Pasca pengakuan kedaulatan, bangsa Indonesia mengalami permasalahan ekonomi yang
sangat kompleks. Misalnya inflasi tinggi, rusaknya infrastruktur, hutang negara
meningkat, defisit anggaran, rendahnya investasi, dan lain sebagainya.
Langkah
yang diambil pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah ekonomi pasca
pengakuan kedaulatan, antara lain kebijakan pemotongan uang, konsep ekonomi
nasional, program gerakan benteng, kebijakan Indonesianisasi, dan lain-lain.
A. Kondisi
Riil Politik Umat Islam
Di bidang politik, sesuai dengan isi
UUDS 1950, maka Indonesia menerapkan Demokrasi Liberal dengan sistem kabinet
parlementer. Akibatnya muncul banyak partai politik. Di sisi lain sistem
pemerintahan tidak stabil karena sering terjadi pergantian kabinet. Beberapa
kabinet yang memerintah pada masa Demokrasi Liberal antara lain Kabinet Natsir,
Sukiman, Wilopo, Ali Sastroamijoyo I, Burhanudin Harahap, Ali Sastroamijoyo II,
dan Djuanda.
Pemilu tahun 1955 dilaksanakan dua
tahap, yaitu 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan tanggal 15
Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante. Pemilu ini ternyata tidak
mampu menciptakan stabilitas politik.
Konstituante yang diharapkan mampu
menghasilkan UUD ternyata gagal, sehingga tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante, menyatakan kembali
ke UUD 1945, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Keluarnya Dekrit Presiden menjadi
tonggak lahirnya Demokrasi Terpimpin.
Pada masa Demokrasi Terpimpin
terjadi beberapa penyimpangan terhadap Pancasila, dan UUD 1945 termasuk
kebijakan politik luar negeri. Pembubaran DPR hasil pemilu, pengangkatan
presiden seumur hidup, terbentuknya poros Jakarta-Peking, konfrontasi dengan
Malaysia, sampai keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB merupakan sejumlah
contoh dari penyimpangan tersebut.
Politik Islam dalam Pembentukkan
Negara pada Masa Kemerdekaan, sebagai realisasinya maka dibentuklah Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 9 April
1944. Dalam pembahasan mengenai dasar negara Indonesia merdeka terdapat dua
golongan yang saling bertentangan yakni golongan Islam dan nasionalis Sekuler.
Salah satu kepentingan umat Islam ketika itu adalah menjadikan Islam sebagai
dasar negara. Tuntutan ini menimbulkan reaksi dari kelompok nasionalis sekuler,
sosialis, dan nasrni yang pada masa itu merupakan mayoritas dalam BPUPKI.
Kelompok tersebut mengajukan pancasila sebagai dasar negara. untuk mengatasi
permasalahan ini dibentuklah “Panitia Sembilan”. Panitia ini terdiri atas lima
orang dari golongan nasionalis sekuler dan empat orang dari golongan Islam.
Berdasarkan keputusan dari “Panitia Sembilan” pada tanggal 22 Juni 1945 dicapai
kesepakatan menambah tujuh kata dalam sila pertama pancasila menjadi “
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Konsep ini kemudian disebut Piagam Jakarta. Piagam ini adalah sebuah kompromi
politis ideologis antara golongan yang beraspirasi Islam dan kelompok nasionalis
yang sebagian besar juga beragama Islam, akan tetapi menolak ide negara
berdasarkan Islam.
Meskipun demikian UUD 1945 yang
disyahkan sehari setelah proklamasi kemerdekaan ternyata menghapuskan tujuh
kata dalam piagam Jakarta diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dan menetapkan
pencasila sebagai dasar Negara. Umat Islam terpaksa mengalah dengan tuntutan
kelompok pendukung Pencasila. Perubahan ini dipandang oleh sebagian orang
sebagai kekalahan politik wakil-wakil umat Islam Pada era pasca kemerdekaa harapan
untuk semakin berperan dalam politik tetap ada. Sarana perjuangan politik yang
paling utama di era ini adalah melalui partai Masyumi, yang mewadahi dua
kelompok besar, yaitu kelompok tradisional dan kelompok modernis. Di era
Demokrasi Liberal (1945-1959) peran partai Masyumi cukup menggembirakan. Tetapi
partai ini pecah menjadi dua setelah Nahdlatul Ulama (NU) yang pada awalnya
merupakan sebuah organisasi keagamaan keluar dari masyumi dan membentuk partai
baru pada tahun 1952. Pemilu pertama tahun 1955 yang dilaksanakan selama dua
kali. Pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR sedang
yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante.
Pemilu tahun 55 ini telah menghasilkan empat partai besar pemenang pemilu yaitu
PNI, Masyumi, NU dan PKI.
Setelah
pemilu tahun 1955 selesai, terjadi perkembangan politik yang cukup menarik.
Pertentangan antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis sekuler mulai
terlihat dalam majelis konstituante yang membahas tentang rancangan UUD perihal
dasar negara yang akan digunakan. Pada saat itu ada tiga rancangan dasar negara
yaitu Islam, Pancasila dan Sosial-ekonomi. Rancangan tentang sosial-ekonomi
yang diajukan oleh partai buruh dan Murba hanya didukung oleh sebagian kecil anggota
Majelis Konstituante sehingga akhirnya perdebatan didominasi antara golongan
Islam dan Nasionalis sekuler yang mengajukan Pancasila sebagai dasar negara.
Perdebatan tentang dasar negara ini berakhir setelah Bung karno membubarkan
Majelis Konstituante dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan
menyerukan kembali pada UUD 1945 dengan tetap berdasarkan pancasila. Suasana
diatas setidaknya menggambarkan dinamika pemikiran politik pasca kemerdekaan
berkenaan dengan upaya untuk merumuskan kembali hubungan antara agama (Islam)
dan Negara yang dapat diterima secara luas oleh bangsa Indonesia. Dalam
beberapa peristiwa politik tampak bahwa upaya untuk membangun hubungan
formalistik dan Legalistik antara Islam dan sistem politik negara selalu
berujung pada kebuntuan dan pertentangan ideologis antara dua kelompok
pemikiran politik di kalangan aktivis politik muslim yakni kelompok Islam dan
kelompok nasionalis sekuler. Kelompok pertama menuntut dijadikannya Islam
sebagai dasar negara sedangkan kelompok kedua menolak hubungan agama dan negara
yang bersifat formalistik dan legalistik seperti yang dituntut oleh kelompok
Islam.
Berdasarkan pengalaman sejarah umat
Islam tersebut sejumlah tokoh dan ilmuwan muslim telah berusaha untuk
merumuskan konsep-konsep dasar mengenai negara Islam Dalam perdebatan mengenai
dasar negara tersebut. Menurut Mohammad Natsir Islam bukan semata -mata religi,
yaitu agama dalam pengertian ruhaniah saja. Islam mengatur hubungan antara
manusia dengan Allah dan antara sesama
manusia. Islam merupakan pedoman dan falsafah hidup yang tidak mengenal
pemisahan agama dan politik.
Bagi negara-negara Dunia Ketiga,
termasuk Indonesia, abad ke-20 dapat disebut Abad Nasionalisme, artinya sejak
awal sampai penutupan abad ini timbul kesadaran berbangsa. Dalam kurun waktu
ini, dalam sejarahnya, telah terjadi pertumbuhan kesadaran berbangsa serta
gerakan nasionalis di beberapa negara untuk memperjuangkan kemerdekaan
bangsanya masing-masing. Peta pemikiran dan pergerakan nasionalisme maupun
Islam bisa dilihat dari kebangkitan nasionalisme dan Islam di Indonesia pada
awal abad ke-20 ini. Bangkitnya pergerakan di Indonesia ditandai dengan
perubahan kesadaran politik berbangsa. Di era mulai bangkitnya perjuangan dan
pergerakan modern tersebut, kepulauan Nusantara telah menyaksikan tumbuhnya
pemikiran politik yang penuh gairah, semangat, dan elan pergerakan. Tema
tersebut tidak dapat dipisahkan dari situasi umum dunia Islam yang pada abad
ke-19 dan ke-20 memang berada dalam kekuasaan bangsa-bangsa Eropa.[1]
B. Upaya-upaya
mencapai Kemerdekaan
Umat
Islam Indonesia punya peranan yang menentukan dalam dinamika perjuangan untuk
memdapatkan kemerdekaan. Dalam perjuangan
ini dapat dibagi menjadi :
1.
Perjuangan
Kerajaan-Kerajaan Islam melawan Kolonial
Dimulai sejak awal masuknya bangsa
barat dengan pendekatan kekuatan yang represif (bersenjata), maka dilawan oleh
karajaan-kerajaan Islam di kawasan Nusantra ini. Perjuangan ini antara lain :
Malaka melawan serangan Portugis (1511) diteruskan oleh Ternate di Maluku
(Portugis berhasil dihalau sampai Timor Timur), kemudian Makasar melawan
serangan Belanda(VOC), Banten melawan serangan Belanda (VOC), dan
Mataram Islam juga melawan pusat kekuasaan Belanda(VOC) di Batavia
(1628-1629) dan masih banyak lagi. Mereka
gigih, dan Belanda pun kalangkabut, namun setelah ada politik “Devide Et
Impera” (pecah belah), satu persatu kerajaan ini dapat dikuasai.
Meskipun
demikian semangat rakyat tidak pudar melawan penjajahan kolonial, maka selanjutnya
perjuangan melawan penjajahan diteruskan oleh rakyat dipimpin Ulama.
2.
Perjuangan
Rakyat Dipimpin oleh Para Ulama
Setelah
kaum kolonial berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia, namun umat
Islam bersama para ulamanya tidak berhenti melawan penjajahan. Munculah era
Gerakan Sosial merata di seluruh pelosok tanah air. Ulama sebagai Elite Agama
Islam memimpin umat melawan penindasan kedloliman penjajah. Sejak dari Aceh
muncul perlawanan rakyat dipimpin oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nya’
Dhien; di Sumatera Barat muncul Perang Paderi dipimpin oleh Imam Bonjol;
Perlawanan KH. Hasan
dari Luwu; Gerakan R. Gunawan dari Muara Tembesi Jambi; Gerakan 3 Haji di Dena
Lombok; Gerakan H. Aling Kuning di Sambiliung Kal-Tim; Gerakan Muning di
Banjarmasin; Gerakan Rifa’iyah di Pekalongan; Gerakan KH. Wasit dari Cilegon;
Perlawanan KH. Jenal Ngarib dari Kudus; Perlawanan KH. Ahmad Darwis dari Kedu;
Perlawanan Kyai Dermojoyo dari Nganjuk; dan juga perlawanan P.
Dipanegara, masih banyak lagi.
Dari
perlawanan itu, sesungguhnya pihak Belanda sudah goyah kekuasaaanya, sebagai
bukti tiga perlawanan : Rakyat Aceh, Sumatera Barat, dan Java Oorlog
(Dipanegara) telah mengorbankan : 8000 tentara Belanda mati dan 20.000.000
Gulden kas kolonial habis. Oleh karena itu, mereka kemudian mencari jalan lain,
yaitu mengubah politik kolonialnya dengan pendekatan “ Welfere Politiek”
(Politik Kemakmuran) untuk menarik simpati rakyat jajahan. Namun, pada
kenyataannya politik itu dijalankan dengan perang kebudayaan dan idiologi,
terutama untuk memecah dan melemahkan potensi umat Islam Indonesia yang
dianggapnya musuh utama pemerintah kolonial.
3.
Pergerakan
Nasional di Indonesia
Sebelum memesuki era Pergerakan Nasional, pihak kolonial mencoba politik
kemakmuran dan balasbudi. Munculah Politik Etische oleh Van Deventer; Politik
Assosiasi oleh Ch.Snouck Hurgronje; dan Politik De Islamisasi (Dutch Islamic
Polecy) oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Kelihatannya politik itu humanis
untuk kesejahteraan rakyat, namun karena landasannya tetap kolonialisme, maka
jadinya tetap eksploitatif dan menindas rakyat. Khusus politik De Islamisasai
sangat merugikan umat Islam, karena :
- Memecah umat Islam jadi dua dikotomi Abangan dan
Putihan
- Membenturkan Ulama dengan Pemuka Adat
- Memperbanyak sekolah untuk memdidik anak-anak
umat Islam agar terpisah dari kepercayaan pada agama Islamnya.
- Menindas segenap gerakan
politik yang berdasar Islam
- Membikin masjid dan
memberangkatkan haji gratis untuk meredam gerakan Islam.( Snouck
Hurgronje, Islam in de Nederlansch Indie )
Akibat dari politik kolonial di atas,
maka perjuangan melawan kolonial menjadi terpecah. Menurut Thesis
Endang Syaifuddin Anshari,MA. perjuangan di Indonesia terpecah jadi dua kelompok besar yaitu:
Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler. Kondisi inilah sampai sekarang masih
tampak dalam dinamika perpolitikan kita.
Sebagai salah satu yang penting
pelopor awal Pergerakan Nasional di Indonesia ialah umat Islam, yaitu pada
tanggal 16 Oktober 1905, lahir Sarekat Dagang Islam (SDI) (baca wawancara
Tamardjaja dengan H. Samanhudi, 1955, di majalah Syiyasyah 1974),
yang kemudian th. 1912 jadi Sarekat Islam (SI), sebagai gerakan Ekonomi dan
politik. Pada Tanggl 18 November 1912 lahir Muhammadiyah sebagai
gerakan Sosial Keagamaan, dari lembaga pendidikannya menghasilkan pimpinan
bangsa Indonesia yang menentang Belanda,kemudian selanjutnya Jami’atul Khoir,
Al Irsyad, Jong Islamieten Bond (1922), Persatuan Islam (Persis) th. 1920,
Nahdlotul Ulama ( 1926 ), dan lainnya adalah dalam kategori nasionalis Islami,
yang kesemuanya punya andil dalam melawan Belanda. Di samping itu lahirlah
Boedi Oetomo, 20 Mei 1908, dan Indische Partij (1912), Jong Java, PKI,
Perhimpunan Indonesia (PI), PNI (1927) dan sebagainya, adalah dalam kategori
nasionalis sekuler. ( Endang Syaifuddin Anshari, Piagam Jakarta: 22
Juni 1945. Thesis di Mac Gill University, Canada ).
Dalam menghadapi gerakan umat Islam,
Belanda menggunakan “Christening Politiek” (dalam Pidato Ratu Belanda yang
dibacakan oleh:Gub.Jend. Idenburg) namun tidak berhasil. Ketika gencarnya SI
menuntut “Boemi Poetera Zelfbestuur” (Bangsa Indonesia
berpemerintahan sendiri), dengan gerakan Rapat Akbar dan pemogokan
yang dilakukan hampir merata di pelosok kepulauan Indonesia, maka Belanda grogi
dan segera bertindak. Untuk menghadapi gelombang gerakan umat Islam itu, maka upaya
Politik Belanda dengan mendatangkan VIRUS KOMUNIS, yaitu menggunakan
tokoh-tokoh komunis Belanda Snevliet, Barandesteder, Ir. Baars, Brigsma dan Van
Burink, didatangkan ke Indonesia untuk menghadapi Islam di Indonesia.
Tokoh-tokoh komunis itu kemudian mengkader Semaun, Alimin Dharsono & Tan
Malaka, disusupkan ke SI, terjadilah pembusukan dari dalam, pecahlah SI jadi
dua: SI Putih yang asli, dan SI Merah yang komunis bergabung dengan ISDV (
Indische Socialis Democratische Vereeniging ) jadi PKI (23 Mei 1920). Mulai dari sinilah maka umat Islam berhadapan terus
dengan komunis. ( A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat
Indonesia. dan A. Adaby Darban, Peranserta Islam dalam
Perjuangan Indonesia. ).
Pada tahun 1937
organisasi-organisasi Islam bersatu membentuk MIAI ( Majlisul Islam A’la
Indonesia ), diprakarsai oleh Muhammadiyah, NU, Persis, Alwasliyah dan lainnya.
Pada zaman Jepang MIAI diubah namanya jadi MASJUMI ( Majlis Syurau Muslimin
Indonesia ), dan memiliki pasukan Hizbullah Sabilillah, sebagai modal
perjuangan bersenjata di kemuidian hari.
Pada saat mempersiapkan kemerdekaan
dalam BPUPKI disidangkan konsep dasar negara, muncul konsep Moh. Yamin,
Soepomo, dan Soekarno yang telah diajukan, namun sidang belum menerima,
kemudian dibentuklah panitia Ad Hock (9 anggota), yang memutuskan Rumusan
Piagam Djakarta 22 Juni 1945 ( Djakarta Charter ). Rumusan itu melalui debat
yang panjang akhirnya disetujui pada tanggal 16 Juli 1945. (Komentar Soekarno, bahwa Djakarta Charter merupakan
konsesnsus nasional persatuan antara Kaum Kebangsaan
dan Islam). Namun, pada tanggal 18 Agustus 1845, keputusan itu
dianulir atas usul Opsir Jepang mengatasnamakan utusan dari Indonesia Timur,
yang menyatakan bahwa bila kalimat “ Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syareat Islam bagi pemeluknya” tidak diubah, maka Indonesia Timur akan
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia . Dengan demikian Hatta
lobi dengan para ulama agar dapat mengubah Piagam Djakarta demi persatuan
Nasional RI. Pada awalnya para ulama tidak setuju, sebab itu sudah keputusan
BPUPKI sebagai konsensus nasional, namun demi toleransi dan menjaga negara RI
dari perpecahan, akhirnya disepakati dengan kalimat : “ Ketuhanan Yang Maha Esa
“ (peranan Ki Bagus menempatkan Yang Maha Esa sebagai Taukhid Rakyat Indonesia
). ( Endang Syaifuddin Anshari, Piagam Jakarta.)
C. Sejarah
Kebangkitan Nasional
Pada permulaan XX bangsa Indonesia
mengubah caranya didalam melawan kolonialis Belanda, Bentuk perlawanan itu
ialah dengan menyadarkan bangsa Indonesia akan pentingnya bernegara. Maka
lahirklah bermacam macam organisasi politik disamping bergerak dalam bidang
pendidikan dan sosial yang dipelopori oleh Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908.
Kita mengenal nama nama pahlawan perintis pergerakan nasional diantara lain :
H.O.S Tjokroaminoto ( S.IO. 1912), Douwes Dekker ( Indische Partij 1912)
Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajjar Dewantoro Tjiptomangunkusumo dan nama
nama yang lain. Sumpah Pemuda/ Persatuan Bangsa Indonesia (28 Oktober 1928)
Pada tanggal 28 Oktober 1928 terjadilah penonjolan peritiwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia didalam mencapai cita-citanya. Pada saat itu pemuda pemuda Indonesia yang dipelopori oleh Muh. Yamen, Kuntjoro Purbopranoto, Wongsonegoro dan lain lainnya mengumandangkan Sumpah Pemuda Indonesia yang berisi pengakuan akan adanya bangsa , tanah-air fan bahasa yang satu , yakni Indinesia. Dengan sumpah pemuda in makin tegaslah apa yang diinginkan oleh bangsa Indonesia iaitu kemerdekaan tanah-air dan bangsa Indonesia. Untuk mencapai kemerdekaan perlu adanya rasa persatuan sebagai bangsa yang merupakan syarat mutlak.
Pada tanggal 28 Oktober 1928 terjadilah penonjolan peritiwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia didalam mencapai cita-citanya. Pada saat itu pemuda pemuda Indonesia yang dipelopori oleh Muh. Yamen, Kuntjoro Purbopranoto, Wongsonegoro dan lain lainnya mengumandangkan Sumpah Pemuda Indonesia yang berisi pengakuan akan adanya bangsa , tanah-air fan bahasa yang satu , yakni Indinesia. Dengan sumpah pemuda in makin tegaslah apa yang diinginkan oleh bangsa Indonesia iaitu kemerdekaan tanah-air dan bangsa Indonesia. Untuk mencapai kemerdekaan perlu adanya rasa persatuan sebagai bangsa yang merupakan syarat mutlak.
Sejarah Hari Kebangkitan Nasional 20
Mei. Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari tidak kurang
13.000 pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke (hasil survei dan
verifikasi terakhir Kementerian Kelautan dan Perikanan). Beragam suku bangsa,
bahasa dan agama juga menjadi hal yang unik dari Bangsa Indonesia. Sedikit saja
gesekan yang terjadi dalam masyarakat maka akan berakibat fatal, sering kita
saksikan dalam media massa beberapa peristiwa yang mencabik-cabik rasa
nasionalisme kebangsaan. Perang antar suku, pemberontakan, tawuran warga dan
lain-lain yang dapat menjadi pemicu disintegrasi bangsa.
Untuk itu diperlukan rasa kebangsaan
yang tinggi agar Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya semboyan yang menjadi slogan
belaka, tetapi benar-benar dapat menjiwai perilaku seluruh rakyat Indonesia.
Dan salah satu hal yang bisa menumbuhkan rasa kebangsaan adalah Kebangkitan
Nasional, bangkit dari keterpurukan, bangkit dari ketertinggalan, bangkit dari
ketidakadilan, bangkit dari kemiskinan dan kebodohan. Sebagai Negara Kesatuan
Republik Indonesaia (NKRI) seharusnya Pemerintah memberikan perlakuan yang sama
terhadap rakyatnya dari Sabang sampai Marauke, bila rakyat di satu wilayah
sejahtera maka selayaknya rakyat di wilayah lainpun sejahtera agar asas
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dapat diimplementasikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Organisasi Boedi Oetomo yang
didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa
STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) yaitu Goenawan
Mangoenkoesoemo dan Soeraji serta digagas oleh Dr. Wahidin
Sudirohusodo pada awalnya bukan organisasi politik, tetapi lebih kepada
organisasi yang bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Namun seiring
waktu Boedi Oetomo kemudian menjadi cikal bakal gerakan yang bertujuan
untuk kemerdekaan Indonesia.
Kongres pertama Boedi Oetomo
diselenggarakan tanggal 3 - 5 Oktober 1908 di Yogyakarta. Saat
itu organisasi Boedi Oetomo telah memiliki tujuh cabang di beberapa
kota yaitu Batavia, Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan
Ponorogo. Pada kongres pertamanya ini Raden Adipati Tirtokoesoemo (mantan
bupati Karanganyar) yang berasal dari kaum priyayi diangkat sebagai
presiden Budi Utomo yang pertama. Dan sejak itu banyak anggota
baru yang berasal dari kalangan bangsawan dan pejabat kolonial bergabung
dengan organisasi Boedi Oetomo, namun hal ini justru membuat anggota
dari kalangan pemuda memilih keluar dari organisasi ini.
Organisasi Boedi Oetomo sendiri
dalam perjalanan sejarahnya mengalami beberapa kali pergantian pimpinan
dan sebagian besar berasal dari kalangan bangsawan seperti Raden Adipati
Tirtokoesoemo mantan Bupati Karanganyar yang menjadi presiden pertama Budi
Utomo dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman Berturut-turut
setelah Boedi Oetomo didirikan pada tahun 1908 diikuti
berdirinya Partai Politik pertama di Indonesia Indische Partij pada
tahun 1912, kemudian pada tahun yang sama Haji Samanhudi mendirikan
Sarekat Dagang Islam di Solo, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah di
Yogyakarta, Dwijo Sewoyo dan kawan-kawan mendirikan Asuransi Jiwa Bersama Boemi
Poetra di Magelang. Karena dianggap sebagai organisasi yang menjadi pelopor
bagi organisasi kebangsaan lainnya sebagaimana disebutkan di atas, maka
tanggal kelahiran Boedi Oetomo yaitu 20 Mei ditetapkan sebagai
Hari Kebangkitan Nasional.
[1] Nor Huda. Islam
Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 105-106.
mkasih banyak gan, artikelnya sangat membantu. minta ijin copy gan buat tugas ane...
ReplyDelete