Wasiat adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan
sukarela dalam segala keadaan, karenanya tidak ada dalam syariat islam sesuatu
wasiat yang wajib dilakukan dengan putusan hakim. wasiat wajibah merupakan kebijakan penguasa yang bersifat memaksa untuk memberikan untuk memberikan
wasiat kepada orang tertentu dalam keadan tertentu.
BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam merupakan agama yang mengatur serta
menunjukkan kita menjadi umat yang bertakwa kepada tuhan, bertakwa tidak hanya
menjalankan shalat maupun puasa tetapi mempelajari dunia, salah satunya yaitu
tentang fiqih mawaris yaitu ilmu yang membahas tentang kewarisan misalnya,
jumlah waris dan hak waris, pembagian harta peninggalan dalam hukum islam tidak
hanya dilihat dari sudut pandang ahli waris yang menerima harta peninggalan
pewaris kepada ahli waris. Tatacara peralihan harta peninggalan pewaris kepada
ahli waris dapat dilakukan dengan cara wasiat. Wasiat dalam hukum islam di
indonsia belum diatur secara material dalam suatu undang-undang seperti
kewarisan barat dalam kitab undang-undang hukum perdata.
B.
Rumusan
Masalah
1. Pengertian
wasiat wajibah?
2. Dasar
hukum wasiat wajibah?
3. Perhitungan
menggunakan wasiat wajibah?
4. Pemberian
bagian melalui wasiat wajibah?
5. Penggantian
kedudukan?
C.
Tujuan
Masalah
1. Untuk
mengetahui wasiat wajibah.
2. Untuk
mengetahui dasar hukum wasiat wajibah.
3. Untuk
mengetahui perhitungan menggunakan wasiat wajibah.
4. Untuk
mengetahui pemberian bagian melalui wasiat wajibah.
5. Untuk
mengetahui penggantian kedudukan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wasiat Wajibah
Wasiat adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan
sukarela dalam segala keadaan, karenanya tidak ada dala syariat islam sesuatu
wasiat yang wajib dilakukan dengan putusan hakim. Tetapi menurut Abd Ar-rahim
wasiat adalah tindakan sukarela seseorang memberikan hak kepada orang lain
untuk memiliki sesuatu baik berupa benda atau manfaat secara sukarela dan tidak
mengharap imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah peristiwa kematian
orang yang memberi wasiat. Ini berbeda
dengan wasiat wajibah, wasiat wajibah merupakan kebijakan penguasa yang
bersifat memaksa untuk memberikan untuk memberikan wasiat kepada orang tertentu
dalamkeadaan tertentu. Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang yang
diperuntukkan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta
warisan dari orang yang meninggal karena adany asuatu halangan atau syara’.[1]
Menurut Fathor Rahman dikatakan wasiat wajibah
karena dua hal antara lain:
1. Hilangnya
unsure ikhtiyar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalui
perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang
berwasiat dan persetujuan orang yanga menerima wasiat.
2. Ada
kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam hal penerimaan
laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan.[2]
Awalnya
wasiat wajibah dilakukan karna terdapat cucu dari anak atau anak pewaris yang
meningal lebih dahulu dari pada pewaris, Ibnu Hasim berkata: bahwa apabila
tidak dilakukan wasiat oeh pewaris kepada kepada kerabat yang tidak mendapatkan
harta pusaka maka hakim harus bertindak sebagai pewaris yang memberikan bagian
harta peninggalan pewaris kepada kerabat yang tidak mendapatkan harta pusaka,
dalam bentuk wasiat yang wajib.
Wasiat
wajibah juga dapat diartikan sebagai suatu pemberian yang wajib kepada
ahli waris atau keluarga terutama cucu yang terhalang dari menerima harta
warisan karna ibu atau ayah mereka meninggal sebelum kakek atau nenek mereka
meninggal atau meninggal bersamaan, hal ini dikarnakan berdasarkan hukum waris
mereka terhalang dari mendapat bagian harta peninggalan kakek dan neneknya
karena ada ahli waris paman atau bibi kepada cucu tersebut. [3]
B.
Dasar
Hukum Wasiat Wajibah
Adapun
dasar hukum wasiat wajibah antara lain;
1. Kewajiban
berwasiat kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka ialah diambil
dari pendapat fuqaha dan tabi’in.
2. Pemberian
sebagian harta peninggalan orang yang meninggal kepada kerabat-kerabat yang
tidak dapat menerima pusaka yang berfungsi sebagai wasiat wajibah, apabila yang
meninggal tidak berwasiat, ini diambil dari pendapat madhab ibn hazm.
3. Penghususan
kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada cucu-cucu dan
pembatasan penerimaan sebesar 1/3 peninggalan adalah didasarkan pada pendapat
Ibn Hazm.[4]
C.
Perhitungan
Menggunakan Wasiat Wajibah
Berikut
adalah contoh perhitungan harta warisan
menggunakan wasiat wajibah:
a. Seseorang
meninggal dunia ahli warisnya terdiri dari 2 anak perempuan dan cucu laki-laki
dan cucu perempuan. Harta yang ditinggalkan sebesar Rp 30.000.000 bagian
masing-masing adalah
1. Jika
dengan cara biasa: dua anak perempuan
yang menerima 2/3 x Rp 30.000.000 = 20.000.000. sementara cucu laki laki dan
perempuan termasuk katagori dzawil arham, yang dianggap tidak berhak mendapatkan
warisan.
2. Jika
dengan cara wasiat wajibah:
Dua anak perempuan yang
menerima 2/3 x Rp 30.000.000.= 20.000.000. sementara cucu laki-laki garis
perempuan 1/3x Rp 30.000.000.= 10.000.000. jumlahnya 30.000.000.[5]
D.
Pemberian
Bagian dalam Wasiat Wajibah
Kompilasi
hukum islam yang dianggap sebagai hasil ijma’ulama Indonesia, menetapkan
ketentuan hukum tentang wasiat wajibah sendiri yang berbeda . dalam pasal 209
menyiratkan
1. Subjek
hukumnya adalah anak angkat terhadap orang tua angkat atau sebaliknya, orang tua
terhadap anak angkat.
2. Tidak
diberikan atau dinyatakan oleh pewaris kepada penerima wasiat akan tetapi
dilakukan oleh Negara.
3. Bagian
penerima wasiat adalah sebanyak-banyaknya atau tidak boleh melebihi 1/3 dari
harta peninggalan pewaris.
Hukum islam menentukan bahwa
pengangkatan anak dibolehkan tetapi akibat hukum terhadap status dan keberadaan
anak angkat adalah sebagai berikut, status anak angkat tidak dihubungkan dengan
orang tua angkatnya, tetapi seperti sedia kala yaitu nasab tetap dihubungkan
dengan orang tua kandungnya. Berdasarkan ketentuan tersebut maka antara anak
angkat dan orang tua angkatnya tidak ada akibat saling mewarisi , namun dalam
kompilasi hukum islam akibat hukum dari harta tersebut adalah munculnya wasiat
wajibah yaitu hukum wajib terhadap adanya ketentuan wasiat.
Wajib disini merupakan sesuatu yang
mesti dan mutlak harus dilaksanakan, jadi meskipun orang tua angkat maupun anak
angkat tidak berwasiat kepada anak angkat maupun orang tua angkatnya, tetapi
dia telah dianggap melakukannya. Karena sebelum diadakan pembagian harta
warisan maka tindakan awal yang mesti dilakukan adalah mengeluarkan harta
peninggalan untuk wasiat wajibah. Namun menurut hukum islam anak angkat tidak
dapat diakui untuk bisa dijadikan dasar dan sebab mewarisi karena prinsip pokok
dalam hukum kewarisan islam adalah adanya hubungan darah nasab atau keturunan.
Dengan kata lain bahwa peristiwa
pengangkatan anak menurut hukum kewarisan islam tidak membawa pengaruh hukum
terhadap status anak angkat yakni apabila bukan merupakan anak sendiri tidak
dapat mewarisi dari orang dari orang yang telah mengangkat anak tersebut. Maka
sebagai solusinya menurut kompilasi hukum islam adalah tetap sebagai anak yang
sah berdasarkan keputusan pengadilan dengan tidak memutuskan hubungan nasab
darah denmgan orang tua kandungnya dikarnakan prinsip pengangkatan anak menurut
kompilasi hukum islam adalah merupakan manifestasi keimanan yang membawa misi
kemanusiaan yang terwujud dalam bentuk memelihara orang lain sebagai anak dan bersifat
pengasuh anak dengan memelihara dalam pertumbuhan dan perkembangannya dengan
mencukupi segala kebutuhannya.
Pembagian harta warisan bagi anak angkat
menurut kompilasi hukum islam adalah dengan jalan melalui hibah atau dengan
jalan wasiat wajibah dengan syarat tidak boleh melebihi 1/3 dari harta warisan
orang tua angkatnya, hal ini untuk melindungi ara ahli waris lainnya. Kutipan
diatas hanya membatasi pemberian wasiat wajibah pada anak angkat atau orang tua
angkat . pembatasan ini dilakukan karena kompilasi hukum islam telah
mengakomodasi konsep penggantian kedudukan sebagai alternatif pemberian bagian
kepada cucu laki-laki atau perempuan baik yang terhalang karena orang tuanya
meninggal terlebih dahulu dari ahli waris lain atau karena memang sebagai
dzawil arham.[6]
Dalam undang-undang hukum wasiat mesir, wasiat
wajibah diberikan terbatas kepada cucu pewaris yang orang tuanya telah
meninggal dunia terlebih dahulu dan mereka tidak mendapatkan bagian harta
warisan disebabkan kedudukannya sebagai dzawil arham atau terhijab oleh ahli
waris lain. Menurut ketentuan asal 185 kompilasi hukum islam ahli waris yang
meninggal lebih dulu dari pada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh
anaknya dengan ketentuan bagian ahli waris pengganti tersebut tidak bolehmelebihi
dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Maka jelaslah pada prinsipnya kedudukan
setiap ahli waris yang meninggal lebih dulu daripada pewaris dapat digantikan
oleh anaknya yang berkedudukan sebagai ahli waris pennganti yang bagiannya sama
atau tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang
digantinya. Menurut kalangan ahlu sunnah bagian ahli waris pennganti tidak
selalu harus sama besarnya dengan bagian ahli waris yang digantikan
kedudukannya. Demikian pula sebagai ahli waris pengganti terbatas pada
keturunan anak laki-laki saja besarnya perolehan masing-masing cucu laki-laki
atau cucu perempuan dari anak laki-laki sebagai ewaris pengganti diatur sebagai
berikut:
1. Cucu
laki-laki dari anak laki-laki akan mendapat hak kewarisannya seperti anak
laki-laki.
2. Cucu
perempuan dari anak laki-laki akan mendapat:
a. Bagian
harta warisan bila seorang saja dengan tidak disertai adanya anak laki-laki
atau dua anak perempuan. Akan mendapat ½.
b. Bagian
harta warisan bila dua orang tua atau lebih dengan tidak disertai adanya anak
laki-laki atau anak perempuan akan mendapatkan 2/3.
c. Bagian
harta warisan bila seorang diri saja dengan disertai oleh seorang anak
perempuan akan mendapatkan 1/6.
d. Sisanya
harta warisan sebagai ahli ashabah bila disertai adanya anak laki-laki dari
anak laki-laki.[7]
E.
Penggantian
Kedudukan
Kompilasi
hukum islam memperkenalkan sistem kewarisan penggantian kedudukan dalam pasal
185:
1. Ahli
waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan
oleh anknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
2. Bagian
bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti
Untuk
memudahkan pemahaman dibawah ini dikemukakan diagram tentang penngantian
kedudukan. ABC.
Keterangan,
P:
pewaris a dan b = perempuan c= laki-laki.
A:
anak perempuan meninggal terlebih dahulu.
B:
anak perempuan ½
C:
cucu laki-laki garis perempuan dzawil arham.
Apabila diselesaikan menurut konsep
penggantian kedudukan, maka cucu laki—laki garis perempuan menerima 1/3 dan b
menerima 1/3.[8]
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Wasiat adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan
sukarela dalam segala keadaan, karenanya tidak ada dala syariat islam sesuatu
wasiat yang wajib dilakukan dengan putusan hakim. wasiat wajibah merupakan
kebijakan penguasa yang bersifat memaksa untuk memberikan untuk memberikan
wasiat kepada orang tertentu dalam keadan tertentu. Adapun dasar hukum wasiat
wajibah antara lain;
1. Kewajiban
berwasiat kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka ialah diambil
dari pendapat fuqaha dan tabi’in.
2. Pemberian
sebagian harta peninggalan orang yang meninggal kepada kerabat-kerabat yang
tidak dapat menerima pusaka yang berfungsi sebagai wasiat wajibah, apabila yang
meninggal tidak berwasiat, ini diambil dari pendapat madhab ibn hazm.
3. Penghususan
kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada cucu-cucu dan
pembatasan penerimaan sebesar 1/3 peninggalan adalah didasarkan pada pendapat
Ibn Hazm.
Kompilasi
hukum islam memperkenalkan sistem kewarisan penggantian kedudukan dalam pasal
185:
a. Ahli
waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka kedudukannya dapat
digantikan oleh anknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
b. Bagian
bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti.
B.
SARAN
Dengan
tersusunya makalah ini, kami sangat berharap akan bermanfaat bagi mahasiswa,
sehingga mahasiswa bisa mengetahui tentang pendidikan islam di makkah, kritik
dan saran membangun akan sangat kami harapkan agar kami selaku penyusun
menyadari bahwa kami hanyalah makhluk
yang tak pernah lepas dari salah, sehingga dengan adanya kritik dan saran yang
disampaikan para pembaca kami bisa meningkatkan mutu kami dalam menyusun
makalah pada tahap selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad,
beni .2009. fiqih mawaris. Bandung:
pustaka setia.
Rahman,
Fathur. 1981. Ilmu waris. Bandung :
al-ma’arif.
Rofiq,
Ahmad.1995. hukum islam di Indonesia.
jakarta: rajawali pers.
Sabiq,
Sayyid. 2008. Fiqih sunnah. Jakarta:
pena pundi aksara.
Suparman.
1997. Fiqih mawaris. Jakarta: gaya
media pratama.
Usman,
Rahmadi. 2009. Hukum kewarisan islam.
Bandung: penerbit Bandar maju.
[1]
Sayyid Sabiq, fiqih sunnah, (
Jakarta: pena pundi aksara,2008). Hlm 123
[2]
Ibid. hlm 178
[3]
Suparman, fiqih mawaris,(Jakarta:
gaya media pratama,1997). Hlm 163
[4]
Ahmad Rofiq, fiqih mawaris ,(
Jakarta: raja grafindo persada, 2012). Hlm 188
[5]
Rahmadi Usman,hukum kewarisan islam,(
bandung: penerbit Bandar maju, 2009). Hlm 107.
[6]
Ibid Hlm: 148
[7]Ibid.
hlm 198
[8]
Ahmad Rofiq, hukum kewarisan islam,(
Jakarta: rajawali pers, 1995). Hlm 218