Hai sahabat pembaca! Apa kabar? Post ini
adalah kelanjutan dari artikel Pengertian Pendidikan Multikultural. Dan judul artikel
dibawah ini adalah Pandangan Agama Islam Terhadap Pendidikan Multikultural, semoga
dengan dipostingya artikel ini akan menjadi manfaat buat sahabat pembaca semua.
Selamat membaca!
a. Pandangan Agama Islam Terhadap
Pendidikan Multikultural
Manusia diciptakan
oleh Allah sebagai makhluk yang paling sempurna. Makhluk lain tidak ada yang
memiliki kesempurnaan, baik ditinjau dari aspek fisik maupun psikisnya,
sebagaimana kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia. Anugerah pealing agung
yang diterima manusia dan anugerah ini tidak diterima oleh makhluk lainnya
adalah kemampuan intelektualitas. Dengan anugerah intelektual manusia mampu
menghasilkan cipta, karya dan karsa yang beranika ragam. Berbagai bentuk karya
banyak dihasilkan manusia, baik bahasa, budaya, etnitas, bahkan dalam hal
memilih keyakinan.
Dalam pandangan
ajaran Islam, pluralitas merupakan sunnatullah
yang tidak bisa dipungkiri. Justru dalam pluralitas tersebut terkandung
nilai-nilai penting bagi pembangunan keimanan.[1]
Sesuai dengan QS. Al-Rum ayat 22
“dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”. (QS.
Al-Rum ayat 22)
Sejak awal perkembangannya,
Islam telah menjadi agama dan peradaban yang senantiasa bersentuhan dengan
agama dan peradaban lain. Di awal pertumbuhan dan perkembangannya, Islam
berhadapan dengan budaya dan peradaban masyarakat Arab jahiliah yang menganut
kepercyaan paganism. Nabi Muhammad Saw. sebagai pembawa pesan (risalah)
dan ajaran Allah berusaha meluruskan dan membenahi akidah masyarakat
Arab pada waktu itu dengan tetap menjalin hubungan baik dengan mereka.[2]
Secara fungsional, pendidikan pada dasarnya ditujukan untuk
menyiapkan manusia menghadapi masa depan agar hidup lebih sejahtera, baik
sebagai individu maupun secara kolektif sebagai warga masyarakat, bangsa maupun
antar bangsa. Bagi pemeluk agama, masa depan mencakup kehidupan di dunia dan
pandangan tentang kehidupan hari kemudian yang bahagia (Umaedi, 2004).4
Dalam Islam, pendidikan
multikultural memiliki landasan dalam Piagam Madinah, kemudian menjadi rujukan
suku dan agama pada waktu itu dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat. Piagam
Madinah juga menjadi rujukan orang-orang yang ingin menjelaskan sistem
pemerintahan dan ketatanegaraan Islam. Landasan multikultural juga bisa dilacak
pada akhlak dan kepribadian Rasulullah SAW. Muhammad seorang manusia
multikultural. Beliau sangat menghormati hak asasi manusia dan menjunjung
tinggi perbedaan, seperti diakui oleh beberapa Rohaniawan non muslim, seperti
Uskup Sidon Paul of Antioch, Theodore Abu Qurrah, Kenneth Cragg, dan beberapa
sarjana barat, seperti William Muir, dan Montgomery Watt. Kenyataan bahwa
Piagam Madinah dan pribadi Rasulullah menjadi landasan multikultural, dan
Al-Quran sebagai muara landasan. Alasannya adalah:
a. Piagam
Madinah diajukan oleh Rasullah sebagai acuan hidup bermasyarakat karena
dukungan ayat-ayat Madaniyah.
b. Ada
keterangan yang menyatakan bahwa akhlak Rasulullah adalah Al-Quran. Artinya,
kedua alasan ini menegaskan bahwa landasan pendidikan multikultural dalam Islam
adalah al-Quran (Azyumardi Azra, 2000).
Dalam Al-Qur’an surat Al-Hujuraat ayat 13
Allah berfirman:
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah
menciptakan manusia dari asal yang sama sebagai keturunan Adam dan Hawa yang
tercipta dari tanah. Seluruh manusia sama di hadapan Allah, manusia menjadi
mulia bukan karena suku, warna kulit ataupun jenis kelamin melainkan karena
ketaqwaannya. Kemudian dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Tujuan
penciptaan semacam itu bukan untuk saling menjatuhkan, menghujat, dan
bersombong-sombongan melainkan agar masing-masing saling kenal-mengenal untuk
menumbuhkan rasa saling menghormati dan semangat saling tolong-menolong. Dari
paparan ayat ini dapat di pahami bahwa agama Islam secara normatif telah
menguraikan tentang kesetaraan dalam bermasyarakat yang tidak
mendiskriminasikan kelompok lain.
Perspektif Islam dalam rangka membangun keberagamaan inklusif
yang bisa dikembangkan dengan nuansa multikultural, antara lain:
1. Pemahaman dan penanaman sikap ketika
berinteraksi dengan orang yang berlainan agama (sikap toleran), adanya
pluralitas dan berlomba dalam kebaikan yaitu:
“Dan bagi tiap-tiap umat ada
kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat)
kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian
(pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Al-Baqarah/2:
148).
2. Pengakuan koeksistensi damai dalam
hubungan antar umat beragama:
“8. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat
baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang Berlaku adil.
9.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang
yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu
(orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan,
Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”
Kemudian Allah menjelaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 213:
“Manusia itu
adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para
Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab
yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang
mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang
yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka
keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka
Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi
petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”.
Dari ayat ini
dapat dipahami bahwa sumber perselisihan, permusuhan dan perpecahan di kalangan
umat beragama adalah bukan karena ajaran agama yang dianutnya melainkan
karena rasa dengki yang membuat mereka mengabaikan ajaran agamanya
masing-masing. Seandainya mereka menghilangkan rasa dengkinya dan murni
mengamalkan ajaran agamanya, niscaya tidak terjadi perslisihan semacam itu.
Karena, semua agama
mengajarkan pemeluknya untuk menjadi umat yang baik dan menghargai orang lain.
3. Keadilan dan persamaan:
“Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan
kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa
yang kamu kerjakan” (An-Nisa’/4: 133).
Orientasinya Pendidikan Islam
Multikultural adalah tertanamnya sikap simpati,
respek, apresiasi (menghargai), dan empati terhadap penganut agama dan budaya
yang berbeda untuk meningkatkan kadar taqwa kita di sisi Allah. Karena Allah
tidak melihat darimana manusia berasal, seberapa tampan atau cantik, seberapa
kaya, seberapa tinggi pangkat/jabatan, seberapa kuat badannya, tapi yang
dilihat Allah adalah seberapa besar tingkat takwanya.[3] Untuk
mewujudkan Pendidikan Islam Multikultural dapat ditempuh sbb, diantaranya:
1. Pendidikan
Islam multikultural (PIM) mengakui budaya lokal dan menghormati budaya global.
Artinya, pendidikan Islam multikultural mengakui adanya realitas budaya lokal
sebagai sesuatu yang bisa mewarnai pendidikan Islam. Di sisi lain, PIM juga
tidak menafikan budaya global yang juga bisa menambah gairah pendidikan Islam.
Ketika kedua budaya tersebut bersitegang, maka peran PIM ini mencari jalan
tengah untuk “mendamaikan”keduanya.
2. PIM
mencoba mensiasati problem-problem pendidikan atau kemanusiaan lain yang sulit
untuk diselesaikan. Ini terkait dengan maraknya benturan-benturan ideologi,
keyakinan, dan cara pandang dan bagaimana PIM mensiasati benturan-benturan
tersebut. Contoh kasus pelaksanaan ujian nasional (UN). Ada ketegangan antara
pemerintah, sebagai pembuat kebijakan UN dengan sebagian elemen masyarakat
dalam melihat pelaksanaan UN. Pemerintah tetap mengharuskan UN sementara elemen
masyarakat tersebut tetap menolak UN. PIM bisa mensiasati ketegangan ini dengan
mengajukan rumusan pelaksanaan UN baru, yaitu UN tetap dilaksanakan tapi tidak
menjadi salah satu penentu kelulusan.
3. PIM
menjadikan globalisasi bukan sebagai musuh tapi sebagai penyeimbang bagi budaya
lokal. Ini sejalan dengan konsep PIM sebagai jalan tengah. Artinya posisi, PIM
itu tidak mesti menjadi salah satu pendukung globalisasi atau budaya lokal,
tapi mengambil peran sebagai fasilitator bagi globalisasi dan budaya lokal.
Contohnya ketika globalisasi, di satu sisi, mendorong penggunaan teknologi
dalam semua ranah kehidupan, dan di sisi lain, keyakinan akan bahaya teknologi
bagi moralitas anak terus dipegang erat oleh masyarakat di perkampungan
misalnya, maka PIM menjadi penyeimbang dengan mempersilahkan penggunaan
teknologi di masyarakat perkampungan dan mendorong perbaikan metodologi
pengajaran al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lain di perkampungan agar pemahaman
terhadap agama semakin baik dan kesadaran tentang moralitas menjadi semakin
tinggi.
4. PIM
mendorong pluralisme bukan semata-mata sebagai pengakuan terhadap perbedaan dan
kemajukan, namun dalam prakteknya menerima perbedaan tersebut secara legowo dan
melakukan perubahan dalam cara bertindak. Artinya, pluralisme yang “proyeknya”
belum final pada era modernisme itu, didorong untuk menuntaskan proyek tersebut
sehingga menghasilkan perubahan yang jelas bagi masyarakat. Kalau pluralisme
hanya sebatas gagasan, maka PIM ini melakukan kerja nyata. Contoh apakah
masyarakat Indonesia bisa menerima seorang presiden non-muslim, namun bisa
mensejahterakan rakyat? Tugas PIM untuk melakukan perubahan terhadap cara
pandang masyarakat tersebut, sehingga ukuran utama seorang presiden tersebut
bukan didasarkan pada latar belakang agama, namun pada tingkat kemampuan
memajukan masyarakat.
5. PIM
“melawan” keinginan pemerintah, tokoh pendidikan, atau siapapun yang mencoba
melakukan penyeragaman dalam pendidikan. Ini bisa sejalan dengan konsep
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS). Kedua konsep ini mendorong keragaman proses pembelajaran di setiap
sekolah.Rumusan kelima ini memerlukan keberanian dan energi yang lebih untuk
“melawan” kebijakan-kebijakan pendidikan yang tidak pro rakyat.
6. PIM
membuka perbedaan seluas-luasnya dan memberikan pemahaman bagaimana seharusnya
menghadapi perbedaan tersebut. Rumusan terakhir menjelaskan bahwa perbedaan itu
sebuah realitas kemanusiaan dan bagaimana masyarakat bisa memahami realitas
tersebut dan mempraktekan pemahaman tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Untuk
menuju pendidikan Islam multikultural diperlukan kesadaran tentang konsep dan
arah multikultural dari semua elemen pendidikan; pemerintah, masyarakat,
pimpinan sekolah, orang tua, guru, dan siswa. Kesadaran tersebut, menurut
Aurobindo (seorang filosof Hindu Mutakhir) harus berawal dari tingkat kesadaran
utama, yang berpuncak pada supermind, yaitu:
a. Keesaan
Tuhan direalisasikan melalui keragaman.
b. Setiap
individu selaras dengan nilai-nilai universal.
c. Kehendak
individu direfleksikan lewat perubahan yang konkret historis. Konsep kesadaran
ini relevan dengan konsep pendidikan pembebasan yang mendorong usaha penyadaran
manusia tentang realitas dirinya.
Paulo Freire menjelaskan bahwa
karena pendidikan menggarap realitas manusia, maka secara metodologis, ia harus
disandarkan pada prinsip aksi dan refleksi yang dinamakan sebagai praksis,
yaitu aksi dalam pengertian mengubah realitas, dan di sisi lain-yang ia sebut
sebagai refleksi-terus menerus menumbuhkan kesadaran untuk merubah realitas
tersebut.[4]
[1] Ngainum Naim dan Achmad Sauqi, “Pendidikan Multikultural Konsep Dan
Aplikasi”, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2008), hlm. 129.
[2]Ibid., hlm. 129-130.
[3]Hilmy, “Menggagas Paradigma Pendidikan Berbasis
Multikulturalisme”, (STAIN.
Vol. VII. Edisi 12. No. 12: Jurnal
Ulumuna Mataram, Juli-Desember, 2003).
[4]Ibdi,.
No comments:
Post a Comment