam sesuatu wasiat yang wajib dilakukan dengan putusan hakim. wasiat wajibah merupakan kebijakan penguasa yang bersifat memaksa untuk memberikan untuk memberikan wasiat kepada orang tertentu dalam keadan tertentu. Adapun dasar hukum wasiat wajibah antara lain;
1.      Kewajiban berwasiat kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka ialah diambil dari pendapat fuqaha dan tabi’in.
2.      Pemberian sebagian harta peninggalan orang yang meninggal kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka yang berfungsi sebagai wasiat wajibah, apabila yang meninggal tidak berwasiat, ini diambil dari pendapat madhab ibn hazm.
3.      Penghususan kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada cucu-cucu dan pembatasan penerimaan sebesar 1/3 peninggalan adalah didasarkan pada pendapat Ibn Hazm.
Kompilasi hukum islam memperkenalkan sistem kewarisan penggantian kedudukan dalam pasal 185:
a.       Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
b.      Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

B.     SARAN
Dengan tersusunya makalah ini, kami sangat berharap akan bermanfaat bagi mahasiswa, sehingga mahasiswa bisa mengetahui tentang pendidikan islam di makkah, kritik dan saran membangun akan sangat kami harapkan agar kami selaku penyusun menyadari bahwa  kami hanyalah makhluk yang tak pernah lepas dari salah, sehingga dengan adanya kritik dan saran yang disampaikan para pembaca kami bisa meningkatkan mutu kami dalam menyusun makalah pada tahap selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, beni .2009. fiqih mawaris. Bandung: pustaka setia.
Rahman, Fathur. 1981. Ilmu waris. Bandung : al-ma’arif.
Rofiq, Ahmad.1995. hukum islam di Indonesia. jakarta: rajawali pers.
Sabiq, Sayyid. 2008. Fiqih sunnah. Jakarta: pena pundi aksara.
Suparman. 1997. Fiqih mawaris. Jakarta: gaya media pratama.
Usman, Rahmadi. 2009. Hukum kewarisan islam. Bandung: penerbit Bandar maju.


[1] Sayyid Sabiq, fiqih sunnah, ( Jakarta: pena pundi aksara,2008). Hlm 123
[2] Ibid. hlm 178
[3] Suparman, fiqih mawaris,(Jakarta: gaya media pratama,1997). Hlm 163
[4] Ahmad Rofiq, fiqih mawaris ,( Jakarta: raja grafindo persada, 2012). Hlm 188
[5] Rahmadi Usman,hukum kewarisan islam,( bandung: penerbit Bandar maju, 2009). Hlm 107.
[6] Ibid Hlm: 148
[7]Ibid. hlm 198
[8] Ahmad Rofiq, hukum kewarisan islam,( Jakarta: rajawali pers, 1995). Hlm 218